Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Wednesday, December 2, 2009

Kehidupan Setelah Mati

Mungkin sebagian kita masih meragukan tentang kehidupan setelah mati, bagaimana caranya Allah SWT mengembalikan tubuh kita yang telah hancur di dalam tanah serta mengembalikan ruh (yang dicabut dari tubuh saat kematian) bersatu kembali dengan tubuh kita. Sementara itu, betapa banyak pula manusia yang sangat ketakutan menghadapi kematian sehingga berharap dapat hidup selamanya untuk menikmati dunia dan segenap isinya.

Kehidupan setelah mati adalah hal yang mudah bagi Allah SWT, semudah Allah SWT menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada. Dalam kehidupan dunia pun kita bisa membuktikan adanya kebangkitan. Jika hidup di negara yang mengalami pergantian 4 musim, maka dapat kita saksikan tumbuh-tumbuhan yang tadinya subur menjadi layu (kuning), lalu berguguran dan pada akhirnya membeku di musim salju (bagaikan pohon yang mati). Saat musim semi tiba udara menjadi hangat, dedaunan mulai tumbuh, kuncup bunga berkembang dan rerumputan pun tumbuh subur kembali.

"DIAlah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu ke suatu negeri yang mati, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu." (Qs. Faathir [35]: 9).

"Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-NYA, kamu melihat bumi itu kering tandus. Maka apabila Kami turunkan hujan pada permukaannya ia berubah menjadi subur. Sesungguhnya Tuhan yang Maha menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati. Sesungguhnya DIA Maha berkuasa atas segala sesuatu." (Qs. Fushshilat [41]: 39).

Seorang Badui memungut sekerat tulang, dan menantang Muhammad saw: “Hai Muhammad, siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”

Allah menjawab dengan firmanNYA,

"(Dan) Dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kejadiannya. Ia katakan: “Siapa pula yang sanggup menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh itu?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Tahu tentang segala makhluk.” (Qs. Yaasiin [36]: 78-79).

Sangat mudah bagi Allah SWT menggabungkan kembali ciptaannya yang telah hancur, sedangkan dari yang tiada bisa ia ciptakan menjadi ada yakni bumi, langit dan seisinya.

Saat jabang bayi dalam kandungan lebih kurang selama 9 bulan, ia akan mengalami masa kegelapan, hidup didalam air dan tempat yang sempit didalam perut ibunya. Jika ia bisa berfikir dan berbicara, maka manusia dil uar (perut ibunya) dapat memberikan informasi kepadanya tentang kehidupan dunia yang penuh cahaya, tumbuh-tumbuhan hijau, interaksi sesama makhluk dan kenikmatan lainnya.

Maka ia tentu akan bertanya: “Untuk apa aku didalam perut yang gelap dan sempit ini, kenapa aku tidak segera dikeluarkan?”

Manusia diluar akan menjelaskan: “Engkau harus menjalani proses di sana (dalam perut) agar tubuhmu sempurna dan siap untuk menghadapi kehidupan dunia.”

Sang jabang bayi kemudian mengerti lalu akan berkata: “Baiklah, saya akan mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi dunia yang penuh kenikmatan dan tantangan itu.”

Dialog diatas sebagai ilustrasi saja dari perpindahan dua alam, alam pra-kelahiran dan alam pasca kelahiran. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia (alam kehidupan) dan alam setelah kematian (kebangkitan), maka seharusnya dunia ini (alam kehidupan) merupakan persiapan yang matang untuk menghadapi alam kebangkitan yang abadi.

Jika kita memahami hakikat hidup ini yang sesungguhnya bersifat sangat sementara, dan memahami pula bahwa ada kehidupan yang abadi setelah kematian, maka kita akan berkata persis seperti jabang bayi tadi: “Baiklah, saya akan mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan menjalankan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua laranganNYA, agar saya siap menghadapi kehidupan setelah mati, dan mendapatkan kebahagiaan yang abadi.”
Masalahnya adalah, kadang-kadang kita melupakan ajaran Allah SWT dalam Al-Qur’an serta sunnah tentang kehidupan setelah mati, atau tidak ada manusia yang telah mengalami kematian yang dapat memberikan penjelasan kepada kita tentang kehidupan setelah mati itu. Jika kita selalu mengingat kematian dan kehidupan setelahnya, tentu kita akan berhati-hati dalam menjalani kehidupan dan selalu berjalan di atas “rel” yang telah ditentukan-NYA.
Orang yang selalu ingat akan kematian adalah orang-orang yang cerdas, karena ia selalu mempersiapkan diri menghadapi kematian itu. Dan ia tidak akan merasa takut terhadap kematian, karena kematian adalah gerbang kehidupan berikutnya yang indah dan abadi. Hanya manusia yang tidak punya bekal saja yang takut menghadapi kematian. Seseorang yang sangat mendambakan kematian akan berucap seperti Rasulullah SAW saat menghadapi sakratul maut: “Aku hanya ingin kembali keharibaan Allah!” Hal ini menunjukkan kerinduan yang sangat untuk bertemu Rabbnya.

Untuk itu, tidak seharusnya kita takut akan kematian karena hal itu hanya akan terjadi sekali saja dalam kehidupan kita. Lakukanlah persiapan yang matang untuk menghadapinya. Dan berharaplah agar pada saatnya nanti malaikat maut akan berkata kepada kita; "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-NYA. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-KU, dan masuklah kedalam syurga-KU. (Qs. Al-Fajr [89]: 27-30).
Wallahualam.


Sumber: HayatulIslam.Net | Oleh Azhari

Tuesday, August 11, 2009

Pesan Rasulullah Saw Menyambut Ramadhan



Rasulullah bersabda,
Wahai manusia!

Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah (yakni Ramadhan), dengan membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan Ramadhan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan do’a-do’amu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membim-bingmu untuk melakukan shaum dan membaca kitabnya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu kini, ketika kelaparan dan kehausan akan menjelang kamu di hari kiamat.

Bersedakahlah kepada kaum fuqoro dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah mereka yang muda, hormatilah orang yang tua-tua, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jagalah lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan jagalah pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya.

Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasihani oleh manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari segala dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdo’a pada waktu shalatmu, karena di situlah saat-saat yang paling utama, ketika Allah azza wa jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih.

Di kala Allah Ta'ala menjawab mereka yang menyeru-Nya, di kala Allah menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya, di kala Allah mengabulkan do’a mereka ketika mereka berdo’a kepada-Nya.

Wahai manusia!

Barangsiapa di antaramu memberi perbukaan (ketika datang masanya berbuka) kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia akan diberi keampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu.

Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah meneruskan: "Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan memberikan perbukaan dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan memberikan seteguk air.

Wahai manusia!

Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini akan berhasil melewati sirathul mustaqim pada suatu hari ketika kaki-kaki banyak tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dipunyai tangan kanannya yakni pegawai atau pembantu-pembantunya di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat.

Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia bersua dengan-Nya. Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Alllah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturrahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia akan berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunnah di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka.

Barangsiapa melakukan shalat fardhu, baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu di bulan lain.

Barangsipa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangnnya pada hari ketika timbangan meringan.
Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat al-Qur’an, ganjarannya sama dengan mengkhatamkan al-Qur’an pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia!

Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagi-mu, maka mintalah kepada Rabbmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tidak lagi pernah menguasaimu.

Amirul Mukminin berkata:
“Aku berdiri dan berkata, Ya, Rasullullah apa amal yang paling utama di bulan ini?
Jawab Nabi, "Ya, Abal Hasan, amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.”


[Dari Buya Masoed Abidin Za Jabbar]



Wednesday, July 22, 2009

001. Selamat menyambut Bulan Suci Ramadhan



Sering sekali kita mendengarkan dan membaca hadits-hadits/sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang berisikan kabar gembira saat kedatangan bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam menyatakan bahwa "bulan Ramadhan merupakan bulan dibukanya pintu rahmat dan pintu surga, ditutup rapat-rapat seluruh pintu Jahannam dan syetan-syetan dibelenggu" .

Beliau bersabda,
“Apabila masuk awal bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga dan tak ada satu pun dari pintu itu yang ditutup, serta pintu-pintu Jahannam ditutup dan tak satu pun di antara pintu-pintu itu yang terbuka, dan syetan-syetan dibelenggu” (HR. At-Tirmidzi dan mengatakan hadits hasan gharib,Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, An-Nasai. Dan Al-Hakim dengan lafal yang sama mengatakan, “Shahih, sesuai syarat Al-Bukhari-Muslim”. (At-Targhib wat-Tarhib 2/220)

Beliau juga bersabda, ”Telah datang kepadamu Bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah, Allah meliputi kalian di dalam bulan tersebut, rahmat diturunkan, dosa-dosa dihapuskan dan do’a-do’a dikabulkan. Allah melihat kalian semua berlomba-lomba di dalam bulan itu, maka Dia merasa bangga terhadap kalian dan para malaikat. Maka perlihatkanlah segala macam kebaikan diri kalian di hadapan Allah. Sebab orang yang celaka adalah orang yang terhalang mendapatkan rahmat Allah pada bulan tersebut.” (HR. Ath-Thabrani dan para perawinya tsiqat (terpercaya)/At-Targhib wa At-Tarhib 2/222).

Sabda beliau yang lain, “Barang siapa yang berpuasa di Bulan Rama-dhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa yang shalat malam di Bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa shalat di malam lailatul qadar karena iman dan meng-harap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

Masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan puasa dan shalat malam pada bulan tersebut. Adapun hadits yang menerangkan tentang besarnya pahala puasa adalah hadits qudsi berikut ini:

Allah berfirman:
“Setiap amal anak Adam adalah untuknya, sedangkan setiap kebaikan akan dilipatkan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, terkecuali puasa, maka ia adalah untukKu dan Aku sendiri yang akan memberikan balasannya. Shoimun telah meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya karena Aku. Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, (yaitu) kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.Dan bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wanginya minyak kesturi (misik). (HR. Al Bukhari dan Muslim) 

Maka selayaknya bagi setiap mukmin untuk mempergunakan kesempatan emas yang telah diberikan oleh Allah berupa nikmat berjumpa dengan Bulan Ramadhan. Mereka hendaknya berlomba-lomba melaku-kan berbagai bentuk ketaatan serta menjauhi segala bentuk keburukan dan kejahatan. Senantiasa bersungguh-sungguh dalam menjalankan apa saja yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala , terutama shalat lima waktu, zakat dan puasa Ramadhan yang menjadi pokok pembicaraan kita kali ini serta kewajiban-kewajiban lain yang tidak dapat disebutkan di halaman yang sangat terbatas ini. 

Satu permasalahan penting yang harus selalu diingat oleh setiap muslim yang berpuasa adalah bahwa hendakanya ia berpuasa bukan hanya sekedar menahan makan, minum dan pembatal-pembatal lainnya. Namun hendaknya juga berpuasa dari segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diharamkan Allah. Karena tujuan puasa adalah agar seorang muslim selalu tunduk dan taat kepada Allah, menjaga larangan-laranganNya, meme-rangi hawa nafsu dalam rangka menaati Rabbnya serta membiasakan untuk bersikap sabar, yakni menahan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah. 

Berkenaan dengan masalah ini, Rasulullah telah menyatakan bahwa, ”Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang di antara kalian berpuasa janganlah berkata jorok dan jangan bicara yang tak berguna. Jika ada orang lain mencacinya atau mengajak berke-lahi maka hendaklah ia berkata, ”Aku sedang berpuasa.” (Muttafaq alaih). 

Dan juga sabda beliau yang lain, ”Barang siapa tidak meninggalkan perkataan sia-sia (palsu), perbuatan tak berguna dan kebodohan, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya (yang berupa) meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari) 

Beberapa Permasalahan yang Perlu Diperhatikan 

  • Setiap muslim hendaknya melakukan puasa Ramadhan karena iman dan ihtishab (mengharap pahala), bukan karena riya’, sum’ah, ikut-ikutan kebanyakan orang, malu terhadap keluarga atau tetangga jika tidak berpuasa. Berpuasa karena iman artinya berdasarkan keyakinan bahwa Allah telah mewajibkan puasa terha-dapnya, dan ihtisab karena untuk mencari pahala yang telah disediakan Allah bagi orang berpuasa. Demikan pula shalat malam pada bulan itu harus karena iman dan ihtisab. 
  • Ada sebagian orang ketika berpuasa lalu terluka, mimisan, muntah, atau tenggorokannya kemasukan air tanpa disengaja ia langsung membatal-kan puasanya. Padahal sebenarnya hal-hal tersebut tidaklah membatalkan puasa karena tidak adanya unsur kesengajaan. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, “Barang siapa yang tidak sengaja muntah, maka tidak perlu untuk mengqada’ (puasanya tidak batal), dan barang siapa segaja muntah maka wajib baginya mengqadla”.(HR. Al-Khomsah (lima Imam), Imam Ahmad mengatakan ada cacat, Ad-Daruquthni menguatkannya) Demikian pula yang terjadi pada sebagian wanita yang sedang haid atau nifas, apabila mendapati dirinya telah selesai (suci)sebelum fajar (pada bulan puasa) maka dia harus berniat untuk puasa sebelum fajar (Shubuh). Dan tidak mengapa kalau mau meng-akhirkan mandi setelah terbit fajar, namun tidak boleh mengakhir-kannya setelah terbit matahari. Demikian pula bagi yang junub juga berlaku demikian, dan bagi laki-laki harus segera mandi supaya dapat menjalankan shalat Shubuh dengan berjamaah di masjid. 
  • Pemeriksaan darah untuk keperluan laboratorium serta suntik dengan jarum tidak membatalkan puasa. Kecuali yang bertujuan untuk men-suplai zat-zat makanan seperti infus, maka puasanya batal. Namun sebaiknya suntik/periksa darah tidak dilakukan di siang hari Bulan Rama-dhan karena yang demikian lebih terjaga dan membuat tenang. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Tinggalkan apa-apa yang membuat kalian ragu, kepada apa yang tidak meragukan’ (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai). Dan sabda Shallallaahu alaihi wa Sallam yang lain, “Barang siapa yang menjauhi perkara-perkara syubhat, maka berarti telah menjaga agama dan kehormatannya.” (Muttafaq ‘alaih) 
Sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin ada yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, baik sha-lat fardhu maupun sunnah, terutama shalat tarawih. Padahal tuma’ninah (khusyu’ dan tenang) adalah rukun shalat yang juga menentukan shah tidaknya shalat. Ukuran tuma’ninah ini adalah apabila sendi-sendi telah kembali pada tempatnya (sehabis melakukan gerakan, seperti rukuk, sujud dan sebagainya). 
 
  • Sebagian kaum muslimin ada yang memiliki persangkaan, bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari dua puluh raka’at (atau 23 dengan witirnya). Sebagian lagi mengira bahwa tarawih tidak boleh melebihi sebelas atau tiga belas rakaat. Kedua-duanya adalah persangkaan yang keliru, karena menyelisihi dalil-dalil yang ada. Dalil-dalil yang shahih menunjuk-kan bahwa shalat malam pada Bulan Ramadhan atau selainnya adalah tidak terbatas pada bilangan tertentu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah shalat sebelas raka’at, tiga belas rakaat atau kurang dari itu, baik di kala Ramadhan atau di luarnya. Dan ketika beliau ditanya tentang shalat malam beliau menyatakan, ”Dua raka’at-dua raka’at, dan jika kalian khawatir masuk Shubuh maka shalatlah satu rakaat untuk witir dari shalat yang telah dilakukan.” (HR. Muttafaq ‘alaih) 
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam tidak membatasi pada jumlah rakaat tertentu, maka para sahabat di masa khalifah Umar, ada yang shalat dua puluh tiga rakaat dan ada pula yang shalat sebelas rakaat. Kesemuanya adalah benar (Imam Ma-lik, Al-Muwa-tha 1/138). Dan sebagian salaf ada yang shalat tiga puluh enam rakaat tambah witir tiga rakaat, ada pula yang shalat empat puluh satu rakaat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa masalah shalat malam adalah masalah yang luas. Beliau menambahkan bahwa bagi yang memperpanjang bacaan, ruku’ dan sujud, hendaknya menyedikitkan jumlah rakaat. Dan bagi yang memendekkan bacaan, ruku’ dan sujud, hendaknya memperbanyak bilangan rakaatnya, demikian penjelasan beliau rahimahullah.

Namun kalau kita memperhatikan dalil-dalil yang ada, maka akan didapati bahwa yang lebih utama adalah sebelas rakaat baik di kala Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena sesuai dengan praktek yang paling biasa dilakukan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, di samping tidak terlalu membebani jamaah serta lebih mendekati kekhusyu’an dan tuma’ninah. Dan bagi yang ingin menambah dari yang sebelas rakaat itu, maka tidak ada masalah dan baik juga. sebagaima-na yang telah dijelaskan sebelumnya. Yang penting adalah dalam qiyam Ramadhan atau tarawih hendaknya dilakukan dengan berjama’ah sampai selesai shalat bersama imam, agar terhitung sebagai shalat satu malam.

Dianjurkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berlomba-lomba dan bersegera dalam melakukan amal kebajikan sepanjang Bulan Ramadhan ini. 
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam memberikan kabar gembira kepada kita bahwa barang siapa yang melakukan suatu kebaikan (yang bukan wajib) pada Bulan Ramadhan, maka seakan-akan ia telah melakukan ibadah wajib pada bulan yang lain. Dan barang siapa yang melakukan satu kewajiban pada bulan tersebut, maka ia seperti melakukan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Sedangkan umrah di Bulan Ramadhan pahalanya menyamai ibadah haji, bahkan ibadah haji bersama Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam .
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk dapat melakukan amal kebai-kan sebanyak mungkin, dalam upaya menggapai ridhaNya. Dan semoga apa saja yang akan kita usahakan, baik berupa puasa, qiyamul lail, infak, shadaqah dan selainnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (Bersambung).

Halaman 1 dari 9
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya

Sumber: Buletin FADHLU SHIYAM RAMADHAN WA QIYAMIHI oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

Tuesday, July 21, 2009

002. Bagaimana menyambut Bulan Ramadhan




Segala puji bagi Allah semata, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, para tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan seluruh mukminin yang memegang teguh syari'at Islam hingga akhir zaman.

Akan Datang Tamu Tercinta! 
Saudaraku muslim dan muslimah! 
Bagaimanakah perasaan anda jika ada seorang tamu yang anda cintai dan rindukan memberitahu, bahwa ia akan datang dan tinggal bersama anda selama beberapa hari, apa yang akan anda lakukan? 

Tidak diragukan lagi, anda akan senang dan berbahagia, kemudian anda akan bersiap-siap menyambut kunjungan itu dan sedapat mungkin anda akan merapikan diri, membersihkan rumah dan menyiapkan acara-acara yang menarik dalam rangka kunjungan itu. Bukankah demikian? Jawabannya adalah, "Tentu!" 

Wahai saudaraku, bagaimana jika tamu itu bukan saja anda cintai, akan tetapi juga dicintai Allah, Rasul-Nya dan seluruh kaum muslimin? Bagaimana jika tamu ini selama tinggal bersama kita antara siang dan malam-nya membawa kebaikan dan keberkahan?

Tamu yang dimaksud itu tidak lain adalah Ramadhan, bulan yang mulia, bulan Al-Qur'an, bulan shiyam, bulan bertahajjud dan qiyamullail, bulan kesabaran dan takwa, bulan kasih sayang, ampunan dan terbebasnya hamba dari api neraka, bulan yang terdapat di dalamnya suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan di mana syetan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu syurga dibuka. 

Bulan di mana amal kebaikan dilipatgandakan dan penuh berkah dalam ketaatan, bulan pahala dan keutamaan yang agung. Maka seyogyanya setiap yang mengetahui sifat-sifat tamu ini untuk menyambutnya sebaik mungkin, mempersiapkan berbagai amal kebajikan agar memperoleh keberuntungan yang besar dan tidak berpisah dengan bulan itu, kecuali ia telah menyucikan ruh dan jiwanya. Allah Ta'ala berfirman, 

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
"Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu" (QS Asy-Syam [91]: 9).

Kaum salaf, pendahulu umat ini telah memahami betapa tinggi nilai tamu tersebut. Oleh karena itu, diriwayatkan, bahwa mereka berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan apabila mereka mengakhirinya, mereka menangis dan berdo'a kepada Allah agar amal mereka pada bulan-bulan yang lain diterima, demikian seperti dinukil Ibnu Rajab rahimahullah. 

Bagaimana pada umumnya Islam menyambut bulan Ramadhan?
Allah Ta'ala berfirman:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah". (QS Al-An'am [6]:116).

Saudaraku yang mulia!
Kalau kita perhatikan kondisi umat Islam, maka kita akan mendapatkan keanekaragaman cara di kalangan umat Islam dalam menyambut bulan Ramadhan, yang rata-rata menyimpang dari apa yang disyari'atkan Allah. Di antara mereka ada yang menyambutnya dengan pesta, pawai-pawai, lagu-lagu atau nyanyian bermusik.

Di antara mereka ada yang menyambutnya dengan mempersiapkan acara bega-dang disertai pemutaran film-film atau drama yang di dalamnya terdapat tabarruj (pamer aurat) dan perbuatan-perbuatan maksiat. Di antara mereka ada yang menyambutnya dengan pertemuan-pertemuan bersama para musisi dan artis kemudian menayangkan apa yang mereka lakukan dalam menyambut bulan kebaikan dan berkah ini. Di antara mereka ada yang menyambutnya dengan mempersiapkan berbagai acara lomba Ramadhan atau acara-acara lainnya yang mengesampingkan amal-amal ketaatan. 

Padahal demi Allah, seharusnya tidaklah demikian, tidaklah menyambut Ramadhan itu dengan perbuatan maksiat, haram dan mendurhakai Penguasa semesta alam; benarlah sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam:

"Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga". (HR. Ahmad dan terdapat dalam Shahih Al Jami' No. 3490). 

Ada juga di antara mereka yang menyambutnya dengan pergi ke pasar dan berdesak-desakan di dalamnya, mereka membeli berbagai jenis makanan dan minuman, seolah-olah Ramadhan itu bulan makanan dan minuman, bulan tidur di siang hari dan begadang dengan berbagai maksiat pada malam hari. Padahal seharusnya Ramadhan disambut dengan taubat, beramal shalih dan bersyukur kepada Allah dengan hati, lisan dan amal perbuatan.

Kepada mereka kami sampaikan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: 

"Sejahat-jahat umatku adalah mereka yang melahap segala kenikmatan dan memakan berbagai makanan". (Hadits ini dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al Jami' No.3599). 

Demikian banyak corak dan cara baru (bid'ah) yang dilakukan umat Islam dalam menyambut bulan Ramadhan, yang semuanya menyimpang dari petunjuk Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman: 

قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى 
"Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya petunjuk Allah-lah sebenar-benar petunjuk". (QS Al-Baqarah [2]: 120).

Dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam juga bersabda yang artinya, "Dan setiap hal yang baru (dalam agama) itu bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya dalam neraka". (Hadits shahih).

Bagaimana kita menyambut bulan Ramadhan 
Untuk menyambut bulan yang mulia ini, kami ringkaskan beberapa point penting sebagaimana berikut:

  • Berdo'a, semoga Allah memperpanjang umur kita sampai pada bulan Ramadhan, seperti yang dilakukan oleh sebagian kaum salaf, begitu pula memohon kepada Allah pertolongan dan kekuatan dalam menunaikan shaum, qiyamullail dan beramal shalih di dalamnya. Allah Ta'ala berfirman: 
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 
"Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan". (QS Al-Fatihah[1]:5)

  • Memelihara kebersihan dan kesucian, maksudnya adalah kebersihan ma'nawi yaitu taubat yang tulus dan sebenar-benarnya dari segala dosa dan maksiat. Bagaimana mungkin seseorang menunaikan shaum sedangkan dia berbuka dengan sesuatu yang haram, atau meninggalkan shalat, atau durhaka kepada kedua orang tua, sehingga Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melaknat dan malaikat Jibril pun mengamininya? 

Wahai saudaraku yang saya cintai! 
Bagaimana anda menginginkan shaum yang diterima dan bermanfaat, sedangkan anda berada dalam keadaan melakukan dosa ini dan itu? 

Belumkah anda mendengar sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ini? 

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan puasanya dari makan dan minum". (HR. Al Bukhari). 

"Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga". (Shahih Al Jami'). 

Maka Bertaubatlah dengan taubat yang tulus dan sebenar-benar taubat, sebab pintu taubat masih terbuka. Dan taubat itu bukan sekedar meninggalkan perbuatan dosa, akan tetapi dengan mengembalikan hati dan hawa nafsu kepada Dzat Yang Maha Mengetahui alam ghaib, 

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ 
"Maka kembalilah kepada Allah". (QS Adz-Dzariat [51]:50). 

Di antara persiapan jiwa dalam rangka menyambut bulan Ramadhan, hendaknya anda dengan sepenuh hati melakukan shaum sebaik-baiknya dan beramal shalih pada bulan Sya'ban. Sebab pada bulan Sya'ban ini segala amal perbuatan diangkat kepada Allah, sebagaimana sabda Rasululah Shalallaahu alaihi wasalam yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid. 

"Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melakukan shaum sepanjang bulan Sya'ban atau melakukan shaum pada bulan itu kecuali beberapa hari saja beliau tidak melakukannya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 

Di antara masalah penting lainnya adalah bertafaqquh (memahami) hukum-hukum shaum dan mengenal petunjuk Nabi Shalallaahu alaihi wasalam sebelum memasuki shaum; mempelajari syarat-syarat shaum, syarat sahnya, yang membatalkannya, hukum shaum pada hari yang diragukan, apa yang boleh, wajib atau haram dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan shaum, apa etika dan sunnah-sunnahnya, hukum-hukum qiyamullail, berapa bilangan raka'atnya, hukum-hukum shaum bagi yang berhalangan baik karena safar (bepergian) atau sakit, hukum zakat fitrah dan lain sebagainya. Begitu pula mengenai petunjuk Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dalam bulan Ramadhan yang bertalian dengan diri beliau, shaumnya, qiyamullailnya, kemurahan hatinya, pemeliharaan dirinya serta keteladanan beliau dalam bertadarrus Al-Qur'an, juga yang berkaitan dengan keluarga dan umatnya. Sebab segala sesuatu harus didahului dengan ilmu dan pemahaman sebelum mengamalkannya. 

Saudaraku seiman yang saya cintai!
Demikianlah ringkasan bagaimana kita menyambut bulan Ramadhan yang dapat kami kemukakan. Kita berdo'a semoga Allah berkenan memberi taufiq dan hidayahNya kepada kita agar dapat beramal shalih pada bulan Ramadhan.


Halaman 2 dari 9
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya

Sumber: Buletin FADHLU SHIYAM RAMADHAN WA QIYAMIHI oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

003. Keutamaan Puasa Ramadhan



Para pembaca rahimakumullah,
Berikut ini adalah petunjuk singkat mengenai puasa yang meliputi: Segi hukumnya, golongan manusia dalam soal puasa, hal-hal yang membatalkan puasa dan beberapa keutamaannya.

Puasa adalah ibadah yang dilaksanakan dengan jalan meninggalkan segala yang menyebabkan batalnya puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang agung, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam:

"Islam itu didirikan di atas lima perkara; Bersaksi tiada sesembahan yang hak melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah." ( Muttafaq 'alaih)

Golongan Manusia dalam Berpuasa

  • Puasa diwajibkan kepada setiap muslim, baligh, mampu dan bukan dalam keadaan musafir (bepergian). 
  • Orang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan jika ia masuk Islam tidak diwajibkan mengqadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya selama ia belum masuk Islam. 
  • Anak kecil di bawah usia baligh tidak diwajibkan berpuasa, tetapi dianjurkan untuk dibiasakan berpuasa. 
  • Orang gila tidak wajib berpuasa dan tidak dituntut untuk mengganti puasa dengan memberi makan, walau pun sudah baligh. Begitu pula orang yang kurang akalnya dan orang pikun. 
  • Orang yang sudah tidak mampu untuk berpuasa disebabkan penyakit, usia lanjut, sebagai pengganti puasa ia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin (membayar fidyah). 
  • Bagi seseorang yang sakit dan penyakitnya masih ada kemungkinan untuk dapat disembuhkan, jika ia merasa berat untuk menjalankan puasa, maka dibolehkan baginya tidak berpuasa, tetapi harus mengqadha'nya setelah sembuh. 
  • Wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui jika dengan puasa ia merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya dan anaknya, maka dibolehkan tidak berpuasa dan kemudian mengqadha'nya di hari yang lain. 
  • Wanita yang sedang dalam keadaan haidh atau dalam keadaan nifas, tidak boleh berpuasa dan harus mengqadha'nya pada hari yang lain. 
  • Orang yang terpaksa berbuka puasa karena hendak menyelamatkan orang yang hampir tenggelam atau terbakar, maka ia mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. 
  • Bagi musafir boleh memilih antara berpuasa dan tidak berpuasa. Jika memilih tidak berpuasa, maka ia harus mengqadha'nya di hari yang lain. Hal ini berlaku bagi musafir sementara, seperti berpergian untuk melaksanakan umrah, atau musafir tetap, seperti sopir truk dan bus (luar kota), maka bagi mereka boleh tidak berpuasa selama mereka tinggal di daerah (negeri) orang lain dan harus mengqadha'nya. 
Beberapa Rukhsah yang Tidak Membatalkan Puasa

Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang membatalkan puasa disebabkan lupa atau tidak mengerti atau pun tidak sengaja, maka puasanya tidak batal. Berdasarkan ayat: 

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا 
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah." (QS. al-Baqarah [2]: 286)
 
مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً 
"Dan tiada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah yang disengaja di hatimu." (QS. al-Ahzab [33]: 5) 

Jika orang yang sedang berpuasa makan dan mimun karena ia yakin bahwa matahari telah terbenam, maka puasanya tidak batal; dan tidak batal pula puasa orang yang makan dan minum karena yakin bahwa fajar belum terbit (padahal yang sebenarnya waktu sahur telah habis, red). 
Jika orang yang sedang berpuasa berkumur, lalu masuk sebagian air ke dalam tenggorokannya tanpa sengaja, maka puasanya tidak batal. Dan tidak batal puasa seseorang yang ketika tidur bermimpi (hingga keluar mani), karena tidak ada nash yang menyatakan hal tersebut batal. 

Hal-hal yang Membatalkan Puasa 

Hal-hal yang membatalkan puasa ada delapan: 

  • Melakukan jima' (hubungan intim suami istri) pada siang hari Ramadhan bagi yang sedang berpuasa, maka wajib mengqadha' puasanya dan membayar kafarah mughallazhah (denda berat) yaitu dengan memerdekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan hamba sahaya maka wajib baginya berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka ia berkewajiban memberi makan enam puluh orang miskin. 
  • Mengeluarkan air mani dengan cara onani atau masturbasi, mencium, memeluk, merangkul dan lain-lainnya. 
  • Makan minum atau menghisap sesuatu, baik yang bermanfaat atau yang berbahaya seperti rokok. 
  • Menyuntikkan obat yang dapat mengenyangkan dan dapat menahan rasa lapar, karena melakukan itu berarti sama dengan minum. Sedang menyuntikkan obat yang tidak mengenyangkan, maka hal tesebut tidak membatalkan puasa, walaupun disuntikkan pada otot atau urat nadi, baik terasa di kerongkongan atau tidak. 
  • Keluar darah haidh dan nifas 
  • Mengeluarkan darah dengan jalan hijamah (membekam) atau yang serupa. Sedang keluar darah dengan sendirinya atau karena mencabut gigi dan yang semisalnya, tidak membatalkan puasa, karena hal tersebut tidak termasuk dalam pengertian hijamah. 
  • Muntah disengaja, tetapi jika muntah tanpa disengaja atau dibuat-buat, maka tidak batal puasanya. 
  • Transfusi darah sebagai pengganti darah yang keluar, seperti seseorang yang sedang berpuasa terluka (kecelakaan dan sejenisnya) yang mengakibatkan keluarnya darah. 
Beberapa Petunjuk Berkenaan dengan Masalah Puasa 

  • Seorang yang dalam keadaan junub tetap harus berniat puasa, meskipun ia mandi janabah setelah terbit fajar (Shubuh). 
  • Wanita yang suci dari haidh sebelum fajar tiba (bulan Ramadhan), maka wajib berpuasa walaupun ia mandi besar setelah terbit fajar. 
  • Seseorang yang sedang berpuasa dibolehkan mencabut gigi, mengobati luka atau menggunakan obat tetes mata/telinga. 
  • Diperbolehkan bagi yang sedang berpuasa untuk bersiwak, baik diwaktu pagi maupun siang hari, bahkan itu termasuk sunnah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. 
  • Untuk mengurangi rasa panas dan dahaga dibolehkan menggunakan AC atau air dingin untuk membasahi kepala. 
  • Bagi penderita sesak nafas meskipun sedang berpuasa diperbolehkan menyemprot mulut dengan sesuatu (berupa udara/gas) yang dapat melonggarkan pernafasan. 
  • Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan membasahi bibir dengan air bila terasa kering dan juga diperbolehkan berkumur-kumur namun dengan syarat tidak tertelan. 
  • Disunnahkan mengakhirkan sahur, hingga menjelang Fajar dan segera berbuka setelah matahari terbenam (Maghrib).Diutamakan berbuka dengan kurma rutab (kurma yang masak), jika tidak ada rutab dengan kurma yang lain, dan jika tidak ada korma bisa berbuka denga apa saja yang halal atau berbuka dengan minum air apabila tidak menjumpai makanan. 
  • Orang yang sedang berpuasa sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan sunnah, seperti shalat sunnah, membaca al- Qur'an, berdzikir dan bershadaqah. 
  • Bagi yang sedang berpuasa tetap diharuskan menjaga dan mengamalkan kewajiban-kewajiban yang lain serta menjauhi perbuatan-perbuatan haram.Hendaknya ia menjaga shalat dengan menjalankannya tepat pada waktunya dan berjama’ah di masjid bagi kaum pria. 
  • Hendaknya selalu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela yang dapat menghapus pahala puasa seperti: Berdusta, berbuat curang, menipu, riba/rentenir, berbicara yang haram dan sebagainya. 
Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
"Barang siapa tidak meninggalkan perkataan sia-sia (palsu), perbuatan tak berguna dan kebodohan maka Allah tidak butuh terhadap pusanya (berupa) meninggalakan makan dan minumnya." (Muttafaq ‘alaih) 

Keutamaan Puasa Ramadhan 

Dengan puasa Ramadhan Allah mengampuni dosa orang yang berpuasa dan memaafkan semua kesalahannya, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 

"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu". (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

Puasa Ramadhan tidak terhingga pahalanya, karena orang yang berpuasa akan mendapatkan pahala tanpa batas. Setiap muslim amalannya akan diganjar sebesar 10 hingga 700 kali lipat, kecuali puasa. Firman Allah di dalam hadits qudsi, 

“...Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjarnya, ia menahan nafsu dan makan karena-Ku.” (HR. Muslim) 

Puasa dapat membuka pintu syafa’at nanti pada hari Kiamat. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
“Sesungguhnya puasa dan bacaan al-Qur’an memberi syafa’at kepada pelakunya pada hari Kiamat. Puasa berkata, ”Ya Tuhanku aku telah menahan hasrat makan dan syahwatnya, maka berilah aku izin untuk memberikan syafa’at kepadanya. Berkata pula al-Qur’an, ”Wahai Tuhanku, aku telah menghalanginya dari tidur untuk qiyamullail, maka berilah aku izin untuk memberikan syafa’at kepadanya. Nabi bersabda, ”Maka keduanya diberikan izin untuk memberi syafaat.” (HR. Ahmad). 
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam, beserta para keluarga dan sahabatnya. Amin.



Halaman 3 dari 9
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya

Sumber: Buletin FADHLU SHIYAM RAMADHAN WA QIYAMIHI oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

Monday, July 20, 2009

004. Faedah Berpuasa




1. Sarana Menuju Takwa
Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang- orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah [2]:183)

Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa puasa memberikan faidah yang sangat besar dan banyak yang terkandung di dalamnya, yakni "agar kalian bertakwa." Maksudnya ialah agar puasa tersebut menjadi sarana bagi kalian untuk menggapai ketakwaan dan agar kamu menjadi orang yang bertaqwa dengan melaksanakan puasa tersebut.

Ini semua dikarenakan taqwa adalah merupakan segala bentuk perbuatan yang diridhai dan dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta meninggalkan segala yang yang dibenci Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Maka puasa merupakan jalan terbesar untuk mencapai tujuan tersebut yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan kemenangan. 

2. Menambah Keimanan 
Dengan puasa iman akan bertambah, dan seseorang akan melatih dirinya untuk menahan diri dari segala yang mendorongnya kepada keburukan berupa hawa nafsu dan syahwat yang merugikan. Dan puasa akan membantu kita untuk memperbanyak ibadah, seperti shalat, bacaan al-Qur'an, dzikir, shadaqah, dan lain sebagainya. Juga mengekang hawa nafsu agar tidak terjerumus ke dalam ucapan dan perbuatan yang haram, dan ini semua merupakan pondasi utama ketakwaan. 

3. Mengenal Nikmat Allah Azza wa Jalla
Dengan puasa seorang hamba akan lebih mengenal nikmat Allah subhanahu wata’ala yang telah diberikan kepadanya berupa makan, minum, pernikahan dan seterusnya. Dengan menahan rasa lapar dan haus di satu waktu (siang) lalu ia mendapatkan obatnya di waktu lain (malam), akan terasalah betapa besar nikmat Allah Azza wa Jalla yang telah diberikan kepadanya. Dan terasa pula bagaimana penderitaan saudaranya yang hampir setiap hari tidak mendapatkan makanan untuk mengisi perutnya. 

4. Melatih Kesabaran 
Dengan berpuasa seorang hamba akan menjadi lebih sabar dan tabah di dalam menjalankan ketaatan, menjauhi kemaksiatan dan menghadapi ketentuan dari Allah subhanahu wata’ala, seperti rasa lapar dan haus yang tentunya menyakit kan bagi hawa nafsu manakala dibiarkan. 

Dengan puasa pula akan lahir rasa syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat dan kecukupan dan lebih-lebih nikmat terbesar yaitu taufiq untuk dapat menjalankan puasa. Karena nikmat diniyah (religi) lebih utama daripada nikmat keduniaan. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam yang lima, dia menghapuskan dosa yang telah lalu, Allah subhanahu wata’ala mencintai dan meridhai orang yang berpuasa, dan memberikan kepadanya pahala yang besar. Dan bahwa orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal maka seakan-akan dia berpuasa satu tahun. Demikian pula bagi yang berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena kebaikan itu akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat. Itu semua merupakan keutamaan dan kenikmatan dari Allah subhanahu wata’ala. 
Dan juga merupakan salah satu kemudahan yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala adalah bahwa Dia mensyari'atkan puasa wajib dalam waktu dan bulan yang bersamaan yakni Ramadhan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh kaum muslimin melakukan puasa dalam waktu yang bersamaan, sehingga akan menciptakan suasana yang kondusif dan membantu terlaksananya ibadah tersebut dengan baik. 

Maka ikut serta dalam menjalankan ibadah puasa akan memberikan manfaat yang sangat besar dan faidah yang sangat banyak. Sesungguhnya di balik syariat puasa ini terdapat rahasia dan hikmah yang tidak terhingga. Termasuk ditinjau dari sisi kesehatan telah dinyatakan oleh para dokter bahwa puasa itu dapat menjaga kesehatan, menghilangkan sisa-sisa zat dalam tubuh yang berbahaya, menguatkan serta memperbaiki metabolisme dan fungsi organ tubuh. Maka kita katakan bahwa puasa itu mencakup segala kebaikan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam. 

Halaman 4 dari 9
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya

Sumber: Buletin FADHLU SHIYAM RAMADHAN WA QIYAMIHI oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

001. Asal Segala Sesuatu Adalah Mubah



BAB - I
ASAL SEGALA SESUATU ADALAH MUBAH
 
DASAR PERTAMA yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.

Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (QS al-Baqarah [2]: 29) "

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِّنْهُ
(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya." (QS al-Jatsiyah [45]: 13)

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak." (QS Luqman [31]: 20)


Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?

Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti.

Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.

Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut:

"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. [2] (Riwayat Hakim dan Bazzar)

"Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu." (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)

Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik. Dan sabda beliau juga,

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (QS al-An'am [6]: 119)

Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain. Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:

"Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
  1. Hanya Allah lah yang disembah.
  2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.

Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara' itu sendiri."

Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana mungkin dihukumi terlarang.

Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?" (QS as-Syura [42]: 21)

Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:

قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ
"Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?" (QS Yunus [10]: 59)

Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.

Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.[3]

Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:

"Kami pernah melakukan 'azl' [4], sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya."

Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan mencegahnya.

Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.

Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah."

Artikel ke-1 dari 12
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya
CATATAN KAKI
[1]. Ali-Imran.
[2]. Maryam.
[3]. Qawaidun Nuraniyah al-Fiqhiyah oleh Ibnu Tarmiyah, hal 112-113.
[4]. 'Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika bersanggama.

Sumber: Dr. Yusuf Qaradhawi | Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy | Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 | Digitalisasi: Media Isnet | Index

Sunday, July 19, 2009

005. Adab dan Manfaat Berpuasa



ADAB BERPUASA

Puasa memiliki adab-adab yang yang harus ditunaikan oleh siapa saja yang sedang menjalankannya. Di antara adab berpuasa sebagai berikut:

1. Menahan Pandangan
Yaitu menahan mata dari melihat hal-hal yang diharamkan, melihat aurat, dan wanita yang bukan mahramnya. Karena wanita itu adalah aurat dan dapat mendatangkan fitnah. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ 
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS.An-Nuur [24]:30)

Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Isra [17]:36)

2. Menjaga Pendengaran 
Yaitu menjaganya dari segala hal yang diharamkan atau yang dibenci, karena manusia akan ditanya tentang pendengarannya, sebagaimana pula ditanya tentang penglihatannya seperti yang telah disebutkan di dalam ayat di atas. 

Orang yang mengucapakan ucapan buruk atau ucapan batil dan orang yang mendengarkannya, maka kedua-duanya telah berserikat di dalam perbuatan dosa. 

3. Menjaga Lisan 
Yaitu memeliharanya dari segala ucapan yang buruk dan keji, dari memfitnah dan sebagainya. Maka wajib bagi seorang yang berpuasa untuk meninggalkan ucapan dusta, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), bertengkar, mencaci maki dan mencela orang lain. 

Dan hendaknya dia memilih diam atau menyibukkan diri dengan sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala, seperti membaca al-Qur'an, berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, berdoa, beristighfar, dan amar ma'ruf nahi munkar. Karena setiap yang diucapkan oleh manusia akan menjadi bumerang baginya kecuali dzikrullah dan segala bentuk ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. 

4. Menjaga Perut 
Maksudnya adalah jangan sampai memasukkan sesuatu yang haram ke dalam perut, baik berupa makanan atau minuman. Di dalam hadist disebutkan, 

"Tidak masuk surga daging yang tumbuh dari suht (penghasilan haram)." (HR. Ibnu Hibban) 

Seorang muslim berpuasa menahan diri dari yang halal, maka selayaknya dia pun menahan diri dari yang haram yang dapat mencelakakan nya. Seorang muslim jangan sampai menipu di dalam bermua'amalah, atau menjual dagangannya dengan sumpah palsu. Demikian pula hendaknya dia jangan mengambil penghasilan dari segala yang berbau riba. 

5. Menjaga Kemaluan 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
"Siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga." (HR. Al-Bukhari) 

6. Menjaga Tangan dan Kaki 
Yaitu jangan sampai tangan tersebut melakukan sesuatu yang haram (seperti memukul orang dsb), dan kaki jangan sampai melangkah menuju yang haram. 

Seluruh adab-adab yang tersebut di atas hendaknya senantiasa dijaga oleh setiap muslim kapan saja, bukan hanya ketika berpuasa. Adapun dalam puasa, maka hal itu sangat ditekankan karena dapat merusak dan melenyap kan pahala orang yang berpuasa. 

Kalau seseorang dapat menjaga diri dari segala yang diharamkan, baik pendengaran, penglihatan, makanan, minuman, langkah kaki dan gerakan tangan, maka diharapkan dia akan menggapai ampunan Allah subhanahu wata’ala dan kebebasan dari api neraka, dan tentunya dia akan mampu meninggal kan itu semua di luar bulan puasa.



Halaman 5 dari 9
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya

Sumber: Buletin FADHLU SHIYAM RAMADHAN WA QIYAMIHI oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

002. Menentukan Halal - Haram Semata-Mata Adalah Hak Allah



BAB - II
MENENTUKAN HALAL-HARAM 
SEMATA-MATA ADALAH HAK ALLAH
 
DASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.

Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik".

Firman Allah:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka itu mempunyai sekut "Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (QS as-Syura [42]: 21)

Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan Firman-Nya sebagai berikut:

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ
إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan." (QS at-Taubah [ ]: 31)

'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu. Maka jawab Nabi s.a.w.:

"Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi)

"Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyembah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga."

Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga."

Al-Quran telah meng-cap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:

قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ
"Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?" (QS Yunus [10]: 59). Dan firman Allah juga:

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (QS an-Nahl [16]: 116)

Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firman-Nya:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
"Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (QS al-An'am [6]: 119)

Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).

Imam Syafi'i dalam al-Um [5] meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa,  sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.

Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: "Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia."

Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!

Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."[6]

Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik.

Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.[7]

Artikel ke-2 dari 12
Sebelumnya                                  Lihat Semua                                   Selanjutnya

CATATAN KAKI
[5] Al-Um 7:317.
[6] Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qath'i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.
[7] Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini "haram" yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.

Sumber: Dr. Yusuf Qaradhawi | Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy | Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 | Digitalisasi: Media Isnet | Index

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers