Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, July 23, 2011

Syafaat Menurut Rasulullah SAW




SYAFAAT MENURUT BAHASA DAN ISTILAH

Dalam Bahasa Arab,شفع berarti menggabungkan sesuatu dengan sesuatu lain yang sejenisnya agar menjadi sepasang. Syafaat, yang diambil dari kata syafa‘a ini, dalam istilah berarti memohonkan ampunan untuk dosa yang telah diperbuat. Syafaat juga berarti permohonan ampun oleh seseorang yang memiliki hak syafaat untuk orang yang berhak mendapatkannya. Jadi, syafaat Nabi SAW atau manusia-manusia suci lainnya untuk sekelompok umat berarti doa, permohonan ampun, atau juga permintaan atas sebuah hajat ke hadirat Allah SWT untuk umat yang menerima syafaat. Ringkasnya, makna syafaat tidak jauh berbeda dari doa.
SYAFAAT MENURUT AL-QURANUL KARIM

Dalam kitab suci Al-Quran Al-Karim, kata syafaat dipergunakan untuk menunjukkan beberapa arti yang berlainan. Jumlah seluruh ayat yang secara langsung menyebut masalah syafaat ini adalah 25 ayat yang tersebar di delapan belas surat Al-Quran. Semua ayat tadi menunjukkan arti permohonan ampun atas dosa-dosa seperti yang disebutkan dalam arti istilah syafaat yang pertama dan tidak mengacu pada permohonan akan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.

Tema syafaat dalam Al-Quran Al-Karim dapat kita bagi ke dalam dua permasalahan, yaitu sebagai berikut.
1.  Permasalahan mengenai pemberi syafaat.
2. Permasalahan mengenai kelompok yang berhak menerima syafaat dan mereka yang tidak berhak mendapatkannya.
Perlu dicatat, ketika Al-Quran menjelaskan sebuah kriteria tertentu, berarti ia menerangkan sebuah sifat tertentu yang dimiliki oleh sekelompok orang pada kehidupan mereka di dunia.
Selain kedua permasalahan di atas, sebagian orang berpendapat bahwa ada permasalahan ketiga dalam Al-Quran mengenai syafaat, yaitu bahwa Al-Quran menafikan adanya syafaat sama sekali.

Menurut kami, dalam kitab suci Al-Quran tidak ada satu ayat pun yang menunjukkan penafian syafaat secara mutlak. Penafian yang ada hanya menunjuk kepada sekelompok orang yang disebut oleh Allah SWT sebagai kelompok yang memiliki sifat kekafiran. Sifat inilah yang menyebabkan mereka tidak berhak mendapatkan syafaat. Dengan kata lain, syafaat yang dinafikan oleh Al-Quran adalah yang berhubungan dengan kaum kafir.

Di saat Al-Quran menafikan syafaat bagi sekelompok orang dengan kriteria tertentu, pada saat yang sama, ia menegaskan realitas syafaat bagi kelompok yang menyandang gelar kaum mukminin.

Coba kita simak ayat di bawah ini.

وذر الّذين اتّخذوا دينهم لعبا ولهوا وغرّتهم الحياة الدّنيا وذكّر به أن تبسل نفس بما كسبت ليس لها من دون الله وليّ ولا شفيع وإن تعدل كلّ عدل لا يؤخذ منها ...
"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau sedangkan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Ingatkanlah mereka dengan Al-Quran agar mereka tidak terjerumus ke dalam api neraka karena perbuatan mereka sendiri. Tidak ada pelindung dan pemberi syafaat baginya selain dari Allah. Dan jika mereka hendak menebus kesalahan dengan harga apa pun maka tebusan itu tidak akan diterima …. "[1]

Kita bisa saksikan bahwa ayat ini mengecualikan syafaat bagi orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau dan bagi mereka yang telah ditipu oleh kehidupan dunia.

Lihat juga ayat berikut ini.

يا أيّها الّذين آمنوا أنفقوا ممّا رزقناكم من قبل أن يأتي يوم لا بيع فيه ولا خلّة ولا شفاعة والكافرون هم الظّالمون
"Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah di jalan Allah sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepada kalian sebelum datangnya hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafaat. Sedangkan kaum kafir, mereka adalah orang-orang yang zalim." [2]

Meskipun ayat ini diawali dengan panggilan kepada kaum mukminin, tetapi itu tidak berarti bahwa ayat ini menafikan syafaat sama sekali. Akhir ayat yang menyebutkan bahwa kaum kafir adalah orang-orang yang zalim menunjukkan bahwa ayat ini menafikan syafaat bagi mereka. Jadi, ayat ini menganjurkan kepada kaum mukminin untuk menginfakkan sebagian dari harta mereka di jalan Allah SWT seraya memperingatkan mereka bahwa keengganan berinfak di jalan Allah sama dengan kekufuran. Dengan demikian, orang yang tidak mau berinfak termasuk kelompok kaum kafir dan tidak berhak mendapatkan syafaat di hari kiamat kelak. Demikianlah Allamah Thabathaba’i menafsirkan ayat di atas.[3]

Perlu kami jelaskan di sini, ayat ini adalah salah satu argumen yang sering digunakan untuk menafikan syafaat. Menurut kami, bergumen dengan ayat ini benar jika saja ayat tersebut tidak diakhiri dengan kalimat,

والكافرون هم الظّالمون
"Dan kaum kafir adalah orang-orang yang zalim."

Kalimat terakhir ini berarti bahwa mereka yang tidak menginfakkan sebagian dari harta mereka di jalan Allah tidak akan menerima syafaat karena mereka masuk ke dalam kelompok kaum kafir, sebagaimana yang telah disinggung di atas.

Dari sinilah kita katakan bahwa Al-Quran Al-Karim tidak pernah menafikan syafaat secara mutlak. Penafian yang kita dapatkan adalah berkenaan dengan syafaat bagi sekelompok umat manusia yang memiliki kriteria tertentu, yang jika kriteria itu hilang maka hilanglah penafian tersebut.

Sebaliknya, banyak sekali kita temukan ayat-ayat suci Al-Quran yang menunjukkan adanya syafaat, seperti ayat di bawah ini,

هل ينظرون إلاّ تأويله يوم يأتي تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جاءت رسل ربّنا بالحقّ فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا أو نردّ فنعمل غير الّذي كنّا نعمل قد خسروا أنفسهم وضلّ عنهم ما كانوا يفترون
"Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran, berkatalah orang-orang yang sebelum itu telah melupakannya, “Sesungguhnya telah datang utusan-utusan Tuhan kami dengan membawa kebenaran. Adakah pemberi syafaat bagi kami atau dapatkah kami kembali (ke dunia) sehingga kami dapat melakukan perbuatan yang lain dari apa yang pernah kami perbuat?” Sesungguhnya mereka telah merugikan diri sendiri dan lenyaplah tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan." [4]

Ayat ini menceritakan tentang keadaan yang dialami oleh mereka yang telah mendustakan Allah. Pada hari kiamat, mereka tidak mendapatkan syafaat karena mereka adalah orang-orang telah merugikan diri sendiri. Artinya, pada saat yang sama, ayat ini menjelaskan akan adanya syafaat yang tidak bakal mereka terima.

Allah SWT berfirman,

لا يملكون الشّفاعة إلاّ من اتّخذ عند الرحمن عهدا
"Tidak ada orang yang mendapatkan syafaat kecuali mereka yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah."[5]

Pada ayat lain, Allah berfirman,

يومئذ لا تنفع الشّفاعة إلاّ من أذن له الرّحمن ورضي له قولا
"Di hari itu, syafaat tidak akan berguna kecuali bagi orang yang telah diberi izin oleh Allah dan diridhai perkataannya." [6]

Simak pula ayat berikut ini.

ولا يملك الّذين يدعون من دونه الشّفاعة إلاّ من شهد بالحقّ وهم يعلمون
"Dan sesembahan yang mereka sembah tidak dapat memberi syafaat. Akan tetapi (yang dapat memberi syafaat adalah) orang yang menyaksikan kebenaran dan mereka yang mengetahuinya." [7]

Semua ayat di atas (dan masih banyak ayat lainnya) menunjukkan akan adanya syafaat di hari kiamat nanti. Hanya saja, pemberi syafaat haruslah memiliki beberapa kriteria seperti,

من اتّخذ عند الرحمن عهدا
Mereka yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah.

من أذن له الرّحمن
Orang yang telah diberi izin oleh Allah.

من شهد بالحقّ وهم يعلمون
Orang yang menyaksikan kebenaran dan mereka yang mengetahuinya.

Mereka yang memiliki tiga sifat tersebut adalah hamba-hamba Allah yang berhasil mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya sehingga bisa memberi syafaat kepada orang-orang yang mereka kehendaki, tentunya setelah mendapat izin dari Allah SWT.

Kesimpulan dari seluruh pembahasan di atas adalah bahwa syafaat merupakan fakta yang benar-benar ada di hari kiamat nanti. Hanya saja, baik pemberi syafaat maupun yang menerimanya haruslah memiliki kriteria-kriteria tertentu dan syafaat ini tidak akan didapatkan oleh sebagian orang.

Untuk lebih jelasnya, kami anjurkan pembaca yang budiman untuk menelaah ayat-ayat yang berkenaan dengan hal ini, yang nantinya juga akan kami singgung pada pembasahan-pembahasan yang akan datang. Ayat-ayat tersebut adalah:

Surat Al-Baqarah ayat 48, 123, 254, dan 255, Surat Al-Nisa’ ayat 85, Surat Al-A’raf ayat 53, Surat Al-Anbiya’ ayat 28, Surat Al-Syu’ara’ ayat 100, Surat Al-Muddatstsir ayat 48, Surat Al-An’am 5 ayat 1, 70, dan 94, Surat Yunus ayat 3 dan 18, Surat Maryam ayat 87, Surat Thaha ayat 109, Surat Saba’ ayat 23, Surat Al-Zumar ayat 43 dan 44, Surat Al-Zukhruf ayat 86, Surat Yasin ayat 23, Surat Al-Najm ayat 26, Surat Al-Fajr ayat 3, Surat Ghafir ayat 18, dan Surat Al-Rum ayat 13.

Ayat-ayat tentang Orang yang Tidak Memperoleh Syafaat
Telah kami jelaskan bahwa di dalam kitab suci Al Quran, tidak ada satu ayat pun yang menafikan syafaat secara mutlak. Bahkan sebaliknya, banyak ayat suci Al-Quran yang menjelaskan tentang syafaat. Sedangkan orang-orang yang tidak berhak mendapatkan syafaat adalah kaum kafir dengan segala macam bentuk kekafi-rannya.

Bentuk-bentuk kekafiran yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan syafaat telah diterangkan di dalam Al Quran. Al-Quran menyebut kaum kafir dengan sifat yang bermacam-macam, di antaranya sebagai berikut.

الّذين نسوه من قبل
(Orang kafir adalah) mereka yang sebelum ini melalaikannya (melalaikan hari kiamat).

المكذّبون بيوم الدّين
(Orang kafir adalah) orang-orang yang mendustakan hari kiamat.

Masih ada sebutan-sebutan lain yang semuanya mengandung arti kekufuran mereka terhadap nikmat yang telah Allah berikan.

Orang-orang yang tidak akan menerima syafaat dikelompokkan ke dalam beberapa golongan sebagaimana yang diterangkan oleh ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut.

1. Kufur Nikmat

يا أيّها الّذين آمنوا أنفقوا ممّا رزقناكم من قبل أن يأتي يوم لا بيع فيه ولا خلّة ولا شفاعة والكافرون هم الظّالمون
"Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah di jalan Allah sebagian dari rezeki yang telah Kami anugerahkan kepada kalian sebelum datangnya hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan dan syafaat. Sedangkan kaum kafir, mereka adalah orang-orang yang zalim." [8]

Keengganan dalam mengeluarkan sebagian harta pemberian Allah merupakan salah satu perwujudan sikap kekafiran dan kezaliman seseorang. Jika akhir ayat ini kita hubungkan dengan awalnya maka makna yang dapat kita petik darinya adalah bahwa mereka yang tidak menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah termasuk dari kelompok kaum kafir yang sudah tentu tidak akan menerima syafaat di hari kiamat nanti.

2. Pengikut Setan
Allah SWT berfirman,

هل ينظرون إلاّ تأويله يوم يأتي تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جاءت رسل ربّنا بالحقّ فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا أو نردّ فنعمل غير الّذي كنّا نعمل قد خسروا أنفسهم وضلّ عنهم ما كانوا يفترون
"Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran, berkatalah orang-orang yang sebelum itu telah melupakannya, “Sesungguhnya telah datang utusan-utusan Tuhan kami dengan membawa kebenaran. Adakah pemberi syafaat bagi kami atau dapatkah kami kembali (ke dunia) sehingga kami dapat melakukan perbuatan yang lain dari apa yang pernah kami perbuat?” Sungguh mereka telah merugikan diri sendiri dan lenyaplah tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan." [9]

فكبكبوا فيها هم والغاوون , و جنود إبليس أجمعون , قالوا وهم فيها يختصمون , تالله إن كنّا لفي ضلال مبين , إذ نسوّيكم بربّ العالمين , وما أضلّنا إلاّ المجرمون , فما لنا من شافعين , ولا صديق حميم .
"Maka mereka (sesembahan-sesembahan) itu dijungkirkan ke dalam neraka bersama orang-orang yang sesat dan seluruh bala tentara Iblis. Mereka berkata ketika sedang bertengkar di dalam neraka, “Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata karena kita telah mempersamakan kalian dengan Tuhan semesta alam. Tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang pendosa. Kini tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat kepada kami, dan kami juga tidak lagi memiliki teman yang akrab...” [10]

Kedua ayat suci di atas menjelaskan bahwa mereka yang melalaikan agamanya dan memilih untuk menjadi pengikut setan serta tenggelam di dalam lumpur kedurjanaan, tidak akan mendapatkan syafaat di hari akhir nanti.

3. Pendusta Hari Kebangkitan
Ayat berikut ini menceritakan bahwa orang-orang yang mendustakan hari kebangkitan serta mengingkari hari kiamat dan hari penghitungan tidak akan menerima syafaat.

… وكنّا نكذّب بيوم الدّين , حتى أتانا اليقين , فما تنفعهم شفاعة الشّافعين
"…dan kami telah mendustakan hari pembalasan hingga maut datang menjemput kami." Maka (saat itulah) syafaat para pemberi syafaat tidak berguna lagi untuk mereka. [11]

4. Orang yang Mempermainkan Agama
Allah SWT dalam sebuah ayat menjelaskan tentang nasib orang-orang yang menjadikan agama sebagai sasaran olok-olok dan main-main di hari kiamat nanti. Ayat tersebut adalah,

وذر الّذين اتّخذوا دينهم لعبا ولهوا وغرّتهم الحياة الدّنيا وذكّر به أن تبسل نفس بما كسبت ليس لها من دون الله وليّ ولا شفيع وإن تعدل كلّ عدل لا يؤخذ منها أولئك الّذين أبسلوا بما كسبوا لهم شراب من حميم و عذاب أليم بما كانوا يكفرون
"Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai sasaran olok-olok dan senda gurau dan mereka yang telah ditipu oleh kehidupan dunia. Ingatkanlah mereka dengan Al-Quran agar mereka tidak terjerumus ke dalam api neraka karena perbuatan mereka sendiri. Tidak ada pelindung dan pemberi syafaat bagi mereka selain dari Allah. Jika mereka hendak menebus kesalahan dengan harga apa pun maka tebusan itu tidak akan diterima. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka karena perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka telah tersedia minuman dari air yang mendidih dan azab yang sangat pedih disebabkan oleh kekafiran mereka dahulu." [12]

5. Kaum Zalim
Allah SWT berfirman,

وأنذرهم يوم الأزفة إذ القلوب لدى الحناجر كاظمين ما للظّالمين من حميم ولا شفيع يطاع ..
"Peringatkanlah mereka tentang hari yang dekat itu (hari kiamat). Ketika itu, hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang zalim tidak memiliki teman setia seorang pun dan tidak ada pula orang yang dapat memberi syafaat kepada mereka." [13]

6. Penyekutu Allah
Dalam banyak ayatnya, Al-Quran Al-Karim dengan sangat jelas menyebut bahwa kaum musyrik --mereka yang menyekutukan Allah-- tidak akan mendapat syafaat di hari kiamat. Pada saat yang sama semua sesembahan mereka selain Allah tidak dapat memberikan bantuan apapun kepada mereka. Allah SWT berfirman,

ويعبدون من دون الله مالا يضرّهم ولا ينفعهم و يقولون هؤلاء شفعاؤنا عند الله قل أتنبئون الله بما لا يعلم في السّموات ولا في الأرض سبحانه وتعالى عمّا يشركون
"Dan mereka menyembah selain Allah apa-apa yang tidak dapat mendatangkan petaka bagi mereka dan tidak pula memberikan manfaat, dan mereka berkata, “Mereka inilah yang akan memberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah, “Apakah kalian memberitahu Allah sesuatu yang tidak dikenal oleh-Nya baik di langit maupun di bumi?” Mahasuci Allah dari apa-apa yang mereka persekutukan." [14]

ولم يكن لهم من شركائهم شفعاء وكانوا بشركائهم كافرين ..
"Dan tidak ada di antara sesembahan itu yang dapat memberi syafaat kepada mereka, dan mereka mengingkari persekutuan itu." [15]

… وما نرى معكم شفاءكم الذين زعمتم أنّهم فيكم شركاء لقد تقطّع بينكم وضلّ عنكم ما كنتم تزعمون
"… dan Kami tidak melihat adanya pemberi syafaat bagi kalian dari sesembahan-sesembahan ini yang telah kalian jadikan sebagai sekutu (Allah). Sungguh telah terputuslah (hubungan) di antara kalian dan lenyaplah apa kalian dakwakan sebelum ini." [16]

أم اتّخذوا من دون الله شفعاء قل أو لو كانوا لا يملكون شيئا ولا يعقلون
"Bahkan mereka memilih pemberi syafaat selain dari Allah. Katakanlah, “Apakah hal ini kalian lakukan padahal mereka tidak memiliki apapun dan tidak berakal?” [17]

ءأتخذ من دونه آلهة إن يردن الرّحمن بضرّ لا تغن عنّي شفاعتهم شيئا ولا ينقذون
"Mengapa aku mesti memilih tuhan-tuhan lain selain Dia. Jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghen-daki suatu petaka bagiku, niscaya mereka tidak akan dapat memberiku syafaat dan mereka tidak dapat menyelamatkanku." [18]

Jika kita memperhatikan makna dari masing-masing ayat mengenai orang-orang kafir di atas, kita akan dapat menyimpulkan bahwa pertama, ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa segala hal yang mereka sekutukan dengan Allah, baik berhala maupun yang lainnya, tidak dapat memberikan syafaat untuk mereka, ketika harus masuk ke dalam api neraka karena kemusyrikan mereka. Kedua, ayat-ayat tadi juga menjelaskan bahwa kaum kafir tidak akan mendapat syafaat dari para pemberi syafaat --seperti Nabi dan manusia-manusia suci lainnya-- karena mereka memang tidak berhak untuk memperoleh ampunan.

Dari sini jelaslah, bahwa syafaat adalah pertolongan di hari kiamat yang tidak akan didapatkan oleh mereka yang masuk di dalam kategori kaum kafir dengan berbagai macam bentuknya.

Semua ayat yang kami sebutkan tadi, meskipun menafikan adanya syafaat untuk sekelompok umat manusia dengan kriteria-kriteria tertentu, namun tidak menafikannya secara mutlak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

SYAFAAT DALAM HADITS SUCI

Berbeda dengan banyak permasalahan lainnya dalam ilmu kalam, syafaat merupakan satu permasalahan yang dengan jelas telah disebutkan dalam ayat-ayat suci Al-Quran Al-Karim dan hadis suci yang telah disabdakan oleh Nabi SAW dan para Imam Ma’sum Ahlul Bait a.s. Di bawah ini kami nukilkan beberapa hadis berkenaan dengan masalah syafaat ini.

1. Jabir bin Abdillah Al-Anshari r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

أُعطيتُ خمسا لم يعطهنّ أحد قبلي .. و أعطيت الشّفاعة ولم يعط نبي قبلي ..
"Allah SWT telah memberi lima hal yang tidak Dia berikan kepada selainku…Aku dianugerahi hak untuk memberikan syafaat padahal tidak ada seorang nabi pun selainku yang mendapatkan hak ini…" [19]

2. Rasulullah SAW bersabda,

.. فمن سأل لي الوسيلة حلّت له الشّفاعة
"Jika seseorang memohonkan wasilah untukku, maka ia akan mendapatkan syafaat." [20]

3. Dalam hadis yang lain beliau SAW bersabda,

... إنّما شفاعتي لأهل الكبائر من أمّتي
"Syafaatku akan kuberikan kepada umatku yang melakukan dosa besar." [21]

4. Beliau SAW juga bersabda,

اشفعوا تشفّعوا و يقضي الله عزّ وجلّ على لسان نبيّه ما شاء
"Mintalah syafaat, niscaya kalian akan mendapatkannya dan Allah SWT akan mengabulkan semua permintaan Nabi-Nya." [22]

5. Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda,

أنا أوّل شفيع في الجنّة ...
"Aku adalah orang pertama yang memberi syafaat di surga… " [23]

6. Ka’ab Al-Ahbar membawakan hadis yang sama dengan riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لكلّ نبي دعوة يدعوها فأريد أن أختبئ دعوتي شفاعة لأمّتي يوم القيامة
"Semua nabi memiliki doa yang dikabulkan oleh Allah dan aku menyimpan doa ini sebagai syafaat untuk umatku di hari kiamat." [24]

7. Abu Nadhrah berkata, “Suatu hari Ibnu Abbas r.a. berkhotbah di mimbar masjid kota Bashrah. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,

إنّه لم يكن نبي إلاّ له دعوة قد تنجزها في الدّنيا وإنّي قد اختبأت دعوتي شفاعة لأمتي وأنا سيّد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر ... فيقال ارفع رأسك وقل تُسمع وسل تُعط واشفع تشفّع ، قال صلى الله عليه وآله وسلّم :
فارفع رأسي فأقول أي ربي أمتي أمتي فيقال لي أخرج من النّار من كان في قلبه كذا وكذا فأخرجهم
"Semua nabi mempunyai sebuah doa mustajab di dunia. Namun aku menyimpannya untuk hari kiamat kelak sebagai syafaat bagi umatku. Tanpa menyombongkan diri, aku adalah penghulu seluruh anak cucu Adam…(di hari kiamat kelak) aku akan mendengar suara yang mengatakan, “Angkatlah kepalamu. Katakan sesuatu pasti kata-katamu akan didengar. Mintalah sesuatu, pasti permintaanmu akan terkabul dan berilah syafaat niscaya syafaatmu akan diterima.” Lalu aku mengangkat kepalaku seraya mengatakan, “Wahai Tuhanku, umatku-umatku.” Allah SWT menjawab, “Keluarkanlah siapa saja yang memiliki sifat ini dan ini di hatinya.” Lantas aku pun mengeluarkan mereka dari neraka.” [25]

8. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

أُعطيتُ خمسا لم يعطهنّ نبي قبلي ولا أقولهن فخرا بعثت إلى الناس كافة الأحمر و الأسود ، و نُصرتُ بالرعب مسيرة شهر ، وأحلت لي الغنائم ولم تحل لأحد قبلي ، وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا ، وأعطيت الشفاعة فاخرتها لأمتي فهي لمن لا يشرك بالله شيئا
"Aku telah diberi oleh Allah lima perkara yang tidak pernah Dia berikan kepada seorang nabi pun selainku, dan (ketahuilah) bahwa aku mengatakannya kepada kalian bukan karena rasa sombongku. (1) Aku diutus kepada seluruh umat manusia, baik mereka yang berkulit merah maupun yang berkulit hitam. (2) Aku telah diberi kemenangan atas musuh-musuhku dengan perasaan takut yang menghantui mereka terhadapku, dari jarak perjalanan satu bulan. (3) Harta ghanimah (rampasan perang) halal bagiku, padahal sebelumnya tidak. (4) Seluruh permukaan bumi adalah masjid (tempat bersujud) dan suci dalam syariat yang kubawa ini. (5) Aku juga dianugerahi oleh Allah hak memberi syafaat yang aku simpan untuk umatku di hari kiamat dan akan kuberikan kepada siapa saja yang tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya." [26]

9. Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,

إذا سمعتم مؤذنا فقولوا مثل ما يقول ثمّ صلّوا عليّ فإنّه من صلّى عليّ صلّى الله عليه بها عشرا ثمّ سلوا لي الوسيلة فإنّها منزلة في الجنة لا تنبغي إلاّ لعبد من عباد الله , و أرجو أن أكون أنا هو , فمن سأله لي الوسيلة حلّت عليه الشفاعة
"Jika kalian mendengar seorang muazin mengumandangkan azan maka tirukanlah setiap kata yang ia ucapkan. Lalu bacalah shalawat kepadaku. Karena jika seseorang membaca shalawat kepadaku maka Allah akan memberikan rahmat kepadanya sepuluh kali karena shalawatnya tersebut. Kemudian, mintalah wasilah untukku, karena wasilah itu adalah sebuah kedudukan yang tinggi di surga yang hanya berhak didapatkan oleh seorang hamba Allah yang sebenarnya, dan aku berharap semoga aku dijadikan sebagai hamba Allah yang sebenarnya itu. (Ketahuilah) jika seseorang memohonkan washilah untukku, ia pasti akan mendapatkan syafaatku." [27]

10. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW saat menafsirkan ayat, 
 عسى أن يبعثك ربك  مقاما محمودا  bersabda,

الشفاعة
(Maksudnya adalah) syafaat. [28]

11. Rasulullah SAW bersabda,

رأيت ما تلقى أمتي بعدي ... فسألت أن يوليني شفاعة يوم القيامة فيهم ففعل
"Aku telah mengetahui apa yang kelak akan dilakukan oleh umatku…Karena itulah aku memohon kepada-Nya untuk memberiku hak memberi syafaat kepada mereka, dan Dia mengabulkannya." [29]

12. Dalam hadis yang lain beliau SAW bersabda,

ليخرجنّ قوم من أمتي من النار بشفاعتي يسمّون الجهنميين
"Kelak di hari kiamat akan ada sekelompok orang dari umatku yang keluar dari siksa api neraka berkat syafaatku, mereka inilah yang disebut dengan Jahanna-miyyun (orang-orang dari neraka jahannam)." [30]

13. Rasulullah SAW bersabda,

شفاعتي نائلة إنشاء الله من مات ولا يشرك بالله شيئا
"Syafaatku, insya Allah, akan didapatkan oleh siapa saja yang mati tanpa menyekutukan Allah dengan selain-Nya." [31]

14. Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata,

لنا شفاعة ولأهل مودتنا شفاعة
"Kami memiliki syafaat yang akan diberikan kepada mereka yang mencintai kami." [32]

15. Imam Ali Zainal Abidin a.s. dalam doa beliau mengatakan,

اللهمّ صلّ على محمد وآل محمد و شرّف بنيانه و عظّم برهانه , وثقّل ميزانه و تقبل شفاعته
"Ya Allah, limpahkalah shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Muliakanlah kedudukan-nya, kuat-kanlah agamanya, beratkanlah neraca amalnya dan terimalah syafaatnya." [33]

16. Rasulullah SAW bersabda,

يا بني عبد المطلب إنّ الصدقة لا تحلّ لي ولا لكم , ولكني وعدت الشفاعة
"Wahai Bani Abdul Muththalib, sedekah haram bagiku dan bagi kalian semua, dan (sebagai gantinya) aku menjanjikan syafaat (untuk kalian)." [34]

17. Imam Zainal Abidin a.s. dalam doanya berkata,

... وتعطف عليّ بجودك وكرمك , وأصلح منّي ما كان فاسدا , وتقبل مني ما كان صالحا , وشفّع فيّ محمدا وآل محمد , واستجب دعائي وارحم تضرّعي وشكواي ...
"(Ya Allah) perlakukanlah aku dengan kemurahan dan kebaikan-Mu. Luruskanlah semua hal buruk yang ada pada diriku dan terimalah amal kebaikan yang kulakukan. Jadikanlah Muhammad dan keluarganya sebagai para pemberi syafaatku (di hari akhir). Kabulkan doaku dan kasihanilah kerendahan dan pengaduanku ini… "[35]

18. Abu Abdillah Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,

المؤمن مؤمنان : مؤمن وفى لله بشروطه التي شرطها عليه , فذلك مع النبيـين و الصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا وذلك من يشفع ولا يشفع لـه وذلك ممن لا تصيبه أهوال الدنيا ولا أهوال الآخرة , ومؤمن زلت به قدم فذلك كخامة الزرع كيفما كفئته الريح انكفأ و ذلك ممن تصيبه أهوال الدنيا و الآخرة و يشفع له و هو على خير
"Mukmin ada dua macam. Pertama adalah orang mukmin yang telah menepati semua janji suci keimanannya dengan Allah. Orang yang demikian ini akan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang saleh; sungguh kebersamaan yang terbaik. Ia kelak akan dapat mensyafaati dan tidak lagi memerlukan syafaat orang lain. Di hari kiamat, ia akan terbebas dari segala kekalutan yang ada saat itu. Sedang mukmin jenis kedua adalah orang mukmin yang tergoda hawa nafsunya sehingga melakukan kesalahan dan dosa. Ia laksana sebatang ranting patah yang dipermainkan oleh tiupan angin. Di hari kiamat ia tidak akan lepas dari ketakutan yang menimpa penghuni mahsyar, namun ia akan mendapat syafaat yang membawanya kepada kebaikan." [36]

19. Rasulullah SAW bersabda,

إنّ ربكم تطوّل عليكم في هذا اليوم فغفر لمحسنكم و شفّع محسنكم في مسيئكم فأفيضوا مغفورا لكم
"Sesungguhnya pada hari ini Tuhan melihat kepada kalian dengan pandangan rahmat-Nya. Dia telah mengampuni mereka yang melakukan kebajikan dari kalian dan menjadikannya sebagai pemberi syafaat bagi siapa saja yang telah melakukan dosa di antara kalian. Kini, pergilah dalam keadaan dosa kalian telah diampuni oleh-Nya."

Dalam sebagian riwayat disebutkan tambahan ini,

إلاّ أهل التبعات فإن الله عدل يأخذ للضعيف من القوي
"... kecuali mereka yang berbuat zalim, karena Allah akan mengambil hak bagi orang lemah dari yang kuat."

Ketika malam tiba, sekelompok orang tengah asyik bermunajat dengan Tuhan mereka dan memohonkan ampunan bagi para pendosa. Pada saat Nabi SAW sampai di antara mereka, beliau bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal perintahkan semuanya untuk diam sejenak!”. Setelah semuanya diam, beliau bersabda,

إنّ ربكم تطوّل عليكم في هذا اليوم فغفر لمحسنكم و شفّع محسنكم في مسيئكم فأفيضوا مغفورا لكم
"Sesungguhnya pada hari ini Tuhan melihat kepada kalian dengan pandangan rahmat-Nya. Dia telah mengampuni mereka yang melakukan kebajikan dari kalian dan menjadikannya sebagai pemberi syafaat bagi siapa saja yang telah melakukan dosa di antara kalian. Kini, pergilah dalam keadaan dosa kalian telah diampuni oleh-Nya. Dan beliau SAW memberikan jaminan keridhaannya untuk para pelaku maksiat." [37]

20. Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. ketika menjelaskan keutamaan Al-Quran berkata,

إنه ما توجّه العباد إلى الله تعالى بمثله , واعلموا أنه شافع مشفّع وقائل مصدّق , و أنه من شفع له القرآن يوم القيامة شفّع فيه
"Tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalihkan perhatian seorang hamba kepada Allah SWT lebih dari Al Quran. Ketahuilah bahwa ia adalah pemberi syafaat dan pembicara yang benar. Jika seseorang diberi syafaat oleh Al Quran, maka Allah SWT pasti menerima syafaat tersebut." [38]

Semua hadis di atas (dan masih banyak hadis lainnya yang tidak bisa kami nukilkan seluruhnya di sini) dengan sangat jelas menunjukkan bahwa masalah syafaat telah dikenal di kalangan kaum muslimin sejak awal masa Islam dan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari akidah Islamiah, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Imam Ma’sum Ahlul Bait a.s.

Lebih jauh lagi, sejarah kenabian menceritakan kepada kita bahwa pada masa hidup Rasulullah SAW kaum muslimin menaruh perhatian khusus pada permasalahan ini dan mereka sering meminta kepada beliau untuk memberi syafaat kepada mereka kelak di hari kiamat.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa ayahnya berkata, “Aku pernah meminta Nabi SAW untuk memberiku syafaat di hari kebangkitan nanti.” Nabi SAW dalam menjawab permintaan sahabatnya ini bersabda, “Aku pasti akan mengabulkan permintaanmu ini”. Lalu ia berkata lagi, “Ya Rasulullah, di manakah aku dapat menjumpai Anda?” Beliau SAW menjawab,

اطلبني أول ما تطلبني على الصراط
"Carilah aku pertama kali di sirat." [39]

Dalam kitab Matn Al-Washithiyyah disebutkan, “Yang pertama kali membuka pintu surga adalah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan umat pertama yang masuk ke dalam surga adalah umat Muhammad. Beliau SAW di hari kiamat nanti memiliki tiga syafaat. Syafaat pertama adalah syafaat yang diberikan di padang mahsyar setelah seluruh umat manusia mendatangi para nabi seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam a.s., dan berakhir pada beliau SAW. Adapun syafaat kedua, adalah syafaat yang diberikan kepada para penghuni surga untuk dapat memasukinya. Kedua syafaat ini adalah hak khusus yang hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan syafaat ketiga adalah syafaat yang diberikan kepada mereka yang semestinya masuk ke dalam api neraka. Syafaat ini selain hak beliau juga dapat diberikan oleh para nabi lainnya, juga para shiddiqin (orang-orang yang benar) dan orang-orang saleh yang lain. Dengan syafaat ketiga ini, mereka yang semestinya masuk ke neraka bisa diampuni dan lolos dari siksa sedangkan mereka yang telah memasukinya akan dikeluarkan dari sana.”[40]

Sirah Al-Halabiyyah menceritakan bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berdiri di sisi jenazah suci Nabi SAW dan sembari membuka kain penutup wajah utusan terakhir Tuhan ini berkata, “Demi ayah dan ibuku, sungguh mulia hidup dan matimu. Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, ya Rasulullah. Semoga kami tetap mendapat tempat di hatimu.” [41][Bersambung]


CATATAN KAKI

[1] QS. Al-An’am: 70.
[2] QS. Al-Baqarah: 254.
[3] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran 2 hal. 323.
[4] QS. Al-A’raf: 53.
[5] QS. Maryam: 87.
[6] QS. Thaha: 109.
[7] QS. Al-Zukhruf: 86.
[8] QS. Al-Baqarah: 254.
[9] QS. Al-A’raf  53
[10] Al-Syu’ara’: 94-101.
[11] QS. Al-Muddatstsir: 46–48.
[12] QS. Al-An’am: 70.
[13] QS. Ghafir: 18.
[14] QS. Yunus: 18.
[15] QS. Al-Rum: 13.
[16] QS. Al-An’am: 94
[17] QS. Al-Zumar: 43.
[18] QS. Yasin: 23.
[19] Sahih Bukhari 1 hal. 86-113.
[20] Sunan An-Nasa`i 2 hal. 26.
[21] Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih 3 hal. 376.
[22] Sunan Al-Nasa’i 5 hal. 78.
[23] Sahih Muslim 1 hal. 130.
[24] Sahih Muslim 1 hal. 130–132, Sahih Bukhari 7 hal. 145 dan 8 hal. 193, Musnad Ahmad 2 hal. 313 dan 396.
[25] Musnad Ahmad 1 hal. 295–296.
[26] Musnad Ahmad 1 hal. 301.
[27] Musnad Ahmad 2 hal. 168.
[28] Musnad Ahmad 2 hal. 444.
[29] Musnad Ahmad 2 hal. 428.
[30] Sunan Al-Turmudzi 4 hal. 114, dan Sunan Ibnu Majah 2 hal. 1443.
[31] Musnad Ahmad 2 hal. 426.
[32] Amali Al-Shaduq hal. 291.
[33] Shahifah Sajjadiyyah, doa nomer 43.
[34] Kulaini, Al-Kafi 4 hal. 58.
[35] Shahifah Sajjadiyyah 2 hal. 282, cetakan dengan catatan kaki.
[36] Kulaini, Al-Kafi 2 hal. 248.
[37] Kulaini, Al-Kafi 2 hal. 258.
[38] Nahjul Balaghah khotbah nomer 176.
[39] Sunan Al-Turmudzi 4 hal. 621 kitab Sifah Al-Qiyamah bab 9.
[40] Ibnu Taimiyyah, Matn Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah hal. 58-59, Penerbit Maktabah Al-Sawadi, Saudi Arabia.
[41] Halabi, Al-Sirah Al-Nabawiyyah 3 hal. 474.

Tuesday, July 12, 2011

Ma'rifatullah



Tidak ada yang kita ingat-ingat, tidak ada yang kita tuju, tidak ada yang kita takuti, tidak ada yang kita cintai, dan tidak ada yang kita sembah, kecuali ALLÂH SWT.

MUKADDIMAH 

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam kuliah ma’rifatullah akan tergambar betapa Islam merupakan integrasi antara... ~ syariat-tarikat-hakikat ~ Ketiga unsur ini terpusat dan dilandasi ma’rifatullah.

Dalam hadis Nabi saw yang popular disebutkan bahwa:

Awwalu al-dîn ma’rifatullâh
Awal agama adalah mengenal Allah

Al-diin, ialah wahyu Allah yang sesuai dengan akal sehat, dengan usaha keras kearah itu, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadits ini tidak pernah dikenal sebagai hadis yang riwayatnya sampai kepada Nabi, tetapi di kalangan ulama dikenal berasal dari Yahya bin Mu’az al Râzi. Demikian juga ungkapan Imam al-Nawawi, bahwa hadis ini tidak jelas (tsabit).
Siapa saja yang mengenal dirinya pasti dia akan mengenal Allah sebagai “Qadim” dan siapa yang mengenal bahwa dirinya akan fana niscaya yakinlah dia bahwa Tuhannya pastilah Kekal (Baqâ). 
Dari sini dapat dipahami, bahwa jiwa riwayat hadis ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan sejiwa. Sebagian ulama memandang bahwa hadis ini adalah perkataan Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Disini bukanlah tempat untuk mempertentangkannya tetapi cukup diambil jiwanya saja karena ulama-ulama tafsir di dalam memahami surah Muhammad [47]:19 sepakat bahwa haramnya taklid dalam aqidah. Dalam istilah lain, mengenal dan memahami Allah wajib berdasarkan ilmu. Sedangkan ilmunya tentu saja ilmu dari Allah SWT.

Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: 
“Barangsiapa yang memilah-milah-NYA, maka sesungguhnya dia tidak mengenal-NYA. Barangsiapa yang tidak mengenal-NYA, maka dia akan melakukan penunjukan kepada-Nya. Barangsiapa yang melakukan penunjukan kepada-Nya, maka dia telah membuat batasan tentang-NYA. Dan barangsiapa yang membuat batasan tentang-Nya, sesungguhnya dia telah menganggap-Nya berbilang. 

‘Abdullah Ibnu ‘Abbas r.a. seorang sahabat Nabi -ahli tafsir al-Qur’an- , menafsirkan surah al-Dzâriât [51]:56 yang berbunyi “liya’budûni” maksudnya lima’rifatî, yaitu untuk ma’rifat kepada-Ku. Ini menunjukkan bahwa Ma’rifatullah adalah inti ajaran Islam.

Pada pembahasan yang berikutnya, akan dibahas bahwa Ma’rifat adalah puncak atau tujuan akhir manusia. Inti dan tugas semua para Nabi dan Rasul adalah Ma’rifatullah, termasuk misi utama Al-Qur’an

"Wahai Tuhanku, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari sujud kepada selain-MU, maka jagalah wajahku dari meminta kepada selain-MU". 

"Wahai Tuhanku, cukuplah bagiku kebanggaan bahwasanya Engkau menjadi Tuhan bagiku, dan cukuplah kemuliaan bagiku bahwasanya aku menjadi hamba-MU. Sesungguhnya Engkau seperti yang kuinginkan, maka jadikanlah aku seperti yang Engkau inginkan." [wasiyat dari Imam Ali r.a] 


MA’RIFATULLÂH

Sahabatku rahimakumullah,
Bila diumpamakan Ma’rifatullah itu adalah pohon, maka dahannya ada tiga yaitu:
  1. Al-Tauhîd,
  2. Al-Tajrîd,
  3. Al-Tafrîd. 
Untuk dapat memahami lebih mudah dan mendalam berikut ini uraiannya:

Al-Tauhîd.
Dahan yang pertama ini dapat dipahami berdasarkan firman Allah SWT diantaranya Surah Muhammad [47]:19.

“Hendaklah kamu mendasarkan kepada ilmu tentang“lâ ilâha illallaâh”dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa oang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.(Surah Al-Baqarah [2]:163);
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa”(Surah Al-Ikhlas [114]: 1-4);

“Atas nama ALLAH sumber rahmat, pemancar kasih sayang. Katakanlah! ALLAH itu AHAD (satu yang tiada duanya). ALLAH tempat semua makhluk menggantungkan diri. Tidak berputera dan tidak pula diputerakan. Dan tidak ada seorangpun yang dapat menandingi-Nya”

DIA tidak beranak, maka tiadalah DIA dilahirkan; dan tidak pula Dia di peranakkan, maka tiadalah Dia menjadi terbatas. Sungguh Mahaagung Dia untuk mempunyai anak dan Mahasuci bagi-Nya untuk menyentuh wanita. DIA tidak di peranakkan, Mahasuci DIA, maka tiada sekutu bagi-NYA dalam keagungan; tidak pula DIA beranak, maka tiadalah DIA diwarisi.

Istilah TAUHID tidak kita temukan dalam al-Qur’an sehingga sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa istilah ini baru popular sesudah terbitnya buku karangan Muhammad Abduh yang berjudul Risâlah al-Tauhîd . Tetapi jika kita telusuri hadits Nabi Saww istilah ini akan kita temukan dalam riwayat al-Imam Bukhari:

“Ada seorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian, yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya: ~ “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkanlah separuh abu jasadku di darat dan separuhnya lagi di laut pada saat angin kencang”.~ Keluarganya pun melaksanakan wasiatnya itu. Kemudian Allah SWT berfirman kepada angin: “Kemarikan apa yang kamu ambil”. Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah bertanya pada orang tersebut: “Apa yang membebanimu, sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab: “Karena malu kepada-Mu”. Kemudian Allah mengampuninya”. (HR Imam Bukhari).

Dilihat dari jiwa ayat-ayat dan hadits Nabi riwayat diatas, menunjukkan betapa pentingnya Tauhid. TAUHID adalah tingkat pertama dari ma’rifatullah karena ia “qath’u al andâd” yaitu memutuskan apa saja yang dianggap sebagai sekutu bagi ALLAH SWT.

Dari segi etimologi, tauhid berasal dari akar kata wahada (fi’il mâdhi) - yuwahhidu (fi’il mudâri)- tauhîdan (mashdar) berubah jadiwâhid atau wahad dan wahîd.

Sama dengan kata farrada (fi’il mâdhi)-- yufarridu (fi’il mudâri) – tafrîd (mashdar) berubah jadi farîd.

Akar kata ahad adalah wahada, kemudan huruf wâu diganti dengan hamzah sebagaimana huruf-huruf yang dikasrah dan didhammah diganti. Orang Arab mengatakan wahhadathu apabila anda menyifati dengan sifat wahdaniyyah (menyifatkan ke-MahaESA-an-Nya).

Inti Tauhid adalah kalimat;“lâilâha illâ llaâh” (tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkah hanya Allah). Dalam ilmu balâghah susunan kalimat ini dikenal dengan susunan yang sangat balîgh (sangat tinggi sastranya) dibandingkan dengan segala ungkapan yaitu:lâ, menafikan (meniadakan)- ilâh, yang dinafikan (disangkal)-illa,istitsnâ-(pengecualian) =ALLAH, itsbât (penetapan). Jika dalam satu pertemuan seorang membuat pernyataan:“Muhammad Ali adalah seorang mubaligh”, maka pernyataan ini dapat dipahami bahwa “Muhammad Amin” bisa jadi adalah seorang mubaligh pula. Berbeda jika pernyataan itu berbunyi: “Tidak ada mubaligh disini kecuali Muhammad Ali”. Kalimat ini menunjukkan bahwa satu-satunya mubaligh di tempat itu hanyalah Muhammad Ali dan bukan yang lainnya. Disinilah letaknya ketinggian sastranya.

Kata ALLAH terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 2698 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya kata tersebut. Mayoritas ulama lebih cenderung berpendapat bahwa kata itu tidak musytaq-artinya tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi asli merupakan Ismu al-Dzat, yaitu nama Dzat yang tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun juga. 

Menurut sebagian ulama, kata ini berakar dari kata “walaha” yang berarti mengherankan atau menakjubkan. Sebab memang semua perbuatan-Nya pastilah menakjubkan bagi yang mentafakkurinya. Segala ciptaan-Nya membuat heran orang yang mengkajinya sampai sedetail mungkin, apalagi sampai pada hakekat-hakekat ciptaan-Nya pasti penelitinya akan semakin takjub, tercengang dan akan Teheran-heran akan Tuhan yang diperkenalkan oleh al-Qur’an dengan nama ALLÂH ( اللّهُ ).

Pendapat lain mengatakan bahwa kata itu terambil dari akar kata aliha, ya’lahu yang artinya menuju atau memohon. Setiap makhluk dipastikan behwa semuanya sedang menuju kepada-Nya rela atau terpaksa, siap atau lalai, sesuai dengan firman-Nya pada surah al-Baqarah [2]:156; “Innâ lillâhi wainnâ ilaihi râji’un” .

Setiap makhluk terutama manusia, untuk memenuhi kebutuhannya, pasti akan bermohon kepada Tuhan yang mereka yakini dapat mengabulkannya yaitu ALLÂH SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa kata itu pada mulanya bermakna mengabdi. Ini dapat dimaklumi karena setiap makhluk ciptaan Tuhan pasti mengabdi kepada-Nya. Diantara sekian banyak makhluk yang mengabdi, manusialah makhluk yang paling banyak membangkang dan durhaka kepada Allah.

Ulama berupaya berupaya membedakan antara kata ALLÂH dan ILÂH dalam kalimat “lâ ilâha illâ llaâh”. Imam al-Marâghi misalnya mengungkapkan bahwa ilâh = Tuhan, yakni segala sesuatu yang disembah. Penyembahan itu baik dibenarkan oleh ajaran Islam atau sebaliknya tidak ditolerir oleh Islam. Penyembahan yang tidak ditolerir oleh ajaran Islam adalah menyembah segala sesuatu selain Allah, seperti misalnya menyembah: ~ matahari, bulan, bintang, api, berhala, makhluk, roh leluhur, anak manusia, berhala atau patung dan hawa nafsu.~

Dari sini dapat dipahami bahwa ilâh mencakup seluruh objek sesembahan atau semua yang dianggap sebagai kekuatan yang menguasai hidup atau matinya sesuatu. Berbeda dengan at yang wajib wujudnya (pantas dan mutlak di ibadahi) yang diperkenalkan al-Qur’an yaitu ~ ALLÂH SWT.

~ DIA-lah yang memiliki nama yang wajib disembah; Al-Khâliq, Zat yang harus ada dan selalu ada berada dengan zat-zat lainnya yang terkenal dengan Asmâ-u al-Husnâ.

Menarik dikemukakan disini apa yang disampaikan oleh seorang ulama kontemporer dan guru besar Universitas al-Azhar Mesir, pakar bahasa Arab yaitu syekh Mutawwali al-Sya’rawi. Ia menulis dalam tafsirnya tentang khawâsh (keindahan dan ke khususan lafadz Allah). Menurutnya, Allah selalu ada dalam diri manuia walaupun ia mengingkari wujud-Nya baik melalui ucapan dan tindakan. Kata ini selalu menunjuk kepada-Nya yang diharapkan pertolongan-Nya. Perhatikan lafadz “Allâh” اللّهُ (Alif;lam;lam;hâ), bila huruf pertamanya (alîf) dihapus, maka ia akan terbaca “lillâh” yang artinya berbentuh sumpah “demi Allâh” atau “milik Allâh”. Bila satu huruf berikutnya atau huruf kedua (lam) dihapus, akan terbaca yang berarti “untuk-Nya” atau “milik-Nya”. Kemudian jika huruf berikutnya yaitu huruf ketiga (lam) dihapus juga, ia akan terbaca dan tertulis ““lahu” hu” yang dapat dibaca “huwa” sebagai dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) yang berarti DIA yaitu Allah SWT. (lihat dhamir “hu” pada ayat kursi atau al-Ikhlas).

Menarik lagi apa yang dikemukakan oleh ImamAl-Sy’râwi bahwa setiap orang yang mengeluh selalu berkata ah, ih, uh..(tanpa memandang siapa, bangsa, agama, dan keturunan). Kata ini menurut analisanya bahwa di dalamnya tersirat singkatan dari lafadz Allâh. Semua ini menunjukkan bahwa sadar atau tidak, setiap orang mengeluh kepada-Nya dan dapat ditarik satu kesimpulan bahwa keyakinan kepada-Nya atau ma’rifatullah terdapat dalam sanubari setiap insan. Inilah fitrah, sebagaimana sudah diisyaratkan di dalam al-Qur’an.

Kesempurnaan makrifat tentang-NYA adalah dengan 'tashdiiq' (membenarkan) terhadap-Nya. Kesempurnaan tashdiq terhadap-Nya adalah dengan tauhid kepada-Nya. Dan kesempurnaan tauhid kepada-Nya adalah dengan ikhlaskepada-Nya.

Barangsiapa yang melekatkan suatu sifat kepada-Nya, berarti dia telah menyertakan sesuatu kepada-Nya. Dan barangsiapa yang menyertakan sesuatu kepada-Nya, maka dia telah menduakan-Nya. Barangsiapa yang menduakan-Nya, maka dia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya.

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam khazanah Islam, kata "ma’rifatullâh" tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Tetapi dalam sejarah perkembangannya istilah ini lambat laun menyurut, kurang populer. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena pada kenyataannya dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam baik di TV maupun di majlis-majlis Ta’lim khususnya di Indonesia berpusat pada fikhi, dan pembahasannya pun berputar hanya pada masalah wudhu, shalat, shaum (puasa), zakat, haji. Inipun hanya sekedar lahiriyahnya saja, pembahasannya pun hanya dari satu mahzab, kemudian diklaim bahwa inilah yang dinamakan sunnah Nabi, dan yang tidak sesuai dicap bid’ah dan mengangkat dirinya menjadi Tuhan, dan mencap yang tidak sepaham sebagai ahli neraka. Na’udzu billâh, dari kesempitan dan kebodohan ini.Metode ini telah melahirkan muslim-muslim, tetapi jiwanya gersang dari daya pancaran spiritual dan akhlaknya jauh dari nilai-nilai Islam, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil âlamîn.

Kata ma’rifatullâh berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfatan, wa ‘irfânan, wa ‘itifânan, wa ma’rifatan. Arti menurut istilah antara lain adalah; Pengetahuan yang sangat pasti tentang al-Khâliq (Allah SWT) yang diperoleh dari hati sanubari. Ma’rifat adalah hadirnya al-Haq sementara kalbunya selalu berhubungan erat dengan nur-Nya.

DR. Mustafa Zuhri mengungkapkan bahwa ma’rifat adalah; ketetapan kalbu dalam meyakini wujudnya al-Wâjib (Allah Swt) yang menggambarkan segala kesempurnaan;

Sedangkan Imam al-Qushairî berkata: ” ma’rifat membuat ketenangan dalam kalbu sebagaimana ilmu membuat ketenangan pada akal pikiran."

Semakin meningkat ma’rifat seseorang, semakin meningkat pula ketenangan kalbunya. Ma’rifat seseorang akan membawanya kepada puncak kemerdekaan yang hakiki, bukan kemerdekaan yang semu. Tidak ada yang ditakuti dalam hidupnya hanya yang satu itu Allah Swt sehingga dia benar-benar merdeka dalam hidupnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa Ma’rifatullâh adalah awal dari al-dîn (keber-agama-an) seseorang. Meskipun sebagian orang menempatkannya pada tingkat tertinggi sesudah syareat, tarekat, dan hakekat. Mereka tampaknya membagi dan memecahkan Islam pada “kepingan-kepingan” yang berserekan dan hanya tenggelam dalam ruang lingkup sareat atau fikhi dalam istilah yang sempit.

URGENSI MA’RIFATULLÂH 

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Awwalu al-dîn ma’rifatullâh” 

Fondasi (azas) dari al-dîn (keberagamaan) adalah ma’rifatullah.
Secara sederhana ma’rifatullah berarti mengenal Allah atau merasakan kehadiran-Nya.

Kebeningan hati seseorang tergantung kualitas ma’rifat-nya dan kehancuran diri, keluarga, sampai kepada hancurnya satu bangsa intinya bersumber dari ketidaktahuan-nya tentang ma’rifatullah. Kemampuan dalam merasakan kehadiran Illahi dalam kehidupan ini, bahwa DIA bersama kita, maka secara otomatis dapat mengantarkan seseorang untuk melaksanakan ibadah secara baik seperti shalat, shaum, zakat dan haji, serta ibadah-ibadah social lainnya. 

Ma’rifatullâh yang tertancap dalam jiwa akan menjauhkan diri seseorang untuk melakukan suatu maksiat dalam bentuk apapun seperti berbohong, korupsi, mark-up anggaran yang merugikan perusahaan, apalagi yang merugikan bangsa dan negara. Tidak akan ada peluang untuk untuk mengkhianati keluarga, teman, mitra kerja, bangsa dan Negara sekalipun. 

Membina keluarga dan mendidik anak-anak sejak dini dengan ma’rifatullah akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta melahirkan anak-anak dan generasi yang shaleh dan rumah tangganya, hanya kematian yang memisahkannya, karena nanti akan bertemu lagi di didalam surga.

Dengan penataan diri lewat ma’rifatullah, hidup ini menjadi semakin indah, tenang tenteram tanpa rasa takut, bahkan rezekinya dijamin oleh Allah dan dia akan memperleh rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Disamping itu, kegoncangan jiwa dapat teratasi seperti susah tidur (insomnia), stress dan depresi baik dikala menghadapi masalah di rumah, di kantor atau di tempat kerja termasuk diakhir masa kerja (pensiun). Hati selalu bersama dengan-Nya sekalipun dalam keramaian, dan selalu tuma’ninâh (nikmat) dalam ibadah.Kebodohan terhadap-Nya merupakan awal dari segala malapetaka yang akan menimpanya dan akan berbuah penyesalan yang tak kunjung berakhir hingga di akhirat kelak.

"Wahai Ghulam, jika khalwatmu bersama Allah Swt. telah benar, hatimu tentu akan tercengang dan menjadi bersih. Pandanganmu dapat menarik pelajaran, hatimu bertafakur, ruh dan maknamu sampai pada Al-Haq Azza wa Jalla. Berfikir perihal dunia adalah siksaan dan hijab. Tetapi memikirkan akhirat adalah ilmu dan menghidupkan hati. Orang yang bertafakur diberi ilmu tentang keadaan dunia dan akhirat.” (Syaikh Abd.Qadir al-Jailani)

“Ya Allah, dekatkanlah kami kepada Engkau, jangan jauhkan kami dari Engkau. Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari siksa api neraka.”

Selanjutnya, silahkan simak juga penjelasan tentang "ALLASTU BIRABBIKUM" di sini.


~ Subhanakallâhumma Robbana wabihamdika, Allâhummaghfirlî ~ 

[Dari Al-Ustadz KH.Muhtar Adam Fadhlulah Muh.Said dalam bukunya: “Ma’rifatullah”]



Allastu Bi Rabbikum?




AWAL DAN PUNCAK TUJUAN 
PENCIPTAAN MANUSIA


Sahabatku rahimakumullah,
ALLAH Maha Bijaksana, maka sebagai wujud nyata kebijakan-Nya dinampakkan, bahwa setiap perbuatan-Nya pasti mempunyai maksud dan tujuan tanpa sia-sia.

Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Âli Imrân [3]: 191

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً 
“Tuhanku, semua yang Engkau ciptakan ini tidak sia-sia” 

Semua ciptaan dan perbuatan-Nya mengandung hikmah. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an menginformasikan bahwa alam raya ang luas ini diciptakan semuanya untuk manusia. Penciptaan dilakukan bukan semata-mata karena manusia memiliki akal dan intuisi yang bisa mengolah kekayaan bumi ini, tetapi yang terpenting adalah wujud dari perjanjian yang telah dibuat Allah kepada manusia selain perjanjian primordial dalam (surah al-A’raâf [7]: 172) yaitu:

أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Allastu bi rabbikum?” (“bukankah AKU Tuhanmu?”). ~ Mereka (semua manusia) menjawab: “Bala Syahidnâ..” ~ “Benar! Engkaulah Tuhan kami..”~ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", 

Hal ini dapat juga dipahami dari terjemah surah al-Ahzâb [33]:72;

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ 
 وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat (tugas-tugas kekhalifahan Allah di bumi) kepada langit, bumi dan gunung-gunung semuanya enggan memikul amanat tersebut dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanat itu oleh manusia; Sesungguhnya dia (manusia) zalim dan bodoh.” 

Selain itu, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, seperti isyarat dalam surah al-Baqarah [2]:30; yang artinya:

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً 
“Sesungguhnya AKU hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. 

Menjadi khalifah adalah wujud tanggung jawab manusia -terhadap alam semesta ini- kepada Allah. Karena alam ini diperuntukkan bagi manusia, konsekwensinya dia wajib memelihara, mengatur dan menata seluruh alam ini serta memakmurkannya sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Hûd [11]:61;

غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi tanah dan menjadi kamu pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat rahmat-Nya lagi memperkenankan doa hamba-Nya”. 

Maksud ayat ini, manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.

Dalam kehidupannya di muka bumi manusia mengemban amanat-Nya yaitu amanat ‘ibâdah dan amanat isti’mar yaitu menciptakan kemakmuran di muka bumi ini.

Sebagai ‘âbid, manusia wajib beribadah sebagai tanda terima kasihnya kepada Allah, bahwa atas kecintaan-Nya serta rahmat-Nya, manusia dapat melaksanakan aktifitasnya.

Sebagai khalîfah, atau penguasa di bumi, ia wajib menciptakan kemakmuran, keamanan dan menjaga kelestarian alam ini agar tidak menimbulkan malapetaka. Akan tetapi tujuan yang paling esensial dari penciptaannnya, selain untuk menunaikan amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, adalah untuk beribadah atau menghambakan diri hanya kepada Allah SWT semata. 

Dunia ini pada prinsipnya hanya sebagai sarana untuk menghambakan diri pada-Nya. Akan tetapi ibadah, menghambakan diri pda-Nya tanpa ma’rifât adalah omong kosong belaka. Karena ma’rifatlah yang melahirkan ibadah, dan ibadah yang paripurna lahir karena ma’rifat.

Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa hakekat dan inti tujuan penciptaan manusia dan seluruh alam adalah ma’rifatullah agar dapat secara sempurna menjalankan tugasnya sebagai khalifatullâh di muka bumi dan sebagai ‘âbid (pelayan dan anak panah Allah SWT serta kembang matahari yang memancarkan harum-haruman kesekelilingnya).

Pada saat Bai’atul ‘Aqabah ke satu dan ke dua dilaksanakan di Mina, orang-orang Yatsrib yang telah masuk Islam sebelumnya bersumpah setia (kepada Nabi ketika mereka akan kembali ke Yatsrib (yang kemudian berubah menjadi Madinah), mereka meminta nasehat kepada Nabi Saw. berupa konsep untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Nasehat Nabi Saw. ternyata sangatlah sederhana yaitu: 
 
  • Jangan menyekutukan Allah, 
  • Jangan membunuh tanpa haq, 
  • Jangan berzina, 
  • Jangan mencuri/korupsi, 
  • Jangan berdusta, dan 
  • Jangan memfitnah. 
[Lihat surah al-An’am [6]: 151-152]

قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ 
"Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). 

وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُواْ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللّهِ أَوْفُواْ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 
"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah520. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. "

Orang-orang Yastrib berbai’at untuk tidak mengerjakan ke-enam perkara yang di wasiatkan Nabi Saw ini.

Isi bai’at ini tidak berbicara tentang ekonomi, Bank Dunia, IMF, apalagi Perdagangan Bebas (AFTA), karena pada saat itu memang tidak ada. Kalaupun ada, Nabi tidak akan membicarakannya karena seluruh perjuangan nabi-nabi dan gerakannya adalah menanamkan ma’rifatullah sebagai inti permasalahannya. Jika sumber permasalahannya dapat dibenahi tentunya solusi seluruh persoalan akan menjadi lebih mudah dan lancar. Dialah sumber keamanan dan ketenteraman serta kesejahteraan bangsa. Tanpa Ma’rifatullâh, kesejahteraan yang dijanjikan hanya fatamorgana semata-mata, bayangan kosong yang tak mungkin terwujud. Syirik (menyekutukan Allah) adalah penyakit rohani yang akan merusak jiwa dan mental spiritual dan Zinah adalah penyakit sosial yang dampaknya bukan hanya pada pelakunya tetapi termasuk pada lingkungannya bahkan bisa menjadi sebab runtuhnya sebuah Negara dan musnahnya suatu peradaban seperti halnya kaum Luth yang pernah hidup di kota Sodom & Gomorah. Apa yang dilarang oleh Nabi Saww dapat terjadi bila jiwa ma’rifat sirna dalam diri dan masyarakat, lebih-lebih jika sirna dari hati para anggota DPR baik Pusat maupun Daerah dan para Birokrat dan Aparat.

Bahaya dari enam larangan tersebut diatas (Syirik, membunuh, zinah, korupsi, bohong, fitnah) langsung terbayang di hadapan kita, tapi bagaimana dengan berbohong?

Sederhana sekali nasehat Nabi, tapi langsung menembus inti permasalahan!

Coba bayangkan jika sebuah keluarga pembohong. Suami, istri dan anak-anaknya semuanya pembohong, kira-kira bagaimana nasib keluarga itu? Bisa dipastikan keluarga itu akan hancur berantakan. Jika kebohongan telah merajalela dalam suatu Negara maka disanalah sumber kehancurannya. Nabi Saww pernah bersabda bahwa ide dan kebiasaan suatu warga bangsa sedikit banyaknya ditentukan oleh kebiasaan penguasa mereka. 

Itulah sebabnya maka Imâm Mâlik bin Anas (93-179H./712-795 M.[pendiri Mazhab Maliki] -Madinah), menegaskan:

"Manusia tergantung kepada adat-kebiasaaan penguasa mereka.” 

Jika Presiden mereka pembohong, dapat dibayangkan bahwa kebohongan itu akan merajalela dalam lingkungan kekuasaannya. Dalam bahasa politik disebut “kebohongan publik” 

Dalam kita Ihyâ Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa: 
“Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuannya mengenal Allah (ma’rifatullah)”. 

Seluruh misi dakwah para Nabi dan Rasul berpusat pada ma’rifatullah. Apa saja yang terjadi di dunia ini dan apa saja yang dilakukan para Nabi itu, semuanya dilakukan dalam rangka mencapai ma’rifatullah. Jika langkah ini sukses, maka yang lain pun dengan sendirinya mengikuti.

Kebejatan-kebejatan yang terjadi di dunia ini adalah hasil ketidak-tahuan dan kebodohan mereka pada Allah SWT.

”Menjadikan ekonomi semata-mata sebagai indicator suksesnya membangun suatu bangsa dan Negara tetapi kosong dari membangun dan membina ma’rifatullah, adalah khayalan dan fatamorgana semata. Sudah 66 tahun merdeka, dan setiap pemerintahan berjuang dan bercita-cita menciptakan masyarakat adil makmur, para Caleg dan calon Presiden setiap menghadapi Pemilihan Umum, penuh dengan janji-janji muluk, tetapi ujung dari semuanya adalah, kesengsaraan, kelaparan, kesulitan, pengangguran, gizi buruk, dan lebih buruk lagi, muncul dan ramainya perampokan, bajak laut, merajalelanya pelacuran, pembunuhan, bunuh diri, kebrutalan, kerusuhan, PHK, perceraian, pengangguran dan aneka kejahatan lainnya yang puncaknya merajalelanya kezaliman, dimana keadilan itu makin jauh dan terus meluncur semakin jauh. Sementara itu para pemimpin yang telah “buta mata hatinya” serta kehilangan nurani sekaligus berkhianat terhadap amanat Allah..., terus saja terlelap.., tenggelam dalam kebohongan dan kepalsuan. 

Firman Allah: 

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta itu adalah hati yang di dalam dada” (QS Al-Hajj:46). 

“Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat munafik dan jauhkanlah kami dari sifat khianat dalam seluruh keadaan kami. Dan berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa api neraka”.

Demikian, semoga bermanfaat!

Simak juga penjelasan sebelumnya, "MA'RIFATULLAH" di sini. 



~ Subhanakallâhumma Rabbana wabihamdika, Allâhumaghfirlî ~

[Dari tulisan: al-Ustadz KH.Muhtar Adam Fadhlulah Muh.Said dalam bukunya: “Ma’rifatullah”]

Dapatkah hal-hal ghaib diketahui?




Di antara sifat seorang mukmin dan salah satu karakter orang yang bertaqwa adalah dia beriman, berkeyakinan tentang adanya hal-hal ghaib yaitu membenarkan segala sesuatu yang telah dikhabarkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya dari hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan tidak bisa dicapai oleh akal manusia, akan tetapi hanya diketahui berdasarkan wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.

Allah subhanahu wata’ala berfirman;

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
"Alif laam miim. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka." (QS. al-Baqarah [2]: 1-3). 

Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga berkeyakinan bahwa pengetahuan terhadap yang ghaib termasuk hal yang menjadi rahasia Allah subhanahu wata’ala dan sifat-Nya yang paling khusus, yang tidak satu makhluk-pun dapat menyamai-Nya, sebagaimana firman-Nya;

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelei daun-pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Makhfudz)" (QS. al-An'am [6]: 59)
Maka siapa yang berkeyakinan bahwa dirinya atau orang lain boleh menguasai atau mengetahui perkara ghaib berarti ia telah kufur, karena hal ini tidak pernah diberitakan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada siapa pun; tidak kepada para malaikat yang dekat dan tidak juga kepada para rasul yang diutus.
Allah subhanahu wata’ala berfirman;

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
"Katakanlah! (Hai Muhammad) Tiada seorang pun baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan" (QS.An-Naml [27]: 65)

Dan firman-Nya;


قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ
"Katakanlah! (Hai Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan (rahasia) Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, dan tidaklah aku mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat, aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku" (QS.Al-An'am [6]:50)
Ada pun perkara-perkara yang ghaib yang dikhabarkan oleh para nabi dan rasul, sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menghabarkan kepada ummatnya tentang tanda-tanda hari Kiamat; Tentang adanya surga dan neraka; Tentang adanya azab kubur dan nikmat kubur, serta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang leher jin Ifrit ketika beliau diganggu oleh Jin tersebut di dalam shalatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, dan hal-hal ghaib lainnya, maka yang demikian, tiada lain sebagai salah satu tanda kenabian dan keistimewaan bagi beliau, dan merupakan wahyu Ilahi, sebab beliau tidak bertutur kata melainkan berdasarkan wahyu Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman;

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً
إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
"(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang hal ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya". (QS. Al-Jinn [72]: 26-27) 
Namun sangat disayangkan di antara kaum Muslimin masih banyak yang percaya kepada cerita-cerita khurafat, mistik, dan cerita-cerita syirik jahiliyah. Misalnya keyakinan bahwa ada di antara manusia yang dapat mengetahui perkara yang ghaib, bisa mengetahui nasib seseorang, mengetahui peristiwa yang akan datang, bisa melakukan penerawangan dan bahkan mengaku bisa melihat makhluk-makhluk ghaib seperti Jin. Fenomena demikian sering kita dapati di sekitar kita, apalagi dengan adanya sekian banyak bentuk tayangan media, baik cetak ataupun elektronik yang menggambarkan demikian, dan hal itu justru memperparah dan seolah-olah telah melegitimasi bahwa yang demikian adalah benar, padahal justru sebaliknya. Keyakinan-keyakinan yang ada merupakan keyakinan yang menyimpang yang sangat membahaya kan aqidah seorang Muslim.
Pada dasarnya yang mereka lakukan itu hanyalah tipu daya jin dan propaganda syaithan untuk menggiring kaum Muslimin agar jauh dari tuntunan al-Qur'an dan as-Sunnah, kemudian terjerumus ke lembah kesyirikan dan terkubur ke dalam lumpur kekufuran. Karena hal ini merupakan perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wata’ala dengan selain-Nya dalam hal yang menjadi kekhususan Allah subhanahu wata’ala, yaitu mengetahui hal-hal yang ghaib.

Allah subhanahu wata’ala berfirman;


إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
"Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman". (QS. Al-A'raf [7]:27) 

Dengan demikian klaim seseorang yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib telah banyak merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga mereka menjalani aktivitas hidupnya berdasarkan saran-saran yang disampaikan oleh sang pendusta tukang ramal dan sebangsanya, padahal dia pada dasarnya tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudharat kepada siapa pun.
Allah subhanahu wata’ala berfirman;

قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ
"Katakanlah! (Hai Muhammad), “Aku tidak berkuasa mendatangkan manfa'at bagi diriku dan tidak (pula kuasa) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan." (QS.Al-'Araf [7]:188) 
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak mengetahui hal-hal yang ghaib selain yang diwahyukan kepadanya, bahkan dengan terus terang beliau menafikan yang demikian itu atas dirinya, maka bagaimana dengan orang-orang selain beliau? Tentu mereka pasti lebih tidak tahu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak daripada mereka.
Berkaitan dengan permasalahan ini Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan peringatan dan ancaman dalam banyak hadits beliau.

Allah subhanahu wata’ala berfirman;

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan". Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim". (QS. Al-An'am [6]:144)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Bukan dari golongan kami, orang yang menentukan nasib sial dan mujur berdasarkan tanda-tanda benda, burung(dan lain-lainnya), yang bertanya dan yang menyampaikannya atau yang bertanya kepada dukun dan yang mendukuninya, atau yang menyihir dan meminta sihir untuknya, dan siapa yang mendatangi kâhin (dukun dan sejenisnya) lalu membenar kan apa yang diucapkannya maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad (murtad dari Islam)" (HR. Al-Bazzâr dengan sanad yang bagus).
Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa mendatangi 'arraaf (tukang tenung/peramal) dan menanyakan sesuatu kepadanya maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari." (HR. Muslim).
Dalam redaksi yang lain beliau bersabda,
"Siapa yang mendatangi 'arraaf (peramal) atau kahin (dukun) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad." (HR. Sunan Empat, dan dishahihkan oleh al-Hakim).
Dari hadits-hadits yang mulia ini, menunjukkan larangan mendatangi kahin (dukun), 'arraaf (peramal) atau sebangsanya dalam bentuk apa pun; Larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib; Larangan mempercayai dan membenarkan apa yang mereka katakan, serta ancaman bagi mereka yang melakukannya. Ini semua karena mengandung bahaya dan kemungkaran yang sangat besar, dan berakibat negatif yang sangat besar pula, disebabkan mereka telah melakukan kedustaan dan dosa.
Oleh karena itu seorang muslim tidak dibenarkan mendatangi mereka dan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang kecintaan dan kesetiaan, dan lain sebagainya. Karena ini berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapa pun kecuali hanya Allah subhanahu wata’ala.
Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar kaum Muslimin terpelihara dari tipu daya setan jin dan manusia, dan semoga Allah subhanahu wata’ala selalu memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap mereka, sehingga terjaga dari kejahatan mereka dan segala praktek keji yang mereka lakukan. 

Wallahu a’lam bish shawab.


[Rujukan: Risalah fi Hukmi as-Sihr wa al-Kahanah, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Kitabut Tauhid II, Tim Ahli Tauhid, Kitabut Tauhid, Muhammad at-Tamimi, Majalah as-Sunnah, 10/VI/1423H-2002M. (Abu Farwah)]


Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers