Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Gunakan tanda panah di sudut kanan bawah halaman untuk melanjutkan penelusuran artikel dalam kategori ini
Showing posts with label Tasawwuf. Show all posts
Showing posts with label Tasawwuf. Show all posts

Saturday, November 21, 2020

Imam Al Ghazali, 5 Langkah menjadi Awam yang baik sekaligus Sufi yang baik


Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan pendek yang menjadi pokok-pokok dalam tasawuf. Ia menyebutkan Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf.

Dua pilar utama tasawuf ini disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad untuk mengenalkan dunia tasawuf dan sufi kepada anak-anak. Dua ajaran pokok dalam tasawuf ini disampaikan dengan bahasa singkat dan sederhana agar mudah dimengerti kalangan anak-anak.

Meski demikian, bobot penjelasan singkat ini cukup bermanfaat juga bagi orang dewasa. Pasalnya penjelasan singkat dan sederhana ini tidak mengurangi substansi tasawuf. Penjelasan sederhana itu berbunyi sebagai berikut:

ثم اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي
“Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah bersama Allah SWT, berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,” [Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad (Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: 2005), halaman 15].

Bagi Imam Al-Ghazali, upaya menemukan inti dari tasawuf tidak sulit. Pasalnya, ia memahami benar apa yang dia bicarakan berpanjang-panjang selama ini dalam semua karyanya, terutama Ihya Ulumiddin.

Istiqamah bersama Allah baik secara lahir dan batin menuntut kebulatan hati dan kesatuan perbuatan yang sesuai garis agama Islam. Sedangkan interaksi secara baik dengan empati terhadap makhluk-Nya merupakan sisi lain tasawuf yang sulit dipisahkan dari yang pertama, yaitu istiqamah.

Tasawuf bukan semata persoalan lahiriah yaitu soal jubah, serban, biji tasbih, rida hijau yang diselempangkan di bahu, berjenggot, bertongkat, menunjukkan lafal tauhid, memotong celana hingga di atas mata kaki, mengubah ejaan menjadi lebih islami dalam media sosial, atau soal kekuatan ghaib akrobatik dengan pelbagai kecenderungan khariqul adat.

Tasawuf, bagi Imam Al-Ghazali, juga bukan fenomena hijrah lalu dipahami secara sempit sebagai tindakan meninggalkan aktivitas yang dianggap tidak islami atau uzlah menjauhi manusia dan pelbagai aktivitas yang dipersangkakan haram.

Imam Al-Ghazali menggariskan bahwa orang yang menjaga perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar secarta lahir batin adalah seorang Sufi.

Dengan pengertian sederhana ini, setiap orang dapat menjadi atau menyandang status sufi tanpa harus mengubah penampilan dan meninggalkan aktivitas keseharian yang telah dijalani selama ini selagi tidak melanggar syariat.

Tentang kebaikan masyarakat, kebaikan umat Islam.
Dalam “Iljamul awam al-ilmi al-kalam” Imam Ghazali mengajak kita untuk membiasakan bercermin diri. Introspeksi diri sampai kita sadar betapa awamnya kita. Yang dimaksud awam adalah menyadari bahwa hal tersebut bukan bidangnya. Alias, seseorang mengakui tidak memahami tentang sesuatu. Bisa jadi seseorang ahli di teknik dan awam di bidang kesehatan, ahli pertanian namun awam di bidang pendidikan.

Pemikiran ini merupakan anti-tesis dari pemikiran barat yang selalu menuntut menjadi profesional. Namun Imam Ghazali mengajak untuk menjadi awam yang baik. Menjadi orang awam yang tidak sadar akan keawamannya akan memperkeruh permasalah di masyarakat.
Kini, banyak sekali orang, terutama di dunia maya, berbicara mengenai politik, ekonomi hingga tafsir Al-Qur’an seolah-olah dirinya seorang ahli dalam bidang tersebut. Ini yang sudah sejak sedari dahulu kala menjadi peringatan imam Ghazali lewat tulisan-tulisannya.
Imam al-Ghazali menjelaskan 5 langkah menjadi awam yang baik yaitu:

1. Taqdis (Menyucikan diri)
Seorang Muslim dalam agama pasrahkan segala sesuatu pada Allah saja.

2. Al-’iman wa tasdiq (beriman dan percaya)
Seorang Muslim percaya dan membenarkan, sebagaimana ketika kita sakit dan pergi ke dokter maka kita harus manut dengan anjuran dan resep dokter tanpa perlu berdebat dan mencari dalil jika ingin sembuh dari penyakitnya.

3. Al-i’tiraf bi al-Ajri (mengakui kelemahan)
Seorang Muslim sadari kelemahan diri bahwa ternyata saya tidak ahli dalam masalah ini, jujurlah terhadap diri bahwa bukan ahlinya dalam bidang tersebut.

4. Al-sukut ‘an su’al (tidak mempertanyakan)
Seorang Muslim jangan cerewet terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui, bertanya boleh namun secukupnya.

5. Al-imsak ‘an tsarruf fi al-alfad (menahan diri untuk ‘menggarap’ nash yang tidak dipahami).

Dari lima pokok pentingnya ini, kita dapat belajar bagaimana mengendalikan diri kita, sebelum mengkritik misal “pemimpin sekarang tidak ada yang tak baik,”.

Kita seharusnya dapat mengambil pelajaran di dalam shalat berjamaah. Betapa repot dan beratnya menjadi imam. Bila ada salah satu makmum yang tidak suka dengan imam satu, itu sudah menggugurkan hakikat shalat.

[Catatan dari Ngopi Bareng]

Thursday, June 11, 2020

Relasi Tuhan dan Hamba


Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin.

Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).

Tuhan adalah asal-usul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada-Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini sesungguhnya siapa?

Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka 2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya.

Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?

Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba.

Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" (similarity in uncomparability).

Allah SWT dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada satu pun setara dengannya". Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya dengan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rabb) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.

Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.

Dalam konteks ini seolah-olah kalangan dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog—beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya.

Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa Alim (subjek yang mengetahui).

Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya Alim tanpa ada ma'lum?

Alasan para sufi berpendapat demikian, karena bukankah nama-nama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri?

Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu.

Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya?

Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu.

Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin.

Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh.

Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).

Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin.

Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan dengan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai hamba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.

Allah sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal.

Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.

Allah sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya.

Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugerah (isti'anah).


[Prof Dr Nasaruddin Umar]

Wednesday, April 17, 2019

Tentang Al-A’yan Ats-Tsabitah

FirmanAllah,

"Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” [Hadits Qudsi]

Dalam artikel terdahulu telah dibahas alam Jabarut, suatu alam tertinggi di antara seluruh alam yang ada. Ia sudah masuk ke dalam tingkatan alam gaib mutlak. Di atas alam ini sudah tidak ada lagi alam, adanya hanya martabat atau maqam yang tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti apa pun selain Allah (ma siwa Allah).

Martabat di atas alam Jabarut biasanya disebut dengan entitas yang tidak berubah (al-A’yan ats-Tsabitah/immutable entities). Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk dalam level pembahasan yang tinggi dan tidak banyak ditemukan di dalam buku-buku tasawuf populer.

Konsep terperinci tentang al-A’yan ats-Tsabitah hanya bisa ditemukan di dalam karya-karya Ibnu Arabi, seperti di dalam Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah (empat jilid). Selain pembahasannya amat rumit boleh jadi juga tidak menarik, karena sepintas tidak memberikan manfaat secara instan kepada pencari Tuhan di level pragmatis.

Namun, justru materi-materi seperti itu amat dibutuhkan bagi mereka yang menginginkan kedalaman hakikat dan makrifat. Untuk mengenal Tuhan lebih mendalam memang tidak mudah. Menurut Jalaluddin Rumi, bukan Tuhan pelit untuk memperkenalkan dirinya, melainkan ”apa arti sebuah gelas untuk menampung samudra”.

Kapasitas memori akal kita terbatas diumpamakan seperti gelas untuk memuat ilmu Tuhan yang diumpamakan samudra. Dalam Alquran dikatakan, "Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109).

Al-A’yan ats-Tsabitah secara harfiah berarti entitas-entitas yang tetap (immutable entities). Al-A’yan bentuk jamak dari 'ain berarti entitas dan ats-Tsabitah berarti tetap, tidak berubah-ubah. Disebut entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.

Berbeda dengan level alam yang sudah merupakan keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan. Keberadaan potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa disamakan dengan konsep Platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia nyata.

Dalam dunia ide Plato hanya merupakan dunia abstrak yang berada di dalam wilayah ontologis dan masih bersifat potensial.

Sedangkan wujud merupakan manifestasi dari dunia ide, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan dunia ontologi ide, setidaknya antara keduanya memiliki hubungan simetri.

Wujud potensial dan wujud aktual dalam konsep Al-A’yan ats-Tsabitah tidak mesti harus sama bahkan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali. Meskipun Al-A’yan ats-Tsabitah tidak lagi masuk kategori "alam", tetapi belum masuk ke dalam pembahasan puncak.

Masih ada pembahasan lebih tinggi lagi yang disebut level Ahadiyyah dan Wahidiyyah, yang akan dibahas dalam artikel mendatang. Bahkan, ada segi dari level al-A’yan ini masih dalam kategori maqam Al-Khalq atau level alam, yang disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung. Disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah karena berada di lingkaran luar dari Al-A’yan ats-Tsabitah.

Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk di level Wahidiyyah atau apa yang disebut dengan Pengetahuan Tuhan. Al-A’yan ats-Tsabitah masuk ke dalam level pertama dan utama (the principle level) dan tidak akan pernah berada di dalam level kedua (the relative level). Keberadaan Al-A’yan ini merupakan hasil dari proses tajalli pertama (al-tajalli al-awwal) yang biasa juga disebut dengan emanasi awal (al-faidh al-aqdas).

Proses emanasi berikutnya, yaitu al-faidh al-muqaddas, melahirkan Al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Al-A’yan al-Kharijiyyah inilah yang masuk ke dalam the relative level.

Dengan kata lain, yang masuk di level aktual atau relatif hanya manifestasi (madzahir)-nya saja, bukan hakikatnya karena hakikat Al-A’yan al-Karijiyyah tidak lain adalah al-A’yan ats-Tsabitah, yang tetap berada di level utama.

Dari sinilah nanti muncul konsep al-Mumtani’at dan konsep al-Mumkinat. Potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang tidak mungkin termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumtani’at. Sebaliknya, potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang mungkin atau sudah termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumkinat.

Dalam level atau konsep al-Mumtani’at tidak mungkin dijumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya.

Misalnya antara al-Dhahir dan al-Bathin; al-Awwal dan al-Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.

Sebagai entitas yang berada di level Wahidiyyat, Al-A’yan ats-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidak terciptakan (uncreatable). Semua ciptaan (maj’ul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah wujud yang sudah aktual (kharijiyyah), karena itu segala yang diciptakan (maj’ul) tidak bisa disebut dengan Al-A’yan ats-Tsabitah.

Konsep Al-A’yan ats-Tsabitah mempunyai beberapa tingkatan. Bermula dari ta’ayyun pertama (al-Ta’ayyun al-Awwal) ialah level Wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri Al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.

Di level inilah dikenal konsep Al-A’yan ats-Tsabitah yang sebenarnya berbicara banyak tentang form Ilmu Tuhan (Ilmiyyah Al-Haq) yang biasa juga disebut dengan Al-Shuwwar al-‘Aqliyyah dan form tentang nama-nama Tuhan (Al-Asma’ Al-Haq). Dengan menguasai konsep Al-A’yan ats-Tsabitah diharapkan memudahkan kita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal sebagai makhluk termulia (ahsan taqwim).

Pengenalan diri secara komprehensif dengan sendirinya memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan, "Man 'arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah memahami Tuhannya)."

Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi, yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu juga memahami Tuhannya. Jadi, bukan bersifat sequent, memahami diri dulu baru memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami diri-Nya.

[Prof Dr Nasaruddin Umar]

Wednesday, June 17, 2015

Ittihad Al-Hulul dan Wahdatul Wujud - Hubungan Tuhan Dan Hamba


1. Pengertian Ittihad
Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihad (dari kata wahid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Paham ini dicetus oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 260 H). menurutnya ittihad secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Ittihad secara terminologis berarti persatuan si hamba dengan tuhan. Ittihad merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta dan mengenal Tuhan sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Tuhan.

Ittihad dicapai dengan beberapa proses (maqamat) dengan tazkiyat al-nafs hingga melewati mahabbah dan ma’rifah kemudian mengalami fana’ dan baqa’ sebagai pintu gerbang menuju ittihad. Fana’ secara etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang. Sedangkan baqa’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.

2. Pengertian Al-Hulul
Hulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hululberarti berhenti atau diam. Paham ini dipelopori oleh seorang sufi yaitu Manshur Al Hallaj (w. 309 H). Dalam tasawuf, Abu Manshur al-Hallaj menyatakan bahwa hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Tuhan, lalu Tuhan memilih kemudian menempati dan menjelma padanya.

3. Pengertian Wujud atau Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dia-lah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud, yaitu Wahdatul Syuhud yaitu kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Tuhan.

Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.[1]

Syaikh Sa'id Fudah berkata: Adapun wusul menurut golongan sufi yang berpaham wahdatul-wujud adalah penzahiran bahwa wujud kita ialah 'ain wujud Tuhan. Maka, ini adalah suatu penzahiran ittihad wujud kita dengan wujud Tuhan. Adapun wusul menurut golongan sufi yang beraqidah ahlus-sunnah wal jamaah ialah beri'tiqad dengan kefakiran makhluk kepada Tuhan, dalam masa yang sama mengekalkan wujud kita berlainan dengan wujud Tuhan, namun tiada ittihad dalam ahlus-sunnah.

4. Perspektif Syaikh Ahmad Rifa’i [2] tentang Tasawuf
Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjectif dari seseorang dalam menanggapi Tuhan dengan menitik beratkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Dalam arti lain, tasawuf juga dapat diartikan sebagai usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai pada Tuhannya. [3]

Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari’at, tarekat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah ilmu telu yaitu Ushul, fiqh dan tasawuf. [4] Untuk melihat pandangan tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i akan dilihat dengan tiga masalah pokok yaitu, keseimbangan antara syari’at, tarekat dan hakikat. Pembagian tasawuf bercorak amali dan falsafi.

Syaikh Ahmad Rifa’i memandang bahwa seorang sufi selain mengamalkan tasawuf juga dituntut untuk bisa menjalankan ilmu ushuluddin dan fiqihnya. Maka dengan pengertian lain bahwa seorang yang belajar ilmu tasawuf tidak melalui tahapan ilmu ushuluddin dan fiqihnya maka dianggap tidak sah ketaatannya. [5] Dari syair di atas dituliskan, beliau mengkritik ahli tasawuf yang meninggalkan syari’at, beliau juga mengkritik ahli fiqih yang meninggalkan tarekat dan hakikat. Menurutnya, mereka orang-orang yang membelakangi Tuhan disatu pihak dan dapat menjadi kufur dilain pihak.

Junaid al-Baghdadi dan al-Ghozali memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut al-Junaidi, [6] tasawuf adalah pengabdian kepada Tuhan dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barangsiapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Tuhan maka ia adalah sufi.[7] Sejalan dengan pandangan ini, al-Ghozali mengatakan bahwa tasawuf adalah mengosongkan batin atau membersihkan diri dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih.[8]

Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i, pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari’at, tarekat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah Ushul, fiqh dan tasawuf. Dengan pendekatan aksiologinya dalam rangka mencapai kedekatan diri kepada yang haq yaitu ma’rifat dan taqarrub yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus melalui aturan sebagaimana lazim terjadi dalam dunia tarekat. Jika hendak ditelusuri berdasarkan apa yang ditulis dalam beberapa karanganya, akan terlihat ia tidak pernah menyebut dirinya baik secara langsung ataupun tidak sebagai penganut qadariyah. Hampir dalam setiap karanganya ia selalu menyatakan dirinya sebagai penganut tarekat ahlussuni.

Jika dilihat dari segi terminologisnya tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i bersifat praktis (amali) dan teoritis (nadzari) dengan menyempurkan ketiga disiplin ilmu untuk mendekatkatkan diri pada Tuhan (taqarrub) antara Ushuludin, fiqh dan tasawuf. Dalam rangka mendeskripsikan ketiga diatas, Syaikh Ahmad Rifa’i membagi disiplin ilmu menjadi dua hal. Yaitu, ilmu dhahir adalah ilmu fiqh dan ilmu bathin yaitu ushuludin dan tasawuf. [9]

Pandangan Syaikh Ahmad Rifa’i mengenai keterkaitan hubungan antara syari’at, tarekat dan hakikat secara global memiliki unsur persamaan dengan konsep tasawuf Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran berdasarkan pengalaman para sufi yang dikategorikan menjadi dua diatas, yakni amali (akhlaqi) dan na’ari (falsafi), maka corak pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i termasuk dalam kategori Amali (akhlaqi) atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf beliau berupa latihan rohani dengan jalan:
  1. Pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli),
  2. Pengosongan sifat tercela (takhalli) yang kemudian ditindak lanjuti dengan kedekatan diri kepada Tuhan (taqarrub),
  3. Pengenalan Tuhan dengan mata hati (ma’rifat).

Dengan demikian dapat dikatakan klimaks dari tujuan tasawuf dalam pandangan Syaikh Ahmad Rifa’i adalah tercapainya tiga kondisi diatas (khauf, mahabbah dan makrifat). Hal ini dapat dijelaskan dalam karyanya sebagai berikut:

a. Khauf
Secara terminologis khauf dalam dunia tasawuf bersifat variatif sejalan dengan pengalaman subjektif dari para sufi. Menurut Abu Ali ad-Daqqaq, khauf itu terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu khauf, khasyyah dan haibah. Khauf adalah syarat keimanan, khasyyah adalah syarat ilmu dan haibah adalah syarat makrifat. Dalam mengetengahkan pandangan tentang Khauf ini sebagai salah satu puncak amalan tasawuf bersama sama dengan mahabbah dan makrifat. [10]

Sebagaimana dikemukakan di atas, Syaikh Ahmad Rifa'i menyatakan dalam karanganya:

Derajat parek iku makrifat ning manah
Cukule makrifat ngedohi penyegah
Kinarepaken dipurih parek ing Allah luhur
Iku wajib wedi lan asih anut milahur
Maring Allah taat saking haram mungkur
Kuwasane netepi wajib tan mundur [11]

artinya:
Derajat dekat itu makrifat dalam hati
Munculnya makrifat menjauhi larangan
Bertujuan mendekat Allah luhur
Kepada Allah taat dari haram menghindar
Berusaha menjalankan kewajiban tidak mundur

Syair di atas memberikan penjelasan bahwa tingkatan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah makrifat dalam hati yang dapat dicapai dengan menjauhi larangan. Adapun ungkapan "iku wajib wedi lan asih anut milahur" dalam syair di atas, memberi penjelasan bahwa takut kepada Tuhan perlu disertai dengan rasa cinta yang dalam. Pemikir tasawuf Sunni sering disebut istilah Khauf wa Raja'.

Raja' adalah suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh, karena ia yakin bahwa Tuhan itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Dengan begitu, kedua kata ini memiliki pengertian berbeda satu dengan lainnya, namun memiliki hubungan karena pada umumnya para sufi tidak hanya berhenti pada rasa takut tetapi juga harapan karena adanya rasa ketergantungan kepada Tuhan. Hubungan tersebut antara lain digambarkan dengan pengalaman sufi seperti Abu Ali ar-Rudbari yang menyatakan bahwa hubungan antara khauf dan raja' laksana dua sayap burung yang saling menopang untuk terbang.[12]

Jika para sufi di atas menggunakan istilah raja' sebagai kelanjutan dari rasa takut kepada Tuhan, maka Syekh Ahmad Rifa'i menggunakan kata asih (cinta) sebagai kelanjutan dari khauf itu dan bahkan dalam syair di atas juga diberi penjelasan tingkatan berikutnya yaitu makrifat. Tingkatan ini dapat dipandang sebagai klimaks dari tujuan akhir tasawuf sehingga orang yang telah sampai kepadanya dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya.

b. Mahabbah
Dalam masalah mahabbah, syekh Ahmad Rifa'i banyak menggunakan istilas "asih" (bahasa jawa berarti cinta) sebagai gambaran untuk menyatakan tentang mahabbah. Selain itu, pandangan Rifa'i mengenai hal ini terlihat lebih banyak tertuju kepada implikasi sehari-hari dibandingkan dengan perhatian ekslusif yang biasanya terjadi pada para sufi sebagaimana pengalaman Jalaludin Rumi, Rabi'ah al-Adawiyah, Nuri dan lain-lain. [13] Perbedaan ini lebih jauh terlihat dalam tasawufnya sebagaimana terlukis dalam beberapa syairnya, antara lain:

Utawi wong asih sebenere pangeran
Iku arep bektiyo wongiku linakonan
Ing Allah anut perintahe kewajiban
Ugo ngedohi saking gede maksiat
Naliko ngenani dosa nuli tobat [14]

artinya:
Adapun orang yang mencintai Allah sebenar-benarnya Tuhan
itu kehendak berbakti orang tersebut perbuatannya
kepada Allah mengikuti perintah kewajiban
juga menjauhi dari maksiat besar
ketika melakukan dosa

Syair di atas menjelaskan bahwa indikasi orang mencintai Tuhan dengan sungguh-sungguh, terlihat pengabdiannya kepada Tuhan dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi segala perbuatan maksiat. Jika ia berdosa, maka dengan segera ia melakukan tobat.

Penekanan pada aspek pelaksanaan kewajiban dan menjauhi larangan sebagai indikasi cinta kepada Allah. Lebih jauh dalam syairnya yang lain dituliskan:

Utawi wong asih ing Allah nyatane
Iku dadi nyawane iman keuripane
Ngalamate urip netepi wajib lakune
Lan ngedohi saking haram sekuasane
Iku tanda asih ing Allah ning manah [15]

artinya:
Adapun hati cinta kepada Allah ta'ala sesungguhnya
itu menjadi nyawanya iman kehidupannya
dan menjauhi dari yang haram sekuat tenaga
itulah tanda cinta kepada Allah dalam hati
tanda hidupnya tetap melaksanakan kewajibannya

Pernyataan di atas mengkaitkan masalah cinta dengan keimanan dan merupakan unsur vital di dalamnya. Di sini ia terlihat keluar dari bingkai akidah yang pada umumnya mengaitkan persoalan iman dengan perilaku sebagai kelanjutan dari persoalan klasik seputar status pembuat dosa besar yang mana apakah tetap muslim ataupun kufur.

Keterkaitan pandangannya tentang mahabbah dengan masalah keimanan ini dinyatakan lebih lanjut dalam ungkapannya yang berbunyi:

Utawi wong asih sing Allah milahur
Iku dadi syarat sahe iman jujur
Manfaat akhirat ning swarga luhur
Ikulah arep urip imane tinutur [16]

artinya:
Adapun orang yang cinta kepada Allah dengan benar
itu menjadi sahnya iman jujur
Manfaat akhirat di surga luhur
itulah akan hidup imannya tersebut

c. Ma’rifah
Makrifat Adalah mengenali dzat dan sifat Tuhan secara benar. Mengenal Tuhan merupakan pengetahuan yang paling sulit sebab tidak ada yang serupa denganNya. Namun demikian, Tuhan mewajibkan semua makhluk-manusia, jin, malaikat dan seluruh makhluk untuk mengenali zat, nama dan sifat-sifatNya.

Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan di atas bahwa makrifat merupakan puncak ajaran tasawuf dari Syaikh Ahmad Rifa’i setelah melalui tiga tahapan yaitu, pengisian sifat terpuji, pengosongan sifat tercela dan munculnya kondisi mental berupa takut (khauf dan mahabbah). Sebagaimana termaktub dalam syairnya:

Allah dzat wajib wujud nyata kamalat
Dipandeng kelawan nur kehimmat
Kang sinelehaken ning telenge ati kebatinan
Dadi hasil waspada ati tingalan
Ing barang penggawe saking Allah kenyataan
Qudrat iradat ilmu hayat kesifatan
Ikulah wong wes tumeko ing Allah makrifat
Ningali ing kenugrahane Allah laku taat [17]

artinya:
Allah zat wajib al-wujud benar sempurna
Dipandang melalui nur pemberian yang dicita-citakan
yang diletakkan dalam relung hati kebatinan
menjadikan hati memiliki kewaspadaan dalam penglihatan
pada sesuatu ciptaan Allah kenyataan
Qudrat iradat ilmu hayat disifati
itulah orang sudah sampai pada Allah makrifat
melihat pada kemurahan Allah berbuat taat

Syair diatas memperlihatkan bahwa untuk sampai pada tingkatan makrifat maka diperlukan penglihatan terhadapNya dengan menggunakan nur diletakan dalam relung hati (telenge ati) yang merupakan pemberian Allah. Dengan demikian kondisi makrifat merupakan pemberian Allah kepada orang orang tertentu sebagaimana diungkapkan oleh Nicholson,

"Direct knowledge of God based on revelation and apocalyptic vision. It is not the result of any mental procces but depends entirely on the will and favour of God, who bestow it as a gift from himself upon those whom he has created with the capacity of receiving it." [18]

Artinya, makrifat adalah pengetahuan langsung dari tuhan berdasarkan wahyu dan pengkihatan yang langsung diberi ikan tuhan. Ia tdk berasal dari proses mental tetapi merupakan anugrah kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk menerimanya.

Dilihat dari asal usul makrifat yang tidak dapat dikontrol (pemberian langsung dari Tuhan), maka secara tidak langsung Rifa'i mengakui adanya konsep yang tidak pernah ia sebutkan secara eksplisit. Sekalipun ajaran makrifat ini sering dianggap mengandung unsur-unsur mistis dan disamakan dengan paham theosofi Hellenisme [19](Gnostik) sebagaimana dijelaskan oleh Nicholson. [20] Namun dalam pandangan RIfa'i, makrifat memiliki kekhususan dan tidak mengandung unsur mistik. Ungkapan Rifa'i yang berbunyi "ikulah wong wus tumeko ing Allah makrifat ningali ing kanugrahane Allah laku taat" memperlihatkan bahwa dalam kondisi orang telah mencapai makrifat ia mampu melihat kekuasaan Tuhan dan memperlihatkan ketaatannya kepada-Nya.

5. Keyakinan Ittihad, Al-Hulul dan Wahdatul Wujud
Dalam tinjauan al-Hafiz al-Suyuti, keyakinan hulul, ittihad dan wahdatul wujud mengikut sejarah awal mulanya yang berasal dari pada kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan Nabi Isa. Dalam pendapat lainnya, Tuhan menyatu dengan Nabi Isa sekaligus dengan ibunya, Maryam. Hulul dan Wahdatul Wujud ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Kemudian apabila ada beberapa orang ynag mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satu daripada keduanya, jelas ia seorang sufi palsu. Para ulama, baik ulama Salaf dan Khalaf dan kaum sufi sejati hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. [21]

Imam al-Hafiz Jalaluddin al-Sayuthi menilai seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdatul wujud jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani kerana dalam keyakinan Nasrani Tuhan hanya menyatu dengan Nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus, [22] tetapi keyakinan hulul dan wahdatul wujud adalah Tuhan menyatu dengan manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari pada alam ini.

Demikian juga dalam penilaian Imam al-Ghazali jauh lebih dahulu sebelum al-Sayuthi. Beliau sudah membahas secara terperinci tentang kesesatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lahut (Tuhan) menyatu dengan al-Masut (makhluk), yang kemudian di ambil oleh paham hulul dan ittihad adalah kesesatan dan kekufuran. [23] Antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan paham hulul dan ittihad ialah al-Mumqidh Min al-Dalal dan al-Maqasad al-Asma Fi Syarh Asma' Allah al-Husna. Dalam dua buah buku ini beliau telah menyerang habis-habisan paham-paham kaum sufi palsu. Termasuk juga dalam karya terulungnya, Ihya' Ulumuddin.

Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyad juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihad berasal daripada kaum Nasrani yang berpendapat bahwa ittihad terjadi hanya pada Nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulul dan ittihad ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagian dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh Nabi Isa ialah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Zat Tuhan yang menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh Nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain itu ada pendapat-pendapat mereka yang lain. Semua pendapat mereka tersebut secara kasarnya memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulul dan ittihad), dan semua paham-paham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama islam sebagai kesesatan. [24]

Imam Fakh al-Razi dalam kitab al-Mahsal Fi Usuluddin, menulis seperti yang berikut:
"Sang Pencipta (Allah) tidak menyatu dengan yang lain, kerana apabila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain, maka bereti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika kedua-duanya tidak ada atau menjadi hilang (ma'dum) maka kedua-duanya tidak bersatu. Demikian juga apabila salah satunya tidak ada (ma'dum) dan satu yang lainnya ada (maujud), maka kedua-duanya tidak bersatu, kerana yang ma'dum tidak mungkin bersatu dengan yang maujud"

Qadi Ayyad ibn Musa dalam kitab Ash-shifa bi ta'rif huquq al-Mustafamenyatakan seluruh orang islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan akidah hulul dan kekufuran yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan seperti ini, dalam tinjauan Qadi Iyad tidak lain hanyalah dari pada orang sufi palsu, kaum Batiniyah, Qaramitah dan kaum Nasrani. [25] Dalam kitab tersebut Qadi Iyad menulis:

"Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan Allah ialah benda, maka dia tidak mengenal Allah (kafir) seperti orang Yahudi. Demikian juga telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahawa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya (hulul), atau bahawa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti kaum Nasrani"

Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hisni mengatakan kekufuran seorang yang berkeyakinan hulul dan wahdatul wujud lebih buruk dari pada kekufuran orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan Isa dan Maryam sebagai Tuhan Anak dan Tuhan Ibu, yang oleh mereka disebut dengan doktrin triniti. Sementara pengikut akidah hulul dan wahdah al-wujud meyakini Allah menyatu dengan zat-zat makhluk-Nya. Artinya dibandingkan dengan yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulul dan wahdatul wujud memiliki lebih banyak tuhan, bukan hanya satu atau dua saja, kerana mereka menganggap bahwa setiap komponen dari pada alam ini merupakan bagian dari pada Zat Allah. Imam al-Hisni menyatakan siapa pun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi akidah hulul dan akidah wahdatul wujud maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang islam dari kesesatan dua akidah tersebut. [26]

Sebuah wasiat yang disampaikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa'i, kepada para muridnya adalah:
"Majelis kita ini suatu masa akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak bahwa siapapun yang membuat bida’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang bahru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan wahdatul wujud, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, melucu dengan kalimat-kalimat yang tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syariat, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci kaum muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syariat, menolong orang yang zalim, menghinakan orang yang dizalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berperilaku dan berkata-kata seperti orang bodoh maka saya terbebas (tiada hubungan) dari orang seperti itu di dunia dan akhirat. [27]

Qadi Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan seorang yang berpendapat hulul dan ittihad, ia bukan seorang mukmin yang beriman dengan syariat Allah. Seorang yang berkeyakinan hulul ini tidak akan memberikan manfaat kepada dirinya sekalipun ia berkobar-kobar membicarakan akidah tanzih. Seorang yang mengaku Ahli tanzih tetapi ia meyakini akidah hulul atau ittihad adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan al-Mawardi, bukan suatu yang logis apabila ia mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada jasad manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini dengan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau meleburnya antara dua zat; Zat Allah dengan zat makhluk-Nya. Kerana apabila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya. [28]


[Sumber: Artikel Pilihan Rahmat Sadchalis]

CATATAN KAKI
[1]  Ensiklopedia
[2]  Tokoh sufi besar pendiri tarekat Rifa’iyah, sebuah ordo sufi yang memiliki banyak pengikut, terutama di daratan Afrika Utara.
[3]  Abd. Hakim Hasan. "Attasawuf Asy’ir fil Arabi." Cairo : Maktabah Anglo Masyriah, 1954, hal. 19
[4]  Dr. Abdul Jamil. "Perlawanan Kiyai Desa." Yogkarta : LKIS, 2001, hal. 114
[5]  Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001
[6]  A.J. Arbery. "Muslim saint and Mystics." Routledge and kegan Paul, 1966, hal.199
[7]  Ibrahim Basyuni. "Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy." Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969, hal.22
[8]  Al-Ghozali. "Ihya ‘ulumudin." Juz I. Libanon : bairut, 2004, hal.123
[9]  Syaikh Ahmad Rifa’i. "Asnal Maqasid." korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001, hal. 201
[10]  Dr. Abdul Djamil. "Perlawanan kiai desa." Yogkarta : LKIS, 2001, hal. 162
[11]  Syaikh Ahmad Rifa’i. "Ri’ayatal Himmah." juz I, korasan 24. Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2000, hal. 91
[12]   al-Qusyairi. "Ar-Risalah." ... hal 318-319
[13]  Nicholson yang secara khusus membicarakan mengenai mahabbah (divine love) dengan mengetengahkan pernyataan beberapa sufi yang menggambarkan watak eksklusif dari pengalama rohani mereka. Lihat juga Harun Nasution dalam "Filsafat dan mistisisme dalam islam" hal.73-74, yang melukiskan pengalaman Rabi'ah al-Adawiyah yang berkaitan dengan paham mahabbah ini.
[14]   Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." juz VI, korasan 69. Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001, hal. 301
[15]   ibid.,
[16]   Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." juz VI, korasan 71.
[17]   Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." juz VI, korasan 69. Lihat juga juz V dan "Asn al-Miqsad." juz II
[18]   Nicholson. "The Mystic of Islam." London: Keqan Paul Ltd., 1966, hal. 71
[19]   muatan ajaran mengenai bagaimana umat manusia dapat terlepas dari kematian. Ajaran ini sering kali merupakan rahasia. Dengan menerima ajaran dan menjalankan ritual-ritual tertentu, orang yang percaya dapat mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan yang kekal. Suatu wawasan menyangkut hakikat sejati alam semesta dapat menjadi sama pentingnya dengan upacara agama untuk mendapatkan keselamatan.
[20]   ibid., "The Mystic of Islam."
[21]   al-Sayuthi. "Al-Hawi li Al-Fatawa." Juz II. hal 139. Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori Hulul dan Ittihad lihat di Al-Syahrastani. "al-Milal wa al-Nihal." Beirut, Lebanon : Dar al-Fikr, 1997, hal. 178-183
[22]   Yang mereka sebut dengan “Doktrin Triniti”
[23]   ibid., "Al-Hawi li Al-Fatawa."
[24]   ibid., ditambah kutipan dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyad.
[25]   Qadi Ayyad ibn Musa. "Ash-shifa bi ta'rif huquq al-Mustafa." juz II. hal. 236
[26]   Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hisni. "Kifayatul Akhyar." juz I. hal. 198
[27]   al-Habasyi. "al-Maqamat al-Sunniyah." hal. 435-436
[28]   al-Sayuthi, Jalal al-Din. "Al-Hawi li Al-Fatawa." juz II. hal. 132


DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Ghozali. "Ihya ‘ulumudin." Juz I. Libanon : bairut, 2004
  • al-Habasyi. "al-Maqamat al-Sunniyah."
  • al-Sayuthi, Jalal al-Din. "Al-Hawi li Al-Fatawa." Makkah : Nizar Musthafa al-Baz, 1987
  • al-Qusyairi. "Ar-Risalah."
  • Al-Syahrastani. "al-Milal wa al-Nihal." Beirut, Lebanon : Dar al-Fikr, 1997
  • Arbery, A.J. "Muslim saint and Mystics." Routledge and kegan Paul, 1966
  • Basyuni, Ibrahim. "Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy." Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969
  • Fakhr al-Dien al-Razi. "Al-Mahsul fi 'ilm al-Ushul."
  • Hasan, Abd.Hakim. "Attasawuf Asy’ir fil Arabi." Cairo : Maktabah Anglo Masyriah, 1954
  • Imam Al-Haramain Al-Juwaini. "al-Irsyad ila Qawathi' al-Adillah fi Ushul al-I'tiqad"
  • Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hisni. "Kifayatul Akhyar."
  • Jahja, Dr.Zurkani. "Teologi Al Ghozali." Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
  • Jamil, Dr.Abdul. "Perlawanan Kiyai Desa." Yogkarta : LKIS, 2001
  • Junaedi, Luqman. "Memburu katak pohon." PT Mizan Publika, 2005
  • Qadi Ayyad ibn Musa. "Ash-shifa bi ta'rif huquq al-Mustafa."
  • Syaikh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." Korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001
  • Syaikh Ahmad Rifa’i. "Asnal Maqasid." korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001
  • Syaikh Ahmad Rifa’i. "Ri’ayatal Himmah." juz I, korasan 24. Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2000
  • Syaikh Ahmad Rifa’i. "Syarkhul Iman." Juz I. Pekalongan : PP. Rifa’iyah, 2006

Tuesday, July 12, 2011

Ma'rifatullah



Tidak ada yang kita ingat-ingat, tidak ada yang kita tuju, tidak ada yang kita takuti, tidak ada yang kita cintai, dan tidak ada yang kita sembah, kecuali ALLÂH SWT.

MUKADDIMAH 

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam kuliah ma’rifatullah akan tergambar betapa Islam merupakan integrasi antara... ~ syariat-tarikat-hakikat ~ Ketiga unsur ini terpusat dan dilandasi ma’rifatullah.

Dalam hadis Nabi saw yang popular disebutkan bahwa:

Awwalu al-dîn ma’rifatullâh
Awal agama adalah mengenal Allah

Al-diin, ialah wahyu Allah yang sesuai dengan akal sehat, dengan usaha keras kearah itu, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadits ini tidak pernah dikenal sebagai hadis yang riwayatnya sampai kepada Nabi, tetapi di kalangan ulama dikenal berasal dari Yahya bin Mu’az al Râzi. Demikian juga ungkapan Imam al-Nawawi, bahwa hadis ini tidak jelas (tsabit).
Siapa saja yang mengenal dirinya pasti dia akan mengenal Allah sebagai “Qadim” dan siapa yang mengenal bahwa dirinya akan fana niscaya yakinlah dia bahwa Tuhannya pastilah Kekal (Baqâ). 
Dari sini dapat dipahami, bahwa jiwa riwayat hadis ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan sejiwa. Sebagian ulama memandang bahwa hadis ini adalah perkataan Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Disini bukanlah tempat untuk mempertentangkannya tetapi cukup diambil jiwanya saja karena ulama-ulama tafsir di dalam memahami surah Muhammad [47]:19 sepakat bahwa haramnya taklid dalam aqidah. Dalam istilah lain, mengenal dan memahami Allah wajib berdasarkan ilmu. Sedangkan ilmunya tentu saja ilmu dari Allah SWT.

Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: 
“Barangsiapa yang memilah-milah-NYA, maka sesungguhnya dia tidak mengenal-NYA. Barangsiapa yang tidak mengenal-NYA, maka dia akan melakukan penunjukan kepada-Nya. Barangsiapa yang melakukan penunjukan kepada-Nya, maka dia telah membuat batasan tentang-NYA. Dan barangsiapa yang membuat batasan tentang-Nya, sesungguhnya dia telah menganggap-Nya berbilang. 

‘Abdullah Ibnu ‘Abbas r.a. seorang sahabat Nabi -ahli tafsir al-Qur’an- , menafsirkan surah al-Dzâriât [51]:56 yang berbunyi “liya’budûni” maksudnya lima’rifatî, yaitu untuk ma’rifat kepada-Ku. Ini menunjukkan bahwa Ma’rifatullah adalah inti ajaran Islam.

Pada pembahasan yang berikutnya, akan dibahas bahwa Ma’rifat adalah puncak atau tujuan akhir manusia. Inti dan tugas semua para Nabi dan Rasul adalah Ma’rifatullah, termasuk misi utama Al-Qur’an

"Wahai Tuhanku, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari sujud kepada selain-MU, maka jagalah wajahku dari meminta kepada selain-MU". 

"Wahai Tuhanku, cukuplah bagiku kebanggaan bahwasanya Engkau menjadi Tuhan bagiku, dan cukuplah kemuliaan bagiku bahwasanya aku menjadi hamba-MU. Sesungguhnya Engkau seperti yang kuinginkan, maka jadikanlah aku seperti yang Engkau inginkan." [wasiyat dari Imam Ali r.a] 


MA’RIFATULLÂH

Sahabatku rahimakumullah,
Bila diumpamakan Ma’rifatullah itu adalah pohon, maka dahannya ada tiga yaitu:
  1. Al-Tauhîd,
  2. Al-Tajrîd,
  3. Al-Tafrîd. 
Untuk dapat memahami lebih mudah dan mendalam berikut ini uraiannya:

Al-Tauhîd.
Dahan yang pertama ini dapat dipahami berdasarkan firman Allah SWT diantaranya Surah Muhammad [47]:19.

“Hendaklah kamu mendasarkan kepada ilmu tentang“lâ ilâha illallaâh”dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa oang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.(Surah Al-Baqarah [2]:163);
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa”(Surah Al-Ikhlas [114]: 1-4);

“Atas nama ALLAH sumber rahmat, pemancar kasih sayang. Katakanlah! ALLAH itu AHAD (satu yang tiada duanya). ALLAH tempat semua makhluk menggantungkan diri. Tidak berputera dan tidak pula diputerakan. Dan tidak ada seorangpun yang dapat menandingi-Nya”

DIA tidak beranak, maka tiadalah DIA dilahirkan; dan tidak pula Dia di peranakkan, maka tiadalah Dia menjadi terbatas. Sungguh Mahaagung Dia untuk mempunyai anak dan Mahasuci bagi-Nya untuk menyentuh wanita. DIA tidak di peranakkan, Mahasuci DIA, maka tiada sekutu bagi-NYA dalam keagungan; tidak pula DIA beranak, maka tiadalah DIA diwarisi.

Istilah TAUHID tidak kita temukan dalam al-Qur’an sehingga sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa istilah ini baru popular sesudah terbitnya buku karangan Muhammad Abduh yang berjudul Risâlah al-Tauhîd . Tetapi jika kita telusuri hadits Nabi Saww istilah ini akan kita temukan dalam riwayat al-Imam Bukhari:

“Ada seorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian, yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya: ~ “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkanlah separuh abu jasadku di darat dan separuhnya lagi di laut pada saat angin kencang”.~ Keluarganya pun melaksanakan wasiatnya itu. Kemudian Allah SWT berfirman kepada angin: “Kemarikan apa yang kamu ambil”. Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah bertanya pada orang tersebut: “Apa yang membebanimu, sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab: “Karena malu kepada-Mu”. Kemudian Allah mengampuninya”. (HR Imam Bukhari).

Dilihat dari jiwa ayat-ayat dan hadits Nabi riwayat diatas, menunjukkan betapa pentingnya Tauhid. TAUHID adalah tingkat pertama dari ma’rifatullah karena ia “qath’u al andâd” yaitu memutuskan apa saja yang dianggap sebagai sekutu bagi ALLAH SWT.

Dari segi etimologi, tauhid berasal dari akar kata wahada (fi’il mâdhi) - yuwahhidu (fi’il mudâri)- tauhîdan (mashdar) berubah jadiwâhid atau wahad dan wahîd.

Sama dengan kata farrada (fi’il mâdhi)-- yufarridu (fi’il mudâri) – tafrîd (mashdar) berubah jadi farîd.

Akar kata ahad adalah wahada, kemudan huruf wâu diganti dengan hamzah sebagaimana huruf-huruf yang dikasrah dan didhammah diganti. Orang Arab mengatakan wahhadathu apabila anda menyifati dengan sifat wahdaniyyah (menyifatkan ke-MahaESA-an-Nya).

Inti Tauhid adalah kalimat;“lâilâha illâ llaâh” (tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkah hanya Allah). Dalam ilmu balâghah susunan kalimat ini dikenal dengan susunan yang sangat balîgh (sangat tinggi sastranya) dibandingkan dengan segala ungkapan yaitu:lâ, menafikan (meniadakan)- ilâh, yang dinafikan (disangkal)-illa,istitsnâ-(pengecualian) =ALLAH, itsbât (penetapan). Jika dalam satu pertemuan seorang membuat pernyataan:“Muhammad Ali adalah seorang mubaligh”, maka pernyataan ini dapat dipahami bahwa “Muhammad Amin” bisa jadi adalah seorang mubaligh pula. Berbeda jika pernyataan itu berbunyi: “Tidak ada mubaligh disini kecuali Muhammad Ali”. Kalimat ini menunjukkan bahwa satu-satunya mubaligh di tempat itu hanyalah Muhammad Ali dan bukan yang lainnya. Disinilah letaknya ketinggian sastranya.

Kata ALLAH terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 2698 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya kata tersebut. Mayoritas ulama lebih cenderung berpendapat bahwa kata itu tidak musytaq-artinya tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi asli merupakan Ismu al-Dzat, yaitu nama Dzat yang tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun juga. 

Menurut sebagian ulama, kata ini berakar dari kata “walaha” yang berarti mengherankan atau menakjubkan. Sebab memang semua perbuatan-Nya pastilah menakjubkan bagi yang mentafakkurinya. Segala ciptaan-Nya membuat heran orang yang mengkajinya sampai sedetail mungkin, apalagi sampai pada hakekat-hakekat ciptaan-Nya pasti penelitinya akan semakin takjub, tercengang dan akan Teheran-heran akan Tuhan yang diperkenalkan oleh al-Qur’an dengan nama ALLÂH ( اللّهُ ).

Pendapat lain mengatakan bahwa kata itu terambil dari akar kata aliha, ya’lahu yang artinya menuju atau memohon. Setiap makhluk dipastikan behwa semuanya sedang menuju kepada-Nya rela atau terpaksa, siap atau lalai, sesuai dengan firman-Nya pada surah al-Baqarah [2]:156; “Innâ lillâhi wainnâ ilaihi râji’un” .

Setiap makhluk terutama manusia, untuk memenuhi kebutuhannya, pasti akan bermohon kepada Tuhan yang mereka yakini dapat mengabulkannya yaitu ALLÂH SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa kata itu pada mulanya bermakna mengabdi. Ini dapat dimaklumi karena setiap makhluk ciptaan Tuhan pasti mengabdi kepada-Nya. Diantara sekian banyak makhluk yang mengabdi, manusialah makhluk yang paling banyak membangkang dan durhaka kepada Allah.

Ulama berupaya berupaya membedakan antara kata ALLÂH dan ILÂH dalam kalimat “lâ ilâha illâ llaâh”. Imam al-Marâghi misalnya mengungkapkan bahwa ilâh = Tuhan, yakni segala sesuatu yang disembah. Penyembahan itu baik dibenarkan oleh ajaran Islam atau sebaliknya tidak ditolerir oleh Islam. Penyembahan yang tidak ditolerir oleh ajaran Islam adalah menyembah segala sesuatu selain Allah, seperti misalnya menyembah: ~ matahari, bulan, bintang, api, berhala, makhluk, roh leluhur, anak manusia, berhala atau patung dan hawa nafsu.~

Dari sini dapat dipahami bahwa ilâh mencakup seluruh objek sesembahan atau semua yang dianggap sebagai kekuatan yang menguasai hidup atau matinya sesuatu. Berbeda dengan at yang wajib wujudnya (pantas dan mutlak di ibadahi) yang diperkenalkan al-Qur’an yaitu ~ ALLÂH SWT.

~ DIA-lah yang memiliki nama yang wajib disembah; Al-Khâliq, Zat yang harus ada dan selalu ada berada dengan zat-zat lainnya yang terkenal dengan Asmâ-u al-Husnâ.

Menarik dikemukakan disini apa yang disampaikan oleh seorang ulama kontemporer dan guru besar Universitas al-Azhar Mesir, pakar bahasa Arab yaitu syekh Mutawwali al-Sya’rawi. Ia menulis dalam tafsirnya tentang khawâsh (keindahan dan ke khususan lafadz Allah). Menurutnya, Allah selalu ada dalam diri manuia walaupun ia mengingkari wujud-Nya baik melalui ucapan dan tindakan. Kata ini selalu menunjuk kepada-Nya yang diharapkan pertolongan-Nya. Perhatikan lafadz “Allâh” اللّهُ (Alif;lam;lam;hâ), bila huruf pertamanya (alîf) dihapus, maka ia akan terbaca “lillâh” yang artinya berbentuh sumpah “demi Allâh” atau “milik Allâh”. Bila satu huruf berikutnya atau huruf kedua (lam) dihapus, akan terbaca yang berarti “untuk-Nya” atau “milik-Nya”. Kemudian jika huruf berikutnya yaitu huruf ketiga (lam) dihapus juga, ia akan terbaca dan tertulis ““lahu” hu” yang dapat dibaca “huwa” sebagai dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) yang berarti DIA yaitu Allah SWT. (lihat dhamir “hu” pada ayat kursi atau al-Ikhlas).

Menarik lagi apa yang dikemukakan oleh ImamAl-Sy’râwi bahwa setiap orang yang mengeluh selalu berkata ah, ih, uh..(tanpa memandang siapa, bangsa, agama, dan keturunan). Kata ini menurut analisanya bahwa di dalamnya tersirat singkatan dari lafadz Allâh. Semua ini menunjukkan bahwa sadar atau tidak, setiap orang mengeluh kepada-Nya dan dapat ditarik satu kesimpulan bahwa keyakinan kepada-Nya atau ma’rifatullah terdapat dalam sanubari setiap insan. Inilah fitrah, sebagaimana sudah diisyaratkan di dalam al-Qur’an.

Kesempurnaan makrifat tentang-NYA adalah dengan 'tashdiiq' (membenarkan) terhadap-Nya. Kesempurnaan tashdiq terhadap-Nya adalah dengan tauhid kepada-Nya. Dan kesempurnaan tauhid kepada-Nya adalah dengan ikhlaskepada-Nya.

Barangsiapa yang melekatkan suatu sifat kepada-Nya, berarti dia telah menyertakan sesuatu kepada-Nya. Dan barangsiapa yang menyertakan sesuatu kepada-Nya, maka dia telah menduakan-Nya. Barangsiapa yang menduakan-Nya, maka dia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya.

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam khazanah Islam, kata "ma’rifatullâh" tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Tetapi dalam sejarah perkembangannya istilah ini lambat laun menyurut, kurang populer. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena pada kenyataannya dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam baik di TV maupun di majlis-majlis Ta’lim khususnya di Indonesia berpusat pada fikhi, dan pembahasannya pun berputar hanya pada masalah wudhu, shalat, shaum (puasa), zakat, haji. Inipun hanya sekedar lahiriyahnya saja, pembahasannya pun hanya dari satu mahzab, kemudian diklaim bahwa inilah yang dinamakan sunnah Nabi, dan yang tidak sesuai dicap bid’ah dan mengangkat dirinya menjadi Tuhan, dan mencap yang tidak sepaham sebagai ahli neraka. Na’udzu billâh, dari kesempitan dan kebodohan ini.Metode ini telah melahirkan muslim-muslim, tetapi jiwanya gersang dari daya pancaran spiritual dan akhlaknya jauh dari nilai-nilai Islam, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil âlamîn.

Kata ma’rifatullâh berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfatan, wa ‘irfânan, wa ‘itifânan, wa ma’rifatan. Arti menurut istilah antara lain adalah; Pengetahuan yang sangat pasti tentang al-Khâliq (Allah SWT) yang diperoleh dari hati sanubari. Ma’rifat adalah hadirnya al-Haq sementara kalbunya selalu berhubungan erat dengan nur-Nya.

DR. Mustafa Zuhri mengungkapkan bahwa ma’rifat adalah; ketetapan kalbu dalam meyakini wujudnya al-Wâjib (Allah Swt) yang menggambarkan segala kesempurnaan;

Sedangkan Imam al-Qushairî berkata: ” ma’rifat membuat ketenangan dalam kalbu sebagaimana ilmu membuat ketenangan pada akal pikiran."

Semakin meningkat ma’rifat seseorang, semakin meningkat pula ketenangan kalbunya. Ma’rifat seseorang akan membawanya kepada puncak kemerdekaan yang hakiki, bukan kemerdekaan yang semu. Tidak ada yang ditakuti dalam hidupnya hanya yang satu itu Allah Swt sehingga dia benar-benar merdeka dalam hidupnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa Ma’rifatullâh adalah awal dari al-dîn (keber-agama-an) seseorang. Meskipun sebagian orang menempatkannya pada tingkat tertinggi sesudah syareat, tarekat, dan hakekat. Mereka tampaknya membagi dan memecahkan Islam pada “kepingan-kepingan” yang berserekan dan hanya tenggelam dalam ruang lingkup sareat atau fikhi dalam istilah yang sempit.

URGENSI MA’RIFATULLÂH 

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Awwalu al-dîn ma’rifatullâh” 

Fondasi (azas) dari al-dîn (keberagamaan) adalah ma’rifatullah.
Secara sederhana ma’rifatullah berarti mengenal Allah atau merasakan kehadiran-Nya.

Kebeningan hati seseorang tergantung kualitas ma’rifat-nya dan kehancuran diri, keluarga, sampai kepada hancurnya satu bangsa intinya bersumber dari ketidaktahuan-nya tentang ma’rifatullah. Kemampuan dalam merasakan kehadiran Illahi dalam kehidupan ini, bahwa DIA bersama kita, maka secara otomatis dapat mengantarkan seseorang untuk melaksanakan ibadah secara baik seperti shalat, shaum, zakat dan haji, serta ibadah-ibadah social lainnya. 

Ma’rifatullâh yang tertancap dalam jiwa akan menjauhkan diri seseorang untuk melakukan suatu maksiat dalam bentuk apapun seperti berbohong, korupsi, mark-up anggaran yang merugikan perusahaan, apalagi yang merugikan bangsa dan negara. Tidak akan ada peluang untuk untuk mengkhianati keluarga, teman, mitra kerja, bangsa dan Negara sekalipun. 

Membina keluarga dan mendidik anak-anak sejak dini dengan ma’rifatullah akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta melahirkan anak-anak dan generasi yang shaleh dan rumah tangganya, hanya kematian yang memisahkannya, karena nanti akan bertemu lagi di didalam surga.

Dengan penataan diri lewat ma’rifatullah, hidup ini menjadi semakin indah, tenang tenteram tanpa rasa takut, bahkan rezekinya dijamin oleh Allah dan dia akan memperleh rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Disamping itu, kegoncangan jiwa dapat teratasi seperti susah tidur (insomnia), stress dan depresi baik dikala menghadapi masalah di rumah, di kantor atau di tempat kerja termasuk diakhir masa kerja (pensiun). Hati selalu bersama dengan-Nya sekalipun dalam keramaian, dan selalu tuma’ninâh (nikmat) dalam ibadah.Kebodohan terhadap-Nya merupakan awal dari segala malapetaka yang akan menimpanya dan akan berbuah penyesalan yang tak kunjung berakhir hingga di akhirat kelak.

"Wahai Ghulam, jika khalwatmu bersama Allah Swt. telah benar, hatimu tentu akan tercengang dan menjadi bersih. Pandanganmu dapat menarik pelajaran, hatimu bertafakur, ruh dan maknamu sampai pada Al-Haq Azza wa Jalla. Berfikir perihal dunia adalah siksaan dan hijab. Tetapi memikirkan akhirat adalah ilmu dan menghidupkan hati. Orang yang bertafakur diberi ilmu tentang keadaan dunia dan akhirat.” (Syaikh Abd.Qadir al-Jailani)

“Ya Allah, dekatkanlah kami kepada Engkau, jangan jauhkan kami dari Engkau. Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari siksa api neraka.”

Selanjutnya, silahkan simak juga penjelasan tentang "ALLASTU BIRABBIKUM" di sini.


~ Subhanakallâhumma Robbana wabihamdika, Allâhummaghfirlî ~ 

[Dari Al-Ustadz KH.Muhtar Adam Fadhlulah Muh.Said dalam bukunya: “Ma’rifatullah”]



Monday, July 11, 2011

Cinta, Takut, dan Harap



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..,
Segala puji bagi Allah Yang membaguskan susunan ciptaan-Nya, Yang menciptakan langit dan bumi, mengatur rezeki dan makanan, Yang menurunkan Kitabullah Al-Qur'anul Kariim, Yang menghidupkan dan mematikan, serta Yang memberi pahala atas perbuatan-perbuatan baik.

Shalawat dan salam bagi junjungan kita, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam beserta ahlul baitnya, para shahabat, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah,
Ketiga kata yang disebutkan dalam judul di atas (Cinta-Takut dan Harap) merupakan kata-kata yang diri kita, hati kita tidak akan lepas darinya. Baik ketika kita masih kecil, menjelang usia muda bahkan ketika kita tua.

Namun terkadang kita salah mengartikan dan menyalurkan ketiga hal di atas dengan sesuatu yang terlarang dalam agama. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang selayaknya kita tahu ketiga hal di atas dengan benar, untuk itulah mari kita luangkan sejenak waktu kita untuk mempelajari sekelumit tentangnya.

Mengenal Cinta (Mahabbah)
Cinta dan keinginan merupakan asal/sebab setiap perbuatan/amal dan gerakan di alam semesta ini, kedua hal itulah yang mengawali segala perbuatan dan gerakan sebagaimana benci dan rasa ketidaksukaan adalah asal/sebab yang mengawali seseorang untuk meninggalkan dan menahan diri dari sesuatu [1].

Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan bahwa dasar ibadah, kesempurnaan serta kelengkapannya adalah cinta. Karena itulah seorang hamba tidak boleh mempersekutukan Allah dengan kecintaan kepada selainNya [2]. Bahkan dua kalimat yang seseorang tidak akan masuk islam kecuali dengannya yaitu dua kalimat syahadat tidaklah sah jika seseorang yang mengucapkannya kecuali dengan rasa cinta [3]. 

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya), 
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (melebihi cinta orang musyrik kepada berhala mereka)” (QS. Al Baqoroh [2] : 165). 

Bahkan hakikat peribadatan adalah menghinakan diri dan tunduk kepada yang dicintai. Dengan kata lain yang dinamakan hamba adalah orang yang dihinakan oleh rasa cinta dan ketundukan kepada orang yang dicintai. Oleh karena itulah tingkatan yang paling mulia bagi seorang hamba adalah penghambaan kepada yang dicintainya.

Lihatlah betapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mahlukNya yang paling mulia dan paling dicintaiNya yaitu Rosulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam dengan sebutan hamba. Sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha” (QS. Al Isro’ [17] : 1) [4].

Lima Hakekat Cinta yang Harus Dibedakan
Terdapat 5 macam cinta yang harus dibedakan, sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat kerenanya.

1. Mahabbatullah/cinta kepada Allah
Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan mendapatkan pahalaNya. Sebab kaum musyrikin, penyembah salib dan yahudi juga mencintai Allah [5]. 

2. Mahabbatu maa yuhibbullah/mencintai perkara yang dicintai Allah. 
Hal inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. 

3. Al Hubb lillah wa fillah/mencintai karena Allah dalam keta’atan kepada-Nya. 
Hal ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang Allah cintai. Sungguh mencintai sesuatu tidaklah akan benar-benar terwujud kecuali dengan mencintai hal itu karena Allah dan dalam keta’atan kepadaNya. 

4. Al Mahabbatu ma’allah/mencintai selain Allah bersama Allah
Ini adalah kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah. Barangsiapa yang mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana kepada kecintaan pada Allah dan bukan dalam keta’atan kepadaNya maka dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin. 

5. Al Mahabbatu ath-Thobi’iyah/cinta yang sejalan dengan tabi’at. 
Cinta ini bentuknya berupa kecenderungan seseorang terhadap perkara yang sesuai dengan tabi’atnya seperti seseorang yang haus mencintai air, seseorang suami dan ayah mencintai istri dan anak dan seterusnya. Kecintaan jenis ini tidaklah tercela selama kecintaan tersebut tidak melalaikan dari mengingat Allah (ibadah) dan menghambat kesibukan hamba dalam mencintai Allah. Semisal seorang yang karena cintanya kepada anaknya menyebabkan ia lalai dari sholat jama’ah karena bekerja untuk memberi nafkah anaknya. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Munafiqun [63] : 9).[6]

Jika demikian celaan Allah pada hal-hal yang mubah maka bagaimanakah celaan Allah terhadap kecintaan seseorang terhadap perkara yang haram semisal seorang pemuda yang mencintai pacarnya [7] , apalagi jika kecintaan ini menghalanginya dari ibadah kepada Allah, semisal melalaikan sholat jama’ah. Maka tentulah celaan Allah untuk orang yang demikian bertumpuk-tumpuk banyaknya.

Makna Takut (Khouf)
Ibnu Qudamah rohimahullah mengatakan, “Rasa takut merupakan sebuah ungkapan dari rasa sedihnya hati disebabkan hal-hal yang dibenci yang akan terjadi pada masa yang akan datang, rasa ini berbanding lurus dengan sebab-sebabnya kuat dan akan melemah jika sebabnya melemah pula” [8].

Ada tiga jenis rasa takut, yakni:

1. Takut karena tabi’at
takut jenis ini semisal seseorang takut binatang buas, api, tenggelam dan lain sebagainya. Takut jenis ini tidaklah menyebabkan pemiliknya tercela. Jika takut jenis ini menjadi sebab seseorang meninggalkan yang hukumnya wajib atau melakukan perbuatan yang hukumnya haram maka takut jenis ini menjadi takut yang hukumnya haram. 

2. Takut dalam rangka ibadah
misalnya seseorang takut kepada seseorang yang rasa takut tersebut bernilai ibadah kepadanya. Perasaan takut jenis ini hanya boleh kepada Allah semata. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam jenis ketakutan yang semisal ini maka ia telah berbuat kesyirikan besar. 

3. Takut sirr
yaitu perasaan takut yang tersembunyi. Misalnya seseorang takut kepada penghuni kubur dan yang semisal. Takut yang semisal ini digolongkan para ulama sebagai salah satu bentuk syirik[9]. 

Takut yang Bernilai Lebih dan Takut yang Tercela
Takut yang bernilai lebih adalah takut yang didasari ilmu, manusia yang paling takut kepada Allah adalah manusia yang paling mempunyai ilmu/kenal dengan Robbnya. 

Oleh karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mengetahui/mengenal Allah dan akulah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian (ummat beliau); [10]”. 

Takut kepada Allah dapat menjadi sebuah hal yang terpuji dan pada kedaan yang lain dapat saja tercela. Jika rasa takut tersebut melahirkan keterpalingan diri pemiliknya dari maksiat dalam artian rasa takut tersebut membawa pemiliknya untuk melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang haram maka rasa takut yang demikian merupakan rasa takut yang terpuji. Namun jika rasa takut tersebut menggiring pemiliknya kepada rasa putus asa dari rahmat Allah, patah semangat dan semakin terjerumus dalam kemaksiatan karena putus asa (dan meninggalkan amal ibadah) maka takut yang demikian adalah takut yang tercela[11].

Makna Rasa Harap (Roja’)
Ibnu Qudamah rohimahullah mengatakan, “Rasa tenang dalam penantian terhadap suatu perkara yang dicintai, namun hal ini akan terwujud dengan disertai adanya sebab yang mewujudkannya. Adapun jika tanpa adanya sebab maka hal ini bukanlah rasa harap akan tetapi sekedar angan-angan”[12].

Harapan mengandung dua unsur yaitu adanya perendahan diri (serendah-rendahnya) dan ketundukan (sepasrah-pasrahnya) kepada yang diharapkan. Maka harapan yang demikian hanya boleh diberikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga barangsiapa yang menyekutukan Allah pada harapan yang semisal ini maka ia telah terjatuh dalam kemusyrikan. [13].

Rasa Harap yang Terpuji dan Tercela
Ketahuilah bahwa rasa harap terdiri dari dua jenis, 
  • Rasa harap yang terpuji, semisal rasa harap terhadap pahala dari Allah ketika seseorang yang melaksanakan keta’atan kepada Allah di atas ilmu/cahaya Allah. Demikian juga rasa harap akan diterimanya taubat yang ada pada orang yang bertaubat dari perbuatan dosa. 
  • Rasa harap yang tercela, semisal rasa harap akan diterimanya taubat dari sebuah dosa seseorang yang senantiasa melakukan dosa tersebut. Maka rasa harap yang demikian bukanlah rasa harap melainkan sebuah ketertipuan, angan-angan kosong dan rasa harap yang palsu. [14]. 
Sebahagian orang keliru dalam menafsirkan sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Aku bersesuaian dengan persangkaan hambaku” [15].

Dalam riwayat yang lain, “Seseungguhnya Aku bersesuaian dengan persangkaan hambaku maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau” [16].

Mereka menafsirkannya dengan berprasangka baik kepada Allah bahwa Allah akan mengampuni dosa mereka padahal mereka tetap dalam kemaksiatannya. Maka penafsiran demikian keliru sebagaimana lanjutan teks hadits yang hadits di atas, “Dan Aku akan bersamanya jika ia mengingatKu, jika dirinya mengingatKu maka Aku akan mengingatnya,…. jika ia mendekatkan dirinya (dengan keta’atan) kepadaKu sejauh sejengkal maka Akan mendekatkan diriKu padanya sehasta” [17].

Maka jelaslah yang dimaksud dengan bersesuaian dengan persangkaan hamba-hambaKu dalam hadits di atas adalah persangkaan akan adanya pahala dari Allah pada orang-orang yang beramal keta’atan kepadaNya. Hal yang tak jauh berbeda juga dikatakan Al Hasan Al Bashriy rohimahullah, “Sesunguhnya mukmin yang berbaik sangka kepada Robb- nya adalah orang yang membaguskan amal keta’atannya. Sesungguhnya orang yang fajir adalah orang yang berburuk sangka kepada Robbnya maka ia akan beramal keburukan”[ 18].

Penutup
Sebagai penutup kami nukilkan perkataan Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim rohimahullah, 
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mengerakkan hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla ada 3 hal yaitu rasa cinta, rasa takut dan rasa harap". 

Yang paling kuat pengaruhnya adalah rasa cinta, karena ia adalah maksud yang dicari di dunia dan akhirat, adapun rasa takut maka ia akan hilang di akhirat sebagaimana firman Allah Subahanahu wa Ta’ala (yang artinya), 

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah (orang-orang yang beriman dan bertaqwa) itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yunus [10] : 62). 

Rasa takut melahirkan adanya ketercegahan dari keluar dari keta’atan di jalan Allah sedangkan rasa harap adalah sesuatu yang menuntun kepada keta’atan di jalan Allah.

Ketiga hal ini merupakan landasan yang agung, setiap hamba wajib untuk memperhatikannya karena tidaklah akan terwujud ubudiyah/penghambaan diri (kepada Allah) kecuali dengan ketiganya”[ 19].

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita sehingga amal ibadah kita lebih berkualitas di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. [Aditya Budiman]


[Oleh: Aditya Budiman | Dari:Bulletin At Tauhid edisi VI/41]
Baca juga artikel artikel menarik tentang "Langkah Menuju Ma'rifat" di sini. 

CATATAN KAKI:
[1] Lihat Mawaridul Aman Al Muntaqo min Ighotsatil Lahfan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 325 terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[2] Idem hal. 328 dengan perubahan redaksi kalimat.
[3] Lihat At Tanbihatul Mukhtashoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuroisyi hal. 37, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh.
[4] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 268 dengan ringkasan dan perubahan redaksi.
[5] Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat 165 di atas.
[6] Lihat Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 271 dengan ringkasan dan perubahan redaksi.
[7] Dan telah jelas dalil yang menunjukkan haramnya pacaran sebelum nikah dalam Al Qur’an pada surat Al Isro’ ayat 32.
[8] Mukhtashor Minhajul Qoshidin oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dengan tahqiq Zuhair Asy Syawis hal. 347, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon secara ringkas.
[9] Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 57, terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA.
[10] HR. Bukhori no. 7301, Muslim no. 2356.
[11] Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul hal. 57.
[12] Lihat Mukhtashor Minhajul Qoshidin hal. 368 secara ringkas.
[13] Lihat Hushulul Ma’mul Syarh Tsatatsatul Ushul oleh Syaikh Abdullah bin Sholeh Al Fauzan hafidzahullah hal. 81, terbitan Maktabah Ar Rusyd, Riyadh, KSA.
[14] Idem hal. 82.[
15] HR. Bukhori no. 7405, Muslim no. 2675.
[16] HR. Ibnu Hibban no. 633, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij beliau untuk kitab ini hal. 402/II, terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[17] HR. Bukhori no. 7405, Muslim no. 2675.
[18] Atsar ini dikatakan Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd hal. 348. Lihat tahqiq beliau untuk kitab Ad Daa’u wad Dawaa’ hal. 38.
[19] Lihat Majmu’ Fatawa oleh Ahmad bin Abdul Halim hal. 95/I, Syamilah.


Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers