Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, October 29, 2011

Sejarah Penulisan dan Perkembangan Al-Quran


PENDAHULUAN
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:

  1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.
  2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan; 
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”

Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,

“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.’”

Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.

Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan ­al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.

Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.

Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka.

Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah. Perkembangan-perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga bermanfaat!

PERKEMBANGAN PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN

Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.

Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.

Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.

Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly

“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:

أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)

Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.

Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf.

Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.

Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti –seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi –mengutip al-A’zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:

Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.

Yakub (Yacob?) Raha sendiri –menurut B.Davidson - menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad al-Du’aly –penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly.

Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam pada siapa?

Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب (ba), ت (ta), ث (tsa). Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.

Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim[19] dan Yahya bin Ya’ma. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.  

Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam.  Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:

a. untuk membedakan antara د dal dan ذ dzal, ر ra’ dan ز zay, ص shad dan ض dhad, ط tha’ dan ظ zha’, serta ع ‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).

b. untuk pasangan س sin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan ي ya’.

c. untuk rangkaian huruf ج jim, ح ha’, dan خ kha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.

d. sedangkan pasangan ف fa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.

Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.

Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.

Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.” 

SEJARAH ULUMUL AL-QUR'AN

Sebagaimana kita ketahui bersama,bahwasanya Alquran alkarim adalah undang-undang dasar Allh SWT yang kekal dan abadi ia datang ke dunia ini untuk membawa umat manusia dari lembah-lembah kegelapan yang penuh dengan kebodohan dan kemusydrikan menuju kepada kondisi cahaya yang terang benderang cahaya yang diliputi dengan ketauhidan ilmu pengetahuan,kemerdekaan dan peradaban (Moh.Sayyid Thantawi,2001:9)

Sebelum kita membahas tentang perkembangan ulumul Qur`an, perlu diketahui dulu  apa itu Ulumul Qur`an? ulumul Qur`an terdiri dari dua suku kata,yaitu”ulum” dan “Quran”.

Kata” ulum” merupakan bentuk jamak dari  kata “ilmu”.Ilmu yang dimaksud disini ialah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan.Adapun Alquran,Sebagaimana didefinisikan oleh ulama Fiqh,dan ulama bahasa adalah kalam Allah yang lafaznya mengandung mukjizat,membacanya mempunyai nilai ibadah,diturunkan secara mutawatir,dan ditulis pada mushaf,mulai dari  awal surat Alfatihah (1) sampai akhir surat An-nas (114).Dengan demikian,secara bahasa ulumul Quran  adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alquran.

Adapun menurut definisi Ulumul Quran secara istilah ialah ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul( sebab-sebab turunnya Alquran),kodifikasi dan penulisan Alquran.(Rosihon Anwar, 2000:11-12)

PERKEMBANGAN ULUMUL QUR`AN

(a). Perkembangan Ulumul Qur`an pada abad I H (sebelum fase kodifikasi)
Perintis-perintis Ulumul Quran pada abad ini adalah sebagai berikut:

  1. Dari kalangan sahabat: Khulafaurrasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai  bin Ka’ab, Abu Musa Al-asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
  2. Dari kalangan tabi’in: Mujahid, ’Atha’bin Yasar, ’Ikrimah, Qatadah, Al-hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Zaid bin Aslam.
(b). Perkembangan Ulumul Qur`an abad  II H
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak abad II H, para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir merupakan induk Ulumul Qur`an. diantara ulama abad II H. yang menyusun tafsir ialah:

  1. Syu’bah al-hajjaj (wafat 160 H)
  2. Sufyan bin ‘uyainah (wafat 198 H)
  3. Ibn Jarir at-thabari (wafat 310 H). yang mengarang kitab tafsir ath-thabari,yang bernama:Jaamiul Bayan Fi Tafsiril Quran.
Tafsir Ath-thabari ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dengan memakai metode muqaran (kompertif), sebab beliau adalah orang pertama yang menafsirkan ayat-ayat alquran dengan mengemukakan pendapat-pendapat para ulama,dan membandingkan pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain.beliau juga menerangkan segi I’rob dan istimbat hukumnya.(.Abdul Djalal ,1997:31)

(c). Perkembangan Ulumul Qur`an abad III H.
Pada abad III H. selain tafsir dan ilmu tafsir ,para ulama mulai menyusun beberapa ilmu alquran (Ulumul Qur`an),diantaranya:

  1. Ali bin Al Madani (wafat 234 H ),gurunya Imam Al-Bukhori ,yang menyusun ilmu Asbabun Nuzul
  2. Abu Ubaid Al Qasimi bin Salam (wafat 224 H) yang menyusun ilmu Nasikh al Mansukh, Ilmu Qiraat dan Fadha’il alquran
  3. Muhammad bin Ayyub adh-dhurraits (wafat 295 H) yang menyusun ilmu Makki wa Al-madani.
(d). Perkembangan Ulumul Quran abad IV H
Pada abad IV H.mulai disusun Ilmu Gharib Al-quran dan beberapa kitab ulumul quran dengan memakai istilah ulumul quran .diantara ulama yang menyusun ilmu-ilmu itu adalah:
  1. Abu Bakar As-sijistani (wafat 330 H).yang menyusun kitab gharib al-quran
  2. Abu Baker Muhammad bin al-qasim al-anbari (wafat 328 H)yang menyusun kitab ‘Ajaib ‘Ulumul Al-quran
(e). Perkembangan ulumul qur`an abad V H
Pada abad V H,mulai disusun ilmu I’rab al-quran dalam satu kitab.namun demikian,penulisan kitab-kitab ulumul quran masih terus dilakaukan oleh ulama masa kini,diantara ulama yang berjasa dalam perkembangan ulumul quran pada abad ini adalah:

  1. ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-hufi(wafat 430 H).selain mempelopori penyusunan I’rab Al-quran,ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-quran.
  2. Abu ‘amr ad-dani (wafat 444 H) yang menyusun kitab At-Taisir fi Qiraat As-Sab’i dan kitab Al-Muhkam fi An-Naqih.
(f). Perkembangan ulumul qur`an abad VI H
Pada abad VI H,disamping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Quran,juga terdpat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamat Al-quran,diantaranya adalah:

  1. Abu al-qasim bin Abdurrahman As-Suhaili (wafat 581 H) yang menyusun kitab Mubhamat Alquran.kitab ini menjelaskan maksud kata-kata alquran yang “tidak jelas”,apa atau siapa yang dimaksud.
  2. Ibn Aljauzi(wafat 597 H) yang menyusun kitab Funun Al-Afnan fi ‘Aja’ib  Alquran,dan kitab Al-Mujtab fi ‘Ulum Tata’allaq Bil quran.
(g). Perkembangan ulumul qur`an abad VII H
Pada abad VII H.,ilmu-ilmu alquran terus berkembang dengan mulai tersusunnya ilmu majaz alquran dan ilmu qiraat. Diantara ulama abadVII menaruh perhatian besar terhadap ilmu-ilmu ini adalah:

  1. Alamuddin As-Sakhawi (wafat 643 H).kitabnya mengenai ilmu qiraat dinamakan Hidayah Al Murtab fi Mutasyabih
  2. Ibn Abd As-Salam (wafat 660mH)menulis kitab Majaz Alquran.
(h). Perkembangan ulumul qur`an pada abad VIII H
Pada abad ini muncullah beberpa ulama yang menyusun ilmu baru tentang alquran.diantaranya:

  1. Ibn Abi Alisba menyusun kitab Ilmu Badi’I Alquran
  2. Najmudin Ath-Thufi.ia menyusun ilmu Hujaj Alquran atau Ilmu Jadal Alquran
(i). Perkembangan ulumul qur`an pada abad IX dan X H
Pada abad ini makin banyak karya para ulama tentang Ulumul Quran.dan pada masa inilah perkembangan ulumul quran mencapai kesempurnaannya,beberapa ulama yang menyusun ulumul quran ialah:

  1. Jalaluddin Al-Buqini,yang menyusun kitab Mawaqi’al-ulum min Mawaqi’an-nujum.
  2. Jalaluddin’Abdurrahman bin Kamaluddin As-Suyuthi,yang menyusun kitab At-Tahbir fi ‘Ulum At-Tafsir .Kitab ini merupakan kitab ulumul quran yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu alquran
(j). Perkembangan ulumul qur`an abad XIV H
Setelah memasuki abad XIV H,perhatian ulama bangkit kembali dalam penyusunan kitab-kitab yang membahas al-quran dari berbagai segi.

Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulma abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya,diantaranya berupa penerjemahan al-quran ke dalam bahasa-bahasa ajam.karya ulumul quran yang lahir pada abad ini, diantaranya adalah:

  1. Syeikh Thahir Al-Jazairi,yang menyusun kitab At-Tibyan fi ‘Ulumulquran
  2. Jamaluddin Al-Qasimy,yang menyusun kitab Mahasin At-Ta’wil
  3. Ustad Muhammad al-Mubarak yang menyusun kitab Al-Manhaj Al-Khalid.(Rosihon Anwar, 2000:22-28)
SEJARAH PENULISAN ALQUR`AN

Jamia’tul quran (pengumpulan al-quran) merupakan suatu istilah yang seringkali dipakai untuk menjelaskan metode pemeliharaan Al-quran pada masa Rasulullah SAW.jamiatul quran terkadang dimaksudkan sebagai “pemeliharaan dan penjagaan alam dada(hafalan) dan terkadang dimaksudkan sebagai “penulis keseluruhannya ,huruf demi huruf,kata demi kata ,ayat demi ayat dan surat demi surat”.

Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran lainnya.sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada.selanjutnya penghimpunan al-quran dalam pengertian “penulisannya” pada masa awal berlangsung tiga kali,pertama,pada masa Nabi SAW.kedua,pada masa kekhalifahan Abu Bakar.ketiga,pada masa kekhalifahan utsman.
( Muhammad Chirzin,1998:53 )

a. Pada masa Nabi SAW
Kerinduan nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan tetapi dalam bentuk tulisan.Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu yaitu,Abu Baker,Umar,Usman,’Ali,Abban bin Sa’id,Khalid bin Walid,dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.Proses penulisan Alquran pada masa Nabi sungguh sangat sederhana.mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontran kayu,pelepah kurma,tulang belulang,dan batu.

Kegiatan tulis menulis alquran pada masa nabi disamping dilakukan oleh para sekretaris nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. kegiatan ini didasarkan pada hadist Nabi, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:

لا تكتبو عني شياء ال القران ومن كتب عني سوى القران فليمحه (رواه مسلم )
Artinya :”Janganlah kamu menulis sesuatu yang bersal dariku, kecuali Quran. barang siapa telah menulis dariku selain alquran, hendaklah ia menghapusnya.” (HR.Muslim)

b. Pada masa Khulafaurrasyidin
1) Pada masa Abu Bakar Ash-Siddiq
Pada dasarnya seluruh alquran sudah ditulis pada masa nabi.hanya saja,surat dan ayatnya dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf ialah Abu Bakar Ash-siddiq
’Abdillah Al-muhasibi berkata didalam kitabnya,Fahm As-Sunnan,penulisan Al-quran bukanlah sesuatu yang baru sebab Rasulullah pernah memerintahkannya.hanya saja,saat itu tulisan Al-quran masih terpencar-pencar pada pelepah kurma,batu halus,kulit,tulang unta,dan bantalan dari kayu,Abu Bakarlah yang berinisiatif menghimpun alquran.(Rosihon Anwar,2000:40)

c. Pada masa Usman bin Affan
Khalifah bermusyawarah dengan para sahabat kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Alquran,bersama Zaid ikut bergabung pula tiga anggota keluarga Mekkah terpandang, yaitu’Abdullah bin Zubair,Sa’id bin Al’Ash dan Abd Ar-rahman bin Al-Harits. ‘Usman memutuskan agar mushaf yang beredar memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • terbukti mutawatir,tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad
  • mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh
  • kronologi surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda dengan mushaf Abu Bakar
  • sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Alquran ketika diturunkan
  • semua yang bukan termasuk Alquran dihilangkan,misalnya yang ditulis di kushaf sebagian sahabat dan pencatuman makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf.
KESIMPULAN
Ulumul Quran adalah ilmu yang mencakup pembahasan tentang Asbabun Nuzul(sebab-sebab turunnya Alquran), kodifikasi serta penulisan Alquran.

Perkembangan Ulumul Quran berlangsung sampai abad ke-14 H
  • Pada abad I H U;lumul Quran baru akan berkembang
  • Pada abad II H para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab tafsir merupakan induk Ulumul Quran
  • Pada abad III H para ulama mulai menyusun beberapa ilmu Alquran (Ulumul Qur`an)
  • pada abad IV H mulai disusun Ilmu Gharib Alquran dan beberapan kitab Ulumul Quran
  • pada abad V H mulai disusun Ilmu I’rab Alquran dalam satu kitab
  • pada abad VI H  ulama  mulai menyusun Ilmu Mubhamat Alquran
  • pada abad VII H ilmu-ilmu Alquran terus berkembang dan tersusun Ilmu Majaz Alquran dan Qira’at
  • VII H ulama terus menyusun ilmu-ilmu baru tentang Ulumul Quran
  • pada abad IX dan X H Ulumul Quran sudah mencapai kesempurnaan
  • pada abad XIV para ulama terus menyusun kitab-kitab yang membahas Alquran dari berbagai segi dan mulai saat itulah Ulumul Quran makin berkembang
Penulisan Alquran berlangsung tiga kali

  1. Pada masa Nabi Muhammad saw
  2. Pada masa khalifah Abu Bakar As-shiddiq
  3. Pada masa khalifah Usman bin Affan.


[Sumber: Wahdah Islamiyah]


DAFTAR PUSTAKA
  • Anwar, Rosihon, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia,2000
  • Chirzin, Muhammad, Ulumul Quran, Dana Bakti Prima Yosa,1998
  • Djalal, Abdul, Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu,1997
  • Sayyid Thantawi, Muhammad, Alquran dan Lailatul Qadar, Pustaka Azam,2001


Sejarah Pengumpulan Naskah Al-Quran


Misionaris Kristen di dalam artikel mereka telah membuat dakwaan bahwa pengumpulan Al-Qur’an tidak sempurna. Setelah  secara sepintas lalu meneliti artikel tersebut, didapati semua itu hanyalah manifestasi hazad dan dengki mereka terhadap Islam saja.

Dalam usaha menyangkal tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuh Islam itu, selain menggunakan hujah-hujah para ulama Islam, kita juga boleh menggunakan hujah beberapa orientalis Barat yang mengkaji perkara ini dan mengakui kebenarannya. Barangkali dengan ini, hujah musuh-musuh Islam lebih senang disangkal. Sebelum itu, perlu diingat juga bahwa tidak semua Orientalis mengkaji ilmu-ilmu Islam untuk menghina Islam. Ada juga di antara mereka yang mengkaji dengan tujuan untuk mencari kebenaran. Hal ini memang telah terbukti.

Salahsatunya, mari sama-sama kita simak pendapat yang ditulis oleh Sir William Muir dalam “The Life of Mohammad”, supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan perubahan Al-Qur’an itu dapat melihat sendiri bukti-bukti di depan matanya.

Sir William Muir adalah seorang penganut agama Kristen yang teguh dan juga berdakwah untuk agamanya. Walaupun ia seorang orientalis, dia tidak membiarkan setiap orang mengambil kesempatan melakukan kritik yang semena-mena terhadap Nabi (saw) dan Al-Qur’an. Dan ketika berbicara tentang Al-Qur’an, pemerhati ajaran Islam dan riwayat Rasulullah (saw) ini menulis seperti berikut:
Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari shalat sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunnah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunnah pertama yang sudah merupakan konsesi. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu penghafal Al-Qur’an di kalangan Muslimin yang pada awalnya banyak sekali, walaupun bukan semuanya.

Ada di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudahkan pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Al-Qur’an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.

Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai pula dengan kemauan yang luar biasa untuk menghafal Al-Qur’an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang sangat meyakinkan segala yang diketahui dari Nabi saat mereka membacanya itu.
Alasan Penulisan Ulang Al-Qur'an
Semasa Sayyidina Uthman bin Affan menjadi Khalifah pengaruh Islam telah berkembang luas. Islam telah sampai ke Afrika Utara di barat dan hingga ke Azarbaijan di timur. Ini bermakna telah begitu banyak orang yang bukan Arab memeluk Islam. Keadaan ini memerlukan banyak guru yang bisa membaca Al-Qur’an dan memahami Islam dengan baik untuk mengajar orang yang baru memeluk Islam. Beberapa orang sahabat telah dihantar ke tempat-tempat tertentu untuk mengajar Al-Qur’an.

Masing-masing tempat membaca Al-Qur’an mengikut bacaan sahabat yang mengajar mereka. Dengan ini timbul sedikit perbedaan dari segi bacaan dan sebutan huruf Al-Qur’an di antara tempat-tempat tersebut. Di Sham contohnya, mereka membaca mengikut bacaan Abdullah bin Mas’ud. Di tempat lain pula membaca mengikut bacaan Abu Musa al-‘Asya’ariy.

Keadaan ini hampir-hampir menyebabkan berlaku permusuhan dan persengketaan di antara saudara-saudara baru Islam. Masing-masing mengatakan bacaannya yang benar dan menyalahkan orang lain. Seorang sahabat bernama Huzaifah bin al-Yaman yang bersama-sama dengan orang Sham dan Iraq dalam peperangan di Armenia dan Azarbaijan melihat sendiri keadaan itu. Sekembalinya ke Madinah, beliau lalu pergi untuk bertemu Khalifah Uthman bin Affan dan menceritakan hal tersebut.

Beliau menyarankan supaya khalifah menulis kembali Al-Qur’an dalam beberapa naskah untuk dihantar ke bandar-bandar besar supaya semua orang Islam dapat membaca Al-Qur’an dengan satu cara yang sama. Khalifah menyetujui cara itu dan seterusnya membentuk panitia untuk menulis Al-Qur’an. Al-Qur’an yang ditulis kembali inilah yang dinamakan Mushaf Uthmaniy.

Dalam bahasa yang mudah, sebab Al-Qur’an ditulis kembali ialah untuk menyelamatkan umat Islam dan juga Al-Qur’an itu sendiri. Selain itu bertujuan agar semua orang Islam membaca Al-Qu'ran dengan satu cara bacaan saja, melainkan bagi orang-orang yang belajar membaca Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf, maka mereka boleh membacanya dengan berbagai-bagai Qira’at dengan syarat-syarat dan kaidah-kaidah tertentu.

Persatuan Islam Zaman Uthman
Maka yang sampai kepada kita adalah sekarang adalah Mushaf Uthman. Begitu cermat penjagaan Al-Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita dapati - bahkan memang tidak kita dapati - perbedaan apapun dari naskah-naskah yang tidak terhitung banyaknya, yang tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam yang luas ini. Sekalipun akibat terbunuhnya Uthman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian adanya - namun Al-Qur’an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Al-Qur’an bagi semuanya.

Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas perintah dan usaha murni Sayyidina ‘Uthman bin Affan.

Di seluruh dunia ini tiada sebuah kitab pun selain Al-Qur’an yang berbelas-belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan rapi. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara penyebutan huruf hidup saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya belakangan saja dalam sejarah, yang tidak ada hubungannya dengan Mushaf Uthman. Sekarang, sudah jelas bahwa Al-Qur’an yang kita baca ialah teks Mushaf Uthman yang tidak berubah-ubah.

Perbincangan berikutnya, adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita amat meyakinkan, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Uthman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah Al-Qur’an demi kepentingannya.

Memang benar, bahawa Syi’ah kemudian menuduh bahwa Uthman mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tidak dapat diterima oleh akal kita sama sekali. Ketika Mushaf ini diakui, antara pihak Umawiy dengan pihak Alawiy (golongan Mu’awiyah dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada sebarang pengancaman bahaya. Di samping itu juga, Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tidak ada maksud-maksud tertentu yang akan mendorong Uthman melakukan pelanggaran yang sangat dibenci oleh umat Islam itu. Orang-orang yang benar-benar memahami dan hafal Al-Qur’an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya, mereka masih hidup tatkala Uthman mengumpulkan mushaf itu.

Andai kata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menyokong usaha menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Uthman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai pengganti. Dapatkah diterima akal - pada waktu mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan menerima Al-Qur’an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu, mereka tetap membaca Al-Qur’an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tiada bayangan sedikit pun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiri telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulis dengan tangannya sendiri.

Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena ‘Uthman telah mengumpulkan Al-Qur’an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushaf Uthman. Jadi tentangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah ‘Uthman dalam hal itu saja, yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi sebaliknya, tidak seorang yang menunjukkan adanya usaha mengubah atau menukar isi Al-Qur’an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha untuk merusak secara terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan yakin dan tegas, bahwa Mushaf Uthman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpancar-pancar di seluruh daerah itu.

Mushaf Uthman Cermat Dan Lengkap
Sungguhpun begitu, masih ada suatu persoalan penting yaitu apakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad?

Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah selengkapnya dicapai waktu itu.

Pertama: Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakar al-Siddiq. Sedangkan Abu Bakar seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Dia juga adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Al-Qur’an; orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama 20 tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafah dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala buruk. Ia beriman bahawa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (saw) itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafahnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tidak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu’min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahawa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tiada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah.

Dalam Al-Qur’an terdapat peringatan-peringatan bagi siapa saja yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyu-Nya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang pada era awal dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.

Kedua: Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada sekumpulan ahli-ahli Al-Qur’an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam untuk melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalami ilmu agama.

Dari mereka semua itu terjalinlah suatu penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf itu, tapi juga mempunyai segala kerjasama yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.

Ketiga: Kita juga mempunyai jaminan yang lebih kuat dipercayai tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bahagian-bahagian Al-Qur’an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnya pun sudah banyak sebelum pengumpulan Al-Qur’an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya.

Maka amat logic kita mengambil kesimpulan bahwa semua yang terkandung dalam bagian itu, sudah mencakupi. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah sengaja membuang sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kalimat, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam mushaf yang sudah dikumpulkan itu. Dalam arti kata lain, dalam Mushaf Uthman tidak ada sesuatu yang diabaikan, sekalipun yang kurang penting.

Keempat: Isi dan susunan al-Qur’an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macam disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.

Tiada tangan yang mencoba mengubah atau memperlihatkan kebolehannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penulis dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani mengambil ayat-ayat suci itu melebihi daripada yang apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.

Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah bahwa Mushaf Zaid dan Uthman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apa pun dari wahyu itu. Kita juga dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Al-Qur’an itu, memang sangat teliti sekali seperti yang dibaca oleh Nabi Muhammad (saw).

Inilah pandangan Sir William Muir seperti yang disebut dalam kata pengantar “The Life of Mohammad” (m.s. xiv-xxix). Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebut tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sependapat. Secara positif, mereka memastikan tentang persisnya Al-Qur’an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Nabi Muhammad (saw) adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Allah SWT.

Kalau ada sebagian kecil kaum Orientalis atau Kristen berpendapat lain dan beranggapan bahwa Al-Qur’an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logic yang dikemukakan oleh Muir tadi dan sebahagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi Muhammad SWT.

Betapa pandainya si pengkritik menyusun tuduhannya, namun mereka tidak akan dapat menafikan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan cara ini, mereka tidak akan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terhasut oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
wallahu'alam bishawab.



BACA JUGA:

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers