Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Monday, January 31, 2011

Sebagian Janji Allah kepada kita




Salahsatu rahasia yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an adalah bahwa orang-orang yang berbuat kebaikan akan memperoleh pahala berupa kebaikan di dunia dan akhirat. Mengenai hal ini, Allah berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhan-mu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar[39]: 10).

Bagaimanapun, kita perlu mengetahui apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan “kebaikan” itu. Setiap kaum memiliki pendapatnya masing-masing tentang kebaikan; ada yang menyatakan bahwa yang disebut kebaikan adalah bersikap menyenangkan, memberikan uang kepada orang miskin, bersikap sabar dalam berbagai bentuk perilaku dlsb. Itulah yang umumnya disebut sebagai “kebaikan” oleh kebanyakan orang. Namun Allah memberitahu kita tentang hakikat sebenarnya dari “kebaikan” itu seperti Firman-Nya:

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan ialah beriman kepada Allah, hari Kiamat, malaikat-malaikat, Kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada ke-rabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati jan¬jinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 177).

Sebagaimana diingatkan dalam ayat di atas, kebaikan yang sesungguhnya adalah bertakwa kepada Allah, menyibukkan diri mengingat hari perhitungan, menggunakan hati nurani, dan selalu sibuk melakukan amalan yang mendatangkan ridha Allah. Utusan Allah, Nabi Muhammad saw., juga memerintahkan agar orang-orang beriman bertakwa kepada Allah dan berbuat kebaikan sebagaimana sabda beliau:
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kalian berada. Bersegeralah berbuat kebaikan setelah berbuat dosa agar dosa itu menjadi bersih, dan selalu berlemah lembutlah dalam bergaul dengan manusia.”
Allah telah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Dia mencintai orang-orang yang selalu berbuat kebaikan karena keimanan mereka, dan orang-orang yang takut dan cinta kepada Allah, selanjutnya Dia menyatakan akan memberi pahala kepada mereka dengan kebaikan:

فَآتَاهُمُ اللّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الآخِرَةِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Ali ‘Imran[3]: 148).

وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْاْ مَاذَا أَنزَلَ رَبُّكُمْ قَالُواْ خَيْراً لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَلَدَارُ الآخِرَةِ خَيْرٌ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ
“..... Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Nahl[16]: 30).

Ini merupakan kabar baik yang diberitakan dalam Al-Qur’an kepada orang-orang yang berbuat kebaikan, yang mengorbankan diri, dan yang berusaha untuk memperoleh keridhaan Allah.

Allah memberikan kepada orang-orang ini berita gembira tentang kehidupan yang baik, di dunia ini dan di akhirat kelak, dan Allah akan menambahkan karunia-Nya, baik yang berupa kebendaan maupun keruhanian. Nabi Sulaiman yang diberi seluruh kerajaan, yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun, dan Nabi Yusuf yang diberi wewenang atas seluruh harta benda Mesir, adalah contoh-contoh yang diceritakan dalam Al-Qur’an. Allah memberitahu kita tentang nikmat yang Dia berikan kepada Nabi Muhammad saw. dalam ayat:

وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Q.S. Adh-Dhuha[98]: 8).

Perlu kita ketahui bahwa kehidupan yang indah dan baik tidak saja diberikan kepada orang-orang beriman dari generasi terdahulu. Allah menjanjikan bahwa dalam setiap kurun, Dia akan memberikan kehidupan yang baik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl[16]: 97).

Orang-orang yang beriman tidak pernah mengejar dunia, yakni mereka tidak tamak ter-hadap harta dunia, kedudukan, atau kekuasaan. Sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam sebuah ayat, mereka telah menjual diri dan harta mereka untuk memperoleh surga. Jual beli dan perdagangan tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan berjuang untuk agama.

Di samping itu, mereka tetap sabar dan taat sekalipun mereka diuji dengan kelaparan atau kehilangan harta, dan mereka tidak pernah mengeluh. Orang-orang yang berhijrah pada zaman Nabi merupakan sebuah contoh. Mereka berhijrah ke kota lain dengan meninggalkan rumah, pekerjaan, perdagangan, harta, dan kebun mereka, dan di sana mereka puas dengan yang sedikit mereka miliki. Sebagai balasannya, mereka hanya mengharapkan keridhaan Allah. Kerelaan mereka dan keikhlasan mereka dalam mengingat akhirat menyebabkan mereka memperoleh rahmat dari Allah berupa kehidupan yang baik. Kekayaan yang diberikan Allah kepada mereka tidak menyebabkan mereka mencintai dunia, sebaliknya mereka bersyukur kepada Allah dan mengingat-Nya. Allah menjanjikan kehidupan yang baik di dunia ini kepada setiap orang yang beriman dan berakhlak mulia.

Janji Allah
Allah berjanji akan melipatgandakan perbuatan hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan. Sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah ini adalah sebagai berikut:

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن جَاء بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُو
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya.” (Q.S Al-An‘am[6]: 160).

إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Q.S. An-Nisa’[4]: 40).

Tanda yang paling jelas bahwa Allah melipatgandakan setiap perbuatan baik adalah perbedaan antara kehidupan di dunia dan akhirat. Kehidupan di dunia sangatlah singkat waktunya, yang lebih kurang berlangsung selama 60 tahun. Namun, orang-orang yang sibuk membersihkan diri mereka dan sibuk dalam amal saleh di dunia ini akan memperoleh pahala berupa kebaikan tak terbatas di akhirat sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan selama kehidupannya yang singkat di dunia. Allah telah menyatakan janji ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ ذِلَّةٌ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Yunus[10]: 26).

Kita perlu merenungkan pengertian “tak terbatas” agar dapat memahami besarnya pahala ini. Marilah kita bayangkan tentang semua orang yang pernah hidup di bumi, orang-orang yang sedang hidup di bumi, dan orang-orang yang akan hidup di bumi, bagaimana mereka menghabiskan setiap detik dalam kehidupan mereka. Tentu saja angka ini akan sangat besar jika dituliskan. Namun, sesudah “tak terbatas”, bahkan angka yang sangat besar ini tidak berarti apa-apa. Karena “tak terbatas” maknanya adalah tidak ada akhirnya, tidak memiliki batas waktu. Mereka yang ketika di dunia taat kepada Allah, di akhirat nanti akan bertempat tinggal di surga. Mereka akan tinggal di sana untuk selama-lamanya. Mereka akan memperoleh apa saja yang mereka inginkan, yang tidak ada batasnya. Tentu saja ini merupakan contoh yang harus direnungkan agar kita dapat memahami besarnya kasih sayang dan rahmat Allah.

Thursday, January 20, 2011

Al-Kufru Al-Asghar (Kafir Kecil)



Segala puji bagi Allah semata, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, para tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan seluruh mukminin yang memegang teguh syari'at Islam hingga akhir zaman.

Ma'syiral Muslimin Rahimakumullah,
Al-Kufru al-Asghar (kafir kecil) ialah sesuatu yang tidak bertentangan dengan pokok iman dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama (Islam), tidak menyebabkannya kekal di dalam neraka, meskipun ia tetap mendapat siksaan dan ancaman jika ia melakukannya.

Ibnu Qayyim ra mengatakan, "Al-Kufru al-Ashghar” (kafir kecil) menyebabkan seseorang mendapatkan siksaan, tetapi ia tidak kekal di dalam neraka", sebagaimana firman Allah SWT. Ayat ini hukumnya di nasakh, tetapi masih berlaku, bacaannya:

"Janganlah kamu sekalian membenci nenek moyang kami, karena hal itu adalah kafir,"

Dan sabda Rasulullah saw: 
"Ada dua perkara pada umatku yang merupakan kekafiran, yaitu menjelaskan silsilah keluarga dan membunuh seorang muslim."

Demikian pula sabda Nabi saw dalam sunan Abu Daud,
"Orang yang menggauli istrinya dalam keadaan haidh atau dari duburnya, maka ia telah mengkufuri apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw."

Dan dalam hadis lain disebutkan;
"Orang yang mendatangi dukun atau paranormal dan ia mempercayai apa yang telah diucapkannya, maka ia telah mengufuri apa yang telah diturunkan Allah kepada Muhammad saw."

Sabdanya lagi;
"Janganlah kamu kembali kepada kekafiran setelah aku, di mana sebagian dari kamu akan membunuh (memenggal) sebagian yang lain." 

Berikut ini, penafsiran dari Ibnu Abbas dan para sahabat pada umumnya tentang firman Allah SWT,


وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah [5]: 44).

  • Ibnu Abbas ra berkata, "Hal ini bukanlah kekafiran yang dapat memindahkan seseorang menjadi agama lain (keluar dari Islam), tetapi jika ia melakukannya, ia menjadi kafir, tapi tidak sama dengan orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir." Thawus juga berkata demikian. 
  • Atha' berkata, "Orang yang melakukan demikian adalah kafir di bawah kafir, dzalim di bawah dzalim dan fasik di bawah fasik."
Berdasarkan ini pulalah, ketaatan di sebut iman, sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
"... dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu." (QS Al-Baqarah [2]: 143).

Maksud iman dalam ayat ini adalah salat menghadap ke Baitul Maqdis (Yerussalem), seperti bunyi ayat ini secara lengkap:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan Kiblat yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (QS Al-Baqarah[2]: 143).

  • Dalam ayat ini disebutkan pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis (Palestina) ke Ka'bah (Mekah). Adapun perbuatan dosa disebut 'kufur', seperti pada beberapa penjelasan di muka, dalam konteks penjelasan Ibnu Qayyim umpamanya, tetapi apa yang di sebut kafir dalam konteks ini bukanlah kafir yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam.
Beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut adalah disebutkannya ungkapan perbuatan dosa, seperti saling bunuh, mendatangi dukun, dan lain-lain. Adapun dalam keadaan tertentu, dosa (ma'siat) mencakup kafir dan selain kafir, seperti firman Allah SWT menyebutkan:

وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً
"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya." (QS Al-Jinn [72]: 23).

Dengan disebutkannya perbuatan dosa, dapatlah diketahui sejauh mana hal itu dapat menghilangkan pokok tauhid, dan pada umumnya jika bukan sebagai perbuatan dosa, maka hal itu adalah syirik yang nyata atau salah satu dari macam-macam kafir, yang termasuk kafir kecil sebagaimana disepakati secara bulat (sesuai Ijma') oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Rasulullah saw menyebut pertikaian di kalangan kaum muslimin sebagai kekafiran sebagaimana tergambar dalam sabdanya;

"Janganlah kamu menjadi kafir setelahku, di mana sebagian kamu akan membunuh (memenggal) sebagian yang lain."

Allah SWT juga berfirman:

"Sesungguhnya ada dua golongan di antara orang-orang yang beriman yang saling membunuh...."

Dengan demikian, kekafiran yang dimaksud dengan hadis ini bukanlah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam, jika tidak demikian, mengapa Allah menyebut orang-orang yang saling membunuh sebagai orang-orang beriman? Karena, mustahil apabila Sunnah bertentangan dengan Alquran, tetapi Sunnah merupakan penjelas bagi Alquran sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Maka, hadis tersebut cenderung mengandung pengertian yang tidak bertentangan dengan Alquran dengan menyebut orang-orang beriman yang saling membunuh.

Perbuatan ma'siat (dosa) kadang-kadang juga disebut sebagai perbuatan jahiliyah, karena keburukannya dan hal itu tidak menjadikan kafir pelakunya, kecuali kemusyrikan. Imam al-Bukhari ra berkata: 

"Perbuatan dosa merupakan perbuatan jahiliyah, tetapi hal itu tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, kecuali kemusyrikan."

Hal ini berdasarkan hadits Rasululah SAW: 
"Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat perbuatan jahiliyah,"

Dan firman Allah SWT:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS An-Nisa' [4]: 48).

Kemudian al-Bukhari mengemukakan hadis dari Abu Dzarr tentang seseorang yang mencela orang lain dan ia mengejek ibunya dan Rasulullah saw menyebutkan hadis di atas. Imam Badruddin al-'Aini mengatakan, "Aspek dalil yang ditunjukkan oleh hadis tersebut adalah bahwa beliau berkata kepada orang tersebut: 'Tindakanmu yang mengejek ibunya', hal itu merupakan perbuatan yang dilakukan orang-orang jahiliyah, dan bukan semata-mata kamu orang jahil (bodoh). Seandainya perbuatan tersebut merupakan suatu kekafiran, maka rasulullah saw akan menjelaskannya kepada Abu Dzarr dan tidak akan cukup dengan mengatakan, "Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat perbuatan jahiliyah," sebagaimana dipahami dari hadis ini bahwa yang dimaksudkannya bukanlah jahiliyah itu sendiri, sebab jahiliyah pada masanya adalah kekafiran, tetapi tindakannyalah yang merupakan perilaku jahiliyah. Ibnu Hajar ra mengatakan, "Barangsiapa di dalam dirinya terdapat salah satu sifat dari sifat-sifat jahiliyah selain syirik, ia tidaklah keluar dari iman, baik dosa kecil maupun besar." 

Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dikategorikan sebagai kekafiran tidak selamanya menyebabkan seseorang keluar dari Islam hingga terlihat hakikatnya dari segi bentuk kekafiran tersebut, kecil atau besar.

Syekh Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan;
"Tidak setiap orang yang melakukan salah satu bagian dari kekafiran menjadi kafir mutlak sampai jelas hakikat kekafiran yang dilakukannya." 

Sebagaimana kekafiran terbagi menjadi kecil dan besar, maka demikian pula halnya dengan kezaliman, kefasikan dan kemunafikan. Yang besar dari semua dosa tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari agama dan kekal di dalam neraka, serta sinonim dengan kekafiran yang besar, sedangkan yang kecil, ia tidak menyebabkan hilangnya pokok keimanan dan tidak menghapuskannya secara keseluruhan, tetapi ia hanya mengurangi kesempurnaannya dan bagian-bagiannya, yang secara syara' menjadikan orang tersebut tercela. Jika terdapat hukum-hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, maka hukum-hukum tersebut diberlakukan pula baginya, karena ia tidak keluar dari Islam. Adapun ciri-ciri dari kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan yang kecil adalah sebagaimana ciri-ciri kafir kecil seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Syekh al-Hakami ra mengatakan tidak ada sesuatu yang dihilangkan dari seseorang karena perbuatannya yang termasuk kefasikan atau pelakunya sebagai fasik dan ia dapat tetap dikatakan muslim serta diberlakukan baginya hukum-hukum kaum muslimin. Sebab, tidak setiap kefasikan menyebabkan kafir, dan tidak setiap yang dinamakan kafir atau zalim mengeluarkan seseorang dari Islam, sampai jelas bukti-bukti dan tanda-tandanya. Hal demikian disebabkan karena setiap kekafiran, kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan (sebagaimana dijelaskan dalam nas-nas yang ada) terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Kategori besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama, karena menghilangkan pokok iman secara mendasar.Kategori kecil, yang mengurangi keimanan dan menghilangkan kesempurnaannya, tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari iman, sehingga kategori ini disebut kafir di bawah kafir, zalim di bawah zalim, fasik di bawah fasik, dan munafik di bawah munafik.

Kesimpulan
Orang-orang yang berbuat dosa tidak dikatakan mu'min, karena nas-nas tidak menyebutkan demikian, dan merupakan suatu keharusan memberlakukan nas-nas tersebut dan menetapkannya seperti adanya. Akan tetapi, karena perbuatan tersebut, mereka tidak pula dikatakan telah keluar dari agama. Iman yang hilang dari mereka adalah iman yang teraplikasikan, bukan fondasi iman, karena pangkal iman masih ada pada diri mereka. Berdasarkan hal di atas, Muhammad bin Nashr al-Marwazi menyimpulkan bahwa:

Allah dan Rasul-Nya serta jama'ah kaum muslimin menyebut sesuatu dengan sebutan yang secara umum berlaku untuk tindakan tersebut. Maka, orang yang berzina disebut fasik, yang menuduh seseorang berzina disebut fasik dan peminum khamr (minuman keras) itu fasik. Mereka tidak menyebutkan pelaku-pelaku dosa tersebut sebagai orang yang bertakwa dan wara' (menjauhi diri dari dosa, maksiat, dan sesuatu yang syubhat), tetapi kaum muslimin sepakat bahwa di dalam diri mereka yang melakukan dosa masih terdapat pangkal takwa dan wara', dan hal itu menjaganya untuk menjadi kafir atau menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu (syirik). Hal itu juga tidak menyebabkan mereka tidak dimandikan jenazahnya atau tidak disalatkan, mereka tetap dimandikan dan disalatkan.

Mereka juga tidak menyebut, orang yang melakukan dosa tersebut sebagai orang yang bertakwa atau wara', karena tindakannya yang melakukan sebagian dosa besar, tetapi mereka menyebutnya sebagai fasik dan fajir (orang berdosa), yang pada saat bersamaan ia juga telah melakukan sebagian dari ketakwaan dan wara, karenanya perbuatan dosa tersebut menghalangi penyebutan takwanya sebagai pujian dan kesucian dan Allah akan memberikan ampunan dan sorga. Kami juga tidak menyebutnya sebagai mukmin, tetapi menyebutnya sebagai orang fasik yang berzina, meskipun di dalam hatinya terdapat pangkal iman. Karena, iman adalah suatu sebutan yang dipuji oleh Allah bagi kaum mu'minin dan iman tersebut menyucikan mereka dan menjanjikan sorga bagi mereka.

Sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya menyebut perbuatan-perbuatan dosa dengan sebutan kafir tanpa menyelewengkannya, sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan di dalam kitab-Nya (Alquran) dan apa yang diwahyukan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. Maka, perbuatan yang disebutnya kafir, kami menyebutnya pula sebagai kafir, demikian pula yang disebut zalim atau fasik, kami menyebutnya zalim atau fasik. Adapun hukum-hukumnya, kami memberlakukannya sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya, maka kafir kecil meskipun disebutkan oleh syar'i (Allah dan Rasul-Nya) sebagai tindakan melakukan sebagian dosa besar, hal itu tidak mengeluarkan seorang hamba dari iman dan tidak memisahkannya dari agama, darahnya, hartanya dan keluarganya pun tidak halal (tidak boleh dibunuh).

Oleh karena itu, kafir besar dan kafir kecil harus dibedakan, hingga tidak terjerumus pada bahaya dengan menanggalkan iman dari pemiliknya dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak.


[Sumber: Al-Jahl bi Masail al-'Itiqaad wa Hukmuhu, Abdurrazzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia]

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers