Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, November 21, 2020

Imam Al Ghazali, 5 Langkah menjadi Awam yang baik sekaligus Sufi yang baik


Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan pendek yang menjadi pokok-pokok dalam tasawuf. Ia menyebutkan Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf.

Dua pilar utama tasawuf ini disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad untuk mengenalkan dunia tasawuf dan sufi kepada anak-anak. Dua ajaran pokok dalam tasawuf ini disampaikan dengan bahasa singkat dan sederhana agar mudah dimengerti kalangan anak-anak.

Meski demikian, bobot penjelasan singkat ini cukup bermanfaat juga bagi orang dewasa. Pasalnya penjelasan singkat dan sederhana ini tidak mengurangi substansi tasawuf. Penjelasan sederhana itu berbunyi sebagai berikut:

ثم اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي
“Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah bersama Allah SWT, berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,” [Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad (Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: 2005), halaman 15].

Bagi Imam Al-Ghazali, upaya menemukan inti dari tasawuf tidak sulit. Pasalnya, ia memahami benar apa yang dia bicarakan berpanjang-panjang selama ini dalam semua karyanya, terutama Ihya Ulumiddin.

Istiqamah bersama Allah baik secara lahir dan batin menuntut kebulatan hati dan kesatuan perbuatan yang sesuai garis agama Islam. Sedangkan interaksi secara baik dengan empati terhadap makhluk-Nya merupakan sisi lain tasawuf yang sulit dipisahkan dari yang pertama, yaitu istiqamah.

Tasawuf bukan semata persoalan lahiriah yaitu soal jubah, serban, biji tasbih, rida hijau yang diselempangkan di bahu, berjenggot, bertongkat, menunjukkan lafal tauhid, memotong celana hingga di atas mata kaki, mengubah ejaan menjadi lebih islami dalam media sosial, atau soal kekuatan ghaib akrobatik dengan pelbagai kecenderungan khariqul adat.

Tasawuf, bagi Imam Al-Ghazali, juga bukan fenomena hijrah lalu dipahami secara sempit sebagai tindakan meninggalkan aktivitas yang dianggap tidak islami atau uzlah menjauhi manusia dan pelbagai aktivitas yang dipersangkakan haram.

Imam Al-Ghazali menggariskan bahwa orang yang menjaga perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar secarta lahir batin adalah seorang Sufi.

Dengan pengertian sederhana ini, setiap orang dapat menjadi atau menyandang status sufi tanpa harus mengubah penampilan dan meninggalkan aktivitas keseharian yang telah dijalani selama ini selagi tidak melanggar syariat.

Tentang kebaikan masyarakat, kebaikan umat Islam.
Dalam “Iljamul awam al-ilmi al-kalam” Imam Ghazali mengajak kita untuk membiasakan bercermin diri. Introspeksi diri sampai kita sadar betapa awamnya kita. Yang dimaksud awam adalah menyadari bahwa hal tersebut bukan bidangnya. Alias, seseorang mengakui tidak memahami tentang sesuatu. Bisa jadi seseorang ahli di teknik dan awam di bidang kesehatan, ahli pertanian namun awam di bidang pendidikan.

Pemikiran ini merupakan anti-tesis dari pemikiran barat yang selalu menuntut menjadi profesional. Namun Imam Ghazali mengajak untuk menjadi awam yang baik. Menjadi orang awam yang tidak sadar akan keawamannya akan memperkeruh permasalah di masyarakat.
Kini, banyak sekali orang, terutama di dunia maya, berbicara mengenai politik, ekonomi hingga tafsir Al-Qur’an seolah-olah dirinya seorang ahli dalam bidang tersebut. Ini yang sudah sejak sedari dahulu kala menjadi peringatan imam Ghazali lewat tulisan-tulisannya.
Imam al-Ghazali menjelaskan 5 langkah menjadi awam yang baik yaitu:

1. Taqdis (Menyucikan diri)
Seorang Muslim dalam agama pasrahkan segala sesuatu pada Allah saja.

2. Al-’iman wa tasdiq (beriman dan percaya)
Seorang Muslim percaya dan membenarkan, sebagaimana ketika kita sakit dan pergi ke dokter maka kita harus manut dengan anjuran dan resep dokter tanpa perlu berdebat dan mencari dalil jika ingin sembuh dari penyakitnya.

3. Al-i’tiraf bi al-Ajri (mengakui kelemahan)
Seorang Muslim sadari kelemahan diri bahwa ternyata saya tidak ahli dalam masalah ini, jujurlah terhadap diri bahwa bukan ahlinya dalam bidang tersebut.

4. Al-sukut ‘an su’al (tidak mempertanyakan)
Seorang Muslim jangan cerewet terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui, bertanya boleh namun secukupnya.

5. Al-imsak ‘an tsarruf fi al-alfad (menahan diri untuk ‘menggarap’ nash yang tidak dipahami).

Dari lima pokok pentingnya ini, kita dapat belajar bagaimana mengendalikan diri kita, sebelum mengkritik misal “pemimpin sekarang tidak ada yang tak baik,”.

Kita seharusnya dapat mengambil pelajaran di dalam shalat berjamaah. Betapa repot dan beratnya menjadi imam. Bila ada salah satu makmum yang tidak suka dengan imam satu, itu sudah menggugurkan hakikat shalat.

[Catatan dari Ngopi Bareng]

Monday, August 31, 2020

Eskatologi Islam

Eskatologi Islam

Eskatologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan setelah mati dialam akhirat dan al-Qiyāmah "Pengadilan Terakhir". Eskatologi sangat berhubungan dengan salah satu aqidah Islam, yaitu meyakini adanya hari akhir, kematian, kebangkitan (Yawm al-Qiyāmah), mahsyar, pengadilan akhir, surga, neraka, dan keputusan seluruh nasib umat manusia dan lainnya.

Umat muslim meyakini bahwa kehancuran dunia terjadi di mana orang-orang beriman sudah tidak ada lagi dimuka bumi, yang tersisa hanya orang-orang jahat yang kembali dalam kondisi zaman jahiliyah. Kemudian terjadinya hari kiamat tersebut dikatakan akan terjadi pada hari Jum'at. Kiamat dikatakan tidak akan terjadi hingga tidak ada lagi manusia yang menyebut nama Allah.

Seperti agama Abrahamik lainnya, Islam mengajarkan tentang kebangkitan para makhluk yang telah mati, sebagai salah satu rencana penyelesaian dari semua penciptaan Tuhan dan kekekalan dari roh-roh para makhluk. Bagi orang yang beriman akan dihadiahkan oleh Allah sebuah surga sementara bagi orang yang tidak beriman maka akan dihukum di masukan kedalam neraka.

Fase kehidupan manusia dan jin

Dalam fase kehidupan, manusia dan jin telah dan akan melewati beberapa alam kehidupan, kemudian di dalam alam terakhir-lah yang dianggap sebagai kehidupan alam yang abadi (kekal). Menurut syariat Islam, alam tersebut di antaranya adalah:
  • Alam ruh, alam di mana sebelum jasad manusia dan jin diciptakan.
  • Alam rahim, alam kandungan ibu tempat menyempurnakan jasad manusia dan penentuan kadar nasib kita didunia seperti hidup, rezeki, kapan dan di mana kita meninggal.
  • Alam dunia, alam tempat ujian bagi manusia, siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya.
  • Alam kubur, alam tempat menyimpan amal manusia, di alam ini Allah menyediakan dua keadaan, nikmat atau azab kubur.
  • Alam akhirat, alam tempat pembalasan amal-amal seluruh makhluk-Nya, di alam ini Allah menentukan keputusan dua tempat untuk manusia, apakah ia akan menghuni surga atau menghuni neraka.

Rahasia Allah

Tentang datangnya hari Kiamat, menurut syariat Islam maka tidak ada seorang pun yang mengetahui, baik malaikat, nabi, maupun rasul, masalah ini adalah perkara yang ghaib dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Muhammad yang shahih. Allah berfirman:

Juga dalam firman-Nya:

Muhammad pernah ditanya oleh Malaikat Jibril yang datang dalam wujud seorang Arab Badui, kemudian Jibril bertanya tentang kapan akan terjadinya hari kiamat, Jibril bertanya: "Kabarkanlah kepadaku, kapan terjadi Kiamat?" Kemudian Muhammad menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya."

Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah memberitahukan kepada Rasul-Nya tentang tanda-tanda Kiamat tersebut. Kemudian Muhammad menyampaikan kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat. Para ulama membaginya menjadi dua:
  • Tanda-tanda kecil
  • Tanda-tanda besar.
Muhammad telah bersabda,” Hari kiamat itu mempunyai tanda, bermulanya dengan tidak laris jualan di pasar, sedikit saja hujan dan begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan. Ghibah menjadi-jadi di merata-rata, memakan riba, banyaknya anak-anak hasil perzinahan, orang kaya diagung-agungkan, orang-orang fasik akan bersuara lantang di masjid, para ahli mungkar lebih banyak menonjol dari ahli haq”.

Beberapa hadist lain juga menjelaskan tentang datangnya hari kiamat ini, hari kiamat tidak akan terjadi sebelum bangsa Arab dipimpin oleh seseorang dari keluarga Muhammad dan memiliki nama yang sama.

Dikatakan pula dalam banyak hadits-hadits, menunjukkan bahwa peradaban besar yang telah menciptakan kekuatan dan senjata dahsyat akan hilang. Dugaan kuat adalah habisnya sumber daya alam dan mereka akan saling bertempur dan hancur. Kemudian manusia akan kembali seperti semula, berperang diatas kuda dengan menggunakan pedang, tombak, tameng, zirah dan sejenisnya.

Tanda-tanda Hari Penghakiman

Pertanda kecil

Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama dan kejadiannya biasa, seperti dicabutnya ilmu, dominannya kebodohan, minum khamr, berlomba-lomba dalam membangun, dan lain-lain. Terkadang sebagiannya muncul menyertai tanda kiamat besar atau bahkan sesudahnya.

Pertanda hari kiamat telah di sampaikan oleh Nabi Muhammad sekitar 1400 tahun yang lalu, dibawah adalah pertanda hari penghakiman yang dikutip dari Harun Yahya dan lainnya, berdasarkan hadits shahih.
  • Diutus dan wafatnya Nabi Muhammad.
  • Terbelahnya bulan pada masa penyebaran Islam.
  • Api dari tanah Hijaz yang menerangi punuk-punuk unta.
  • Terhapusnya jizyah dan pajak.
  • Munculnya Khawarij.
  • Penggembala menjadi kaya.
  • Dicabutnya nikmat waktu, maka waktu berputar serasa lebih cepat.
  • Banyaknya kaum wanita dan sedikitnya kaum pria.
  • Baitul Maqdis dikuasai umat Islam.
  • Perang antara Yahudi dan Islam.
  • Jazirah Arab kembali penuh dengan kebun-kebun & sungai-sungai.
  • Sungai Efrat mengeluarkan bukit emas.
  • Banyak terjadi al Harj yaitu pembunuhan massal.
  • Penghancuran kota-kota besar oleh tangan manusia (akibat perang) dan peristiwa alamiah.
  • Kehancuran nilai moral
  • Perzinahan dilakukan secara terbuka dan bebas,
  • Pengingkaran terhadap agama
  • Agama sebagai simbol atau tameng untuk kepentingan pribadi,
  • Umat Islam berlomba membangun memperindah masjid dan membangga-banggakannya, padahal nabi tidak pernah memerintahkan untuk bermegah-megah dalam membangun masjid,
  • Umat Islam banyak membaca Al Qur'an tetapi tidak mengamalkannya dengan benar dan menentang hadist dan sunnah,
  • Kemusyrikan merajalela dikalangan umat Islam dan mempercayai ramalan rasi bintang,
  • Mengingkari qadar (takdir atau ketetapan Allah).
  • Kehancuran tatanan masyarakat/ dominannya fitnah.
    • Disia-siakannya amanat/ segala urusan ditangani oleh yang bukan ahlinya,
    • Menyebarnya riba dan harta haram,
    • Kecurangan/ banyak penguasa dan polisi kezhaliman,
    • Ketergantungan pada obat bius dan minuman keras.
    • Penyanyi wanita dan alat-alat musik menjadi populer dan musik dianggap hal biasa oleh umat Islam
    • Orang berlomba-lomba membangun gedung-gedung pencakar langit,

Pertanda besar

Tanda kiamat besar adalah perkara yang sangat besar yang muncul di mana kiamat sudah sangat dekat sekali, kemunculannya tidak biasa terjadi dan mayoritas tanda-tandanya belum muncul, seperti muncul Dajjal, Nabi Isa, Ya’juj dan Ma’juj, terbit matahari dari Barat, dan lain-lain.

Hudzaifah bin Arsyad al-Ghifari berkata, sewaktu kami sedang berbincang, tiba-tiba datang Nabi Muhammad kepada kami lalu bertanya, “Apakah yang kamu semua sedang bincangkan?” Lalu kami menjawab, “Kami sedang membincangkan tentang hari Kiamat.” Muhammad bersabda: “Sesungguhnya kiamat itu tidak akan terjadi sebelum kamu melihat sepuluh tanda.

Kesepuluh tanda besar yang telah diucapkan oleh Muhammad adalah sebagai berikut:
Kemudian tanda-tanda yang lainnya adalah sebagai berikut:

Perbedaan antara pertanda kiamat kecil dan besar

Perbedaan antara tanda-tanda kiamat kecil dan kiamat besar adalah sebagai berikut:
  • Tanda-tanda kiamat kecil secara umum datang lebih dahulu dari tanda-tanda kiamat besar.
  • Tanda-tanda kiamat kecil sebagiannya sudah terjadi, sebagiannya sedang terjadi dan sebagiannya akan terjadi. Sedangkan tanda-tanda kiamat besar belum terjadi.
  • Tanda kiamat kecil bersifat biasa dan tanda kiamat besar bersifat luar biasa.
  • Tanda kiamat kecil berupa peringatan agar manusia sadar dan bertaubat. Sedangkan kiamat besar jika sudah datang, maka tertutup pintu taubat.
  • Tanda-tanda kiamat besar jika muncul satu tanda, maka akan diikuti tanda-tanda yang lainnya, dan yang pertama muncul adalah terbitnya matahari dari Barat.

Peniupan sangkakala

Ketika saatnya tiba yaitu pada hari kiamat, atas perintah Allah maka sangkakala akan ditiup oleh Israfil dalam tiga kala, yaitu tiupan:
Nafkhatul Faza' (Mengagetkan, menakutkan, menghancurkan),
Tiupan dahsyat yang pertama akan menggemparkan seluruh makhluk hidup. Allah memerintahkan Israfil memperpanjang tiupan itu tanpa berhenti. Maka gunung-gunung akan bergerak seperti
awan, lalu luluh-lantak. Bumi berguncang hebat, penghuninya bagaikan anai-anai yang beterbangan, planet akan saling bertabrakan. Semua ciptaan-Nya di alam semesta hancur lebur.
Nafkhatus Sha'iq (Mematikan),
Jibril, Mikail, Israfil dan Hamalatul 'Arsy dimatikan oleh Allah. Malaikat terakhir yang dimatikan oleh Allah ialah 'Izrail sang Malaikat Maut. Sejak itu tak ada lagi yang hidup, kecuali Allah yang Maha Ahad, Maha Mengalahkan, Maha Sendiri, Tempat bergantung semua makhluk, Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dialah yang Maha Awal dan Maha Akhir.
Nafkhatul Ba'ats/Qiyam (Menghidupkan kembali atau membangkitkan)
Miliaran manusia sejak Adam hingga manusia yang hidup terakhir kali saat alam semesta dihancurkan, mereka menunggu giliran diadili satu per satu di mahsyar, tak ada naungan dan perlindungan selain dari diri-Nya pada hari itu. Menurut ajaran Islam lama waktu menunggu itu 50.000 tahun akhirat.
Jarak antara tiupan pertama dan selanjutnya dikatakan sejarak empat puluh (tidak dijelaskan lebih rinci berupa sejumlah hari, bulan atau tahun).

Alam Baqa

Setelah kesemua alam semesta hancur dan makhluk mati, kemudian Allah menghidupkan kembali para umatnya untuk dikumpulkan dan diadili. Kesemua proses penciptaan sampai dengan penghancuran telah selesai, yang telah di tulis kesemuanya dalam Lauh Mahfuzh.

Yawm al-Qiyāmah
Yawm al-Mahsyar

Titian Jahannam

Kembali ke Eskatologi Islam


Sunday, August 30, 2020

Menghapal, Tradisi Keilmuan Peradaban Islam

Budaya Arab pra-kenabian melazimkan predikat aib kepada seseorang yang belajar dengan menuliskannya. Konon pernah terjadi, seseorang yang tepergok mencatat suatu hal, memohon-mohon agar apa yang dilakukannya itu dirahasiakan dari telinga siapapun. Malunya sampai tulang sumsum. Mengapa bisa seserius itu? Sebab simbol kecerdasan saat itu adalah hafalan. Sedangkan menulis adalah aktivitas orang-orang yang lemah potensi akal.

Budaya Arab pra-kenabian mengawinkan simbol kecerdasan (menghafal) itu dengan agungnya kedudukan syair pada zamannya. Sampai-sampai, al-Quran diturunkan dengan unsur keindahan bahasa untuk menggodamnya. Mengabadikan syair dengan cara mencatatnya bagi masyarakat Arab saat itu adalah kehinaan. Karena itu dianggaplah aib.

Andaikata Benjamin S. Bloom sudah hidup pada zaman tersebut, barangkali masyarakat Arab akan tergelak, sebelum kemudian tersedak. Sebabnya, ternyata Bloom sama-sama mengkategorikan aktivitas menghafal dan menulis ke dalam kolom C1 pada tabel Kata Kerja Operasional (KKO) Pengetahuan. Kita tahu, taksonomi Bloom menyebut urutan pengetahuan dimulai dari C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (mengaplikasikan), C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan C6 (menciptakan).

Setelah Nabi diutus di Mekkah lalu hijrah ke Madinah, beliau Saw. membangun institusi pendidikan tinggi pertama dalam Islam, As-Suffah, yang mencakup pembelajaran menulis selain tentu saja menghafal Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman. Selain itu juga berdiri Kuttab sebagai institusi pendidikan dasar. Aktivitasnya juga seputar menghafal dan menulis di level anak-anak. Kuttab sendiri sebenarnya ada sejak sebelum Nabi diutus, tetapi belum luas dikenal.

Menghafal, meski kata kerja tersebut berada di urutan pertama taksonomi, ia adalah pondasi. Tak perlu ilmuwan Timur untuk membuat pengakuan itu. Intelektual Barat seperti George A. Makdisi pun membenarkannya. George mengulas cukup detail budaya intelektual zaman pertengahan Islam dalam karya megahnya The Rise of Colleges dan The Rise of Humanism. Kata George, hafalan memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu humaniora (kemanusiaan) hingga skolastik (dialektika) di zaman pertengahan Islam.

Setahun setelah Rasulullah Saw. wafat, melalui rekomendasi Umar, Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkan suhuf (lembaran) al-Quran yang berserakan. Dengan pertimbangan para penghafal al-Quran kian langka akibat peperangan. Kelak pada zaman Khalifah Utsman, al-Quran dikodifikasikan secara utuh dan diresmikan.

Orientalis meragukan otentisitas hasil kelanjutan kerja itu. Menurut mereka, selisih 15 tahun setelah wafatnya Nabi, pendistribusian naskah al-Quran ke pelbagai wilayah Dunia Islam memungkinkan terjadi kesalahan dan pemalsuan teks. Meskipun paradoksnya, ilmuwan Bible menganggap otentik kitab Perjanjian Lama yang ditulis setelah rentang waktu delapan abad lamanya. Itupun dengan metode transmisi lisan yang masih dipertanyakan.

Prof. Mushtafa al-Azhami menjawab telak tuduhan itu dalam magnum opusnya, The History of The Quranic Text. Periode awal Islam telah berjalan tradisi hafalan al-Quran berikut naskah yang dituliskan. Naskah tersebut sifatnya sebagai alat bantu, sehingga jika pun terdapat ketidaklengkapan naskah, sama sekali tidak berpengaruh pada otentisitas teks al-Quran. Sebab keotentikan al-Quran terjaga dalam tradisi hafalan. Al-Azhami juga menyatakan, praktik yang telah mapan sejak lahirnya literatur keislaman, memberikan isyarat bahwa setiap teks keagamaan transmisinya hanya dapat dilakukan dengan cara bertatap muka kepada guru (penulis buku). Demikian tradisi itu dianak-turunkan menjadi sanad keilmuan.

Lantas, dengan argumentasi itu apakah saya hendak menyebut hafalan sebagai pencapaian pendidikan? Tentu saja tidak. Tugas utama pelajar bukan untuk menghafal, meski seluruh pelajar membutuhkan proses itu. Otak pelajar bukanlah hard disk yang hanya berfungsi sebagai penyimpan sejumlah data. Otak pelajar bahkan harus melebihi kecerdasan fungsi algoritma mesin pencarian.

Karenanya, tradisi hafalan al-Quran pun sesungguhnya (sekaligus seharusnya), bukan ditujukan untuk hafalan itu sendiri. Melainkan untuk menjaga Kalamullah agar tidak musnah di muka bumi. Demikian itu sekaligus menjadi wujud penjagaan Allah terhadap al-Quran. Hafalan al-Quran juga sebetulnya sebagai sarana agar seseorang dapat senantiasa membersamainya, mentadaburinya, hingga mengamalkannya.

Maka wajar, Sayyid Quthb dalam Ma’alim fi ath-Thariq-nya berujar,
“Tak seorang pun sahabat mempelajari al-Quran untuk memperkaya perbendaharaan tradisi semata, tidak pula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyah pada konklusi al-Quran yang disimpulkan berdasarkan pendapat pribadinya. Akan tetapi, para sahabat mempelajari al-Quran untuk mendalami firman Allah, berkenaan dengan masalah pribadi dan persoalan bersama –yang mereka terlibat di dalamnya, serta kondisi lingkungan yang menjadi ajang aktifitas mereka.”
Lebih tegas Sayyid Quthb menambahkan, “Al-Quran tidaklah hadir sebagai sebuah kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi kitab dongeng dan sejarah –meskipun semua itu tercakup di dalamnya. Akan tetapi, al-Quran turun untuk menjadi jalan hidup dan sebagai petunjuk Ilahi yang suci.”

Pertanyaan finalnya kemudian, pentingkah menghafal dalam pendidikan? Jawabannya ada pada meme-anekdot yang akhir-akhir ini bertebaran di lini masa, yaitu kesalahan menyebut nama-nama ikan bisa berbuah fatal. Namun, meskipun begitu, menghafal tetap saja berada di step yang pertama, dan bukan yang utama. Ia dapat dikategorikan sebagai pondasi awal, sebelum kemudian naik pada tingkatan yang lebih tinggi dalam skema taksonomi pengetahuan.

Justru masalahnya adalah, ketika hari ini secara asbun banyak orang yang menuntut akselerasi kompetensi. Mengharap pelajar segera mampu menganalisis bahkan menciptakan karya besar tanpa mematangkan step-step awal yang harus dilalui. Alhasil, mereka menjadi ilmuwan setengah jadi yang mudah melakukan mal praktek, kehilangan adab, keseringan trial and error, bahkan pada lingkup ilmu agama mudah mengeluarkan fatwa yang menyesatkan. Sebab tidak cukup mumpuni ilmu dasar yang dikuasai.

Pernah suatu ketika, seorang tokoh mempertanyakan secara sarkas hubungan antara hafizh al-Quran dengan penerimaannya di fakultas kedokteran tanpa tes. Memangnya, apa istimewanya? Sekurang-kurangnya harus diakui, hafalnya seseorang 114 surat ke dalam kepalanya membuktikan bahwa ia memiliki modal kapasitas kecerdasan, serta bukti stamina belajarnya yang prima. Bukankah tes regular masuk S1 kedokteran juga menuntut passing grade tinggi mata pelajaran yang tidak seluruhnya (bahkan tidak mayoritasnya) berhubungan dengan kedokteran?

Karena itu, di tengah gemuruhnya pro-kontra konsep pendidikan yang terjadi, kembalikan pelajar pada fitrahnya. Arahkan niat yang cermat, lakukan step yang tepat, tanpa mengkorupsi tahapan dan pengajaran hanya demi tercapainya obsesi yang masih tergambar abstrak. Diagnosa masalah harus berlaku fair, sehingga mampu melihat variabelnya secara detail. Agar tidak berlaku generalisir resep obat yang harus digeruskan. Semoga pendidikan kita kian membaik. Semoga pendidikan ke depan dapat menjadi tonggak bangkitnya peradaban. Kemuliaan agama Islam. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

[Ahsan Hakim, M.Pdi | VOA Islam ]

Friday, June 12, 2020

Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk


Sabda Rasulullah SAW,

"Jika dari dirimu tidak lahir amal perbuatan yang di situ ada noda dan dosa, Allah SWT akan menciptakan manusia yang berbuat salah agar mereka bisa berdosa dan melakukan kesalahan. Dan lantas memohon ampun atas dosa itu, menjadikan sifat dari Zat Yang Maha Pemaaf termanifestasikan.”  [Dikutip oleh Abdurrrahman Jami’ dalam Naqd An-Nushuh hal 71-72].

Dalam artikel-artikel terdahulu dijelaskan apa itu potensi wujud yang biasa disebut Entitas Tetap (Al-A’yan ats-Tsabitah) dengan tingkatan-tingkatannya dari martabat Ahadiyyah sampai Wahidiyyah.

Dari uraian-uraian tersebut dapat dikesankan semakin tinggi level wujud, semakin rumit untuk dipahami. Dan semakin rendah level itu, semakin mudah dipahami.

Namun, sulit kita membayangkan adanya pemahaman utuh terhadap Sang Khalik dan makhluk-Nya tanpa memahami level-level tersebut. Bahkan, menurut kalangan arifin, memahami level-level ini salah satu inti dari makrifat.

Tidak gampang memahami garis pemisah antara Sang Khalik dan makhluk-Nya. Ibaratnya kita akan membedakan antara sumber cahaya dan cahayanya atau antara laut dan ombaknya serta antara wujud dalam cermin dengan objek di depan cermin. Mungkin inilah sebabnya mengapa Ibnu Arabi enggan menggunakan istilah Khalik dan makhluk.

Sebaliknya, dia lebih memilih menggunakan istilah Al-Haq untuk Allah SWT dan al-khalq untuk hamba dan makhluk-Nya. Berawal dari Zat Yang Maha Agung yang biasa disebut Ghaib al-Ghuyub atau Haqiqat al-Haqiqah, yang bermanifestasi melalui proses al-faiddh al-muqaddas maka terwujudlah Al-A’yan ats-Tsabitah.

Di sana dikenal adanya wujud potensial berupa nama-nama (al-Asma’) dan sifat-sifat (al-Aushaf), kemudian bermanifestasi menjadi wujud konkret atau wujud aktual (al-A’yan al-kharijiyyah). Disebut al-A’yan al-kharijiyyah karena sudah keluar dari level al-A’yan ats-Tsabitah dan sudah menjadi awal dari makhluk yang diistilahkan oleh Ibnu Arabi sebagai al-khalq.

Perbedaan antara al-shifat dan al-ism yang ada dalam level Al-A’yan ats-Tsabitah tidak begitu jelas karena keduanya masih merupakan satu kesatuan utuh. Al-Shifat lebih merupakan bentuk dan kualitas manifestasi, sedangkan al-Ism menjadi substansi dari bentuk manifestasi itu.

Sebagai contoh, sifat kekuasaan (al-qudrah) menjadi Al-Qadir, yaitu nama Tuhan yang terhimpun di dalam Al-Asma’ Al-Husna. Contoh lain sifat kasih sayang (al-Rahmah) menjadi Al-Rahman dan Al-Rahim, yaitu nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang juga menjadi bagian dari Al-Asma’ Al-Husna.

Nama (al-Isma) identik dan representasi dari yang diberi nama (al-Musamma). Di mana ada nama, di situ ada yang dinamai. Nama-nama Tuhan dalam al-Asma’ al-Husna tentu bukan hanya sebutan, melainkan sekaligus manifestasi dari yang dinamai. Nama-nama itu adalah refleksi dari objek yang dinamai atau diberi nama.

Ibnu Arabi mengumpamakan seperti ada sebuah cermin yang merefleksikan semua objek yang ada di hadapannya.

Ibarat bunga yang berwarna-warni maka berbagai bunga dan warna-warni itu direfleksikan secara persis di dalam cermin itu. Namun, kembang warna-warni di dalam cermin tidak sama dengan asli kembang warna-warni di depan cermin.

Yang di dalam cermin adalah wujud kamuflase dan yang di depan cermin itulah wujud hakiki. Entitas-entitas (al-a’yan) yang mempunyai potensi untuk bermanifestasi dikenal mempunyai dua macam. Ada yang mungkin bermanifestasi ke dalam wujud kharijiyyah, yaitu aspek batin yang tidak bertentangan dengan aspek lahiriyah disebut aspek al-Mumkinat.

Sementara itu, yang tidak termanifestasi ke dalam wujud kharijiyyah itulah yang disebut dengan aspek al-Mumtani’at. Contoh entitas yang masuk kategori al-Mumkinat ialah sifat rahmah kemudian diberi nama Al-Rahman atau Al-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang), sedangkan contoh yang termasuk al-Mumtani’at ialah Dia Yang Pertama (Al-Awwal) dan Dia juga Yang Terakhir (Al-Akhir), Dia Yang Maha Dhahir (al-Dhahir), dan Dia juga Yang Maha Bathin (Al-Bathin).

Yang terakhir ini disebut al-Mumtani’at karena merupakan forms Al-Asma’ Al-Gaibiyyah yang ekslusif di dalam Haqiqat Ilahiyyah (Divine Realities) dan tidak bisa bermanifestasi ke dalam dunia lahiriyah (al-wujud al-khariji). Semua Hakikat Ilahiyyah tidak akan pernah bakal berwujud konkret selama-lamanya. Namun, dari segi madzahirnya dapat berwujud (maujud) di level aktual (khariji).

Oleh karena setiap al-Shifat dan al-Ism masing-masing menuntut manifestasi, tak terhindarkan lahirnya berbagai manifestasi (al-katsrah/multiplicity). Dari sinilah wujud potensial bermanifestasi menjadi wujud aktual atau wujud konkret, seperti berbagai lapisan alam yang dikenal dengan alam Jabarut, Malakut, Barzakh, Syahadah, atau alam Mulk.

Dari sini juga dipahami bahwa batas dan jarak antara Tuhan dan alam dalam arti apa-apa selain Allah (ma siwa Allah) teramat dekat, bahkan Alquran sendiri menyebutnya dengan wa Nahnu aqrabu ilaihi min habl al-warid (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya) (QS. Qaf: 16).

Pertanyaan lebih mendasar dan sering diperdebatkan para teolog, yaitu bagaimana posisi Al-Quran?

Apakah Alquran sebagai wahyu tetap sebagai bagian dari atau dalam lingkup al-A’yan ats-Tsabitah atau bagian dari al-A’yan al-Kharijiyyah, atau dimensi al-Kalam al-Dzati masuk di dalam al-A’yan ats-Tsabitah dan dimensi al-Kalam al-Lafdzi-nya masuk ke dalam al-A’yan al-Kharijiyyah?

Kalangan Mu’tazilah beranggapan Alquran itu baharu dalam pengertian mungkin memasukkannya di dalam al-A’yan al-Kharijiyyah. Seperti kita ketahui, kaum Mu’tazilah sangat konsisten mempertahankan keabadian tunggal Allah.

Mereka tidak mau mengakui adanya keabadian ganda (al-ta’addud al-qudama) karena hal itu bertentangan dengan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Allahu Ahad), bukannya Allahu Wahid yang masih membuka adanya peluang kedua (itsnan), ketiga (tsalatsah), dan seterusnya.

Berbeda dengan ulama Sunni lainnya, khususnya ulama tasawuf, yang masih menganggap adanya al-A’yan ats-Tsabitah yang di dalamnya ada Ism dan Shifat, termasuk Alquran sebagai Kalam Allah, yang bisa dipahami adanya keabadian ganda menurut kaum Mu’tazilah. Pembahasan posisi wahyu Alquran nanti dibahas ketika kita membicarakan Maqam Nubuwwah dan Risalah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batas antara Khalik dan makhluk atau Al-Haq dan al-khalq ialah di luar garis batas al-A’yan ats-Tsabitah. Sekalipun al-A’yan al-Kharijiyyah masih sangat tipis jaraknya dengan Al-A’yan ats-Tsabitah, tetapi ia sudah masuk di level alam atau makhluk.


[Prof Dr Nasaruddin Umar]

Thursday, June 11, 2020

Relasi Tuhan dan Hamba


Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin.

Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).

Tuhan adalah asal-usul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada-Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini sesungguhnya siapa?

Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka 2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya.

Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?

Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba.

Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" (similarity in uncomparability).

Allah SWT dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada satu pun setara dengannya". Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya dengan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rabb) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.

Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.

Dalam konteks ini seolah-olah kalangan dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog—beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya.

Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa Alim (subjek yang mengetahui).

Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya Alim tanpa ada ma'lum?

Alasan para sufi berpendapat demikian, karena bukankah nama-nama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri?

Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu.

Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya?

Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu.

Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin.

Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh.

Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).

Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin.

Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan dengan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai hamba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.

Allah sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal.

Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.

Allah sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya.

Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugerah (isti'anah).


[Prof Dr Nasaruddin Umar]

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers