Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Gunakan tanda panah di sudut kanan bawah halaman untuk melanjutkan penelusuran artikel dalam kategori ini
Showing posts with label Aqidah. Show all posts
Showing posts with label Aqidah. Show all posts

Thursday, April 12, 2018

Akidah Islam

PENGERTIAN 

Akidah atau Aqidah (bahasa Arab: العقيدة, translit. al-'aqīdah) adalah intisari atau pokok dalam agama Islam, yang mana intinya adalah menegaskan bahwa Allah satu-satunya tuhan dan satu-satunya yang berhak disembah atau diibadahi, menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang harus diteladani oleh seorang muslim, serta mengetahui, meyakini, dan mengamalkan rukun Islam dan rukun Iman. Menurut Prof. Soegarda Poerbakawatja (1976) aqidah, akidah diartikan sebagai kepercayaan penuh akan Allah dengan segala sifatnya. Aqidah merupakan ciri pembeda antara orang mukmin dengan orang kafir.

Etimologi

Istilah "Aqidah" atau sering dieja "akidah" berasal dari kata bahasa Arab: al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti "ikatan", at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti "kepercayaan atau keyakinan yang kuat", al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya "mengokohkan" atau "menetapkan", dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti "mengikat dengan kuat".

Sedangkan menurut istilah (terminologi), akidah dapat didefinisikan sebagai berikut:Hal-hal yang wajib diketahui dan diyakini oleh hati (pikiran dan hati).

Iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Berdasarkan defenisi tersebut, Akidah dapat didefinisikan keimanan yang teguh dan pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban beribadah dan taat kepada Allah, beriman kepada para malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, hari Akhir, takdir baik dan buruk, serta segala permasalahan yang telah jelas dan shahih tentang landasan Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari salafush shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' salaf as-shalih.

Sumber Akidah

Kebenaran aqidah bersumber dari Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’ para ulama. Di dalam Al-Quran, tercantum perintah untuk menaati Allah, Rasul, dan para ulil amri.

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

1. Al-Quran
Inilah sumber utama aqidah. Di dalamnya, ada petunjuk bagi orang beriman. Mereka yang menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dan pegangan akan selamat di dunia dan akhirat.

Al-Quran merupakan kitab yang dijaga langsung oleh Allah. Sehingga tidak ada keraguan untuk menjadikannya pedoman. Allah menjamin Al-Quran akan terjaga, tidak akan berubah seperti kitab suci sebelumnya. Allah berfirman, “sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Ad Dzikro (Al Qur’an) dan Kamilah yang akan menjaganya” (QS. Al Hijr: 9).

2. As-Sunnah
As-Sunnah, atau Sunnah, merupakan pendamping Al-Quran sebagai sumber aqidah. Baik Al-Quran maupun As-Sunnah berasal dari wahyu. As-Sunnah merupakan sabda Rasulullah, manusia utusan Allah yang telah dijaga dari kesalahan dalam menyampaikan risalah-Nya. Semua yang dikatakan Rasulullah wajib diterima sebagai pedoman oleh orang beriman.

As-Sunnah disampaikan kepada para Sahabat, dan para Sahabat kemudian bersungguh-sungguh menjaga dan menyebarkannya hingga generasi selanjutnya. As-Sunnah berhasil dibukukan oleh para ulama dalam kitab-kitab Sunnah, seperti karya Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dll.

Lingkup

Lingkup pembahasan akidah terdiri dari persoalan ketuhanan, kenabian dani pembalasan. Pembahasan akidah diawali dengan konsep Allah sebagai pencipta alam semesta dan pemeliharanya. Kemudian dilanjutkan dengan kenabian yang merupakan bentuk kasih sayang Allah. Lalu di akhir pembahasan dibahas mengenai pembalasan yang berkaitan dengan alam akhirat dan hari pembalasan.

Istilah Lain

Selain kata "Akidah", para ulama dari zaman ke zaman juga menggunakan istilah atau sebutan lain, dengan lingkup pembahasan yang sama. Contohnya sebagai berikut:

Iman, yang bermakna ucapan (lisan) dan perbuatan tubuh (atau keyakinan dan perbuatan). Contoh penggunaan istilah ini adalah pada judul Kitab Al-Iman karya Ibnu Mandah Al-Hambali (wafat 395 H) dan Kitab Al-Iman karya Ibnu Rojab Al-Hambali (wafat 795 H).Tauhid, yang bermakna mengesakan atau mengakui dan meyakini bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, sebagaimana maksud kalimat syahadat yang pertama. Contoh penggunaannya adalah judul kitab seperti Kitab Tauhid karya Ibnu Khuzaimah Asy-Syafi'i (wafat 311 H), Jauharotut Tauhid karya Imam Al-Laqqoni (wafat 1041 H), dan Kitab Tauhid karya Ibnu Abdul Wahhab (wafat 1206 H). 

As-Sunnah, makna "sunnah" disini berbeda dengan makna "sunnah" dalam fiqih. Contohnya adalah Syarhus Sunnah karya Imam Al-Muzani (wafat 264 H), Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari (wafat 329 H), Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H) dan Ushulus Sunnah karya Imam Al-Humaidi (wafat 219 H).Ushuluddin atau pokok agama, contohnya adalah judul kitab Al-Ushulud Diyanah karya Imam Abul Hasan Asy'ari (wafat 324 H), dan juga istilah-istilah lainnya.

Penjabaran akidah tauhid

Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam penjabaran tauhid menurut Ibnu Taimiyah:

  • Al-Uluhiyyah, (al-Fatihah ayat 5 dan an-Nas ayat 3)
mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.
  • Ar-Rububiyyah, (al-Fatihah ayat 2, dan an-Nas ayat 1)
mengesakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
  • Al-Asma' was-Sifat, (al-Ikhlas ayat 1-4, dan an-Nahl ayat 62).
mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya, artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah, dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada qadar adalah termasuk ar-rububiyah. Oleh karena itu, Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

Tauhid itu cuma satu tidak dibagi-bagi, menjadikan satu sebagaimana makna asalnya dengan tiga macam penjabaran/penjelasan, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Rububiyah Allah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Uluhiyah Allah, karena hukum itu milik Allah dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40.

[Sumber: Wikipedia]

Friday, August 6, 2010

Akibat ButaTauhid




Tauhid menurut ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah dapat dibagi menjadi tiga bagian. Sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Imam Ibnu Abi al-'Izz ra, "Sesungguhnya tauhid itu mencakup tiga bagian, yaitu:

  • Tauhid yang menjelaskan sifat-sifat Allah (Asma' wa Sifat) 
  • Tauhid rububiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah SWT pencipta segala sesuatu. 
  • Tauhid uluhiyyah, yaitu tauhid yang menjelaskan bahwa hanya Allah SWT Tuhan yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya." 
Dari pembagian tersebut yang akan menjadi perhatian kita dalam pembahasan ini adalah toleransi (pemberian maaf) karena ketidaktahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masing-masing dari ketiga bagian di atas yang secara keseluruhan merupakan hakikat tauhid yang dibawa oleh Rasulullah Shallahu alaihi wassalam.

Batasan Toleransi (Pemberian Maaf) karena Kebodohan (ketidaktahuan) yang Berkaitan dengan Tauhid Rububiyah'Berkenaan dengan tauhid ini, maka tidak satu kelompok pun dari keturunan Adam (manusia) yang menentangnya. 

Bahkan, pengakuan hati yang suci tentang hal ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pengakuannya kepada yang lainnya. 

Hal itu sebagaimana yang telah dikatakan oleh para rasul--semoga keselamatan tercurah kepada mereka-- dalam permasalahan yang telah dijelaskan oleh Allah SWT yang berkaitan dengan mereka, 

"Berkata rasul-rasul mereka:
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَدْعُوكُمْ 
'Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi'?"  (QS Ibrahim[14]: 10). 

Orang yang sangat terkenal kebodohannya yang mengingkari keberadaan Allah sebagai pencipta adalah Fir'aun, walaupun dalam hatinya dia meyakini-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa as;

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَـؤُلاء إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ بَصَآئِرَ 
"Musa menjawab: 'Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata." (QS Al-Isra' [17]: 102). 

Allah SWT berfirman berkenaan dengan nabi Musa as dan kaumnya; 

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً فَانظُرْ كَيْفَ 
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-Nya." (QS An-Naml [27]:14). 

Tidak pernah ada satu kelompok pun yang mengatakan, sesungguhnya alam ini memiliki dua pencipta yang memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya. 

  • Sedangkan aliran dualisme dari kalangan Majusi dan para penyembah benda-benda hanya mengatakan tentang dua sumber, yaitu cahaya dan kegelapan, dan alam ini keluar dari keduanya, di mana mereka sepakat bahwa cahaya itu lebih utama dari kegelapan, dan dia merupakan tuhan yang terpuji, sementara kegelapan itu merupakan kejelekan yang tercela. Mereka berbeda pendapat dalam masalah kegelapan ini, apakah ia merupakan sesuatu yang qadim (sudah ada sejak dulu dan keberadaannya itu tidak didahului dan diakhiri dengan ketiadaan) atau hadits (adanya itu baru dan keberadaannya itu didahului dan diakhiri dengan ketiadaan)? Mereka tidak pernah menetapkaan adanya dua tuhan yang serupa (memiliki kesamaan dalam sifat dan perbuatannya). 
  • Adapun orang-orang Nasrani yang mengatakan tentang trinitas, sebenarnya mereka tidak menetapkan bahwa alam ini memiliki tiga tuhan yang terpisah antara yang satu dengan lainnya. Bahkan, mereka sepakat untuk menetapkan bahwa pencipta alam ini adalah satu. Mereka mengatakan bahwa tuhan bapak, tuhan anak, dan roh yang qudus itu adalah tuhan yang satu. Sedangkan orang-orang musyrik Arab mengakui tentang tauhid rububiyah ini, di mana mereka menetapkan bahwa tuhan pencipta langit dan bumi itu adalah satu. Hal ini sebagaimana telah disinyalir oleh Allah SWT dalam firman-Nya; 
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ 
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah'." (QS Luqman [31]: 25). 

Allah SWT berfirman,
قُل لِّمَنِ الْأَرْضُ وَمَن فِيهَا إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَسَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
"Katakanlah: 'Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?' Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" (QS Al-Mukminun [23]: 84-85). 

Dengan demikian, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa keimananan itu ditujukan hanya kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya Dia (Allah)-lah yang berhak atas ketuhanan yang merupakan fitrah manusia sejak mereka berada di alam benih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam frman-Nya:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَأَوْ تَقُولُواْ إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-oang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." Atau agar kamu tidak mengatakan; "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dulu." (QS Al-A'raf [7]: 172-173). 

  • Al-Hafidz Ibnu katsir ra berkata: "Allah SWT telah menunjukkkan bahwa fitrah yang dimiliki oleh manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengesakan-Nya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi saw, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi." 
  • Ibnu Abi Al-'Izz ra berkata: "Tidak dapat dikatakan bahwa pengertian hadis tersebut menunjukkan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan polos yang tidak mengetahui perbedaan tauhid dan syirik, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang. 
  • Selain itu, Nabi saw bersabda, "Allah SWT berfirman, 'Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan fitrah (suci), lalu setan mengotorinya." 
Bertitik tolak dari keterangan di atas yang bersumber dari dalil-dalil syariah dan bukti-bukti yang bersifat realitas menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan dengan memiliki kecenderungan untuk mengesakan Allah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalil yang menunjukkan akan keesaan Allah SWT dan menunjukkan kemadirian-Nya dari makhluk sudah sangat jelas bagi mereka, yaitu dalil yang menolak seseorang yang mengingkari ketuhanan Allah SWT atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu atau dengan lainnya atau mengaku tidak mengetahui tentang hal itu. 

Dengan demikian, maka jika kita bermaksud membatasi batasan sampainya dalil kepada manusia dalam masalah tauhid rububiyah ini, maka kita mesti mengambil ungkapan yang pasti tentang permasalahan ini, dan bahwa tauhuid rububiyah ini merupakan sesuatu yang fitrah. 

Karena itulah, maka perlu didatangkan dalil syar'i untuk mengingatkan akidah yang bersifat fitrah ini. Demikian juga halnya dengan dalil menciptakan yang sesuai dengan dalil-dalil yang menunjukkan tentang keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur. 

Ibnu Qayyim ra berkata berkenaan dengan ayat pengakuan di dalam surah Al-A'raaf:

  • "Ketika ayat Al-A'raaf ini dikategorikan sebagai ayat makiyah (yang diturunkan di Mekah), maka di dalamnya diceritakan perjanjian dan pengakuan yang bersifat umum bagi seluruh orang mukallaf (dewasa) yang termasuk dari orang-orang yang mengakui kerububiyan Allah, ke-Esa-an-Nya, dan batalnya perbuatan syirik. 
  • Perjanjian dan pengakuan yang dimaksud adalah perjanjian dan pengakuan yang menunjukkan dalil bagi mereka, putusnya toleransi (pemberian maaf), patutnya mendapatkan siksaan dan berhaknya mendapatkan kehancuran bagi orang yang menentangnya. Dengan demikian, maka sudah semestinya bagi orang-orang mukallaf untuk mengingat dan mengetahuinya, karena hal itu merupakan sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah bagi mereka, berupa pengakuan akan kerububiyahan (ketuhanan) Allah, dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan yang menciptakan mereka, serta mereka harus mengakui bahwa mereka itu merupakan makhluk yang diatur oleh-Nya. 
  • Selanjutnya, Allah mengutus para rasul kepada mereka yang bertugas untuk mengingatkan mereka tentang sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan akal mereka, dan memberitahukan mereka tentang perintah, larangan, janji, dan ancaman Allah SWT. Syekh al-Hukami Rahimahullahu berkata berkenaan dengan penjelasan tentang berbagai macam perjanjian yang telah dibuat oleh Allah SWT dengan Bani Adam (manusia), sehingga dapat ditentukan mengenai batasan sampainya dalil kepada manusia, seraya beliau berkata: "Seluruh perjanjian ini telah diciptakan oleh Alquran dan Sunnah: Perjanjian yang diambil oleh Allah SWT dari manusia ketika mereka dikeluarkan dari tulang punggung bapaknya yaitu Nabi Adam as dan mereka bersaksi kepada diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." 
Inilah perjanjian yang dikatakan oleh mayoritas mufasir dalam ayat ini, sedangkan perjanjian yang didasarkan kepada nash hadis sebagaimana terdapat dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim terdapat pula dalam hadis-hadis lainnya. Perjanjian yang bersifat fitrah, di mana Allah SWT telah menjadikan manusia sebagai saksi atas perjanjian yang diambil-Nya dari mereka berkenaan dengan perjanjian yang pertama tadi. 

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ 
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (QS Ar-Ruum [30]: 30). 

Perjanjian yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci Allah dengan tujuan untuk memperbaharui perjanjian yang pertama dan mengingatkannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS An-Nisaa' [4]: 165). 

Dengan demikian, maka orang yang menemukan perjanjian ini dan dia tetap pada fitrahnya, yang mengakui sesuatu yang telah ditetapkan pada perjanjian yang pertama, maka dia akan menerima perjanjian tersebut sejak awal dan tidak akan berhenti, karena hal itu akan sesuai dengan sesuatu yang ada dalam fitrahnya dan sesuatu yang Allah telah ciptakan baginya. Sehingga, dengan hal tersebut, keyakinannya akan semakin bertambah dan keimanannya akan semakin kuat, tanpa melalui proses pertimbangan yang seksama dan keraguan. 

Sedangkan orang yang menemukan perjanjian tersebut, sementara fitrahnya sudah mengalamiperubahan dari sesuatu yang Allah ciptakan, berupa pengakuan terhadap sesuatu yang telah ditetapkan perjanjian yang pertama disebabkan disesatkan oleh setan atau diyahudikan, dinasranikan, dan dimajusikan oleh kedua orang tuanya, maka jika Allah SWT memperbaikinya dengan cara memberikan rahmat-Nya, niscaya dia akan kembali kepada fitrahnya dan membenarkan sesuatu yang dibawa oleh para rasul dan yang dikandung oleh kitab-kitab suci, sehingga perjanjian yang pertama dan yang kedua akan memberikan manfaat baginya. 

Akan tetapi, jika dia mendustakan perjanjian yang ini, niscaya dia pun akan mendustakan perjanjian yang pertama, sehingga pengakuannya pada hari di mana perjanjian itu diminta pertangungjawabannya oleh Allah darinya, maka tidak akan memberikan manfaat baginya sekiranya dia menjawab "benar," sebagai jawaban atas firman Allah SWT: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" dan telah disampaikannya dalil Allah kepadanya, telah ditetapkan penderitaan yang akan menimpanya, dan telah ditetapkannya siksaan baginya. 

Karena, orang yang dihinakan oleh Allah, niscaya tidak akan ada seorang pun yang akan memuliakannya dan sesungguhnya Allah akan melaksanakan sesuatu yang dikehendaki-Nya.

Adapun orang yang tidak menemukan perjanjian tersebut dikarenakan dia meninggal ketika masih kecil sebelum dikenai kewajiban, maka dia dianggap meninggal berdasarkan perjanjian pertama menurut fitrahnya. Seandainya dia termasuk seorang anak dari orang-orang muslim, maka dia disertakan beserta orang tuanya (dihukumi sebagai orang Islam), dan seandainya dia seorang anak dari orang-orang musyrik, maka Allah Maha Mengetahui tentang perbuatan yang akan dilakukan anak tersebut seandainya dia menemui perjanjian tersebut.

Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra seraya berkata, "Rasulullah saw ditanya mengenai anak-anak dari orang-orang musyrik, maka beliau menjawab: 'Allah SWT yang telah menciptakan mereka Maha Mengetahui terhadap apa yang akan diperbuat oleh mereka."

Dengan demikian, maka berkenaan dengan tauhuid rububiyah ini, dalil yang ada telah memutuskanadanya toleransi (pemberian maaf). Oleh karena itu, maka inti sari ajaran Muhammad saw itu adalah menyeru kepada kemestian tauhid ini, yaitu tauhid uluhiyah (tauhid yang menjelaskan akan ketuhanan Allah SWT), yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. 

Pada umumnya manusia itu menyimpang dalam tauhid jenis ini. Karena itulah mereka sudah selayaknya tunduk kepada seruan para rasul yang menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. 

Allah SWT berfirman: 
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu'." (QS An-Nahl [16]: 36).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku." (QS Adz-Dzaariyat [51]: 56). 

Syekh Abdurrahman bin Hasan ra berkata, 

  • "Yang dimaksud dengan tauhid di sini bukanlah hanya tauhid rububiyah, di mana seseorang hanya meyakini bahwa hanya Allah-lah Pencipta alam, sebagaimana yang disangka oleh ahli kalam dan tasawuf, di mana mereka menyangka bahwa apabila mereka telah menetapkan hal itu berdasarkan dalil, maka mereka dianggap telah menetapkan tujuan dari tauhid, dan mereka menyangka bahwa apabila mereka telah mengakui hal ini dan telah membahasnya dianggap telah membahas tujuan tauhid. 
  • Padahal, seandainya seseorang mengakui tentang sesuatu yang menjadi hak Allah SWT berupa sifat-sifat-Nya dan membersihkan-Nya dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, serta mengakui bahwa hanya Allah-lah Pencipta segala sesuatu, maka dia belum disebut sebagi orang yang bertauhid sehingga dia harus bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, lalu dia mengakui bahwa hanya Allah-lah Tuhan yang berhak disembah, dan dia mengharuskan ibadah itu hanya kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun." 
Sebagai kesimpulan bahwa walaupun orang-orang musyrik mengakui tauhid rububiyah, tetapi hanya mengakui sebagian rinciannya, maka yang pantas diperbuat oleh orang-orang Islam adalah mengakuinya secara menyeluruh.

Dengan demikian, maka tidak layak bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui tauhid ini dan merasa samar dalam sebagian rinciannya, terlebih-lebih tidak layak baginya seandainya dia mengingkari sesuatu yang menjadi kekhususan bagi Allah SWT seperti tunggal dalam keesaan-Nya, Pencipta, Pengatur, atau menisbahkan keagungan dan kemulyaan-Nya kepada kekurangan, seperti menisbahkan anak, teman, kelemahan, dan kekurangan lainnya kepada-Nya, padahal Allah SWT Maha Tinggi dan Maha Agung dari penisbahan tersebut atau mencaci Allah SWT. Semuanya ini merupakan sesuatu yang tidak pantas bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya. 

Oleh karena itu, apabila ada sesuatu dari kekufuran ini yang keluar dari seorang muslim, dia dikategorikan sebagai orang kafir, dan tidak ada toleransi baginya, baik karena kebodohannya atau karena sebab yang lainnya. 

Akan tetapi, di antara orang-orang Islam itu ada orang yang tidak mengetahui tauhid uluhiyah. Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan bisa jadi telah terjadi, dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. 

Karena itulah kita harus melihat batasan sesuatu yang dapat dimaafkan apabila dilakukan oleh seorang muslim berkenaan dengan sesuatu yang dianggap bertentangan dengan tauhid uluhiyah ini. 



[Sumber: Al-Jahlu bi Masaa'ilil I'tiqaad wa Hukmuhu, Abdurrozzaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy]


Friday, July 23, 2010

Cara mencintai Allah dan RAsul-Nya




MENCINTAI ALLAH DAN RASUL-NYA


قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali-Imran [3]: 31)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam bersabda:
"Tidaklah beriman (secara sempurna) salah seorang dari kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia." [HR al-Bukhari].

Ayat di atas menunjukkan bahwa kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam. Menaati apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang, menurut hadits-hadits sahih yang beliau jelaskan kepada umat manusia. Tidaklah kecintaan itu dengan banyak bicara dengan tanpa mengamalkan petunjuk, perintah dan sunnah-sunnah beliau.
Adapun hadits shahih di atas mengandung pengertian bahwa iman seorang muslim tidak sempurna, sehingga ia mencintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam melebihi kecintaannya terhadap anak, orang tua, dan segenap manusia, bahkan sebagaimana ditegaskan dalam hadits lain hingga melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Pengaruh kecintaan itu tampak ketika terjadi pertentangan antara perintah-perintah dan larangan-larangan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam dengan hawa nafsunya, keinginan isteri, anak-anak serta segenap manusia di sekelilingnya. Jika ia benar-benar mencintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam, ia akan mendahulukan perintah-perintahnya dan tidak menuruti kehendak nafsunya, keluarga atau orang-orang di sekelilingnya. Tetapi, jika kecintaan itu hanya dusta belaka maka, ia akan mendurhakai Allah dan rasul-Nya, lalu menuruti setan dan hawa nafsunya.
Jika anda menanyakan kepada seorang muslim, "Apakah anda mencintai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam?" Ia akan menjawab, "Benar, aku korbankan jiwa dan hartaku untuk beliau." 

Tetapi, jika selanjutnya ditanyakan, "Mengapa Anda tidak meninggalkan kebiasaan yang dibenci Rasulullah saw dan melanggar perintahnya dalam masalah ini dan itu, dan anda tidak meneladaninya dalam penampilan, akhlak dan ketauhidan Rasulullah saw?" 

Dia akan menjawab, "Kecintaan itu letaknya di dalam hati. Dan alhamdulillah, hati saya baik."

Kita mengatakan padanya, "Seandainya hatimu baik, niscaya akan tampak secara lahiriah, baik dalam penampilan, akhlak, maupun ketaatanmu dalam beribadah mengesakan Allah semata."

Kenapa?
KArena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam telah bersabda,
"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Bila ia baik maka akan baiklah seluruh jasad itu, dan bila ia rusak maka akan rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati." [HR al-Bukhari dan Muslim].

Suatu contoh, seorang alim bersilaturahmi kepada seorang yang kelihatan saleh, tetapi masih suka memasang gambar-gambar binatang. Orang alim itu lalu mengingatkannya dengan larangan Rasulullah dalam soal memajang gambar-gambar. Tetapi, ia menolak sambil mengatakan, "Ini gambar yang indah dan menarik."

Suatu hal yang mengherankan, seorang yang kelihatan shaleh dan merasa mencintai Rasulullah saw tetapi masih senang dengan kesukaan yang kelihatan ringan tetapi termasuk dalam hal yang dilarang. Dalam hati penulis berkomentar, "Orang tersebut mendurhakai perintahnya, bagaimana mungkin akan masuk dalam kecintaannya. Dan, apakah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam akan rela dengan perbuatan tersebut? 

Sesungguhnya kita dan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam berada di bawah perlindungan Allah semata.

Kecintaan kepada Rasulullah adalah tidak dengan menyelenggarakan peringatan, pesta, berhias, dan menyenandungkan syair yang tak akan lepas dari kemungkaran.

Demikian pula tidak dengan berbagai macam bid'ah yang tidak ada dasarnya dalam ajaran syariat Islam.

Tetapi, kecintaan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa salam adalah dengan mengikuti petunjuknya, berpegang teguh dengan sunnahnya serta dengan menerapkan ajaran-ajarannya. Sungguh, alangkah indah ungkapan penyair tentang kecintaan sejati di bawah ini.

"Jika kecintaanmu itu sejati, niscaya engkau akan mentaatinya. Sesungguhnya seorang pecinta, kepada orang yang dicintainya akan selalu ta'at setia."


Dari Jalan Golongan yang Selamat, Syekh Muhammad bin Jamil Zainu Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sunday, July 18, 2010

Aqidah Salaf As Shalih


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.


PENDAHULUAN

Kebangkitan dunia Islam telah menyadarkan banyak orang tentang kekuatan Islam, meskipun kebangkitan tersebut tidak melalui kekuasaan. Tetapi Islam memasuki kalbu, otak dan urat nadi orang yang mencari kebenaran, hanya saja kebangkitan tersebut perlu lebih diarahkan kepada satu asas dan bingkai yang diterima oleh semua pihak yang secara jujur membawa misi Islam, li'ilaa'i kalimatillah. 

Firman Allah Azza wa Jalla:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS.An-Nisaa' [4]:1)

Pembaca rahimakumullah,
Arah dan bingkai tersebut tak lain dan tak bukan adalah manhaj Salafusshalih; berupa perangkat pemahaman yang utuh dari ajaran Rasulullah saw.
Hal tersebut tentunya untuk menghindari berbagai penyimpangan yang dialamai oleh sebagian ummat Islam.

Penyimpangan tersebut bervariasi; dari yang besar sampai kepada dualisme pemahaman dengan maksud memilah-milah untuk kepentingan tertentu. Hal itu sangat berbahaya, karena dasarnya adalah hawa nafsu. Karena pemahaman sesungguhnya harus menyeluruh dan kita terima tanpa tawar menawar.

Salaf dan Aqidah Rasulullah saw sejak diutus oleh Allah SWT, telah mengajarkan aqidah tauhid kepada para shabatnya, sehingga mengakui kebesaran Allah SWT, keagungan syariat-Nya.

mereka cinta kepada Allah SWT berharap hanya kepada Allah SWT dan tidak ada yang ditakuti kecuali Allah SWT. Mereka digambarkan oleh Allah SWT dalam firmanNya,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُبَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ 
"Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-easul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah [2]:285).

Di samping itu Allah berfirman, 

إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَوَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَوَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَوَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka... [Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka...Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun)...Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka". (QS. Al-Mukminun [23]:57-60)

Untuk melihat keutuhan aqidah Salaf, marilah kita simak ucapan Sufyan bin Uyainah berikut ini,

"Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus nabi kita Muhammad saw, kepada seluruh manusia, untuk menyatakan bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwasanya dia (Muhammad) adalah utusan-Nya. Maka tatkala mereka telah mau mengatakan bersaksi seperti itu, terjaminlah darah dan hartanya, kecuali dengan haknya, dan hisabnya hanya kepada Allah. Ketika Allah SWT mengetahui ketulusan hal itu dari hati nurani mereka, ia memerintahkan kepadanya (Muhammad) untuk menyuruh mereka sholat. Maka memerintahlah ia (Muhammad), dan mereka mau mengerjakannya. Demi Allah, seandainya mereka tidak mau mengerjakannya (sholat) maka sia-sialah ikrar/syahadat mereka tadi, juga sholatnya.

Ketika Allah mengetahui ketulusan hati mereka (dalam mengerjakan perintah tersebut), Allah memerintahkan kepadanya (Muhammad) agar menyuruh mereka berhijrah menuju Madinah. Maka ia (Muhammad) memerintah kepada mereka, dan mereka mau mengerjakannya. 

Demi Allah seandainya mereka tidak mau mengerjakannya, niscaya sia-sialah syahadat dan sholat mereka. Lalu ketika Allah mengetahui ketulusan hati mereka (dalam mengerjakan perintah tersebut), Allah memerintahkan mereka untuk kembali ke Mekkah, memerangi/membunuh bapak dan anak-anak mereka, sehingga bapak dan anak-anak mereka tersebut mau bersyahadat sebagaimana syahadat mereka, shalat sebagaimana shalat mereka, dan hijrah sebagaimana mereka hijrah. 

Mereka mau mengerjakan hal itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang membawa kepala bapaknya, sambil berkata: "Wahai Rasulullah, inilah kepala pemuka orang-orang kafir." 

Demi Allah seandainya mereka tidak mau mengerjakannya, niscaya sia-sialah syahadat, shalat dan hijrah mereka. Ketika Allah mengetahui ketulusan hati mereka. Ia memerintah kepadanya (Muhammad) agar memerintah mereka bertawaf (mengelilingi) Ka'bah sebagai ibadah dan mencukur rambut mereka sebagai lambang rendah diri, dan mereka mau mengerjakannya. Demi Allah, seandainya mereka tidak mau mengerjakannya, niscaya sia-sialah syahadat, shalat, hijrah dan haji serta perlawanan perang (yang mereka lakukan) terhadap bapak-bapak mereka. Ketika Allah SWT mengetahui ketulusan hati mereka, maka Ia memerintahkan kepadanya (Muhammad) untuk mengambil harta mereka sebagai sedekah yang menyucikan mereka. Maka ia (Muhammad) memerintah mereka untuk itu, dan mereka mau mengerjakannya, sehingga mereka membawa harta mereka baik sedikit maupun banyak. Demi Allah, andaikan mereka tidak mau mengerjakannya, maka sia-sialah syahadat, shalat, hijrah, perang terhadap bapak mereka dan thawaf mereka. Ketika Allah SWT mengetahui ketulusan hati mereka, dalam mengerjakan syari'at-syari'at iman dan batas-batasnya;"

Allah SWT berfirman: 

"Katakanlah (hai Muhammad) kepada mereka!" "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.

Sufyan berkata: "Barangsiapa meninggalkan satu prinsip dari ajaran Islam, bagi kami ia adalah kafir. Barangsiapa meninggalkannya karena malas atau meremehkan, kita akan menghukumnya, dan ia menurut kita adalah kurang (imannya). Inilah sunnah.....sampaikanlah dari akau, apabila manusia bertanya kepadamu." (Al-Ajurry, Kitabu Asy-Syari'ah hal. 103 - 104).

Untuk itu kita menggali tauhid sedalam-dalamnya, seperti yang diungkapkan oleh imam Al-Laalikaa'i yang artinya:

"Sesungguhnya hal yang paling wajib atas seseorang adalah ma'rifat terhadap dien dan apa-apa yang Allah bebankan kepada hamba-hamba-Nya berupa pemahaman tauhid terhadap-Nya, sifat-sifat-Nya dan membenarkan utusan-utusan-Nya dengan dalil dan keyakinan, dengan cara istidlal dengan hujjah dan penjelasan. Dan sebaik-baik ucapan dan hujjah yang rasional adalah Al-Qur'an dan sabda Rasulullah serta perkataan shahabat, kemudian ijma' para Salaf As-Shaleh dan berpegang teguh terhadap keseluruhannya sampai hari kiamat serta menjauhi berbagai bid'ah yang diada-adakan oleh para penyesat, sekalipun hanya mendengarkannya." (Syarh Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah oleh Al-Laalikaa'i Juz I hal. 9)Demikianlah nasehat dan wasiat dari para ulama salaf, dari kalangan shahabat, tabi'in dan seterusnya..

SALAF DAN KAITANNYA DENGAN IBADAH

Secara bahasa, ibadah artinya tunduk dan patuh.
Secara syara', ibadah adalah nama yang mencakup semua kebaikan yang mengarah kepada ridho Allah SWT.
Secara lebih rinci Syaikh Abdurrohman Sa'di menyebutkan makna ibadah sbb:

"Ibadah adalah sempurnanya ketaatan dan kepatuhan kepada perintah-perintah Allah, berhenti dari larangan-larangan-Nya, mengendalikan diri dari batasan yang dibuat-Nya dan menerima semua yang diajarkan-Nya melalui lisan nabi-Nya tanpa menolak atau menyimpangkannya." (Shofwatul Atsr wal Mafaahim, hal. 46).

Sesuai dengan difinisi diatas, makna ibadah sangat luas, yang menyangkut dhohir maupun bathin. Dan pada makalah ini, kita akan membatasi pada makna dhohirnya saja. 

Seperti selalu kita baca yang artinya:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
"Katakanlah, Shalatku, korbanku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah, Rabb semesta alam." (QS. Al-An'am [6]: 162).

Untuk mengetahui detil dari rincian ibadah dhohiriyah itu, sebaiknya kita simak hadits Rasulullah SAW berikut ini: 

"Dari Mu'adz bin Jabal, telah berkata;
'Aku telah berkata, 'Ya Rasulullah!, beritahukannlah aku suatu amal yang dapat memasukkan aku kedalam jannah dan menjauhkan akau dari neraka.' Nabi menjawab, 'Engkau telah bertanya tentang suatu perkara besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Ta'ala atasnya".

Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah.'

Kemudian beliau berkata, 'Inginkah engkau kuberi petunjuk kepadamu akan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai dan sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api dan shalat seorang ditengah malam.'

Kemudian beliau membaca ayat berikut,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُو
نَفَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". (QS. As-Sajdah : 16 - 17).

Kemudian beliau bersabda:
'Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal dan tiang-tiangnya seta puncak-puncaknya? Aku menjawab, 'Mau ya Rasulullah!

Rasulullah bersabda, 'Pokok amal adalah Islam dan tiang-tiangnya adalah shalat dan puncknya adalah jihad.'

Kemudian beliau bersabda; 'Maukah aku beritahukan kepada tentang kunci perkara itu semua?'Aku menjawab, 'Mau,'Maka ia memegang lidahnya dan bersabda,'Jagalah ini!'Aku berkata, 'Ya Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?'

Maka beliau bersabda; 'Semoga selamat engkau! Adakah yang menjerumuskan orang keatas mukanya, (atau sabdanya, keatas hidungnya). kedalam neraka, selain buah ucapan mereka?"(Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia berkata 'Hadits itu hasan shahih).Keutamaan seseorang tidak hanya ditentukan dari kewajiban-kewajiban yang sudah dikerjakannya, namun juga oleh sejauh mana ia mengerjakan sunnah-sunnah Rasulullah SAW.

Lihatlah wasiat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA kepada Umar bin Khattab RA saat sudah dekat ajalnya. Dalam sebuah riwayat diriwayatkan yang artinya: "Sesungguhnya aku akan memberimu sebuah wasit jika kamu mau menerimanya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mempunyai hak-hak dimalam hari yang Ia tidak mau menerimanya disiang hari. Demikian juga Allah Azza wa Jalla mempunya hak-hak disiang hari yang Ia tidak mau menerimanya dimalam hari. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima amalan sunnah sebelum amalan wajib dikerjakan." Kalau kita perhatikan kehidupan Salaf Ash-Shaleh akan kita dapatkan kesimpulan bahwa mereka persis seperti pernyataan: "Yaitu pendeta-pendeta diwaktu malam dan joki-joki diwaktu siang."

Bahkan kita dapatkan bagaimana kalau seseorang sudah kecapaian karena kerja keras di siang hari, sang isteri berperan untuk mengingatkan seperti riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Rojab Rahimahullah yang artinya:

"Suatu malam isteri Habib (yakni Abu Muhammad Al-Fars) membangunkan dan berkata: Bangun hai Habib, sesungguhnya perjalanan amatlah panjang, sedang bekal kita sedikit. Rombongan orang-orang shaleh telah berlalu, sedangkan kita tetap berhenti." (dinukil dari kitab Al-Hujjah fi Sairi Ad-Daljah karangan ibnu Rajab, hal. 67).

Yang harus menjadi catatan kita bahwa sebaik-baik ibadah itu adalah yang kontinyu dan berdasar petunjuk Nabi SAW. Abu Ubaidah bin Al-Mursanna berkata yang artinya:

"Sesungguhnya berlebih-lebihan didalam beribadah itu buruk, lengahpun buruk, dan sedang-sedang saja itu bagus."Oleh karena itu Ibnu Mas'ud Rahimahullah mendapatkan bahwa ibadah para tabi'in itu lebih banyak dari para Shahabat, ucapannya yang artinya:

"Kalian (para tabi'in) lebih banyak puasa dan shalat daripada para shahabat Muhammad SAW padahal mereka lebih baik daripada kalian". Mereka bertanya, 'Apa sebabnya? Beliau menjawab, 'Karena mereka lebih zuhud dari kalian dalam masalah dunia dan lebih mengutamakan akhiratnya."
Oleh karena itu batasan yang diajarkan oleh Nabi SAW dalam kaitannya dengan ibadah dhahir ini diantaranya yang artinya:

"Rasulullah SAW memerintahkan Abdullah bin Amru untuk mengkhatamkan Al-Qur'an dalam satu pekan. Dalam riwayat selama tiga hari. Beliau bersabda, orang yang membaca mengkhatamkannya lebih cepat dari itu tidak akan dapt memahaminya (Al-Qur'an). Demikian pula masalah puasa (yang paling afdhal) adalah puasa Daud Alaihissalam. Tidak ada puasa yang lebih afdhal daripada puasa Daud. Dan dalam masalah qiyam, adalah qiyam Daud."



Semoga kita diberikan hidayah dan kekuatan untuk mengikuti para Salaf Ash-Shaleh Ridhwanullah alaihim, Amin. 


Saturday, July 17, 2010

Aqidah Islamiah


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.


Para pembaca rahimakumullah,
Nilai suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor Doktor, pada hakekatnya dia bodoh.

Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa' [4]:69)

Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari di At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179).

Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul.

Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.

Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan.

Dia dalam tubuh manusia di-ibaratkan seperti kepalanya.
Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.

Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. 
Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu:

KEIMANAN kepada:
  1. Allah,
  2. Malaikat-malaikat,
  3. Kitab-kitab,
  4. Para Nabi dan Rasul,
  5. Hari Akherat, dan
  6. kepada baik dan buruknya Takdir Allah.  Ini yang disebut sebagai Rukun Iman

Syariat Islam terdiri atas dua pokok utama. 
Pertama: Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas.

Kedua: Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima atau tidaknya bergantung yang pertama.

Makanya syarat diterimanya amal ibadah itu ada dua perkara, yaitu:
Pertama: Ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar.

Kedua: Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh.

Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW akan tertolak atau mengikuti Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia, umpamanya, maka amal tersebut juga tertolak.

Yang paling afdhal adalah amal ibadah haruslah benar-benar memenuhi dua kriteria itu.
Inilah makna yang terkandung dalam salah satu ayat Al-Qur'an:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS Al-Kahfi [18 ]:110)

PERKEMBANGAN IMAN
Pada masa Rasulullah SAW, 'aqidah' bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi maka akan langsung diterangkan oleh beliau SAW. Itulah alasan mengapa kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an" 

Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, muncullah pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash.

Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan perihal itu di dalam karya-karya mereka.

Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW dari generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian dari Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam.

Ringkasnya: Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf. 

BAHAYA PENYIMPANGAN AQIDAH
Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya:
  • Tidak menguasai pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
  • Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah [2]: 170

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk." 
  • Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
  • Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah.

Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin, sebagaimana yang tersurat di dalam al-Qur'an dalam ayat berikut:

وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
"Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr." (QS Nuh [71]: 23)

Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.

Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya :

"Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya sebagai yahudi, nashrani, atau pun majusi" (HR: Bukhari).
Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang.

Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran?. Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diataskecuali adalah dengan mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih secara baik-benar serta istiqamah, agar hidup kita yang cuma sekali ini, dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan-kemashlahatan dunia dan akherat kita.

Allah SWT berfirman:

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa' [4]:69) 

Dan dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ 
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS An-Nahl [16]:97)

FAEDAH MEMPELAJARI AQIDAH ISLAMIYAH
Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya.

Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan tindakannya yang akan menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan merupakan keserasian antara ruh dan jasad, antara siang dan malam, antara bumi dan langit dan antara ibadah dan adat serta antara dunia dan akherat.

Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah:
  • Membebaskan dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
  • Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka.
  • Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).
  • Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridho terhadap segala ketentuan Allah.
  • Aqidah Islamiyah adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.


Dari: Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Baca juga artikel terkait disini

Friday, July 9, 2010

Pengertian Islam dan Iman




Segala puja dan puji hanyalah milik Allah Azza wa Jalla Semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam beserta ahlul baitnya, para shahabatnya, Khulafaur Rasidin, para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in serta para pengikut setia Beliau SAW hingga akhir zaman.


ISLAM berasal dari perbendaharaan kata bahasa Arab "salima yuslimu istislaam" yang berarti tunduk atau patuh. Juga dari kata "yaslamu salaam" yang berarti selamat, sejahtera, atau damai.

Menurut kaidah tata-bahasa Arab, pecahan kata Islam mengandung pengertian:
  • Islamul wajh = ikhlas menyerahkan diri kepada Allah,
  • Istislama = tunduk secara total kepada Allah,
  • Salaamah atau Saliim = suci dan bersih,
  • Salaam = selamat, atau damai sejahtera, dan
  • Silm = tenang dan damai.
Demikian pengertian ISLAM menurut kata sifatnya. Sedangkan orang yang mensifati kata "tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah" seperti dimaksud di atas, dalam bahasa Arab disebut MUSLIM.

Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyariatkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat. 

Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh as berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa as, yang dibawa oleh Isa as dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim as, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syariat-syariat terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah Azza wa Jalla. 

Adapun Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad saw adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menghapus (menasakh) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya. 

Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa as, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa as.

Namun, ketika telah diutus Nabi Muhammad saw kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan lagi menjadi orang muslim. 

Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana dienul Islam, bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Taala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
"Sesungguhnya dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam." (QS Ali-Imran [3]: 19) 

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya." (QS Ali-Imran : 85) [3]

Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad saw dan umatnya.

Allah Azza wa Jalla berfirman, 
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ
" .... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridoi Islam itu jadi agamamu." (QS Al-Maidah [5]: 3) 

Ini adalah dalil (nash) yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara seiman, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka. Agama mereka tidak sama dengan seperti pendahulu mereka yang masih lurus dengan ikhlas mengikuti rasulnya. Ajaran agama mereka telah diselewengkan dengan ajaran dan sejarah yang dibuat oleh orang-orang yang ingkar terhadap rasulnya. Mereka ingkar terhadap kedatangan rasul yang akhir, Muhammad saw, sebagai pembawa risalah yang terakhir dan yang sempurna dari Allah SWT.

Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Taala dengan menjalankan syariat-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zahir maupun batin. Ia mencakup seluruh aspek: akidah, amalan, maupun perkataan.
Namun, jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan.
Adapun Iman adalah amalan batiniah yang berupa akidah dan amalan-amalan hati.

Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Taala sebagai berikut.

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (QS Al-Hujurat [49]: 14) 

Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Taala berfirman, 

فَأَخْرَجْنَا مَن كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِّنَ الْمُسْلِمِينَ
"Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri." (QS Adz-Dzariyat [51]: 35-36) 

Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka. 

Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadis Umar bin Khattab ra bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai Islam dan iman. Beliau menjawab, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah."

Mengenai iman, beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk." 

Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun, jika istilah Islam itu disandingkan dengan iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa itikad (i'tiqad) dan amalan hati. 


Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin Al Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers