Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Wednesday, June 7, 2017

Pengertian, kedudukan, dan fungsi Hadits


Al-Hadits, atau Hadits merupakan sumber hukum dan ajaran pokok Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Dari perspektif periwayatannya, antara Hadits dan Al-Qur’an jelas terdapat perbedaan. Pada Al-Qur’an seluruh periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga kemudian timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadits, sekaligus menjadi sumber perdebatan dalam koridor ilmiah, atau bahkan dalam konteks non-ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang diperoleh, melainkan sebaliknya, perpecahan yang terjadi.

Oleh karena itu timbul pertanyaan dapatkah hadist dijadikan sebagai hujjah? 
Beberapa hal terkait hal ini akan dijelaskan secara ringkas sebagaimana terangkum dalam topik-topik berikut:
  1. Pengertian Hadits,
  2. Kedudukan Hadits,
  3. Fungsi Hadits,
  4. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
PENGERTIAN HADITS
Hadits menurut etimologi adalah sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut adalah penjelasannya:

1. Hadits Qauliyah adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perkataan ini dapat berupa tuntunan, petunjuk, penjelasan atas peristiwa atau kisah-kisah yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah, maupun akhlak Islam.

Dengan kata lain, Hadits Qauliyah yaitu sunnah Nabi SAW yang hanya berupa ucapannya saja, baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah, cegahan maupun larangan. Pernyataan Rasulullah ini umumnya merupakan respons atas suatu keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kini dan masa depan. Pernyataan ini juga kadang-kadang berbentuk dialog dengan para sahabat, jawaban atas pertanyaan yang diajukan para sahabat, ataupun bentuk-bentuk lain seperti misalnya, khutbah. Dari tingkatannya, hadits Qauliyah menempati urutan pertama yang kualitasnya lebih tinggi dari jenis hadits lainnya.

2. Hadits Fi’liyah adalah perbuatan atau perilaku Nabi Muhammad SAW  dalam memberikan contoh bagaimana tata-cara melaksanakan berbagai ibadah atau urusan lain dalam agama Islam seperti misalnya bagaimana beliau memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum Islam, dlsb. Secara sederhana, Hadits Fi’liyah dapat dipahami sebagai hadits yang berasal dari para sahabat yang menyaksikan secara langsung perbuatan Rasulullah SAW.

3. Hadits Taqririyah adalah hadits yang memuat tentang perbuatan para sahabat yang telah diikrarkan oleh Rasulullah SAW. Ikrar tersebut dapat berupa sikap diamnya Rasulullah SAW. Dalam kondisi ini, Rasulullah tidak mengatakan sesuatu, tidak menyuruh dan tidak pula melarangnya. 

Menurut jumhur ulama, sikap diam Rasulullah SAW tersebut menunjukkan bolehnya suatu perbuatan. Sebab, jika tidak boleh, tentu beliau akan melarangnya dengan tegas sebagaimana disebutkan dalam jenis hadits lain. Namun perlu dicatat bahwa diamnya Rasulullah SAW harus dicermati berdasarkan dua keadaan:

Pertama, Rasulullah SAW mengetahui bahwa perbuatan itu pernah beliau larang. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui siapa pelaku yang terus melakukan perbuatan yang pernah dilarang itu. Diamnya Nabi dalam keadaan ini tidak menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukan. 

Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haram-halalnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan; sedangkan sifat setiap Nabi adalah maksum, atau terhindar dari berbuat kesalahan.

KEDUDUKAN HADITS
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan hukum yang berdiri sendiri di luar dari apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran tidak diragukan lagi, dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya:

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasul sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah; seperti di antaranya,

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)," (QS.An-Nisa: 59)

Bahkan pada ayat lain Al-Quran disebutkan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana firman Allah, 

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (QS. An-Nisa: 80)

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah menuruti ajaran dan mengikuti teladan yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Secara eksplisit ayat di atas sekaligus menjelaskan bahwa sesungguhnya Hadits juga merupakan Wahyu. Jika Wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum absolut, maka hadits pun memiliki kekuatan hukum yang sama. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua faktor:

Pertama, dari segi kebenaran materinya, dan kedua dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad sebagaimana dijelaskan di atas.

Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qathi dalam arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

FUNGSI HADITS 
Dalam uraian tentang Al-Qur’an dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum di dalamnya  dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah tidak seluruhnya dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan penjelasan Allah,

"Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu." (QS. An-Nahl: 64)

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
  • Menguatkan dan mengaskan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpamanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
“Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“ (QS. Al-Baqarah: 110)

Perintah Allah tsb diperjelas dan dikuatkan oleh sabda Rasulullah SAW:
“Islam itu didirikan dengan lima pondasi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat." [HR Bukhari, no. 8].
  • Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
    1. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an,
    2. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar,
    3. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum,
    4. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an, umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda:

"Inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kalian melihat aku mengerjakan shalat." [HR. Bukhari]
  • Menetapkan suatu hukum dalam Hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian terlihat bahwa Hadits menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut Itsbat. Akan tetapi bila sungguh-sungguh diperhatikan dengan cermat sebenarnya akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an namun secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut, larangan Nabi itu sesungguhnya merupakan penjelasan terhadap larangan dalam Al-Qur’an yang mengharamkan memakan sesuatu yang kotor.

HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QURAN 
Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah yang tidak seluruhnya dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut:

Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
  • Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an,
  • Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
  • Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum,
  • Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an,

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa.

"sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)

Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, umpamanya hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa.

"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.

Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara.

“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (QS. An-Nisa :23)

KESIMPULAN
  1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
  2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
  3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
  4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an.
  5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

[Disajikan oleh Jamaril S.Ag | Guru MTsN ]


DAFTAR PUSTAKA
  • Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997
  • Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999
  • Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002
  • Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
  • Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers