Allastu Bi Rabbikum?
AWAL DAN PUNCAK TUJUAN
PENCIPTAAN MANUSIA
PENCIPTAAN MANUSIA
Sahabatku rahimakumullah,
ALLAH Maha Bijaksana, maka sebagai wujud nyata kebijakan-Nya dinampakkan, bahwa setiap perbuatan-Nya pasti mempunyai maksud dan tujuan tanpa sia-sia.
Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Âli Imrân [3]: 191
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً
“Tuhanku, semua yang Engkau ciptakan ini tidak sia-sia”
Semua ciptaan dan perbuatan-Nya mengandung hikmah. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an menginformasikan bahwa alam raya ang luas ini diciptakan semuanya untuk manusia. Penciptaan dilakukan bukan semata-mata karena manusia memiliki akal dan intuisi yang bisa mengolah kekayaan bumi ini, tetapi yang terpenting adalah wujud dari perjanjian yang telah dibuat Allah kepada manusia selain perjanjian primordial dalam (surah al-A’raâf [7]: 172) yaitu:
أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Allastu bi rabbikum?” (“bukankah AKU Tuhanmu?”). ~ Mereka (semua manusia) menjawab: “Bala Syahidnâ..” ~ “Benar! Engkaulah Tuhan kami..”~ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Hal ini dapat juga dipahami dari terjemah surah al-Ahzâb [33]:72;
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat (tugas-tugas kekhalifahan Allah di bumi) kepada langit, bumi dan gunung-gunung semuanya enggan memikul amanat tersebut dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah amanat itu oleh manusia; Sesungguhnya dia (manusia) zalim dan bodoh.”
Selain itu, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, seperti isyarat dalam surah al-Baqarah [2]:30; yang artinya:
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya AKU hendak menjadikan khalifah di muka bumi”.
Menjadi khalifah adalah wujud tanggung jawab manusia -terhadap alam semesta ini- kepada Allah. Karena alam ini diperuntukkan bagi manusia, konsekwensinya dia wajib memelihara, mengatur dan menata seluruh alam ini serta memakmurkannya sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Hûd [11]:61;
غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi tanah dan menjadi kamu pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat rahmat-Nya lagi memperkenankan doa hamba-Nya”.
Maksud ayat ini, manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.
Dalam kehidupannya di muka bumi manusia mengemban amanat-Nya yaitu amanat ‘ibâdah dan amanat isti’mar yaitu menciptakan kemakmuran di muka bumi ini.
Sebagai ‘âbid, manusia wajib beribadah sebagai tanda terima kasihnya kepada Allah, bahwa atas kecintaan-Nya serta rahmat-Nya, manusia dapat melaksanakan aktifitasnya.
Sebagai khalîfah, atau penguasa di bumi, ia wajib menciptakan kemakmuran, keamanan dan menjaga kelestarian alam ini agar tidak menimbulkan malapetaka. Akan tetapi tujuan yang paling esensial dari penciptaannnya, selain untuk menunaikan amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, adalah untuk beribadah atau menghambakan diri hanya kepada Allah SWT semata.
Dunia ini pada prinsipnya hanya sebagai sarana untuk menghambakan diri pada-Nya. Akan tetapi ibadah, menghambakan diri pda-Nya tanpa ma’rifât adalah omong kosong belaka. Karena ma’rifatlah yang melahirkan ibadah, dan ibadah yang paripurna lahir karena ma’rifat.
Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa hakekat dan inti tujuan penciptaan manusia dan seluruh alam adalah ma’rifatullah agar dapat secara sempurna menjalankan tugasnya sebagai khalifatullâh di muka bumi dan sebagai ‘âbid (pelayan dan anak panah Allah SWT serta kembang matahari yang memancarkan harum-haruman kesekelilingnya).
Pada saat Bai’atul ‘Aqabah ke satu dan ke dua dilaksanakan di Mina, orang-orang Yatsrib yang telah masuk Islam sebelumnya bersumpah setia (kepada Nabi ketika mereka akan kembali ke Yatsrib (yang kemudian berubah menjadi Madinah), mereka meminta nasehat kepada Nabi Saw. berupa konsep untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Nasehat Nabi Saw. ternyata sangatlah sederhana yaitu:
- Jangan menyekutukan Allah,
- Jangan membunuh tanpa haq,
- Jangan berzina,
- Jangan mencuri/korupsi,
- Jangan berdusta, dan
- Jangan memfitnah.
[Lihat surah al-An’am [6]: 151-152]
قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
"Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُواْ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللّهِ أَوْفُواْ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah520. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. "
Orang-orang Yastrib berbai’at untuk tidak mengerjakan ke-enam perkara yang di wasiatkan Nabi Saw ini.
Isi bai’at ini tidak berbicara tentang ekonomi, Bank Dunia, IMF, apalagi Perdagangan Bebas (AFTA), karena pada saat itu memang tidak ada. Kalaupun ada, Nabi tidak akan membicarakannya karena seluruh perjuangan nabi-nabi dan gerakannya adalah menanamkan ma’rifatullah sebagai inti permasalahannya. Jika sumber permasalahannya dapat dibenahi tentunya solusi seluruh persoalan akan menjadi lebih mudah dan lancar. Dialah sumber keamanan dan ketenteraman serta kesejahteraan bangsa. Tanpa Ma’rifatullâh, kesejahteraan yang dijanjikan hanya fatamorgana semata-mata, bayangan kosong yang tak mungkin terwujud. Syirik (menyekutukan Allah) adalah penyakit rohani yang akan merusak jiwa dan mental spiritual dan Zinah adalah penyakit sosial yang dampaknya bukan hanya pada pelakunya tetapi termasuk pada lingkungannya bahkan bisa menjadi sebab runtuhnya sebuah Negara dan musnahnya suatu peradaban seperti halnya kaum Luth yang pernah hidup di kota Sodom & Gomorah. Apa yang dilarang oleh Nabi Saww dapat terjadi bila jiwa ma’rifat sirna dalam diri dan masyarakat, lebih-lebih jika sirna dari hati para anggota DPR baik Pusat maupun Daerah dan para Birokrat dan Aparat.
Bahaya dari enam larangan tersebut diatas (Syirik, membunuh, zinah, korupsi, bohong, fitnah) langsung terbayang di hadapan kita, tapi bagaimana dengan berbohong?
Sederhana sekali nasehat Nabi, tapi langsung menembus inti permasalahan!
Coba bayangkan jika sebuah keluarga pembohong. Suami, istri dan anak-anaknya semuanya pembohong, kira-kira bagaimana nasib keluarga itu? Bisa dipastikan keluarga itu akan hancur berantakan. Jika kebohongan telah merajalela dalam suatu Negara maka disanalah sumber kehancurannya. Nabi Saww pernah bersabda bahwa ide dan kebiasaan suatu warga bangsa sedikit banyaknya ditentukan oleh kebiasaan penguasa mereka.
Itulah sebabnya maka Imâm Mâlik bin Anas (93-179H./712-795 M.[pendiri Mazhab Maliki] -Madinah), menegaskan:
"Manusia tergantung kepada adat-kebiasaaan penguasa mereka.”
Jika Presiden mereka pembohong, dapat dibayangkan bahwa kebohongan itu akan merajalela dalam lingkungan kekuasaannya. Dalam bahasa politik disebut “kebohongan publik”
Dalam kita Ihyâ Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa:
“Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuannya mengenal Allah (ma’rifatullah)”.
Seluruh misi dakwah para Nabi dan Rasul berpusat pada ma’rifatullah. Apa saja yang terjadi di dunia ini dan apa saja yang dilakukan para Nabi itu, semuanya dilakukan dalam rangka mencapai ma’rifatullah. Jika langkah ini sukses, maka yang lain pun dengan sendirinya mengikuti.
Kebejatan-kebejatan yang terjadi di dunia ini adalah hasil ketidak-tahuan dan kebodohan mereka pada Allah SWT.
”Menjadikan ekonomi semata-mata sebagai indicator suksesnya membangun suatu bangsa dan Negara tetapi kosong dari membangun dan membina ma’rifatullah, adalah khayalan dan fatamorgana semata. Sudah 66 tahun merdeka, dan setiap pemerintahan berjuang dan bercita-cita menciptakan masyarakat adil makmur, para Caleg dan calon Presiden setiap menghadapi Pemilihan Umum, penuh dengan janji-janji muluk, tetapi ujung dari semuanya adalah, kesengsaraan, kelaparan, kesulitan, pengangguran, gizi buruk, dan lebih buruk lagi, muncul dan ramainya perampokan, bajak laut, merajalelanya pelacuran, pembunuhan, bunuh diri, kebrutalan, kerusuhan, PHK, perceraian, pengangguran dan aneka kejahatan lainnya yang puncaknya merajalelanya kezaliman, dimana keadilan itu makin jauh dan terus meluncur semakin jauh. Sementara itu para pemimpin yang telah “buta mata hatinya” serta kehilangan nurani sekaligus berkhianat terhadap amanat Allah..., terus saja terlelap.., tenggelam dalam kebohongan dan kepalsuan.
Firman Allah:
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta itu adalah hati yang di dalam dada” (QS Al-Hajj:46).
“Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat munafik dan jauhkanlah kami dari sifat khianat dalam seluruh keadaan kami. Dan berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa api neraka”.
Demikian, semoga bermanfaat!
Simak juga penjelasan sebelumnya, "MA'RIFATULLAH" di sini.
~ Subhanakallâhumma Rabbana wabihamdika, Allâhumaghfirlî ~
[Dari tulisan: al-Ustadz KH.Muhtar Adam Fadhlulah Muh.Said dalam bukunya: “Ma’rifatullah”]
Alhamdilillah
ReplyDeleteMuantap.
Maaf masih ada beberapa kesalahan dalam referensi anda,mohon di cek lagi,bagi orang awam pasti tidak tau apa",kesian mereka
ReplyDeleteMakasih
ReplyDelete