Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Sunday, December 19, 2010

Makna Kehidupan


Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan di dunia. Mungkin kita sendiri termasuk dalam golongan mereka yang hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan hidup duniawi. Orang-orang yang lebih banyak mencari pemuasan hawa nafsu (semu), daripada berikhtiar memenuhi fitrahnya sebagai hamba yang taat, patuh, dan berserah diri kepada Rabb, Sang Pencipta.

YANG PENTING PUAS
Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana dapat menikmati kehidupan seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian yang pada saatnya menguning lalu mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan, dan hisab. Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta dengan begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri sendiri?

أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْئٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ؟
"Sesungguhnya Allah menciptakan dan memberikan kehidupan kepada kita untuk suatu tujuan. Bukan sia-sia.

Menurut Imam Syafi’i, makna sia-sia adalah kehidupan tanpa adanya perintah ataupun larangan. (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim Ibnu Katsir jilid-4 cetakan Maktabah Darus Salam 1413 H hal. 478) . Jadi, manusia hidup tidak sia-sia. Mereka memiliki aturan, hukum-hukum syariat, perintah dan larangan. Tidak bebas begitu saja melakukan apa yang mereka suka atau sebaliknya.

HIDUP DAN MATI ADALAH UJIAN
Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah jalla jalaaluh menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلَُوَكُمْ أَيُّكُمْ
"Yang menjadikan mati dan hidup agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Lihat QS. Hud:7)

Fudhail bin Iyadh berkata: Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah. (Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali hal. 35)

Kita hidup di dunia adalah untuk diuji siapa yang paling ikhlas ibadahnya, siapa yang amalnya murni hanya untuk Allah semata, dan siapa yang menjalani kehidupannya paling sesuai dengan ajaran dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kita untuk memperhatikan dan mempelajari apa sesungguhnya makna kehidupan dan apa pula maknanya bagi kematian.

Ssesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia, yakni beribadah hanya kepada-Nya. Allah menurunkan kitab-kitabNya, Allah juga mengutus rasul-rasulNya demi tugas ini.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
"Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Dari firman di atas sudah cukup jelas rasanya bahwa penciptaan dan hidup kita tidaklah sia-sia. Lebih jauh lagi, kita juga dapat mengerti bahwa kehidupan ini sesungguhnya bersifat sementara namun jangan lupa; sarat akan makna. Kehidupan yang kelak, tentu saja, akan ditanya dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, Sang Pencipta.

KEHIDUPAN DI DUNIA HANYA SEMENTARA
Ingatlah kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti, siapa pun kita, pasti akan memasuki alam kubur hingga datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, selanjutnya kita akan dihadapkan pada hari perhitungan. Setiap kita akan menerima keputusan dari Allah SWT apakah akan bahagia di dalam surga atau akan sangat sengsara dalam neraka. Ingatlah selalu bahwa kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan abadi yang jauh-jauh hari sudah disebutkan di dalam Al Qur'an dengan istilah خالدين فيها atau dengan أبدا (selama- lamanya) atau لا ينقطع.

Sehari dalam kehidupan akhirat setara dengan seribu tahun kehidupan di dunia. Dengan demikian kita dapat memahami betapa pendek sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini. Tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat!

Berapa tahun umur manusia yang terpanjang, dan berapa tahun sudah umur yang kita jalani? Itu pun kalau kita anggap kita akan mencapai umur manusia terpanjang. Sedangkan ajal, kita tidak pernah tahu kapan akan datang menjemput. Mungkin esok atau lusa, atau bahkan mungkin beberapa detik setelah ini. Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupannya yang panjang daripada yang singkat di sunia ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan emas untuk meraih kebahagiaan hidupnya di akhirat yang abadi. Allah Subhana Wata'ala sendiri telah mengingatkan:

وَابْتَغِ فِيْمَآ ءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
"Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi." (Lihat QS Al-Qashash:77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Kita lebih mementingkan kenikatan dunia yang hanya sesaat, dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَاْلأَخرَاةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A'laa: 16)

Allah hanya meminta kita - dalam kehidupan yang singkat ini - untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu! Kemudian Allah akan memberikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan akhirat.

KEMATIAN ADALAH SESUATU YANG PASTI
Alangkah bodohnya manusia yang lebih mementingkan kesenangan sesaat lalu melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakan setiap kesempatan dalam kehidupannya di dunia ini hingga kematian datang menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai firman-Nya bahwa kematian pasti akan datang, dan tak seorang pun dari kita yang mengetahui kapan waktunya. Jika saat itu tiba, tidak akan ada yang dapat memajukan atau memundurkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
 
لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ
"Tiap-tiap umat memiliki ajal; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya." (QS. al-A’raaf: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung."

Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim.

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam." (QS. Ali Imran: 102)

Ini menyiratkan bahwa sudah selayaknyalah kita selalu berusaha meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kepada Allah Sang Pencipta, hingga bila kematian tiba, diri kita lahir dan bathin benar-benar dalam keadaan Islam. Ibnu Katsir berkata: Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam. Sebab makna Islam adalah tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah, yang tentunya mengandung setinggi-tingginya makna keterikatan perendahan diri dan ketundukan kita kepada Allah SWT. Diri kita dan seluruh anggota tubuh kita adalah milik Allah. Maka sudah semestinya kita berserah diri kepada-Nya.

Ya Allah, kami hamba-Mu, milik-Mu. Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kepada-Mu. Kami patuh dan berserah diri untuk diatur, dihukum, diperintah dan dilarang oleh-Mu. Kami taat, tunduk, dan patuh karena kami adalah milik-Mu. Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:

أََللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَىعَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا سْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku. Tidak ada ilah kecuali Engkau. Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui kenikmatan dari-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku kepada-Mu. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau." [HR. Bukhari, Juz 7/150]

Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni. Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut kita sadar bahwa semua anggota tubuh kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan, dan telinga kita harus digunakan untuk apa yang dibolehkan oleh Allah. Karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.

Siapakah yang lebih jahat dari orang yang menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah? Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota tubuh tersebut. Mereka akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa saja selama hidup di dunia ini mereka kita pergunakan.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya."

KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN
Ayat-ayat dalam Al Qur'an yang menceritakan tentang kematian sangat banyak. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan kita tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan mencari kebahagiaan hidup yang hakiki di surga? Sesungguhnya manusia paling bodoh adalah yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:


مَنْ أَرَادَ وَلِيًّا فاللهُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ قُدْوَةً فَالرَّسُوْلُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ هُدًى فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ مَوْعِظَةً فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِوَمَنْ لاَ يَكْفِيْهِ ذَلِكَ فَالنَّارُ يَكْفِيْهِ
"Barangsiapa yang menginginkan pelindung maka Allah cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan teladan maka Rasulullah cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup maka Al-Qur'an cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya. Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya!"

Sampai detik ini, Allah masih memberi kita peluang dan kesempatan. Maka hendaknya sekarang ini juga kita memanfaatkan peluang itu dengan sebaik-baiknya guna membuktikan ketaatan kita kepada Sang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, namun Yang Siksanya Sungguh Teramat Sangat Pedih.

Waktu yang diberikan kepada kita ini bagaikan pedang. Jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita, sebagaimana dikatakan oleh para salaf.


اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ
"Waktu itu bagaikan pedang jika engkau tidak memutusnya maka dia yang akan memutusmu. Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita. "

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌُ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
"Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai daripadanya: ni’kat kesehatan dan ni’kat kesempatan."

Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada manusia. Namun sayangnya kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk taat kepada Allah hingga tiba waktunya ia hilang bersamaan dengan datangnya kematian.

Disadur bebas dari buletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II Tgl 21 Shafar 1426 H, Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed 

Tuesday, September 28, 2010

Setiap yang hidup pasti akan mati



Menurut orang-orang yang bodoh, hal terburuk yang dapat terjadi pada seseorang adalah mati. Itulah yang paling menakutkan bagi mereka, yaitu mendekati kematian atau kehilangan seseorang yang mereka cintai. Bahkan, kematian adalah peristiwa yang sedapat mungkin dihindari, meskipun orang yang bodoh dapat mengetahui kebaikan dalam peristiwa tersebut. Baginya, kematian tak pernah menjadi hal yang baik.

Cara pandang masyarakat yang tidak beriman terhadap kematian adalah sama. Mereka tidak pernah dapat melihatnya dengan cara pandang yang berbeda. Kematian adalah benar-benar kebinasaan, sedangkan akhirat hanyalah semata-mata spekulasi.

Bagi orang-orang yang jauh dari kebenaran agama, kehidupan dunia ini adalah satu-satunya kehidupan. Dengan kematian, satu-satunya kesempatan telah berakhir. Inilah sebabnya, mereka menangisi hilangnya orang yang dicintainya. Parahnya, kematian orang yang dicintainya secara tiba-tiba di usia yang sangat muda, menjadi penyebab kemarahan mereka kepada Allah dan takdir.

Bagaimanapun juga, orang-orang tersebut melupakan kenyataan-kenyataan penting. 

Pertama, tak ada seorang pun di bumi ini yang mendapatkan semua yang diinginkan. Setiap kehidupan seseorang adalah milik Allah; setiap orang lahir di waktu yang telah ditakdirkan Allah sebelumnya dan sesuai kehendak Allah. Inilah sebabnya, Allah—yang kepada-Nya kembali segala sesuatu di langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya—dapat mengambil kembali jiwa siapa pun yang diinginkannya, kapan pun Dia menginginkannya.

Kedua, tak ada seorang pun yang dapat menunda ketentuan Allah. Hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur`an, 

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَاباً مُّؤَجَّلاً وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ
مِنْهَا وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
[wamaa kaana linafsin an tamuuta illaa bi-idzni allaahi kitaaban mu-ajjalan waman yurid tsawaaba alddunyaa nu/tihi minhaa waman yurid tsawaaba al-aakhirati nu/tihi minhaa wasanajzii alsysyaakiriina]
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran [3]: 145)

Tak peduli cara berhitung apa pun yang dipakai seseorang atau seaman apa pun tempat tinggalnya, ia tidak dapat menghindari kematian. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi saw., “Jika Allah memutuskan bahwa seseorang akan mati di sebuah tempat, Allah membuatnya pergi ke tempat itu.” (Tirmidzi) 

Seseorang dapat pergi dari dunia ini kapan pun. Demikian pula orang yang menghindari kematian, tak peduli betapa kerasnya ia berjuang untuk tidak kehilangan orang yang dicintainya. Bahkan, jika segala daya upaya telah dilakukan, ia tidak dapat menghindari kematian. Orang tersebut akan menghadapi kematian di mana pun ia berada, sebagaimana disebutkan dalam ayat;

أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِ اللّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَـؤُلاء الْقَوْمِ لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيث 
[aynamaa takuunuu yudrikkumu almawtu walaw kuntum fii buruujin musyayyadatin wa-in tushibhum hasanatun yaquuluu haadzihi min 'indi allaahi wa-in tushibhum sayyi-atun yaquuluu haadzihi min 'indika qul kullun min 'indi allaahi famaali haaulaa-i alqawmi laa yakaaduuna yafqahuuna hadiitsaan]
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memeroleh kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah,’ dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan, ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).’ Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah.’ Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS an-Nisaa` [4]: 78)

Karena itu, solusinya bukan berusaha untuk menghindari kematian, tetapi bagaimana menyiapkan kehidupan untuk hari akhirat.

Kematian Adalah Awal, Bukan Akhir
Manusia yang miskin iman atau mereka yang tidak punya keimanan sedikit pun tentang akhirat, memiliki pandangan yang salah tentang kematian dan kehidupan setelah itu. Inilah sebabnya, sebagaimana disebutkan di awal, mereka percaya bahwa saat mereka kehilangan seseorang (karena kematian), mereka akan kehilangan untuk selamanya. Karena itu, menurut mereka, orang itu menyatu dengan tanah untuk sebuah kesia-siaan.

Sebaliknya, sebagian di antara mereka yang yakin akan kebenaran akhirat boleh saja menangisi kematian seseorang. Akan tetapi, Allah Mahaadil. Orang yang mati akan diberikan tabungan amalannya di dunia dan berdasarkan keputusan-Nya orang tersebut dibalas dengan kebaikan. Karena alasan itulah, bagi orang-orang yang memiliki keyakinan kepada Allah dan hari akhir-dan karena itu hidup mengabdi kepada Tuhannya-kematian adalah gerbang menuju kebahagiaan abadi. Akan tetapi, dari sudut pandang orang yang bodoh, yang menafikan akhirat dan meremehkan hari pembalasan, kematian adalah gerbang kesengsaraan abadi. 

Karena itu, sulit bagi mereka untuk menilai kematian sebagai suatu kebaikan. Bagi seorang muslim, kematian adalah awal dari sebuah kebebasan penuh.

Karena kematian dianggap sebagai hal terburuk yang dapat terjadi pada siapa pun, namun sebenarnya merupakan kebaikan bagi orang-orang beriman, maka reaksi mereka terhadap kematian dibedakan dengan jelas dari akhlaq atau sikap bodohnya akan hal itu. Sikap seorang mukmin terhadap kematian digambarkan dengan jelas dalam ayat;

وَلَئِن قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ 
[wala-in qutiltum fii sabiili allaahi aw muttum lamaghfiratun mina allaahi warahmatun khayrun mimmaa yajma'uuna]
“Dan sungguh jika kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.” (QS Ali Imran [3]: 157)

Seperti halnya kehidupan, kematian seorang mukmin juga membawa kebaikan 
Dalam pandangan Allah, tingkatan istimewa menanti seorang mukmin yang syahid saat berjuang karena-Nya, karena kesyahidan adalah sebuah kemuliaan dan berkah yang memperbanyak balasan yang akan didapatnya di akhirat. 

Kematian seorang mukmin yang menjadikan satu-satunya tujuan hidupnya adalah menggapai ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya, adalah sebuah peristiwa yang agung. Dengan memahami kabar gembira yang dicantumkan di dalam Al-Qur`an ini, seorang mukmin tidak pernah menangisi kematian mukmin lainnya yang mati karena Allah. Sebaliknya, ia melihat kebaikan dan berkah dalam kematian itu, dan mereka bergembira. Sesungguhnya, balasan terbesar adalah mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya.

Seorang mukmin yang menghabiskan waktunya untuk melayani Allah akan dibalas dengan kebaikan. Contohnya Nabi Nuh a.s. yang diberi umur panjang oleh Allah. Karena manusia mulia ini berjuang di setiap detik kehidupannya, ia mendapatkan keridhaan Allah, kasih, dan surga-Nya. Usahanya dalam menambah balasan pahala di akhirat.

Sebaliknya, kaum yang kufur cenderung terjerumus ke dalam khayalan semu. Mereka mengira umur panjang adalah anugerah. Ayat di bawah ini menjelaskan kekeliruan tersebut.

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِّأَنفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُواْ إِثْماً وَلَهْمُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
[walaa yahsabanna alladziina kafaruu annamaa numlii lahum khayrun li-anfusihim innamaa numlii lahum liyazdaaduu itsman walahum 'adzaabun muhiinun]
"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya, Kami memberi tangguh kepada mereka supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS Ali Imran: 178)
Mereka yang menjadi bagian masyarakat bodoh yang menjadikan kesenangan sementara didunia ini satu-satunya tujuan hidupnya, menganggap umur yang panjang sebagai kesempatan untuk menikmati kesenangan dunia. Karena itu, mereka melupakan Allah dan hari pembalasan. Mereka tidak dapat menangkap nilai waktu yang mereka habiskan sia-sia. Bagaimanapun juga, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, waktu yang diberikan kepada mereka sebenarnya menghancurkan diri mereka sendiri.
Seseorang yang memikirkan hal ini akan memahami sepenuhnya bagaimana kita bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan pernyataan Allah,

“Bisa jadi seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mungkin seseorang mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuknya.”


[Dari: Harun Yahya]

Monday, September 27, 2010

Hakikat Mencintai Rasulullah Saw





Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. 






MENCINTAI RASULULLAH SAW

Allah telah mengutus nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. DIA telah menjadikannya rahmat bagi seluruh alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka seorang hamba harus taat kepadanya, mencintainya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya.

Dari Anas radiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ;alaihi wasallam, bahwasanya beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan segenap umat manusia.” (Muttafaq Alaih)

Saat ini, di tengah-tengah masyarakat sedang marak berbagai aktivitas yang mengatas namakan cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam.

Kecintaan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah perintah agama.



Tetapi untuk mengekspresikan cinta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tidak boleh kita lakukan menurut selera dan hawa nafsu kita sendiri. Sebab jika cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam itu kita ekspresikan secara serampangan tanpa mengindahkan syari’at agama, maka bukannya pahala yang kita terima, tetapi malahan menuai dosa. 



Dengan mengacu pada hadits shahih di atas, mari kita membahas poin-poin berikut ini: 

Kewajiban cinta kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, 



  • kenapa harus cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 

  • apa tanda-tanda cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 

  • bagaimana agar mencintai Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 







1. Kewajiban Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam.


Hadits shahih di atas adalah dalil tentang wajibnya mencintai Nabi shallallaahu ;'laihi wasallam dengan kualitas cinta tertinggi. Yakni kecintaan yang benar-benar melekat di hati yang mengalahkan kecintaan kita terhadap apapun dan siapapun di dunia ini. Bahkan meskipun terhadap orang-orang yang paling dekat dengan kita, seperti anak-anak dan ibu bapak kita.

Bahkan cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam itu harus pula mengalahkan kecintaan kita terhadap diri kita sendiri.

Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri.” 

Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,


“Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”. 

Maka Umar radiyallaahu ‘anhu berkata kepada beliau, 


“Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”

Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sekarang (telah sempurna kecintaanmu (imanmu) padaku) wahai Umar.”

Karena itu, barangsiapa yang kecintaannya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam belum sampai pada tingkat ini, maka belumlah sempurna imannya, dan ia belum bisa merasakan manisnya iman hakiki, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam;

“Ada tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, niscaya akan merasakan manisnya iman, Yaitu, kecintaannya pada Allah dan RasulNya lebih dari cintanya kepada selain keduanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Kenapa Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 


Tidak akan mencapai derajat kecintaan kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam secara sempurna kecuali orang yang mengagungkan urusan din (agama)nya, yang keinginan utamanya adalah merealisasikan tujuan hidup, yakni beribadah kepada Allah Subhanahu waTa’ala. Dan selalu mengutamakan akhirat daripada dunia dan perhiasannya.

Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam inilah dengan izin Allah menjadi sebab bagi kita mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada agama yang lurus. Karena cinta Rasul pula, Allah menyelamatkan kita dari Neraka, serta dengan mengikuti beliau shallallaahu 'alaihi wasallam kita akan mendapatkan keselamatan dan kemenangan di akhirat. 

Adapun cinta keluarga, isteri dan anak-anak, maka ini adalah jenis cinta duniawi. Sebab cinta itu lahir karena mereka memperoleh kasih sayang dan manfaat materi. Cinta itu akan sirna dengan sendirinya saat datangnya Hari Kiamat. Yakni hari di mana setiap orang berlari dari saudara, ibu, bapak, isteri dan anak-anaknya karena sibuk dengan urusannya sendiri. 

Dan barangsiapa lebih mengagungkan cinta dan hawa nafsunya kepada isteri, anak-anak dan harta benda duniawi, maka cintanya ini akan bisa mengalahkan kecintaannya kepada para ahli agama, utamanya Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam . 

3. Tanda-tanda Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam 


Cinta Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidaklah berupa kecenderungan sentimentil dan romantisme pada saat-saat khusus, misalnya dengan peringatan-peringatan tertentu. 


Cinta itu haruslah benar-benar murni dari lubuk hati seorang mukmin dan senantiasa terpatri di hati. Sebab dengan cinta itulah hatinya menjadi hidup, melahirkan amal shalih dan menahan dirinya dari kejahatan dan dosa. 

Adapun tanda-tanda cinta sejati kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam adalah: 





a. Mentaati beliau shallallaahu 'alaihi wasallam


dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Pecinta sejati Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam manakala mendengar beliau shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan sesuatu akan segera menunaikannya. Ia tak akan meninggalkannya, meskipun itu bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsunya.

Ia juga tidak akan mendahulukan ketaatannya kepada isteri, anak, orang tua atau adat kaumnya. Sebab kecintaannya kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam lebih dari segala-galanya.

Dan memang, pecinta sejati akan patuh kepada yang dicintainya. Adapun orang yang dengan mudahnya menyalahi dan meninggalkan perintah-perintah Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam serta menerjang berbagai kemungkaran, maka pada dasarnya dia jauh lebih mencintai dirinya sendiri.

Sehingga kita saksikan dengan mudahnya ia meninggalkan shalat lima waktu, padahal Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam sangat mengagungkan perkara shalat, hingga ia diwasiatkan pada detik-detik akhir sakaratul mautnya. Dan orang jenis ini, akan dengan ringan pula melakukan berbagai larangan agama lainnya. Na’udzubillah min dzalik.

b. Menolong dan mengagungkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam .


Dan ini telah dilakukan oleh para sahabat sesudah beliau wafat. Yakni dengan mensosialisasikan, menyebarkan dan mengagungkan sunnah-sunnahnya di tengah-tengah kehidupan umat manusia, betapapun tantangan dan resiko yang dihadapinya.

c. Tidak menerima sesuatupun perintah dan larangan kecuali melalui beliau shallallaahu 'alaihi wasallam;


Rela dengan apa yang beliau tetapkan, serta tidak merasa sempit dada dengan sesuatu pun dari sunnahnya . Adapun selain beliau, hingga para ulama dan shalihin, maka mereka adalah pengikut Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam . Tidak seorang pun dari mereka boleh diterima perintah atau larangannya kecuali berdasarkan apa yang datang dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. 

d. Mengikuti beliau shallallaahu 'alaihi wasallam dalam segala halnya. 


Dalam hal shalat, wudhu, makan, tidur dan sebagainya. Juga berakhlak dengan akhlak beliau shallallaahu ;alaihi wasallam dalam kasih sayangnya, rendah hatinya, kedermawanannya, kesabaran dan zuhudnya dsb.

e. Memperbanyak mengingat dan shalawat atas beliau shallallaahu 'alaihi wasallam.


Mengharapkan bisa mimpi melihat beliau, betapapun harga yang harus dibayar. Dalam hal shalawat Rasul shallallaahu ;alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim). 

Adapun bentuk shalawat atas Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam adalah sebagaimana yang beliau ajarkan. Salah seorang sahabat bertanya tentang bentuk shalawat tersebut, beliau menjawab,

“Ucapkanlah!”


اللهم صل على محمد وعلى آل محمد


(“Ya Allah, bershalawatlah atas Muhammad dan keluarga Muhammad”). 


(HR. al-Bukhari & Muslim). 

f. Mencintai orang-orang yang dicintai Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. 


Seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah, Ali radiyallaahu ‘anhum dan segenap orang-orang yang disebutkan hadits bahwa beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mencintai mereka. 

Kita harus mencintai orang yang dicintai beliau dan membenci orang yang dibenci beliau shallallaahu 'alaihi wasallam . Lebih dari itu, hendaknya kita mencintai segala sesuatu yang dicintai Nabi, termasuk ucapan, perbuatan dan sesuatu lainnya. 

4. Bagaimana Agar Mencintai Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 


a. Hendaknya kita ingat bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling baik dan paling berjasa kepada kita, bahkan hingga dari orang tua kita sendiri. Beliau lah yang mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya, yang menyampaikan agama dan kebaikan kepada kita, yang memperingatkan kita dari kemungkaran. Dan kalau bukan karena rahmat Allah Subhanahu waTa’ala yang mengutus beliau shallallaahu 'alaihi wasallam, tentu kita telah tenggelam dalam kesesatan.

b. Renungkanlah perjalanan hidup Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, jihad dan kesabarannya serta apa yang beliau korbankan demi tegaknya agama ini, dalam menyebarkan tauhid serta memadamkan syirik, sungguh suatu upaya yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun.

c. Renungkanlah keagungan akhlak Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sifat dan sikapnya yang sempurna, rendah hati kepada kaum mukminin dan keras terhadap orang-orang munafik dan musyrikin, pemberani, dermawan dan penyayang. Cukuplah sanjungan Allah Subhanahu waTa’ala atas beliau shallallaahu 'alaihi wasallam,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS.Al-Qalam [68]:4)

d. Mengetahui kedudukan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam di sisi Allah Ta’ala. 


Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling mulia di antara segenap umat manusia, penutup para Nabi, yang diistimewakan pada hari Kiamat atas segenap Nabi untuk memberikan syafa’at uzhma (agung), yang memiliki maqam mahmud (kedudukan terpuji), orang yang pertama kali membuka pintu Surga serta berbagai keutamaan beliau lainnya.

HADITS NABAWI:


“Janganlah kamu mengkultuskanku sebagaimana orang-orang nashrani mengkultuskan putra maryam, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah (kepadaku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari).

إِنّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا


صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِي ماً


“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.


Hai orang-orang yang beriman, ber-Shalawatlah kamu untuk Nabi 


dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.” 


(QS Al-Ahzab [33]:5)



Friday, September 24, 2010

Memurnikan Iman

Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. 


Allah berfirman,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (QS Al-An'am [6]: 82).

Banyak orang yang menganggap dan mengaku dirinya beriman, akan tetapi di samping itu, dia juga melakukan hal-hal yang mengeruhkan keimanannya itu, atau bahkan sampai menggugurkan iman itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor; di antaranya, karena kebodohan mereka, atau mungkin karena kesombongan dan keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan pada mereka. Padahal, dalam masalah keimanan dan tauhid, tidak ada udzur (alasan) kebodohan.

Jadi, seseorang tidak bisa beralasan dengan kebodohan (ketidaktahuan)-nya ketika salah dalam masalah iman dan tauhid ini. Dan salah dalam masalah ini akan berakibat fatal.

Masalah keimanan dan tauhid ini adalah masalah yang sangat prinsip bagi seorang muslim, yang merupakan dasar dan pondasi baginya, yang menentukan kuat tidaknya bangunan yang dibangun di atas pondasi itu. Tetapi, justru kebanyakan manusia bodoh dalam hal ini, sehingga sadar atau tidak sadar mereka sering menodai keimanan mereka itu.Maka, tidaklah perlu diherankan jika ada tokoh agama, yang konon luas wawasan agamanya kemudian sembrono dalam mengambil sikap yang justru jelas-jelas bertentangan dengan agama. Seakan-akan dia adalah orang yang sama sekali tidak mengenal agama. Mengapa demikian? Hal itu di antaranya adalah karena pondasi, dasar pijakannya tidak kuat. Pondasi yang dimaksud adalah akidah.

Banyak juga orang, bahkan yang disebut ulama, yang keliru dalam memahami ayat di atas.

Mungkin karena ketidaktahuan mereka akan keterangan tentang ayat tersebut yang datang dari Rasulullah SAW, atau mungkin karena mereka terbiasa menafsirkan ayat dengan pikiran mereka sendiri tanpa didasari oleh ilmu.

Mereka menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa orang yang beriman dan tidak menodai imannya dengan kedzaliman, yaitu kedzaliman kepada orang lain dan diri mereka, maka mereka itulah yang berhak mendapat ketentraman dan petunjuk. Mereka menafsiri kedzaliman hanya sebatas itu. Sedangkan tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri, kecuali beberapa orang yang dilindungi oleh Allah.

Maka dari itu, marilah kita simak bagaimana Ibnu katsir mengomentari ayat tersebut.
Beliau mengatakan, "Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, mereka tidak menyekutukan-Nya sama sekali, dan mereka itulah orang-orang yang tenteram pada hari kiamat dan mendapat petunjuk di dunia akherat."

Diriwayatan oleh Imam Bukhari, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', kami (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakan di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukan seperti yang kamu katakan, mereka tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman, tetapi dengan kemusyrikan.

"Bukankah kamu telah memperhatikan perkataan Luqman kepada anaknya?, 

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya, mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar" (QS Luqman: 13).

Syaikhul Islam berkata, "Yang membuat mereka resah adalah, mereka mengira bahwa kedzaliman yang harus dihilangkan itu adalah kedzaliman seorang hamba kepada dirinya sendiri".

Sementara itu, tidak ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri. Maka dari itu, Nabi saw. menerangkan tentang sesuatu yang menunjukkan kepada mereka, bahwa kemusyrikan disebut kedzaliman menurut ungkapan Kitab Allah. Maka, tidak akan ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman ini. karena, orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman berhak meneriman ketentraman dan petunjuk sebagaiamana ia termasuk orang-orang pilihan.

Seperti dalam firman Allah, 

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang terdepan dalam berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (QS Faathir [35]: 32).

Ini tidak menafikan bahwa salah seorang dari mereka disiksa karena kedzalimannya terhadap diri sendiri dengan melakukan dosa jika ia tidak bertobat. Sebagaimana firman Allah ta'ala, 

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُوَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS Az-Zalzalah: 7-8).

Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak melakukan perbuatan buruk? Maka beliau menjawab, 'Wahai Abu Bakar, bukankah kamu pernah berjerih payah? Bukankah kamu pernah sedih? Bukankah kamu pernah tertimpa keresahan? Itulah yang kamu dibalas dengannya'."

Dengan demikian, beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin yang jika mati lalu ia masuk surga, terkadang kejahatannya telah dibalas di dunia dengan musibah.

Barangsiapa yang selamat dari tiga jenis kedzaliman;

  • syirik,
  • mendzalimi orang lain, dan
  • mendzalimi diri sendiri dengan perilaku dosa yang selain syirik, maka baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna.
Sedangkan barang siapa yang tidak selamat dari kedzaliman terhadap dirinya sendiri, maka baginya ketentraman dan petunjuk yang masih bersifat mutlak. Dalam artian, bahwa ia pasti masuk surga sebagaimana yang dijanjikan Allah pada ayat lain.

Allah telah memberinya petunjuk ke jalan yang lurus yang menyebabkan dia masuk surga. Namun, ia pun akan mendapatkan keamanan dan petunjuk yang kurang sempurna tergantung dari kurangnya iman yang berupa kedzaliman terhadap dirinya sendiri.

Bukanlah yang dimaksud Nabi saw. dalam sabdanya, "Akan tetapi itu adalah syirik."
Adalah bahwa orang yang tidak pernah melakukan syirik besar, baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Karena, banyak hadis dan ayat-ayat Alquran yang menerangkan bahwa orang-orang yang maklukan dosa besar (ahlul kaba'ir) akan menghadapi ketakutan.

Mereka tidak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk yang penuh, yang dengan keduanya mereka mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan bagi orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepadanya tanpa adanya siksa yang menimpa. Sebaliknya mereka mendapatkan standar minimal petunjuk menuju jalan ini dan nikmat dari Allah untuk mereka, dan mereka pun nantinya masuk surga.

Sabda Nabi, "Akan tetapi itu adalah syirik, "jika yang dikehendaki adalah syirik besar, maka maksudnya adalah orang yang tidak melakukan syirik besar akan selamat dari siksa dunia dan akherat, yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang dimaksud di sini adalah syirik kecil, maka jika seorang hamba mendzalimi dirinya sendiri, seperti bakhil dalam sebagian kewajiban karena cinta kepada dunia, maka itu adalah syirik kecil. Juga, kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai Allah sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaannya kepada Allah dan sebagainya, itu adalah syirik kecil dan sebagainya. Maka, orang seperti ini akan kehilangan petunjuk, tergantung pada kesyirikannya. Dengan pertimbangan tersebut, para ulama' salaf yang saleh mengategorikan dosa ke dalam kesyirikan ini." Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.Dari keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita apa makna yang terkandung dalam ayat di atas. Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah syirik. Meskipun sebagian kedzaliman pada diri sendiri juga bisa termasuk dalam kesyirikan ini. Jadi, orang yang beriman, yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang berhak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk.

Padahal, sangat sedikit sekali orang yang benar-benar murni imannya, bersih dan tidak ternodai dengan kotoran syirik. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar berhati-hati jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, yang apabila keimanan kita ternodai dengannya, maka ketenteraman dan petunjuk yang kita harapkan tidak akan kita dapatkan, dan justru sebaliknya, kita akan mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Na'udzubillah min dzaliq.

Allah berfirman, 
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
"Tauhid (iman) dan syirik, keduanya tidak akan mungkin pernah bersatu di hati seseorang. Karena keduanya bertentangan. Jika beriman, maka harus menghilangkan dan membuang jauh-jauh kesyirikan. Jika seseorang melakukan kesyirikan (syirik besar), secara langsung keimanan akan luntur dan batal."Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (QS Yusuf [12]: 106).

Adapun hal-hal yang termasuk perbuatan syirik sangatlah banyak. Yang semua itu intinya adalah mempersekutukan Allah, atau menjadikan tandingan untuk Allah.

Terkadang seseorang melakukan suatu perbuatan yang dia yakini bahwa perbuatan itu adalah benar karena dia melakukannya tanpa petunjuk (dalil), hanya karena persangkaan atau karena ikut-ikutan, padahal perbuatannya itu adalah termasuk kesyirikan. Maka, terhapuslah amalan yang dia lakukan itu atau semua amalnya, dan akhirnya, dia akan menanggung beban yang teramat sangat berat di hadapan Allah. Sebab, syirik adalah merupakan dosa besar yang paling besar. Dan tidak akan diampuni apabila tidak bertobat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.

Kendati demikian, idealnya kita harus berusaha sekuat tenaga dan semampu kita untuk meninggalkan segala macam dosa. Karena, para ulama' mengategorikan segala macam dosa ke dalam kedzaliman. Baik itu dzalim kepada diri sendiri, atau dzalim kepada orang lain.

Adapun kedzaliman yang paling besar adalah kedzaliman dalam masalah tauhid, yaitu kedzaliman seorang hamba kepada Allah swt. Yang disebut dengan dosa itu adalah bersumber dari dua hal; meninggalkan perintah, atau mengerjakan larangan. Dan dari semua itu, perkara yang paling besar adalah yang berkaitan dengan iman dan tauhid. Perintah yang paling utama adalah tauhid, dan larangan yang paling besar adalah syirik."Ya Allah, lindungilah kami dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu, sedangkan kami mengetahuinya. Dan ampunilah kami, terhadap suatu kesyirikan yang kami tidak mengetahuinya".

Kejujuran, sebuah renungan


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. 


Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Berikut ini beberapa renungan seputar kejujuran, kami memandang penting untuk disampaikan agar ia menjadi jalan hidup orang-orang yang jujur dan perilaku orang-orang beriman. Betapa butuhnya kita untuk merenungkan aib diri kita, serta kekurangan kita dalam hal kejujuran ini. Sisi kejujuran yang begitu penting telah menjadi fenomena kelemahan manusia di masa ini, sehingga telah tersebar di kalangan mereka lawan dari sikap jujur (dusta). Maka saya (penulis) dengan rasa senang hati menyusun tulisan ini -atas izin Allah - agar menjadi bahan renungan untuk kita semua.

Alangkah bagusnya ungkapan yang menggambarkan tentang kejujuran, sebagaimana bait berikut:

Kejujuran adalah satu keharusan atasmu walaupun dirimu terbakar oleh panasnya janji. Carilah olehmu keridhaan al-Maula. Celakalah orang yang membuat murka Allah dan mencari ridho manusia.

Renungan Pertama 
(Tentang Definisi)

Kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatu sebagaimana dengan fakta. Di antaranya yaitu kata "rajulun shaduq (sangat jujur)", yang lebih mendalam maknanya daripada shadiq (jujur). 

Al-mushaddiq yakni orang yang membenarkan setiap ucapanmu, sedang ash-shiddiq ialah orang yang terus menerus membenar-kan ucapan orang, dan bisa juga orang yang selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan. 

Di dalam al-Qur'an disebutkan (tentang ibu Nabi Isa), "Dan ibunya adalah seorang”shiddiqah." (Al-Maidah: 75). 

Maksudnya ialah orang yang selalu berbuat jujur. (Lisanul Arab 10/193-194) 
Kejujuran merupakan simbol Islam dan neraca keimanan, pondasi agama, dan menjadi tanda kesempurnaan orang yang memiliki sifat ini. Ia menempati kedudukan yang tinggi di dalam agama dan dalam urusan dunia. Dengan kejujuran akan terpilah orang yang beriman dan orang munafik, terpilih penghuni surga dari penduduk neraka. Dengannya seorang hamba akan dapat meraih kedudukan al-Abrar (orang baik), dan dengannya akan men-dapatkan keselamatan dari api neraka. 
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disifati dengan "ash-shadiqul amin" (jujur dan terpercaya) , dan sifat ini telah diketahui oleh orang Quraisy sebelum beliau diutus menjadi rasul. 

Demikian pula Nabi Yusuf ’alaihis salam juga disifati dengannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, 

يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru),"Yusuf, hai orang yang amat dipercaya." (QS.Yusuf:46) 

Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu juga mendapatkan julukan "ash-shiddiq" ini. 

Ini semua menunjukkan hawa kejujuran merupakan salah satu perilaku kehidupan terpenting para rasul dan pengikut mereka. 

Dan kedudukan tertinggi sifat jujur adalah "ash-shiddiqiyah" Yakni tunduk terhadap rasul secara utuh (lahir batin) dan diiringi keikhlasan secara sempurna kepada Pengutus-Nya (Allah subhanahu wata’ala). 

Imam Ibnu Katsir berkata, "Jujur merupakan karakter yang sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar shahabat tidak pernah coba-coba melakukan kedustaan baik pada masa jahiliyah maupun setelah masuk Islam". 

Kejujuran merupakan ciri keimanan, sebagaimana pula dusta adalah ciri kemunafikan, maka barang siapa jujur dia akan beruntung. (Tafsir Ibnu Katsir 3/643) 

Renungan Kedua 
(Al-Qur'an dan Kejujuran)

Al-Qur'an menyebutkan sifat jujur dalam banyak ayat serta menganjurkan kepada kejujuran, dan bahwa ia merupakan buah dari ikhlas dan takwa. 

Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

1. Firman Allah subhanahu wata’ala, 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah:119)

Maksudnya ialah; "Jadilah kalian semua bersama dengan orang-orang yang jujur dalam ucapan mereka, dalam perbuatan dan segala keadaan mereka. Mereka adalah orang-orang yang yang ucapannya jujur, perbuatannya dan keadaannya tiada lain kecuali kejujuran semata, bebas dari kemalasan, kebosanan, selamat dari tujuan-tujuan yang buruk, dan selalu memuat keikhlasan dan niat yang baik. (Tafsir Ibnu Sa’di hal 355) 

2. Firman Allah subhanahu wata’ala,
يَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ 
"Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya." (QS. al-Ahzab:24)

Yakni mereka memperoleh semua itu dengan sebab kejujuran mereka dalam ucapan, keadaan dan interaksi mereka dengan Allah subhanahu wata’ala, serta kesesuaian mereka antara lahir dengan batinnya.( Tafsir Ibnu Sa’di hal 661) 

3. Firman Allah subhanahu wata’ala,
قَالَ اللّهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ
"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka." (QS. al-Maidah [5]:119)

Kejujuran mereka ketika di dunia akan memberikan manfaat kepada mereka di hari Kiamat. Dan tidak ada sesuatu yang bermanfaat bagi seorang hamba pada hari Kiamat serta tidak ada yang menyelamatkannya dari adzab Allah kecuali kejujuran. 

4. Firman Allah subhanahu wata’ala, 
الَّذِينَ آمَنُواْ أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِندَ رَبِّهِمْ 
"Dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (qadama shidqin) di sisi Rabb mereka." (QS.Yunus [10]:2)

Maksudnya yaitu keimanan yang benar (jujur), bahwasannya mereka kelak akan mendapatkan "qadama shidqin" yakni balasan yang tak terhingga, pahala yang amat banyak di sisi Rabb mereka dengan sebab apa yang dulu pernah mereka lakukan berupa amal shalih dan kebenaran (jujur). (Tafsir Ibnu Sa’di hal 661) 

Ibnu Abbas z berkata, "Qadama shiqin" maknanya adalah rumah kejujuran (di surga, red)," dan diriwayatkan darinya juga, "Pahala yang baik karena perbuatan mereka dahulu (di dunia) yang baik." (Al-Jami’ Liahkamil Qur’an 8/306)

5. Firman Allah subhanahu wata’ala,
وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar [39]:33)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Kejujuran saja belum cukup bagimu, bahkan merupakan keharusan untuk membenarkan (mempercayai) orang-orang yang jujur. Amat banyak manusia yang jujur namun dia menolak untuk membenarkan (mempercayai) orang lain yang jujur, entah karena sombong atau karena hasad atau selain keduanya." (Madarij as-Salikin 1/306) 

6. Allah subhanahu wata’ala menyifati Diri-Nya dengan kejujuran dan kebenaran, sebagaimana firman-Nya; 

قُلْ صَدَقَ اللّهُ فَاتَّبِعُواْ
"Katakanlah, "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah." (QS. Ali Imran[3]:95). 

Dan juga firman-Nya,
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ حَدِيثاً
"Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah."  (QS. An-Nisa' [4]:87)

7. Allah subhanahu wata’ala menyebutkan kata-kata tentang:

"qadama shidqin", "lisana shidiqin", "maq'ada shidqin" dan juga "mudkhala/mukhraja shidqin". 

Penjelasannya adalah sebagai berikut;

1. Firman Allah subhanahu wata’ala,
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُواْ أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِندَ رَبِّهِمْ
"Dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (qadama shidqin) di sisi Rabb mereka". (QS.Yunus [10]:2)

Ibnu Abbas berkata radhiyallahu ‘anhu (sebagai-mana tersebut di atas), "Makna qadama shidqin ialah rumah kejujuran, disebabkan oleh perbuatan mereka yang telah lalu (di dunia)."

2. Firman Allah subhanahu wata’ala,
وَوَهَبْنَا لَهُم مِّن رَّحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيّاً
"Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi (lisana shidqin)."  (QS. Maryam [19]:50)

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas i]radhiyallahu ‘anhu, bahwa makna firman Allah "lisana shidqin" adalah pujian-pujian yang baik.

3. Firman Allah subhanahu wata’ala,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍفِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi (maq'adi shidqin) di sisi (Rabb) Yang Maha Berkuasa.”  (QS. Al-Qamar [54]:54-55)

Makna "maq'adi shidqin" yaitu majlis (tempat duduk) yang haq yang tidak ada kesia-siaan dan ucapan kotor di dalamnya yakni surga. (Al-Jami’liahkam Al-Qur’an 17/150)

4. Firman Allah subhanahu wata’ala, 
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ
Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar"  (QS. Al-Israa' [17]: 80) 

Artinya adalah "Jadikan permulaan (mulai) dan pengakhiran (selesai) dari segala sesuatu adalah dalam rangka ketaatan kepada-Mu, dan dalam keridhaan-Mu." Ini disebabkan karena memuat keikhlasan dan kesesuaian dengan apa yang diperintahkan. (Tafsir Ibnu Sa’di hal 465) 

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Kelima macam ini (yang tersebut di atas, red) merupakan hakikat kejujuran, yaitu kebenaran yang berkesinambungan, terhubung dengan Allah subhanahu wata’ala dan sampai kepada-Nya, yaitu segala sesuatu yang sesuai dengan perintah Allah dan dilakukan karena-Nya berupa ucapan dan perbuatan.” 

Maka balasan dari semua itu di dunia dan di akhirat adalah (taufik untuk) masuk (mulai) perbuatan dengan benar dan keluar (selesai) darinya dengan benar, yaitu dari awal hingga akhirnya adalah haq, eksist, dan dengan petunjuk Allah serta dalam rangka mencari keridhaan-Nya. (Madarij as-Salikin 2/270). Wallahu a'lam.



Sumber: Majalah “Al Jundi Al Muslim” No.121 Ramadhan 1420, oleh Syaikh Sulthan Fuad Al-Thubaisyi. bagian ke 1 dari 4 edisi.

Thursday, September 23, 2010

Berkhidmat pada Suami


Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassallam beserta keluarga, para Shahabat, para tabi'in, tabi'ut tabi'in dan para penerus perjuangan Beliau hingga akhir zaman.


Para Muslimah yang budiman,
Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?

Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu.

Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. 

Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.

Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu 'anhu, suaminya. 

Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh (= 8km).” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)

Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. 

Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya padaku: “Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?” “Sudah,” jawabku. “Dengan gadis atau janda?” tanya beliau. “Dengan janda,” jawabku. “Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau. “Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)

Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya: “Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?” “Iya,” jawabku. “Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau. “Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku. “Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)

Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu 'anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumah?”

Aisyah radhiallahu 'anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)

Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu 'anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[Dari: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah | www.asysyariah.com]

Beberapa Adab dalam ajaran Islam


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya adab-adab yang mulia. Adab-adab yang akan menjadi sebab semakin baiknya perilaku serta memperindah penampilan setiap hamba yang mengamalkannya.

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers