Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Thursday, September 22, 2011

Kita dan Hawa Nafsu






Hawa nafsu senantiasa menyuruh manusia untuk melakukan keburukan. Dia pandai menghiasi dosa dan kemaksiatan, sehingga tampak indah dan menarik di mata manusia. Kita dapat merasakan pengaruh hawa nafsu melalui minimnya kita melakukan ketaatan, condong pada kemaksiatan dan terpesona kepada dunia. Untuk itu mari kita merenung sejenak, dengarkan apa kata hawa nafsu dan perhatikan pula jawaban untuknya. Semoga bermanfaat.Hawa nafsu berkata...;

"Mengapa aku selalu disalahkan dan tidak boleh melakukan apa saja yang kuinginkan? Mengapa tidak ada kelonggaran? Sungguh aku tidak menyuruh, kecuali apa-apa yang baik dan enak." Jawab: Ini merupakan salah satu tipu dayamu. Andaikan kami memberi keleluasaan kepadamu, maka kamu tidak akan berhenti memerintahkan keburukan kepada kami. Menghiasi kemaksiatan seakan-akan baik dan indah. Menganjurkan agar melakukan dan membiasakannya.Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman;"Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku.” (QS Yusuf: 53) Memang demikian adanya engkau wahai hawa nafsu. Kamu tidak akan mampu berubah dengan sendirinya tanpa adanya pertolongan Allah, perjuangan serta usaha yang sungguh-sungguh dari manusia.Hawa nafsu berkilah, "Jika keberadaanku untuk mengajak kepada keburukan, maka bagaimana mungkin engkau dapat mengubahku?" Jawab: Dapat dan pasti dapat. Faktor pendorong terbesar dari gejolakmu adalah kebodohan (al-jahl) dan kezhaliman (al- zhulm). Dari dua faktor ini muncul perilaku dan perkataan yang buruk. Dengan pertolongan Allah kamu pasti dapat berubah. Caranya adalah dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Ilmu yang bermanfaat adalah segala yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Sedangkan amal shaleh adalah amal yang memenuhi dua syarat yaitu ikhlash dan mutaba'ah atau mengikuti apa saja yang telah diajarkan Rasul Shalallaahu alaihi wasalam. Sedangkan yang tidak mencontoh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam namanya bid’ah. Berkata nafsu, "Hawa Nafsu itu ada beberapa macam:ada yang memerintahkan keburukan (amaratun bissuu'); ada nafsu pencela (lawwamah) dan, ada nafsu yang baik/tenang (muth-mainnah). Namun mengapa nafsu selalu dianggap buruk? Jawab: Nafsu dari sisi dzatnya adalah satu, sedangkan yang tiga macam itu sifatnya.Apabila memerintahkan Keburukan dan Maksiat", maka itu "amaratun bissuu'."

Jika memerintahkan "Kebaikan dan Ketaatan", maka itu "muthmainnah", dan

Jika memerintahkan sesuatu "lalu mencelanya", maka itu "lawwamah". Jika yang dicela adalah perbuatan buruk, maka ia terpuji dan jika yang dicela perbuatan baik, maka ia tercela. Sedangkan secara umum nafsu memerintahkan kepada keburukan dan maksiat, maka bagaimana mungkin disebut baik, jika keadaanya selalu demikian? Adapun nafsu muthmainnah adalah nafsu yang telah ditundukkan oleh pemiliknya, sehingga sifat ammaratun bissuu' (memerintah keburukan) telah mati dan tunduk di jalan Allah. Maka jadilah nafsu itu penyuruh dan pembisik kebaikan, maukah kamu demikian? Hawa nafsu beralasan, "Jangan memperbesar masalah.Iman itu adanya di hati, selagi hati masih muthmainnah (beriman), maka mengapa musti khawatir secara berlebihan.?"Jawab: Ini model iman orang murji'ah yang mengatakan, bahwa iman itu sekedar pengakuan hati, sedangkan amal tidak termasuk dalam iman. Ahlul haq berkeyakinan, bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Iman dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah memberitahukan, bahwa kemaksiatan akan menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala,“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS Maryam: 59)

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63) Hawa nafsu masih belum puas dan berkata, "Apakah engkau lupa, bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang dan rahmat-Nya meliputi segala sesuatu?"Jawab: Sungguh kami tidak lupa itu, namun kita tidak boleh mengambil satu nash dengan mengabaikan nash-nash yang lain. Memang benar Allah Maha Pengampun lagi Penyayang, namun dia juga Maha keras siksa-Nya sebagai-mana firman-Nya;“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah: 98) Maka bagaimana kita akan melupakan, bahwa Dia juga keras siksa-Nya? DIA juga telah berfirman;“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS An-Nisaa: 48) Siapakah yang tahu kehendak Allah. Tak seorang pun mengetahui.., maka bagaimana kami mengetahui, bahwa kami termasuk salah seorang yang dikehendaki Allah untuk diampuni? Bahkan DIA berfirman, artinya,“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (QS An-Nisa:123) Allah juga menjelaskan, bahwa rahmat-Nya dekat kepada orang-orang muhsin (yang berlaku baik). Artinya orang yang buruk berada jauh dari rahmat-Nya.Hawa nafsu beralasan lagi,

"Ini namanya su'udzan terhadap Tuhan. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam hadits qudsi, "Saya tergantung persangkaan baik hamba Ku terhadap Ku" (Muttafaq ‘alaih). Kalau kamu mau husnudzan terhadap Allah, maka kamu akan yakin bahwa Dia pasti akan mengampunimu.Jawab: Kami bertanya, "Apa yang kau ketahui tentang husnudzan terhadap Allah?

Apakah sengaja melakukan dosa dan maksiat lalu berharap memperoleh rahmat dan ampunan Nya? Sesungguhnya husnudzan terhadap Allah adalah dengan beramal sholeh karena seorang yang beramal sholeh, berarti berprasangka baik kepada Allah. Karena dia yakin, bahwa Allah akan memberikan balasan pahala kebaikannya, tidak mengingkari janji dan akan menerima taubat. Sedangkan berbuat maksiat berarti telah su'udzan kepada Allah karena tidak yakin, bahwa kalau dia berbuat baik akan mendapat pahala. Bagaimana seorang yang melakukan sesuatu yang membuat Allah marah dan murka, menyepelekan hak-hak-Nya, menerjang larangan-Nya dan terus demikian disebut sebagai berprasangka baik terhadap Allah? Maka yang dimaksud husnudzan adalah memperbagus amal, semakin baik amal seseorang, maka dia semakin berprasangka baik kepada Allah.Hawa nafsu berkata, "Apa manfaatnya Allah menyiksa kita, apakah Dia butuh itu? Sedangkan ampunan-Nya tidak akan mengurangi kekuasaan Nya sedikit pun dan adzab-Nya tidak menambah kekuasaan-Nya sama sekali?Jawab: Ini merupakan bisikan yang menyesatkan dan kebatilan yang nyata. Karena dengan demikian ayat-ayat ancaman dianggap hanya sekedar gertakan semata yang tak ada buktinya. Orang kafir juga akan berkata demikian, mereka berharap mendapatkan rahmat Allah dengan kekafiranya. Alasannya Allah tidak butuh untuk mengadzab manusia dan siksaan tidak akan menambah kekuasaan-Nya sedikit pun. Padahal Dia telah berfirman,“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) (QS Al-Qalam: 35) “Segolongan masuk surga dan segolong-an masuk neraka.” (QS Asy Syuura: 7) Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah Hakim segala hakim dan Dzat paling Adil di antara yang adil. Dan termasuk keadilan-Nya adalah menyiksa orang zhalim, fasiq, kufur dan terus menerus berbuat kerusakan di muka bumi.Berbisik lagi hawa nafsu, "Yang dincaman itu hanya dosa-dosa besar seperti zina, mencuri, liwath,sihir, minum khamer, membunuh dan sebagainya. Adapun dosa-dosa kecil, maka masalahnya amatlah ringan dan tidak perlu dikhawatirkan."Jawab: Telah berkata Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu, "Tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus menerus dan tidak ada dosa besar kalau dibarengi istighfar. Berkata pula seorang salaf, "Jangan engkau memandang kepada kecilnya dosa, namun lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat."Dan jauh sebelumnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah memperingatkan, "Waspadalah kalian terhadap dosa-dosa kecil, karena kalau dosa itu berkumpul pada seseorang akan membinasakannya."(HR. Al-Bukhari)Imam Ibnul Qayyim juga telah mengingatkan, bahwa bisa saja dosa-dosa kecil dapat berakibat lebih fatal daripada dosa-dosa besar. Karena pelaku dosa besar biasanya merasa malu dan menyesal atas dosanya. Sedangkan pelaku dosa kecil terkadang tidak merasa takut dan malu dengan dosa itu.Setelah kehabisan alasan nafsu berkata untuk terakhir kali,...;

"Seluruh dosa adalah sudah takdir dan kehendak Allah, kita hanya sekedar menjalankan saja, tak mampu mengelak terhadap takdir itu. Kalau Allah berkehendak tentu kita tidak melakukan dosa dan tentu banyak melakukan ketaatan."Jawab: Nah, semakin jelas sekarang kebobrokanmu, dan terbukalah kedokmu. Kini engkau berhujjah dengan hujahnya orang-orang musyrik karena kehabisan alasan. Hujjahmu adalah dusta semata, sekarang kuberi tahu mengapa alasanmu sangat lemah." Berhujjah dengan takdir berarti mengklaim tahu perkara ghaib, darimana tahu, bahwa Allah menakdir kan seseorang ahli maksiat, mengapa tidak mengatakan, "Allah menakdirkan aku menjadi orang yang taat? Mengapa ketika melakukan ketaatan tidak beralasan dengan takdir Allah (sehingga tak perlu mengharap balasan dan surga, red). Karena Allah yang berkehendak itu, mengapa tidak membiarkan dirinya lapar dan haus, mengapa ketika sakit berobat, mengapa berusaha? Namun anehnya untuk perbuatan baik mengapa tidak berusaha? Kalau beralasan dengan takdir ketika berbuat maksiat diterima, tentu umat-umat terdahulu yang ingkar dan durhaka dibiarkan tidak disiksa, artinya tidak ada gunanya ayat-ayat yang berisi ancaman Allah. Kalau ada orang menzhalimi kamu, harta, kehormatan dan darahmu, apakah kamu menerima jika dia beralasan dengan takdir Allah? · Jika demikian maka tidak ada bedanya orang kafir dengan mukmin, ahli maksiat dan orang baik karena semuanya dipaksa tanpa dapat memilih, ini merupakan kebatilan yang nyata. Ah sudah lah! Tidak ada gunanya terus menerus menuruti kamu, sampai kapan pun kamu tidak bisa menipu orang-orang yang ikhlas dan taat terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Sumber: Kutub Darul Wathan “Lahazhat Shadiqah,” Khalid Abu Shalih. (Khalif)

Antara ucapan dan perbuatan



Jika orang mau memperhatikan syariat Islam dan seluruh ajarannya, maka dia akan mendapati bahwa keseluruhannya baik berupa perintah maupun larangan-Nya, tidak lain adalah untuk kemashlahatan (kebaikan) dan kebahagiaan manusia itu sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ 
"Mengapa kalian mengajak orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri (akan kewajiban)-mu sendiri, padahal kalian membaca Al kitab? Maka tidaklah kalian berfikir?" (QS. Al-Baqarah [2]: 44). 

Pertanyaan diatas dimaksudkan sebagai teguran yang keras dan kritikan pedas terhadap orang yang mengajak kepada kebajikan akan tetapi dia sendiri lalai menjalankan tugas. Para Ulama' berbeda pendapat tentang arti kata "Al birr" (kebajikan) dalam ayat ini di antaranya mempunyai arti: Berpegang teguh pada Taurat. 

Mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu seorang yahudi berpesan kepada kerabatnya secara rahasia agar ia mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan mengatakan bahwa beliau adalah Rasul yang haq, tetapi dia sendiri tidak mengikutinya, sebagaimana terdapat dalam Shahih Al bukhari (hadits no; 1356) dari Anas radhiyallah 'anhu ia berkata: "bahwa ada seorang anak yahudi membantu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , ketika anak itu jatuh sakit maka ditengoklah oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , kemudian beliau duduk disamping kepalanya sambil berpesan: "Masuklah Islam", maka anak itu menolehkan wajah kepada bapaknya yang ketika itu berada di sisinya, langsung saja si bapak menjawab: "Taatilah Abul Qasim" dengan serta merta masuk Islam-lah anak itu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar beliau berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api neraka"

Shadaqah 
Menganjurkan orang lain untuk mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , yaitu sekelompok kaum yahudi memberitahukan kepada manusia tentang kedatangan seorang Nabi dalam waktu dekat, dan menganjurkan mereka untuk mengikutinya.

Ketaatan secara umum, maknanya adalah apakah kalian mengajak orang lain untuk taat kepada Allah dan membiarkan diri kalian sendiri ber-maksiat kepadaNya. Dan masih ada pendapat-pendapat yang lain,tetapi yang paling tepat dari kata 'Albirr" adalah ketaatan (kebajikan) secara umum sehingga 4 arti yang pertama itu sudah termasuk di dalam-nya. Ayat ini meskipun dalam konteksnya berkenaan dengan "orang yahudi" tetapi maknanya berlaku untuk umum, termasuk siapa saja yang mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan dan membiarkan dirinya lalai tidak mengerjakannya. 

Bolehkah seseorang mengajak orang lain berbuat kebajikan meskipun ia sendiri 'tidak' melakukannya? 

Al Hafizh ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Maksud ayat ini bahwa Allah mencela mereka atas tindakannya,dan mengingatkan mereka akan kesalahannya yang mengenai hak diri mereka sendiri dimana mereka mengajak orang lain berbuat kebajikan tetapi mereka sendiri tidak melakukan-nya, bukan berarti Allah mencela dalam ajakannya agar manusia berbuat kebajikan apabila mereka sendiri tidak mengerjakannya, karena ajakan kepada kebajikan adalah suatu kebajikan dan hal itu wajib atas seorang yang alim (mengetahui), tetapi lebih wajib lagi bagi seorang yang Alim disamping mengajak orang lain berbuat kebajikan dia harus melakukannya pula, tidak boleh meninggalkannya, sebagaimana ucapan Nabi Syuaib alaihis salam (yang tertera di dalam Al-Qur'an). 

إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
"Dan aku tidak berkehendak untuk menyalahi kalian (dengan mengerjakan) yang aku larang. Aku hanya meng-inginkan perbaikan semampuku. Aku hanya mendapatkan Taufik dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada Nyalah aku kembali." (QS Huud [11]:88). 

Maka, keduanya, baik ajakan kepada kebajikan ataupun perbuatan kebajikan itu sendiri wajib semuanya; tidak menjadi gugur apabila salah satunya telah dilakukan, ini adalah pendapat yang lebih benar diantara dua pendapat para ulama' Salaf dan Khalaf. Ada sebagian diantara mereka berpendapat bahwa pelaku maksiat tidak boleh melarang orang lain dari maksiatnya. Ini adalah pendapat yang lemah, dan lebih lemah lagi adalah dasar yang mereka pakai sebagai pijakan adalah ayat ini. Padahal ayat ini tidaklah mendukung pendapat tersebut.

Dan yang benar adalah seorang yang alim tetap mengajak orang lain berbuat kebajikan meskipun dia tidak melakukannya, dan harus melarang orang lain dari kemungkaran meskipun dia melanggarnya. 

Syaikh Abdurrahman Nashir Assa'dit berkata: "Barang siapa yang mengajak orang lain berbuat kebajikan sedang dia tidak melakukannya atau melarang orang lain berbuat keburukan sedang dia sendiri tidak melakukannya, hal ini menunjukkan kebodohan dan kekurang-warasan akalnya. Khususnya jika ia mengetahui akan hal tersebut dan telah ditegakkan hujjah atasnya". Ayat ini meskipun turunnya berkenaan untuk bani israil, tetapi berlaku umum untuk setiap orang berdasarkan firman Allah: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَكَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ 
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang kalian tidak kerjakan." (QS Ash-Shaff [61]: 2-3 ). 

Dalam ayat yang telah kami sebutkan di muka (ayat ke 44 dari surat Al-Baqarah ), bukanlah berarti jika ia tidak menjalankan apa yang ia katakan kepada orang lain berupa kebajikan maka ia boleh meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, tidaklah demikian! Karena ayat ini juga menunjukkan teguran yang keras kepada orang yang meninggalkan dua kewajiban sekaligus sebagaimana diketahui bahwa manusia memiliki dua kewajiban dalam hal ajakan dan larangan, yaitu:

Pertama; kewajiban mengajak dan melarang orang lain. 
Kedua: kewajiban mengajak dan melarang diri sendiri. 

Maka meninggalkan salah satunya bukan berarti tidak boleh mengerjakan yang lainnya. Adalah kesempurnaan apabila manusia menjalankan kedua kewajiban semuanya dan merupakan kekurangan yang sempurna jika ia meninggalkan keduanya sedangkan menjalankan salah satunya bukanlah termasuk golongan pertama tetapi juga bukan yang kedua. Sesungguhnya jiwa manusia memiliki tabiat untuk tidak mengikuti orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, bagi mereka mengikuti perbuatan itu lebih membekas dari mengikuti ucapan semata.

Siksaan orang yang ber-Amar ma'ruf nahi mungkar tetapi tidak melakukanya dan terhadap orang yang meninggalkannya . 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Seseorang didatangkan pada hari kiamat lalu dilemparkan kedalam api neraka, sehingga terurailah ususnya, ia berputar seperti keledai berputar dengan alat penggilingnya, lalu penduduk Neraka berkumpul menghampirinya mereka mengatakan, "Wahai fulan apa yang terjadi denganmu? Bukankah engkau dahulu mengajak kami berbuat kebajikan dan melarang kami berbuat kemungkaran? Betul, dahulu saya mengajak kalian berbuat kebaikan tetapi saya sendiri tidak melaksanakannya, saya melarang kalian berbuat kemungkaran tetapi saya sendiri melakukannya." [HR. Al-Bukhari]. 
Nasehat dan introspeksi diri Abu Amr bin Mator berkata: "Saya menghadiri majlis Abi Utsman Al Hiyari ia seorang yang zuhud, beliau datang dan duduk ditempat ia biasa memberi nasehat, ia diam saja dalam waktu yang lama, lalu seseorang yang dikenal dengan sebutan Abul Abbas berseru kepadanya: "Bagaimana pendapatmu jika engkau berbicara sedikit tentang diammu? Kemudian Abu utsman berkata: "Orang yang tidak bertaqwa mengajak manusia untuk bertaqwa. Dokter itu mengobati, lalu bagaimana seandainya dokter itu sendiri sakit." Abu Amr berkata: "Maka terdengarlah suara gaduh berupa tangisan dari orang-orang yang hadir" 

Disarikan oleh Abu Abdurrahman, dari buku "At-Tashil Li ta'wil At-Tanzil", penyusun: Mustafa bin Al adauri, Juz I Halaman: 445- 454 

001. Jihad di jalan Allah




Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah,
Al-Imam Ibnul-Qayyim telah membuat uraian ringkas mengenai masalah jihad dalam Islam lewat salahsatu bukunya yang berjudul "ZAADUL-MAAD" dalam fasal yang berjudul “Susunan Petunjuk Rasulullah mengenai Orang Kafir dan Munafiq Sejak Mulai Nabi Dibangkitkan Hingga Beliau Wafat.”

Uraian itu sebagai berikut: 
“Wahyu yang mula-mula sekali diturunkan kepada Rasulullah SAW ialah wahyu yang menyuruhnya membaca dengan nama Tuhannya". Wahyu inilah yang menandakan permulaan kenabian beliau. Dalam peringkat ini, beliau diperintah untuk membaca bagi diri beliau sendiri dan belum diperintah untuk menyampaikannya kepada orang lain. 

Kemudian turun pula ayat; 
“Wahai Orang Yang Sedang Berselimut, Bangkitlah, lalu berilah peringatan!” 

  • Pengangkatan beliau menjadi Nabi melalui surah "Bacalah" (Iqra’) dan pengangkatan beliau menjadi rasul melalui ayat; “Wahai orang yang sedang berselimut” (surah al-Mudattsir: 1 ).
  • Beliau kemudian diperintah untuk menyampaikan berita ancaman kepada kaum keluarganya yang terdekat, diikuti pula dengan penyampaian seruan yang beliau lakukan kepada seluruh kaumnya, kemudian kepada orang-orang Arab di sekelilingnya, terus kepada seluruh bangsa Arab dan umat manusia seluruhnya.
  • Beliau Shallallahu alaihi wa Sallam hidup sepuluh tahun lebih sesudah kenabiannya menyampaikan dakwah tanpa kekerasan dan peperangan, juga tanpa pungutan jizyah. Beliau telah diperintah untuk berlembut serta tahan menderita. Sesudah itulah, beliau diizinkan berhijrah ke Madinah dan diperbolehkan berperang. Lalu beliau diperintah untuk memerangi orang yang memeranginya dan jangan mengganggu orang yang tidak mengganggu dan tidak memusuhinya.
Sesudah itu, beliau Shallallahu alaihi wa Sallam diperintah memerangi orang musyrikin hingga agama itu menjadi kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Setelah keluarnya perintah jihad ini, orang kafir terbagi menjadi tiga golongan:

  1. Golongan yang berdamai dan tidak memusuhi Islam. 
  2. Golongan yang memusuhi dan memerangi Islam. 
  3. Golongan dzimmi, yaitu golongan yang menyatakan kepatuhannya kepada negara Islam dan mendapat jaminan hidup aman di bawah pemerintahan Islam. 
Terhadap golongan pertama, yaitu golongan yang berdamai tidak memusuhi Islam, beliau diperintah untuk menunaikan hak mereka, dan diperintah supaya setia memegang janji dengan mereka, selama mereka tidak melanggar janji itu. Seandainya ada keraguan kalau mereka berlaku curang dan khianat, maka perjanjian itu bisa dihapus. Tapi, dicek dulu sikap mereka dan jangan memerangi mereka sehingga diberitahu bahwa mereka telah bersikap khianat dan melanggar janji, kemudian baru menyatakan perang kepada mereka. 

Surah Bara'ah (dikenal juga dengan nama Surah At-Taubah) merupakan panduan yang lengkap dalam hal perjanjian damai dan perang.

Beliau telah diperintah memerangi musuhnya dari golongan ahlil-kitab hingga mereka membayar jizyah atau mereka masuk Islam. Beliau diperintah pula untuk memerangi orang kafir yang lain dari ahlil-kitab dan kaum munafiq dan bersikap keras terhadap mereka. Lalu beliau pun memerangi orang-orang kafir dengan menggunakan senjata dan menghadapi orang-orang munafiq dengan menggunakan hujjah dan alasan dalam perdebatan. 

Beliau juga telah diperintah melepaskan diri dari ikatan janji setia terhadap orang-orang kafir dan menghapus segala perjanjian setia seperti itu.

Di samping itu pula, orang-orang kafir yang terikat dengan janji itu terbagi kepada tiga golongan:

1. Golongan yang diperintah supaya dimusuhi dan diperangi, yaitu golongan yang sengaja melanggar janji itu. Beliau pun terus memerangi mereka hingga beliau beroleh kemenangan.

2. Golongan orang kafir yang terikat janji dengan beliau untuk suatu waktu tertentu dan mereka tidak melanggar janji itu dalam waktu yang telah ditetapkan dan tidak menonjolkan sikap permusuhan terhadap beliau. Untuk golongan ini, beliau diperintahkan supaya memegang janji itu hingga habis waktunya.

3. Golongan yang tidak terikat segala janji dengan beliau dan tidak juga memusuhi beliau. Kepada golongan ini, beliau diperintah untuk  memberi waktu empat bulan. Bila selesai waktku empat bulan itu beliau pun memerangi golongan yang melanggar janjinya, dan memberi waktu kepada golongan yang tidak terikat dengan segala janji, atau pun terikat dengan suatu janji yang terbuka, untuk selama empat bulan.

Beliau juga diperintah menunaikan janji kepada golongan yang setia memegang janjinya sehingga selesai masa janji itu, lalu mereka semua pun menganut Islam. Setelah selesai waktu yang dijanjikan, beliau pun membuat ketetapan bahwa orang-orang yang tidak mau menganut Islam tapi menginginkan perlindungan (dzimmah) supaya membayar jizyah.

Dengan demikian, maka setelah turunnya Surah Baraah, orang kafir terbagi kepada tiga golongan dan kategori:

  1. Golongan yang memusuhi beliau (Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam)
  2. Golongan yang terikat dengan janji
  3. Golongan yang memohon perlindungan (dzimmah)
Lalu sebagian besar golongan yang berdamai dan terikat dalam perjanjian dengan beliau dan golongan yang memohon perlindungan itu menganut agama Islam, hingga kemudiannya orang-orang kafir itu terbagi kepada dua golongan saja, yaitu golongan musuh dan golongan yang mohon perlindungan (dzimmi), sedangkan golongan yang bermusuhan dengannya senantiasa takut kepadanya.

Jadi, penduduk dunia di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam ada tiga golongan saja, yaitu:

  1. Golongan umat Islam yang percaya kepada ajaran-ajarannya.
  2. Golongan kafir yang berdamai dengannya dan memohon perlindungannya.
  3. Golongan kafir yang memusuhinya, tapi senantiasa takut dengan kekuatannya.
Adapun mengenai sikap dan tindakannya terhadap orang munafiq, maka beliau saw. telah diperintah menerima saja sikap lahir mereka dan menyerahkan hakikat rahasia hati mereka kepada Allah. Beliau juga diminta untuk menghadapi mereka dengan menggunakan hujjah dan alasan serta kebijaksanaan, seperti mana beliau telah diperintah supaya bersikap keras dan tegas terhadap mereka bilamana perlu.

Beliau juga telah diarahkan supaya menjawab dan menangkis kata-kata ejekan dan sindiran mereka dengan kata-kata yang setimpal. Malah Allah SWT pernah melarang beliau menshalati dan mendoakan jenazah mereka serta menziarahi kuburan mereka. Allah SWT memberitahu beliau bahwa seandainya beliau (Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam sendiri) yang memohon supaya Allah mengampunkan orang-orang munafiq itu, mereka tidak akan diampuni. Inilah sikapnya terhadap musuh-musuhnya dari kalangan orang kafir dan munafiq.

Dari keterangan ringkas yang sangat jelas dan tepat mengenai peringkat-peringkat perjuangan (jihad) di dalam Islam, maka terang dan nyatalah sudah ciri-ciri asli dalam jalannya gerakan agama ini, yang perlu diperhatikan. Di samping itu kita juga mendapat penjelasan dan dengannya dapat membuat uraian secara ringkas pula:

Ciri Pertama 
Fakta-fakta yang benar-benar berlaku di dalam gerakan agama ini; gerakan menghadapi realitas hidup manusia, menghadapinya dengan cara yang sesuai dan selaras dengan wujudnya di dalam kenyataan. Ia hadapi jahiliyah dalam segi iktikad dan konsep, dan dengan demikian maka gerakan Islam itu menghadapi realitas dengan membawa perkara-perkara yang selaras dengan realitas itu sendiri. 

Ia menghadapinya dengan dakwah dan seruan, dengan keterangan dan penjelasan untuk membetulkan iktikad dan kepercayaan, ia hadapi dengan kekuatan dan perjuangan untuk menghapus sistem dan kekuasaan yang sedang berkuasa dan merintangi jalannya, yang menghalanginya dari menyampaikan kebenaran kepada umat manusia, yang menekan mereka dengan kekerasan dan paksaan serta penyesatan supaya mereka mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Tuhan mereka yang sebenar gerakan yang tidak cukup dengan keterangan dan penjelasan saja dalam menghadapi kekuasaan yang berbentuk materi, seperti juga ia tidak menggunakan kekerasan dan kekuasaan materi dalam menghadapi hati nurani umat manusia.

Ini semua adalah sama dalam jalan gerakan agama ini untuk mengajak manusia supaya tidak mengabdikan diri kepada sesama manusia dan kembali mengabdikan diri kepada Allah saja sebagaimana keterangan yang akan disebutkan nanti.

Ciri Kedua
Ciri yang kedua dari program agama ini ialah realitas dari sebuah organisasi, karena agama ini merupakan satu gerakan yang punya banyak tahap dan peringkat. Setiap tahap dan peringkat itu mempunyai jalan dan cara yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya yang sebenar, dan setiap peringkat itu pula berhubungan rapat dengan peringkat-peringkat berikutnya. 

Agama ini tidak cukup menghadapi realitas itu dengan teori saja, seperti juga ia tidak menerima peringkat-peringkat realitas itu dengan cara beku dan kaku. Orang-orang yang membawa ayat-ayat Al-Quran sebagai dalil mengenai program agama ini dalam masalah jihad, tanpa memperhatikan ciri ini, dan tanpa memberikan perhatian berat kepadanya di dalam tahap-tahap dan peringkat yang dilalui oleh program itu, serta jalinan hubungan ayat-ayat Al-Quran itu dengan setiap tahap dan peringkat perjuangan orang-orang yang berbuat demikian adalah orang-orang yang mencampur aduk dan memalingkan hakikat agama ini ke arah jalan yang menyesatkan.

Mereka membawa ayat-ayat Al-Quran itu ke arah dasar dan kaedah yang bertentangan dengannya. Mereka beranggapan bahwa setiap patah ayat Al-Quran itu adalah merupakan nash terakhir dan malah merupakan kaedah asasi yang terakhir. Lalu mereka katakan - sedang mereka adalah orang-orang yang busuk jiwa dan fikiran di bawah tekanan dan pengaruh realitas, mereka adalah orang-orang yang lumpuh dan putus asa melihat kelemahan dan kerendahan hidup sebagian orang-orang Islam yang masih tinggal nama saja.

Mereka beranggapan bahwa Islam itu berjuang dan berjihad semata-mata hanya untuk mempertahankan diri saja! Mereka menyangka bahwa mereka berbuat bakti kepada agama ini dengan menariknya keluar dari program asalnya yaitu menghapuskan taghut dari bumi Allah ini dan menyuruh manusia mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Menyelamatkan umat manusia dari menyembah dan memuja sesama umat manusia kepada menyembah dan memuja Allah, bukan dengan cara memaksa mereka menganut agama ini; dengan cara memberi peluang kepada mereka mengkaji hakikat akidah agama ini, sesudah sistem politik jahiliyah yang sedang berkuasa itu dihancurkan, atau setelah sistem pemerintahan jahiliyah itu dikalahkan dan menyerah diri kepada akidah ini, dan memberikan kebebasan kepada seluruh umat manusia untuk menganut atau tidak menganut akidah ini berdasarkan kebebasan dan kemerdekaan yang sebenarnya.

Ciri Ketiga
Ciri yang ketiga ialah bahwa walaupun bentuk gerakan senantiasa berubah dan cara selalu bertukar ganti, tapi tidak boleh menyebabkan agama ini menyeleweng dari kaedah dan tujuan yang telah ditentukan. 

Agama ini –sejak hari-hari pertamanya – baik ketika ia mengarahkan percakapannya kepada keluarga Nabi yang terdekat, atau kepada kaum Quraisy dan seluruh umat manusia di dunia ini, sesungguhnya ia memperkatakan tentang satu kaedah saja dan meminta mereka bertumpu kepada satu tujuan saja, yaitu memurni dan mengikhlaskan pengabdian mereka kepada Allah saja dan keluar sama sekali dari setiap bentuk pengabdian kepada sesama umat manusia.

Setelah itu, dia hendaklah terus bergerak dan bertindak melaksanakan planning yang telah ditetapkan, melalui tahap dan peringkat tertentu, dengan caranya sendiri, seperti telah kita uraikan di atas.

Ciri Keempat
Ciri keempat adalah ketetapan syariat mengenai hubungan antara masyarakat Islam dengan masyarakat-masyarakat lain, mengikut cara dan dasar dari ringkasan yang telah kita petik dari buku "ZAADUL MA'AD" dan berjalannya ketetapan di atas landasan bahwa penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah itulah yang berbentuk universal yang seluruh umat manusia mesti berteduh di bawah lindungannya dan janganlah ada sedikit pun penghalang berupa sistem politik dan pemerintahan atau kekuatan materialis atau suasana yang menghalangi terlaksananya penyerahan diri kepada Allah. Hendaklah diberi kebebasan sepenuhnya kepada setiap individu untuk memilih sendiri, apakah dia mau atau tidak, tanpa sedikit pun halangan dan paksaan. 

Seandainya ada pihak mana saja yang menghalangi dan memaksa, maka sudah menjadi kewajiban Islam untuk memeranginya hingga ia tewas atau menyerah diri.

Orang-orang yang rusak jiwa dan fikiran, yang menulis mengenai masalah JIHAD DALAM ISLAM dengan maksud mempertahankan Islam dari serangan orang; lantas mereka mencampur-adukkan program dan dasar agama Islam mengenai “tiada paksaan dalam beragama”, dengan dasarnya untuk menghancurkan kekuatan dan kekuasaan politik yang berbentuk materi yang bisa menghalangi umat manusia dari menganut Islam, kekuatan dan kekuasaan yang telah menjadi puncak umat manusia saling mengabdikan diri kepada sesama umat manusia dan menghalangi mereka dari mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Sedangkan keduanya (yaitu program Islam mengenai tiada paksaan dalam beragama dan programnya untuk menghapus segala kekuasaan yang menghalanginya) adalah merupakan masalah yang terpisah dan tidak bisa dicampur-aduk.

Oleh karena campur-aduk dan fikiran seperti itulah yang telah mereka coba untuk membatasi jihad Islam itu ke dalam lingkungan yang sangat sempit dengan diberi nama “Jihad yang berbentuk mempertahankan diri” sedangkan jihad dan perjuangan Islam itu adalah suatu masalah lain yang tidak sangkut pautnya dengan peperangan umat manusia zaman kini seperti yang dikenal sekarang.

Sudah sepatutnya diberikan perhatian tentang sebab musabab jihad Islam diikuti dari ciri perkataan “Islam” yang berarti “penyerahan diri” itu sendiri dan juga dari peranannya dalam dunia ini, dari tujuan dan matlamat tertingginya yang telah ditetapkan oleh Allah yang telah menyebutkan bahwa untuk mencapai matlamat itulah maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam telah diutus membawa pengajaran dan risalahnya dan dijadikan beliau sebagai penutup segala nabi.

Islam adalah merupakan suatu proklamasi umum untuk membebaskan “umat manusia” di “bumi” ini dari menjadi mangsa pengabdian oleh manusia atas sesama manusia, dari menjadi mangsa pengabdian kepada hawa nafsu serakahnya, hawa nafsu yang pada hakikatnya adalah sama-sama menjadi hamba Allah. Proklamasi itu berbentuk pengakuan ketuhanan Allah Yang Maha Esa.

Proklamasi ke-Tuhanan ALLAH itu berarti suatu revolusi sepenuhnya terhadap kekuasaan sesama umat manusia dalam segenap bentuk dan rupa serta dalam apa pun bentuk pemerintahan umat manusia di atas muka bumi ini, di mana saja umat manusia itu menjalankan pemerintahan berpandu kepada undang-undang bikinan mereka sendiri; atau dengan perkataan lain: KETUHANAN manusia dalam apa pun bentuknya.

Pemerintahan yang menjadikan manusia-manusia sebagai sumber kekuasaan dan undang-undangnya dalam mana suatu golongan manusia dianggap sebagai pihak yang berkuasa dan menjadi 'Tuhan' yang berhak menentukan nasib golongan yang lain.

Sesungguhnya, proklamasi itu berarti mengambil balik kekuasaan Allah yang telah dirampas dan direnggut itu untuk dikembalikan kepada Allah, juga berarti menghalau dan menghapuskan para perampok yang masih memperkosa kekuasaan Allah itu, yang memerintah umat manusia berdasarkan undang-undang yang mereka buat sendiri.

Mereka itu - dengan perbuatan seperti itu - telah meletakkan diri mereka sendiri setaraf dengan Allah dan rakyat yang mereka perintah pula adalah setaraf dengan hamba abdi. Proklamasi itu juga berarti menghancurkan pemerintahan manusia untuk digantikan oleh pemerintahan Allah 'Azza wa Jalla di bumi-Nya, seperti yang digambarkan oleh Al-Quran:

“Dan Dialah [Allah] itu Tuhan yang berkuasa memerintah di langit dan berkuasa juga memerintah di bumi.” (QS. Az-Zukhruff: 84) 

"Kekuasaan dan pemerintahan itu adalah kepunyaan Allah Dia [Allah] perintahkan kamu sekalian jangan mengabdikan diri kepada yang lain daripada-Nya [Allah]. Itulah agama yang lurus.” (QS. Yusuf: 40) 

“Katakanlah [ajarkanlah] wahai Muhammad: wahai ahli kitab, marilah kita [pegang] satu saja [dasar] antara kami dan kamu: [Yaitu] dasar bahwa kita tidak [akan] menyembah [mengabdikan diri] kepada Tuhan yang lain daripada Allah, dan kita tidak akan sekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya [Allah] dan tidak pula setengah kita [orang awam atau rakyat jelata] menganggap setengah yang lain sebagai Tuhan, selain daripada Allah. Dan seandainya mereka [masih] berkeras juga, maka katakanlah kepada mereka: Persaksikanlah bahwa kami semuanya adalah orang Islam [yang menyerah diri sepenuhnya kepada Allah]." (QS. Ali Imraan: 64)

Pemerintahan Allah di bumi-Nya ini tidak mungkin tegak terlaksana dengan cara pemerintahan itu dikendalikan oleh orang atau golongan tertentu, seperti para padri dan pendeta dan orang-orang yang menamakan dirinya tokoh-tokoh atau orang-orang agama, seperti yang telah berlaku dalam sistem pemerintahan gereja di Eropah zaman pertengahan; tidak pula dalam bentuk orang atau golongan tertentu berbicara sebagai wakil Tuhan, seperti yang berlaku di dalam sistem pemerintahan THEOCRACY atau “Kerajaan Suci”.

Bukan itu bentuknya. Melainkan, dengan melaksanakan syariat Ilahi dan semua urusan hidup dijalankan berpandu kepada ajaran Allah.

Menegakkan Kerajaan Allah di muka bumi ini, melaksanakan syariat dan undang-undang Allah, merebut kembali kekuasaan Allah dari tangan manusia durjana yang merampas hak-hak Allah, memansukhkan undang-undang bikinan manusia tidak akan berhasil hanya dengan berdakwah saja, bertabligh dengan berpidato saja. Orang-orang yang kecanduan mencengkram leher sesama manusia, kecanduan merampas kekuasaan Allah, tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka hanya dengan dakwah, tabligh dan penerangan saja. Sebab kalau dakwah tabligh dan penerangan saja sudah cukup, maka alangkah ringan dan mudahnya tugas itu dan alangkah mudahnya kerja para Rasul menegakkan agama Allah di muka bumi ini sejak zaman berzaman.

Proklamasi umum untuk membebaskan umat manusia daripada menjadi mangsa pengabdian oleh sesama manusia dan menegakkan kekuasaan Allah saja, bukanlah merupakan suatu proklamasi yang berpandukan teori falsafah yang negatif. Ia merupakan proklamasi yang berpijak di bumi nyata dan disertai dengan gerakan yang positif, disertai oleh pelaksanaan yang praktis dalam bentuk suatu sistem pemerintahan yang berpandukan syariat Allah, menghapuskan pengabdian oleh manusia atas sesama manusia, dan umat manusia mengabdikan diri dan bertuhan hanya kepada Allah saja tanpa sekutu bagi-Nya.

Dengan demikian maka hendaklah usaha berdakwah dan memberikan penerangan itu berjalan serentak, dan seimbang dengan gerakan melaksanakan tujuan proklamasi itu.

Oleh karena ia suatu proklamasi umum bagi kemerdekaan dan kebebasan seluruh UMAT MANUSIA di seluruh MUKA BUMI, kemerdekaan dan kebebasan dari segala kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah, maka agama Islam, di sepanjang zaman gerakannya, terpaksa berhadapan dengan beraneka ragam rintangan dan halangan, baik yang berbentuk akidah dan konsep hidup, maupun yang bercorak materi dan realitas, termasuk sistem politik, corak pemerintahan, sosial, ekonomi, pertentangan kelas dan berbagai bentuk ajaran thagut.

Kalaulah penerangan (dakwah) terpaksa menghadapi masalah iktikad dan konsep hidup, maka gerakan terpaksa pula menghadapi beraneka halangan berbentuk materi, bermula dari kekuasaan politik (status quo dan vested interest), yang menguasai bidang kepercayaan di samping melindungi faham perkauman, realitas hidup dan organisasi sosial dan ekonomi yang berliku-liku. Kedua-duanya (penerangan (dakwah) dan gerakan) terpaksa menghadapi realitas KEMANUSIAAN seluruhnya dengan cara yang sesuai dengan peranan dan keadaan masing-masing.

Kedua-duanya adalah syarat mutlak untuk memulakan gerakan membebaskan umat manusia di bumi ini, seluruh UMAT MANUSIA dan di seluruh MUKA BUMI. Syarat mutlak yang mesti dilaksanakan!

Sesungguhnya agama Islam bukanlah hanya sekadar suatu proklamasi kebebasan dan kemerdekaan manusia dan bumi Arab saja! Perutusan dan messagenya bukanlah khas untuk orang-orang Arab saja, sebab dasar dan tajuk percakapannya ialah “manusia” setiap jenis manusia dan lapangannya ialah “bumi”, setiap keping bumi, sebab Allah bukanlah Tuhan bagi orang-orang Arab saja dan bukan juga Tuhan untuk penganut-penganut Islam saja bahkan Dia adalah Tuhan SERU SEKALIAN ALAM dan agama itu adalah bertujuan mengembalikan “alam” ini seluruhnya ke pangkuan TUHAN-nya mencegah mereka dari menyembah dan mengabdikan diri (beribadah) terhadap yang lain daripada-Nya, sebab penghambaan yang paling besar, dalam pandangan Islam, ialah sifat patuh dan tunduk mahusia kepada undang-undang yang dibikin oleh manusia sendiri untuk diterima dan dipatuhi oleh sesama umat manusia inilah dia inti pengertian “ibadah”.

Yang mereka berikrar bahwa “ibadah” itu hanya untuk Allah saja, kepada Allah saja, di hadapan Allah saja, dan siapa saja yang melakukan ibadah, menumpukan pengabdian dan kepatuhan kepada yang lain dari Allah, maka berarti dia telah keluar dari agama Allah, walaupun dia mengaku, mendakwa dan menepuk dada bahwa dia adalah seorang muslim.

Rasulullah SAW telah membuat penegasan bahwa “kepatuhan” dalam peraturan hidup, undang-undang dan dasar pemerintahan itu adalah merupakan sejenis “ibadah” yang menyebabkan orang Kristian (Nasrani) dipandang sebagai orang musyrikin yang menentang dan mengingkari perintah Allah supaya “ibadaht” itu ditumpukan kepada Allah saja.

Imam At-tirmidzi telah meriwayatkan, dengan sanadnya, mengenai cerita Adi bin Hatim r.a. bahwa setelah sampai kepadanya dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam , beliau tidak mau memeluk Islam dan terus melarikan diri ke Syam, karena beliau telah menganut agama Kristian sejak zaman jahiliyah. Seorang saudara perempuannya (barangkali kakaknya) dengan disertai oleh beberapa orang terkemuka kaumnya telah jatuh menjadi orang tawanan tentara Islam; tetapi Rasulullah merasa kasihan kepada saudara perempuannya itu lalu beliau membebaskannya.

Setelah dibebaskan, saudara perempuan Adi bin Hatim pulang menemui beliau (Adi) lalu diajaknya beliau menganut Islam dan datang mengadap Rasulullah SAW di Madinah. Kedatangan mereka berdua, kakak beradik, itu rupanya menjadi buah mulut penduduk Madinah, karena beliau (Adi) masuk menghadap Rasulullah dengan keadaan memakai sebatang salib (cross) perak di lehemya.

Kebetulan pada ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam sedang menyampaikan firman Allah yang bermaksud: 'Orang-orang Yahudi dan Kristen telah memandang padri-padri, rahib-rahib pendeta dan ketua agama mereka sebagai Tuhan selain dari Allah.'

Mendengar bacaan ayat ini Adi pun langsung menjawab: “tidak, mereka itu (Yahudi dan Kristian) tidak menyembah dan melakukan ibadah terhadap para padri dan rahib itu”, lalu Rasulullah SAW pun menjawab dengan tegasnya: “bahkan! ketegasan ini sangat benar, karena pada padri dan rahib itu telah mengharamkan perkara-perkara yang dihalalkan oleh Allah, mereka menghalalkan perkara-perkara yang Allah haramkan, lalu mereka (orang-orang Yahudi dan Kristian itu) terima dan patuh saja menerima keputusan yang dibuat oleh para padri dan rahib itu. Itulah arti dan maksud ibadah mereka terhadap padri dan rahib itu.”

Tafsiran Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam atas firman Allah ini adalah merupakan nash dan sandaran hukum yang pemutus, Yang memberi kesimpulan bahwa sikap tunduk, patuh dan menerima saja dalam masalah perundangan dan pemerintahan adalah juga berarti pengabdian yang dapat menyebabkan individu dan golongan yang berkenaan itu keluar dari agama Islam dan juga bisa membawa arti bahwa sikap seperti itu adalah satu bentuk pendewaan dan pemujaan, malah mempertuhankan sesama manusia sendiri, yaitu suatu masalah yang hendak dikikis habis oleh Islam dan kehadiran Islam pun adalah bertujuan untuk memproklamasikan kebebasan MANUSIA di muka BUMI dari mengabdikan diri kepada yang lain daripada Allah. (Bersambung)



Halaman 1 dari 4
Sebelumnya                                  Halaman Utama                                   Selanjutnya

002. Jihad di jalan Allah



Dengan demikian maka Islam mesti bergerak di bumi ini untuk menghapuskan realita yang bertentangan dengan proklamasi umum itu, menyampaikan dakwah dan menjalankan gerakan sekaligus. Islam juga harus memberikan pukulan sekaligus terhadap segala macam pukulan pihak penguasa politik yang memaksa umat manusia mengabdikan diri kepada yang lain selain ALLAH., Tuhan Yang Ahad.

Yaitu, yang memerintah mereka dengan memakai undang-undang dan syariat yang lain selain undang-undang dan syariat Allah, dan yang menutup umat manusia dari mendengar dakwah dan menganut akidah dengan aman dan bebas, tanpa dihalangi oleh kekuasaan apa pun.

Islam harus tegak dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang menjadikan gerakan pembebasan itu berjalan lancar dan teratur, setelah hapus kekuasaan yang menghalanginya, apakah kekuasaan itu berbentuk kekuasaan politik atau disertai dengan dasar-dasar perkauman, pertentangan kelas atau lain-lain.

Islam sama sekali tidak memaksa umat manusia menganut akidah atau kepercayaannya, tapi perlu diingat bahwa Islam bukan hanya suatu akidah. Seperti telah kita utarakan sebelumnya, Islam juga suatu proklamasi umum bagi pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama umat manusia.

Islam juga mempunyai suatu tujuan pokok untuk menghapus dan mengikis sistem dan pemerintahan yang berdasarkan penindasan dan pengabdian oleh umat manusia atas sesama umat manusia. Setelah setiap individu diberi kebebasan yang sejati untuk memilih sendiri akidah dan pegangan hidup masing-masing, berdasarkan kehendak dan pilihan sendiri dalam keadaan kebebasan sepenuhnya, setelah tiada lagi tekanan politik dan ancaman pihak berkuasa ke mereka, setelah ruh dan jiwa mereka mendapat sinar penerangan yang secukupnya mengenai Islam dan lain-lain agama dan pegangan hidup.

Kebebasan itu tidak pula berarti bahwa mereka bebas untuk bertuhankan hawa nafsu dan mereka merelakan diri untuk mengabdikan diri kepada sesama umat manusia, atau untuk menjadikan sesama umat manusia sebagai Tuhan yang dipatuhi segala suruhan dan larangannya, atau juga untuk mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Allah saja.

Sesungguhnya sistem yang memerintah umat manusia di muka bumi ini hendaklah berdasarkan pengabdian diri umat manusia kepada Allah SWT. Yaitu dengan cara menerima undang-undang dan syariat Allah saja, di mana setiap individu mesti menerima arahan dan perintah Allah. Sesudah itu, bolehlah setiap individu menganut akidah apa pun yang mereka suka.

Dengan demikian, barulah agama itu menjadi kepunyaan Allah saja, sebab perkataan agama atau “addin” itu sendiri sebenarnya mengandung pengertian yang lebih luas daripada perkataan akidah. Addin ialah peraturan hidup dan undang-undang yang menguasai sendi-sendi kehidupan dan ia mesti berdasarkan akidah.
Di dalam Islam perkataan “ad-diin” mencakup pengertian yang lebih luas daripada “akidah”. Dalam Islam, sebuah organisasi atau masyarakat bisa tunduk kepada program dan panduan umum Islam yang berasaskan pengabdian diri kepada Allah saja, walaupun ada unit-unit tertentu di dalam masyarakat itu yang tidak menganut akidah Islam.
Orang-orang yang mengerti akan tabiat agama ini (Islam) - mengikut cara yang telah diuraikan tadi - akan mengerti dan faham tentang betapa penting dan perlunya sebuah organisasi yang aktif dan dinamis yang dibawa oleh Islam dalam bentuk perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata di medan perang, di samping perjuangan di medan penerangan (dakwah).

Mereka juga tentu mengerti dan faham bahwa perjuangan Islam itu bukanlah suatu perjuangan untuk mempertahankan diri saja, menurut pengertian yang sempit, seperti yang dimaksudkan oleh orang-orang yang frustasi berhadapan dengan tekanan yang kononnya realita, atau dengan serangan dan kecaman kaum orientalis yang bermaksud hendak menggambarkan bahwa gerakan jihad di dalam Islam semata-mata suatu gerakan mempertahankan diri saja.

Seandainya gerakan jihad Islam itu terpaksa dinamakan sebagai “gerakan mempertahankan diri” maka kita perlu mengubah pengertian perkataan “bertahan” atau “pertahanan”. Kita mesti menganggapnya sebagai “pertahanan terhadap manusia” itu terdiri dari segala sebab yang menghalangi kebebasannya, baik yang berbentuk konsep atau cara berfikir, atau yang berbentuk susunan ekonomi atau pertentangan kelas yang telah kokoh. Islam datang dan terus wujud dalam beraneka bentuknya di zaman jahiliyah modern ini.

Dengan meluaskan pengertian kata “pertahanan”, kita bisa memahami hakikat gerakan Islam di BUMI ini dengan cara berjihad dan kita bisa mengerti hakikat Islam itu sendiri sebagai suatu proklamasi umum yang terbuka ke arah pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama manusia dan dari mempertuhankan sesama umat manusia kepada pengakuan ketuhanan serta kekuasaan Allah untuk seluruh alam ini, menghancurkan kekuasaan hawa nafsu manusia di muka bumi ini.

Adapun usaha untuk menyempitkan pengertian jihad Islam dan menyebutnya sebagai gerakan “bertahan” mengikuti pengertian zaman modern ini, juga usaha untuk mencari alasan untuk memperkecil peristiwa-peristiwa jihad di dalam Islam. Bahwa, jihad semata-mata untuk menentang ancaman kekuatan luar terhadap negeri Islam, yang oleh sebagian orang dipandang bahwa negeri Islam ialah Semenanjung Arab saja, maka usaha itu adalah merupakan suatu usaha yang berawal dari kurang pengertian mengenai tabiat agama ini dan tabiat peranannya dalam seluruh masalah di muka bumi ini, seperti juga usaha itu menekan sikap menyerah berhadapan dengan realita zaman modern dan kecaman pada orientalis terhadap pengertian jihad Islam.

Cobalah anda lihat dan fikir, seandainya Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. merasa bahwa Semenanjung Arab itu selamat dari ancaman permusuhan dari kerajaan Romawi dan Parsi, adakah mereka berdiam diri saja tanpa menjalankan gerakan meluaskan pengaruh agama ini ke seluruh pelosok dunia?

Lihatlah lagi bagaimana mereka telah menyebarkan agama ini, sedangkan halangan dan rintangan begitu hebat menghalangi mereka, baik yang berbentuk sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi, dengan dilindungi dan dikawal oleh negara-negara raksasa.

Adalah suatu kebodohan bahwa dakwah yang memproklamirkan kebebasan manusia untuk semua manusia di muka “bumi” dan negeri di dunia ini, kemudian hanya berdiri tegak menghadapi rintangan dan halangan dengan hanya bersenjatakan lidah dan pena saja!

Sesungguhnya dakwah ini berjuang melalui penerangan secara lisan dan pena saja ketika ia bebas berbicara dan berdialog dengan setiap orang dalam suasana penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa dihalangi oleh apa pun. Ketika itulah baru dianggap berlakunya perintah dan dasar “tiada paksaan dalam beragama" ( لااكراه في الدبن ). Tapi, bila ada halangan, maka hendaklah terlebih dahulu halangan itu dihapuskan dengan kekerasan dan paksaan, supaya dakwah bisa mengetuk pintu hati dan fikiran umat manusia dengan bebas, tanpa gangguan.
Jihad adalah syarat utama bagi perjalanan dakwah ini, karena tujuannya memproklamirkan kebebasan umum umat manusia hingga ia mampu menghadapi realita dari segenap segi. Ia tidak cukup dengan hanya memberi penerangan dan penjelasan seputar filsafat saja, sementara tanah air Islam, atau mengikuti istilah Islam yang sebenarnya “Negara Islam” (Darul-Islam) itu terancam oleh kekuatan negara asing.
Ketika Islam mencari perdamaian, maka yang dicarinya bukan sejenis perdamaian yang rendah mutu dan nilainya, yaitu semata-mata hendak mengamankan secuil tanah, yang didiami oleh kaum muslimin. Yang dikehendaki Islam ialah perdamaian yang menjamin bahwa kepatuhan umat manusia itu tertumpu sepenuhnya kepada Allah saja, dengan pengertian bahwa ketundukan dan kepatuhan umat manusia itu tertumpu dan tertumpah kepada Allah saja, baik soal ibadat maupun urusan hidup di dunia, tidak boleh sedikit pun tersisa pengabdian oleh manusia terhadap sesama manusia.

Penentuan sukses atau gagalnya jihad Islam itu tidak boleh dilihat dari putaran pertama, putaran pertengahan atau putaran akhir dari sesuatu perjuangan. Melainkan, dilihat dari sejauh mana dampak jihad terhadap kedudukan orang-orang kafir di dalam sesuatu negara; apakah dapat dijadikan seperti kedudukan mereka sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Ibnul-Qayyim di dalam kitabnya "Zaadul-Maad" dengan arti bahwa akhirnya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu golongan orang Islam, golongan dzimmi dan golongan harbi yang senantiasa bimbang dan takut kepada orang Islam dan pemerintah Islam. Itulah indakator jika Jihad Islam berjalan di atas landasan yang sebenarnya. Tapi sekiranya kedudukan orang-orang kafir terus menerus dengan kufurnya, tanpa keraguan apa pun; maka nyatalah jihad Islam itu gagal.

Inilah dia sikap penuh nalar dari agama ini. Bukan seperti yang difahamkan oleh orang yang keliru dan frustasi dalam menghadapi realita zaman sekarang dan dalam menghadapi para orientalis yang penuh kelicikan itu.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menghindarkan orang-orang Mekah dan di zaman permulaan hijrah ke Madinah dari kewajiban berjihad. Umat Islam diperintah supaya “genggam tangan kamu dan dirikanlah shalat”. Setelah itu baru mereka diizinkan berperang, dengan perintah wahyu:

“Diizinkan kepada orang-orang Islam yang dimusuhi itu untuk berperang karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk menolong dan memberi kemenangan kepada mereka. [Yaitu] orang-orang yang telah diusir keluar dari negeri dan kampung halaman mereka dengan cara yang tidak benar, melainkan [semata-mata] disebabkan mereka berkata [menegaskan pendirian mereka “Allah Tuhan Kami”. Dan kalaulah bukan karena Allah membuat perimbangan di antara manusia niscaya runtuhlah tempat-tempat pertapaan gereja, tempat-tempat sembahyang [Yahudi] dan juga masjid-masjid tempat nama Allah disebut orang di dalamnya; dan Allah pasti akan menolong siapa saja [individu dan umat] yang menolong menegakkan agamanya, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuat [Berkuasa] dan Maha Mulia, yaitu orang-orang [individu dan umat Islam] yang bila Kami beri keteguhan kepada mereka [beri kekuasaan dan kedudukan yang baik] niscaya mereka menegakkan sembahyang dan membayar zakat, juga mereka memerintah dengan maaruf [dengan berpandu kepada ajaran Allah] dan mereka mencegah kemungkaran [sesuatu yang berlawan dengan perintah Allah] dan kepunyaan Allah jualah kesudahan segala masalah.” (QS. Al-Haj: 39-41)

Kemudian mereka diperintah memerangi orang-orang dan atau golongan yang memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang memerangi orang atau golongan yang tidak memerangi mereka.

Firman Allah:

“Dan hendaklah kamu sekalian berperang di jalan Allah [melawan] golongan dan orang yang memerangi kamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 19)
Kemudian baru mereka diperintah memerangi seluruh orang musyrik, melalui Firman:

Maka hendaklah kamu sekalian memerangi kaum musyrikin seluruhnya seperti mereka memerangi kamu seluruhnya.” (QS At-taubah: 36)
Mereka juga telah diberi peringatan:

“Hendaklah kamu sekalian memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya telah haramkan, dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu dari golongan ahli kitab [Yahudi dan Kristen], sehingga mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendah diri.” (QS At-Taubah: 29)
Jadi, berperang itu menurut pendapat Imam Ibnul-Qayyim pada awalnya dilarang, kemudian dibenarkan, kemudian diperintah untuk dilakukan terhadap individu dan golongan yang memulai peperangan itu, kemudian diperintah supaya perang itu dilakukan ke atas seluruh orang musyrikin.
Ketegasan nash-nash Al-Quran yang diturunkan mengenai masalah jihad dan perjuangan, dan ketegasan hadis Nabi yang penuh berisi rangsangan untuk berperang dan juga ketegasan peristiwa-peristiwa dan bukti sejarah dari kejadian dan keadaan di zaman kebangkitan Islam dahulu sesungguhnya nas dan bukti yang begitu terang dan nyata itu mestinya menyekat otak dan fikiran kita dari menerima penafsiran ala orang yang frustasi dalam menghadapi tekanan realita zaman kini dan juga dalam menghadapi kecaman para orientalis mengenai pengertian jihad di dalam Islam.
Siapakah gerangan di kalangan orang yang mengenal Allah dan Rasul-Nya dan mendengar perintah-Nya mengenai hal ini, dan orang yang mengikuti jejak perjuangan Islam di dalam masalah jihad di dalam Islam yang sampai hati menganggap bahwa perintah jihad di dalam Islam merupakan perkara sampingan saja, yang hanya berlaku dalam suasana tertentu saja untuk sekadar menjaga keselamatan negeri saja?

Sesungguhnya Allah SWT telah menerangkan kepada orang-orang beriman melalui ayat yang sudah jelas untuk memberi lampu hijau bagi melakukan perang, bahwa perkara yang selalu berlaku di dalam hidup di dunia ini ialah bahwa Allah senantiasa menjaga perimbangan antara sesama golongan umat manusia itu sendiri supaya terhindarlah kerusakan di bumi ini (Al-Haj: 39-40) yang telah diuraikan tadi.
Sebenarnya larangan berperang di zaman Mekah itu tidak lain dari suatu tahapan zaman dalam perjuangan yang panjang. Demikian juga dengan larangan berperang di zaman permulaan hijrah. Motif yang mendorong masyarakat Islam di Madinah selepas itu untuk bertindak dengan tujuan untuk mengamankan Madinah saja.
Memanglah itu menjadi tujuan utama yang tak dapat dihindarkan lagi; tetapi tindakan itu mempunyai tujuan dasar bagi menjamin lancarnya tindakan itu yang akan mengamankan markas pergerakan; pergerakan untuk pembebasan umat manusia dan menghapuskan “halangan” yang menyekat manusia dari bergerak bebas dan bertindak mengikuti panduan yang telah digariskan oleh Islam. Larangan berperang yang dikenakan ke atas orang-orang Islam di zaman Mekah adalah merupakan suatu perkara yang mudah difahami.

Di Mekah terdapat kebebasan berdakwah. Ditambah pula oleh fakta bahwa sebagai pemimpin perjuangan ini Rasulullah SAW telah mendapat perlindungan di bawah kawalan senjata Bani Hasyim. Beliau mendapat perlindungan untuk berdakwah dan mengetuk pintu hati dan fikiran setiap orang, juga untuk menghadapi ancaman orang-orang tertentu; juga karena di Mekah tiada sebarang kuasa politik yang teratur untuk menyekat beliau dari menjalankan kegiatan dakwah dan menyekat orang dari menutup telinga dan fikiran ke arah dakwah beliau. Dengan demikian tidak ada sebab, pada tahapan ini, untuk menggunakan kekuatan, di samping terdapat juga beberapa faktor lain di peringkat ini.

Boleh jadi tahapan periode Mekah waktu itu merupakan tahapan periode pendidikan dan membuat persediaan atau persiapan, di dalam keadaan masyarakat tertentu, untuk golongan kaum tertentu dan di tengah lingkungan keadaan yang tertentu pula.

Di antara tujuan utama pendidikan dan persiapan dalam suasana yang seperti itu ialah mendidik dan melatih jiwa dan semangat orang Arab supaya tabah dan sabar menanggung kesusahan serta tahan menderita, supaya setiap orang terlepas dari kungkungan rasa cinta diri, supaya hati mereka tidak lagi terikat dengan kebiasaan mencari sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja.

Untuk mendidik mereka, diawali dari mengontrol saraf dan perasaan dari terus melakukan tindakan balas dendam, supaya tingkah laku dan tindak tanduknya dibuat dengan penuh teliti dan matang. Juga untuk mendidiknya hidup dalam masyarakat yang teratur yang tidak akan bertindak kecuali mengikuti garis yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya, walaupun garis itu bertentangan dengan kepentingan dirinya, dan kebiasaan dan adat hidupnya. Ini merupakan dasar dalam menyediakan kepribadian masyarakat Islam yang tunduk di bawah satu pimpinan yang beradab.

Boleh jadi juga karena dakwah secara aman damai itu lebih berkesan seperti di dalam masyarakat Quraisy yang terkenal sebagai sebuah masyarakat yang punya kebanggaan sendiri. Dalam tahapan ini, peperangan akan menyebabkan timbulnya kekerasan dan kekacauan seperti yang telah mencetuskan perang DAHIS dan AL GHABRA', pertempuran AL SABUS, bertahun-tahun lamanya, di mana beberapa suku dan qabilah menjadi musnah hancur. Kekacauan tersebut masih hangat dan kuat pengaruhnya di dalam ingatan mereka di zaman permulaan Islam.

Peperangan di awal dakwah pun akan menjadikan Islam terselewengkan dari suatu bentuk dakwah dan sebuah agama menjadi suatu pangkal permusuhan dan perpecahan; sedangkan ia (Islam) itu masih merupakan suatu hal baru.

Boleh jadi juga yang demikian karena hendak mengelakkan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, karena masih belum tampak suatu kekuasaan yang teratur dan dipatuhi orang, kekuasaan yang benar-benar berkerja menyiksa dan menganiaya serta menabur fitnah kepada orang-orang Islam. Kalau pun ada, pelakunya sebenarnya adalah perseorangan saja, pekerjaan individu yang punya banyak budak dan pengikut.

Dalam masyarakat seperti ini, peperangan berarti mencetuskan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, yang menyebabkan orang bisa salah sangka dan salah tanggap terhadap Islam, lalu mereka katakan: itulah dia Islam! Memang tuduhan seperti itu telah dinyatakan orang walaupun sebenarnya Islam telah mencegah dan melarang perang dalam suasana seperti itu. Tuduhan seperti itulah yang menjadi modal utama kaum Quraisy dalam gerakan propaganda mereka menentang Islam di setiap musim haji. Mereka katakan Muhammad telah memecah belah kaumnya sendiri.

Bayangkan apa yang terjadi seandainya beliau sendiri pula yang menganjurkan peperangan total di kalangan masyarakat kecil seperti itu!

Boleh jadi juga karena Allah Maha Mengetahui bahwa banyak orang yang jahat, keras hati dan suka mengganggu orang Islam di generasi pertama, yaitu orang yang mula-mula menganut agama Islam di hari-hari pertama pelantikan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan tujuan memaksa mereka keluar murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama syirik.

Gangguan ini dilakukan dengan bermacam cara, dengan teror dan siksaan, tapi ternyata kemudiannya, orang-orang itu sendiri pula menjadi tokoh penting dalam perjuangan agama Islam, malah ada pula yang menjadi pemimpin agung agama Islam. Bukankah Sayidina Umar bin AI Khattab salah seorang dari golongan ini?

Mungkin juga hal ini disebabkan oleh pengaruh sentimen kesukuan Arab dalam sebuah masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh adat bersuku dan berkabilah. Dalam masyarakat seperti ini perbuatan menolong dan membantu orang teraniaya dan dalam kesusahan, adalah suatu perbuatan yang lumrah; apalagi kalau penganiayaan itu terjadi pada orang yang dihormati dan disegani.

Banyak peristiwa yang membuktikan kebenaran pandangan ini. Sebagai contoh: Ibnu Daghnah tidak rela membiarkan Sayidina Abu Bakar, seorang hartawan yang disegani, keluar berhijrah ke Madinah dan meninggalkan kota Mekah. Dalam anggapan beliau, berhijrahnya orang seperti Sayidina Abu Bakar adalah berarti aib besar bagi orang Arab seluruhnya. Oleh karena itulah beliau telah datang meminta kesudian Sayidina Abu Bakar menjadi tetangganya, dengan janji bahwa beliau akan memberikan perlindungan kepadanya.

Di antara peristiwa terakhir yang membenarkan pendapat ini ialah usaha memecahkan kepungan (blokade) terhadap Bani Hasyim dan dikoyaknya surat pernyataan boikot ke Bani Hasyim dari golongan Abu Talib setelah sekian lama mereka menderita lapar dan susah; sedangkan di dalam sebagian masyarakat “beradab” zaman dahulu yang biasa menentang penindasan, selalu saja bersikap masa bodoh terhadap kesusahan seperti itu. Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai suatu sikap yang tercela dan berarti menghormati orang-orang zalim.

Boleh jadi juga karena sangat kecilnya jumlah orang-orang Islam ketika itu, sebab mereka hidup terkepung dalam kawasan di sekitar Mekah saja, karena dakwah Islamiyah belum sampai ke pelosok lain dan masih belum begitu didengar orang. Suku-suku lain tidak mau campur tangan di dalam urusan yang mereka pandang sebagai pertikaian dalam kalangan internal keluarga suku Quraisy, sehingga pertikaian itu selesai.

Seandainya peperangan diizinkan dalam suasana seperti ini, maka ia akan berkesudahan dengan tragedi penyembelihan massal terhadap orang-orang Islam yang terlalu kecil bilangannya itu; walaupun mereka akan melawan serangan itu. Ini akan mengakibatkan musnahnya umat Islam dan menyebabkan ia sukar untuk berkembang, sedangkan Islam itu sendiri adalah suatu panduan hidup untuk seluruh umat manusia. Demikianlah seterusnya. (Bersambung)


Halaman 2 dari 4
Sebelumnya                                  Halaman Utama                                   Selanjutnya

003. Jihad di jalan Allah



Adapun di Madinah - zaman permulaan hijrah - maka sesungguhnya perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan orang Yahudi dan kaum musyrik Madinah dan kawasan-kawasan sekitarnya (terkenal dalam sejarah Islam sebagai PIAGAM MADINAH, sebagai tanda terbentangnya sebuah negara modern di Madinah, (negara yang memenuhi syarat-syarat bernegara mengikut istilah ilmu kenegaraan di zaman modern ini), adalah merupakan suatu hal yang sangat sesuai dengan situasi dan kondisi.

Pertama: Karena perjanjian itu menjamin kebebasan berdakwah, tidak dihalangi oleh kekuatan politik apa pun, sebab menurut perjanjian itu, semua orang menghormati pemerintahan Islam yang baru muncul di bawah pimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam..

Perjanjian itu juga menyebutkan bahwa setiap orang dan setiap golongan tidak boleh membuat sebarang perjanjian damai dan tidak boleh pula mengobarkan perang, juga tidak boleh melakukan hubungan luar, melainkan terlebih dahulu mesti mendapat persetujuan Rasulullah SAW.

Ini jelas menunjukkan bahwa pimpinan dan kekuasaan di Madinah sebenarnya terletak di tangan orang Islam dan kesempatan berdakwah adalah terbuka lebar, juga kebebasan asasi umat manusia mengenai masalah ini (akidah), terjamin sepenuhnya.

Kedua: Di peringkat ini Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.. bermaksud mencari penyelesaian dengan kaum Quraisy yang terus menerus menentangnya, dan juga merupakan penghalang utama bagi kaum lain masuk Islam. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.. juga ingin melihat penyelesaian antara golongan Quraisy yang kontra dengan golongan yang pro Islam.

Untuk itu, beliau telah mengambil tindakan segera mengirim pasukan patroli (saroya jama' sariyyah), membawa panji-panji Islam.

Patroli pertama yang dikirimnya ialah yang dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Mutalib (paman Rasulullah sendiri) di bulan puasa menjelang bulan ketujuh hijrah. Pengiriman patroli atau saroyah itu dilakukan pula menjelang bulan kesembilan hijriah, di bulan ketiga belas dan keenam belas hijriah. Kemudian dikirim pula patroli di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy di awal Rajab bulan ketujuh belas hijriah. Ini saroyah pertama yang mengalami pertempuran sengit. Pertempuran ini terjadi di bulan haram (bulan suci yang dilarang berperang).

Pertempuran inilah menjadi sebab turunnya Firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu [wahai Muhammad] tentang hukum berperang di bulan yang dihormati. Katakanlah: Berperang di bulan itu adalah dosa besar; tetapi perbuatan menghalangi [orang Islam dari jalan Allah, kafir kepada Allah menghalangi orang Islam masuk] Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarya; lebih besar [dosanya] di sisi Allah. Dan fitnah itu lebih besar [dosanya] daripada berbunuhan [semasa perang dalam bulan haram]. Mereka tidak berhenti-hentinya memerangi kamu sampai mereka [dapat] mengembalikan kamu dari agama kamu [kepada kekafiran] seandainya mereka sanggup [berbuat demikian].” (QS. Al-Baqarah: 217)

Kemudian peperangan Besar Badar (Badrul-Kubra) terjadi pada bulan Ramadhan tahun itu juga dan peperangan itulah yang menjadi sebab turunnya Surah Al-Anfaal.

Jika hal itu dijadikan dasar dari latar belakang kejadian peperangan ini, maka sama sekali tidak langsung berhubungan dengan alasan “mempertahankan diri” menurut definisinya yang sangat sempit itu, untuk dijadikan dasar bagi gerakan jihad Islam; seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang yang dangkal pikirannya menghadapi realita yang berlaku dan menghadapi putar belit kaum orientalis.

Orang-orang yang sengaja mencari-cari alasan menjalankan gerakan Islam dalam bentuk “mempertahankan diri” saja sebenarnya telah beroleh ilham dan inspirasi dari serangan kaum orientalis. Ketika umat Islam sedang kehilangan kekuasaan seperti sekarang ini, dan bahkan ketika orang-orang Islam sedang kehilangan “Islam” itu sendiri, kecuali orang-orang yang masih dipelihara Allah iman dan semangatnya, yang masih terus melaksanakan proklamasi umum Islam mengenai kebebasan umat MANUSIA di atas BUMI ini dari sebarang kekuasaan yang lain dari kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, supaya kekuasaan itu menjadi kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Jihad Di Jalan Allah seluruhnya, lalu mereka berusaha dan berjuang terus meniupkan semangat jihad dengan menonjolkan nama dan lambang Islam dengan tujuan untuk memenangkan Islam saja.
Gerakan dakwah Islam tidak memerlukan sebarang pedoman dan fakta sandaran yang lebih tepat daripada panduan wahyu Ilahi ini: “Oleh karena itu, maka hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat [yaitu orang mukmin yang mengutamakan kebahagiaan hidup akhirat atas hidup dunia ini] berperang di jalan Allah. [karena] Barangsiapa yang berperang di jalan Allah lalu terbunuh [syahid] atau beroleh kemenangan, maka kelak Kami akan berikan kepadanya pahala yang besar. Dan mengapakah kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita dan anak-anak yang selalu berdoa dengan berkata “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini [Mekah] yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau”. Orang-orang yang beriman itu berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir pula berperang di jalan taghut [setan] sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisaa': 74-76)
“Katakanlah [wahai Muhammad] kepada orang-orang kafir itu: Jika mereka berhenti [dari kekafirannya] Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu. Dan jika mereka kembali lagi [kembali menjadi kafir semula dan memerangi Nabi] maka sesungguhnya akan berlaku [kepada mereka] sunnah [Allah terhadap] orang-orang dahulu”. Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah [gangguan terhadap agama Islam] dan supaya agama itu bagi Allah semata-mata [supaya orang Islam bebas melaksanakan ajaran agamanya]. ”Jika mereka berhenti [dari kekafiran dan gangguan] maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling [enggan beriman dan tidak berhenti menceroboh] ketahuilah bahawasanya Allah Pelindungmu dan sebaik-baik penolong. (QS. Al-Anfaal: 38-40)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari akhirat dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], yaitu orang-orang [Yahudi dan Kristen] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendahkan diri. Dan berkata orang-orang Yahudi: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknat Allahlah mereka. Bagaimana mereka dapat berpaling [dari kebenaran]? Mereka jadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan] Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Suci dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 29-31)
Inilah fakta-fakta sandaran yang mengesakan ketuhanan Allah di “bumi” ini, dan melaksanakan panduan-Nya di dunia ini, serta menghalau setan dan kelompoknya, juga menghancurkan kekuasaan manusia yang menindas dan menekan sesama umat manusia sedangkan semua manusia adalah hamba Allah Yang Maha Berkuasa.

Manusia tidak boleh saling menguasai dan saling mengabdi oleh dan kepada sesiapa pun dari kalangan sesama hamba Allah dengan mengatasnamakan diri mereka sendiri atau dengan undang-undang yang bersumber dari hawa nafsu dan pendapat mereka sendiri.

Pada fase ini, mulailah berlaku kalimat “tiada paksaan dalam beragama”, yaitu tiada paksaan untuk menganut agama Islam dan akidah apa pun, setelah seluruh umat manusia terbebas dari pengabdian oleh sesama manusia dan setelah diakui tegaknya suatu dasar bahwa kekuasaan seluruhnya adalah kepunyaan Allah.

Bila mereka ditanya mengenai motif yang mendorong mereka berjuang, mereka tidak akan pernah menjawab, “Kami berjuang untuk mempertahankan negeri kami yang sedang terancam.” Atau, “kami berperang untuk meredam kemaraan musuh dari Parsi dan Romawi yang merongrong kedaulatan negara kami.” Atau, “kami berjuang untuk memperluas kawasan negara kami dan mengumpul harta rampasan.” Tidak! Bukan karena semua itu!

Namun, mereka akan menjawab seperti jawaban Sayidina Rab'a bin 'Amir, Huzaifah bin Muhsan dan Al-Mughirah bin Syu'bah, kepada Rustam Panglima Angkatan Perang Persia di Medan Perang Qadisiah yang telah bertanya kepada mereka seorang demi seorang dalam tempo tiga hari berturut-turut sebelum terjadinya pertempuran hebat antara tentara Persia yang cukup lengkap dengan persenjataan tentara Islam yang kecil jumlah dan sedikit sekali persenjataannya. Rustam bertanya kepada mereka, “Apakah yang mendorong kamu ke mari untuk berperang dengan kami?” Jawaban mereka adalah bersamaan antara satu dengan yang lain, tidak berubah dan tidak berbeda. Jawaban mereka berbunyi, “Bahwa Allah telah mengutus kami untuk mengajak dan menyeru tuan-tuan dan semua orang yang memperlihatkan taat setianya kepada sesama manusia untuk bersama-sama dengan kami menyembah dan menuju pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka juga mengajak Romawi dan Parsi untuk keluar dari kesempitan hidup dunia kepada ruang hidup yang lebih luas, di dunia dan akhirat, dari keganasan dan kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam lalu diutus-Nya utusan-Nya kepada seluruh umat manusia. Siapa saja menerima Islam, maka kami sambut mereka dan kami akan meninggalkan negeri mereka. Kami persilakan mereka terus berkuasa di negeri mereka sendiri. Sebaliknya, siapa saja yang angkuh dan enggan menerima Islam maka kami akan memerangi mereka sehingga kami mendapat kurnia surga Allah atau kami beroleh kemenangan.”
Sebenarnya ada tenaga pendorong di dalam tabiat agama ini dalam proklamasi umum dan juga dalam programnya yang berpijak dalam realita untuk umat manusia, yang sesuai dengan bentuk hidup umat manusia yang beragam. Tenaga pendorong utama itu senantiasa hidup tegak, walaupun tiada sebarang bentuk permusuhan atas negeri Islam dan juga terhadap kedaulatan orang-orang Islam di dalam negeri itu, karena ia adalah tenaga pendorong yang sejati dan asli di dalam program dan realitanya, bukan sekadar bertumpu pada mempertahankan diri saja, yang sangat sementara bentuknya.

Seorang muslim itu cukup mampu untuk keluar berjuang mempertaruhkan jiwa raga dan harta bendanya di “jalan Allah” semata, di jalan dasar dan nilai Allah saja, bukan demi keuntungan materi untuk diri dan golongannya, dan bukan pula karena sebarang impian kebendaan yang mendorongnya. Sebelum setiap orang muslim keluar berjuang dan berperang di medan jihad, pada hakikatnya dia telah berhasil mengarungi medan jihad yang amat besar di dalam dirinya sendiri, melawan godaan setan dalam hatinya, menentang nafsu dan syahwat keinginan yang beraneka bentuk, menentang rasa tamak, menentang rasa cinta diri, cinta kaum kerabat dan anak bangsa sendiri, dan bahkan menentang sebarang simbol yang bukan simbol Islam, menentang sebarang dorongan untuk menyembah dan mematuhi sebarang kekuasaan selain Allah dan sebarang halangan dari terlaksananya kekuasaan dan pemerintah Allah di muka bumi ini serta menghancurkan kekuasaan “TAGHUT” dan setan-setan kekuasaan yang merampas kekuasaan Allah.

Orang-orang yang sengaja mencari-cari jalan untuk mendapatkan sebarang fakta sandaran ke arah perjuangan dan jihad Islam dengan tujuan mempertahankan “Negara Islam” saja, orang yang seperti itu adalah orang yang suka merendahkan dasar dan program agama dan memandangnya lebih murah nilainya daripada “negeri”.


Ini bukan konsep Islam yang benar, bahkan ia merupakan suatu teori dan pendapat yang sumbang dan usang sama sekali dari selera Islam; sebab akidah dan program yang mengatur perjalanannya dan masyarakat yang hendak dikuasai oleh akidah dan program itu adalah suatu simpulan kata yang sama dan satu dalam selera Islam.

Adapun “tanah” dan “bumi” saja maka tidak ada nilai dan harganya, karena setiap nilai dan harga bagi “tanah” dan “bumi” dalam pandangan Islam adalah berujung pada berkuasanya program dan ajaran Allah di atas “tanah” dan “bumi” itu. Karena itulah maka “bumi” itu menjadi lahan semaian akidah dan juga program itu di dalam bentuk “Negeri Islam”, dan juga merupakan titik awal bagi perjalanan ke arah kebebasan umat manusia. Memang benar bahwa menjaga “Negeri Islam” itu berarti menjaga akidah, program dan masyarakat yang di dalamnya akidah dan program itu berkuasa dan berdaulat. Tapi mesti diingat, ini bukan tujuan terakhir. Bukan tugas menjaga keselamatan menjadi tujuan terakhir bagi gerakan jihad Islam. Kerena menjaga keselamatannya merupakan salah satu jalan saja bagi tegak dan terlaksananya perintah Allah di dalamnya, juga dijadikan garis permulaan bertolak, sebab umat manusia adalah merupakan alat dan bahan bagi gerakan agama ini manakala bumi dan tanah pula merupakan tempat ia berpijak dan tumbuh mekar. 


Kita telah mengatakan bahwa perjalanan membawa dan memikul ajaran agama ini akan dihadang oleh berbagai bentuk rintangan, baik yang berbentuk kekuasaan negara, sistem sosial dan politik dan juga berbentuk realita yang menguasai keadaan, sedangkan semuanya adalah hal-hal yang hendak dihancurkan oleh Islam dengan menggunakan kekuatan, supaya seluruh umat manusia dapat hidup bebas berhadapan dengannya, bebas berbicara dan mengetuk pintu hati dan fikirannya, setelah seluruh umat manusia itu dibebaskan dari belenggu, dan setelah mereka beroleh kebebasan penuh. Kita mestinya tidak mudah terpedaya dengan tipu muslihat kaum orientalis terhadap dasar “jihad” dan kita sekali-kali jangan rela menanggung beban yang ditimbulkan oleh realita dalam kekalutan dunia zaman sekarang, lalu kita mencari-cari motif lain untuk jihad Islam di luar tabiat asal /esensi dari agama ini sendiri, supaya dapat bertahan untuk sementara. Jihad akan terus berjalan, dengan disertai atau tanpa motif itu. Di samping itu kita membongkar realiti sejarah, kita tidak boleh lupa pokok dan inti tabiat agama ini, dan jangan sekali-kali kita coba mencampur-adukkan inti itu dengan realita yang berbentuk pertahanan yang bersifat sementara itu. (Bersambung)


Halaman 3 dari 4
Sebelumnya                                  Halaman Utama                                   Selanjutnya

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers