Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Tuesday, August 23, 2011

Agama Bangsa Arab Sebelum Kerasulan Nabi Muhammad SAW


Sebelum membaca artikel-artikel dalam kategori “Sirah Nabi” [1] yang membahas sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya jika kita melihat juga sejarah agama-agama bangsa Arab sebelum kerasulan beliau yang kita tahu merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Allah menghendaki bahwa beliaulah yang membawa syari’at-Nya yang dengan itu, wajah dunia pada saat itu berubah menjadi jauh lebih terang, beradab dan lingkungan hidup yang jauh lebih baik. Untuk menggambarkann hal itu, maka hal yang perlu digambarkan secara ringkas pertama kali adalah keadaan Dunia, khususnya bangsa Arab, sebelum munculnya Islam.

Sebelum kedatangan Islam sebagai rahmat Allah untuk alam semesta ini, Jazirah Arab telah dihuni oleh beberapa ideolgi, keyakinan keagamaan. Agama-agama yang sudah ada pada sata itu adalah:

Yahudi
Agama ini dianut orang-orang Yahudi yang berimigrasi ke Jazirah Arab. Daerah Madinah, Khaibar, Fadk, Wadi Al Qura dan Taima’ menjadi pusat penyebaran pemeluknya.1Yaman juga dimasuki ajaran ini, bahkan Raja Dzu Nuwas Al Himyari juga memeluknya. Bani Kinanah, Bani Al Haarits bin Ka’ab dan Kindah juga menjadi wilayah berkembangnya agama Yahudi ini. [2]

Nashara
Agama ini masuk ke kabilah-kabilah Ghasasinah dan Al Munadzirah. Ada beberapa gereja besar yang terkenal. Misalnya, gereja Hindun Al Aqdam, Al Laj dan Haaroh Maryam. Demikian juga masuk di selatan Jazirah Arab dan berdiri gereja di Dzufaar. Lainnya, ada yang di ‘And dan Najran. Adapun di kalangan suku Quraisy yang menganut agama Nashrani adalah Bani Asad bin Abdil Uzaa, Bani Imri-il Qais dari Tamim, Bani Taghlib dari kabilah Rabi’ah dan sebagian kabilah Qudha’ah. [3]

Majusiyah
Sebagian sekte Majusi masuk ke Jazirah Arab di Bani Tamim. Di antaranya, Zaraarah dan Haajib bin Zaraarah. Demikian juga Al Aqra’ bin Haabis dan Abu Sud (kakek Waki’ bin Hisan) termasuk yang menganut ajaran Majusi ini. Majusiyah juga masuk ke daerah Hajar di Bahrain. [4]

Syirik (Paganisme)
Kebanyakan bangsa Arab menyembah patung berhala, bintang-bintang dan matahari yang oleh mereka dijadikan sebagai sesembahan selain Allah. Penyembahan bintang-bintang juga muncul di Jazirah Arab, khususnya di Haraan, Bahrain dan di Makkah, mayoritas Bani Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy. Sedangkan penyembahan matahari ada di negeri Yarnan.

Dahulu, kebanyakan bangsa Arab mengikuti agama Nabi Ibrahim dan dakwah Nabi Isma’il, mereka menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dalam seluruh peribadatan. Setelah melewati beberapa masa, aqidah tauhid luntur. Meski demikian, mereka masih memiliki tauhid dan sebagian syiar agama Nabi Ibrahim sampai kota Makkah dikuasai Bani Khuza’ah. Bani Khuza’ah menguasai Ka’bah selama kurang lebih tiga ratus tahun atau lima ratus tahun. Mulai terjadinya penyembahan terhadap berhala (paganisme) di kalangan bangsa Arab, saat Bani Khuza’.ah dipimpin Amru bin Luhai Al Khuza’i.

Kisahnya sebagaimana disampaikan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab An Najdi, sebagai berikut:

“Adapun kisah Amru bin Luhai dan perubahan agama Nabi Ibrahim, bahwa ia seorang yang berkembang dalam sifat baik dan dermawan, serta memiliki semangat agama yang tinggi, sehingga orang-orang sangat mencintai dan mengikutinya. Karena sifat yang baik inilah, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin. Dia pun menjadi penguasa Makkah dan Ka’bah. Bangsa Arab menganggapnya sebagai ulama besar dan wali."

“Pada suatu waktu, ia bepergian ke negeri Syam. (Di sana), ia melihat mereka (ahli Syam) menyembah patung berhala. Kemudian ia menganggap hal itu baik dan menyangkanya sebagai suatu kebenaraan, karena Syam adalah tempat para rasul dan turunnya kitab suci, sehingga mereka memiliki keutamaan dalam hal itu daripada ahli Hijaz dan yang lainnya."

“Dia pun kembali ke Makkah, (sambil) membawa patung Hubal dan menempatkannya di dalam Ka’bah, serta mengajak ahli Makkah untuk berbuat syirik. Ajakan itu mereka terima. Sedangkan ahli Hijaaz mengikuti ahli Makkah dalam agama, karena ahli Makkah adalah pemilik Ka’bah dan penduduk tanah suci”. [5]

Kemudian Amru bin Luhai mendapatkan patung-patung kaum Nabi Nuh yang telah terpendam akibat banjir taufan dan membagi-bagikan patung tersebut kepada kabilah-kablah Arab. Hal ini diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab:

“Amru bin Luhai adalah seorang dukun yang memiliki jin. Berkatalah jin tersebut kepadanya:

“Percepat perjalanan dan kepergianmu dari Tuhamah dengan kebahagian dan keselamatan. Datangilah Jeddah, nanti kamu akan menemukan patung-patung yang telah jadi. Bawalah ke Tuhamah, dan jangan hadiahkan. Serulah bangsa Arab untuk menyembahnya, nanti mereka akan menerimanya,”

Lalu ia mendatangi Jeddah dan mencari patung-patung tersebut dan membawanya ke Tuhamah. Ketika datang musim haji, maka ia mengajak bangsa Arab untuk menyembahnya”. [6]

Oleh karena itu Rasulullah bersabda :

Aku melihat Amru bin A’mir bin Luhai menyeret ususnya di neraka, dan ia adalah orang pertama yang mencetuskan ajaran As Sayaaib[7]. [8]

Patung-patung tersebut adalah Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Allah menyebutkan dalam flrmanNya, (artinya):

Nuh: 23 Dan mereka berkata “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd. Dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”.

Kemudian paganisme merambah ke seluruh bangsa Arab. Hingga akhirnya, setiap rumah memiliki berhala sendiri-sendiri dari berbagai macam benda yang mereka ciptakan sendiri-sendiri. Abu Ar Raja’ Al ‘Atharisi menceritakan:

Kami menyembah sebuah batu. Jika kami dapati batu lain yang lebih bagus, maka kami buang (yang pertama) dan kami ambil yang kedua. Jika kami tidak mendapati batu, maka kami kumpulkan tanah dan kami bershadaqah dengan susu, dan kami thawafi (kumpulan tanah tersebut). [9]

Diantara mereka ada yang menyembah pohon atau malaikat, dan menyatakan malaikat adalah anak perempuan Allah, sebagaimana dikisahkan Al Qur’an, artinya :

An Najm:2l Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki’laki dan untuk Allah (anak) perempuan?

Ada juga yang menyembah jin, lalu jinnya masuk Islam, dan penyembahnya masih menyembahnya. Ibnu Mas’ud menyatakan:

Dulu ada sejumlah orang yang menyembah sejumlah jin, lalu jin tersebut masuk Islam dan mereka (para penyembahnya) tetap berada pada agama mereka. Lalu turunlah firman Allah, (artinya) Al Isra’: 57 : Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan adzabNya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.

Tentang penyembahan mereka kepada malaikat dan jin, telah Allah kisahkan dalam firmanNya, (artinya):

Saba’:40-4l Dan (ingatlah) hari (yang pada waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Allah berfirman kepada malaikat’- “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”.

Bangsa Arab memiliki thaghut-thaghut, berupa rumah keramat menyamai Ka’bah. Diantaranya Al Laata dan Uzza. Mereka memperlakukannya sebagaimana memperlakukan Ka’bah.

Al Hunafa’
Meskipun pada waktu hegemoni paganisme di masyarakat Arab sedemikian kuat, tetapi masih ada beberapa orang yang dikenal sebagai Al Hanafiyun atau Al Hunafa’. Mereka tetap berada dalam agama yang hanif, menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya serta menunggu datangnya kenabian.

Diantara mereka adalah Qiss bin Sa’idah Al lyaadi, Zaid bin ‘Amru bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Abu Qais bin Abi Anas, Khalid bin Sinan, An Nabighah Adz Dzubyani, Zuhair bin Abi Salma, Ka’ab bin Luai bin Ghalib, Umair bin Haidab Al Juhani, ‘Adi bin Zaid Al ‘Ibadi, penyair Zuhair bin Abi Salma, Abdullah Al Qudhaa’i, Ubaid bin Al Abrash Al Asadi, Utsman bin Al Huwairits, Amru bin Abasah Al Sulami, Aktsam bin Shaifi bin Rabaah dan Abdul Muthalib kakek Rasulullah[10]

--------------------
Catatan kaki:
[1] As Sirah An Nabawiyah Abdul Qadir Abu Faaris, Op.Cit. hlm.82.
[2] As Sirah An Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah. Op.Cit. hlm.71
[3] Ibid. hlm,71 -72
[4] Ibid, hlm. 71.
[5] Mukhtashar Sirat Ar Rasul, karya Muhammmad bin Adul Wahab At Tamimi, tahqiq Hana’ Muhammad Jazaamati, Cetakan Keenam, Tahun 1421 H, Dar Al Kitab Al Arabi, Bairut, hlm.15.
[6] Ibid, hlm. 50.
[7] As-Saya’ib: ‘Adalah onta yang tidak boleh diberikan beban dan dikhususkan untuk nadzar, sehingga dilepas makan minum apa saja dan tidak menjadi tunggangan.’
[8] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Manaqib, Bab Qishah Khuza’ah, no. 3260.
[9] HR Al-Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Maghazi, Bab Wafd Bani Hanifah Wa Hadits Tsumamah bin Atsaal, no. 3027.
[10] As Sirah An Nabawiyah Fi Dhu’l Al Mashadir Al Ashliyah. Op.Cit. hlm.72 dan 77.


[Sumber: Majalah As Sunnah, Edisi 01, Tahun IX, 1426H, 2005]

Monday, August 22, 2011

Melihat Allah Subhanahu Wata'ala?





Para pembaca yang di muliakan Allah,
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita diatas agama yang lurus, agama yang Haq dan yang di ridhoi-Nya. “Inad-diina indal laahil islam”

Segenap puji dan syukur diperuntukkan hanya bagi Allah ‘Azza wa alla, karena dengan taufiq dan ‘inayah-Nya jualah yang telah menggerakkan hati kami untuk menyampaikan sepenggal ayat maupun hadits, dengan harapan agar kita sekalian dapat lebih memahami kandungan isi dari al-Hadits yang merupakan Sunnah dari Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam dan yang merupakan sumber hukum atau pedoman kedua sesudah petunjuk Al-Qur’an, bagi pembentukan dan pembinaan insan serta masyarakat muslim dalam segala bidang kehidupan.

Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam telah bersabda dalam khutbah beliau yang terakhir,
“Aku tinggalkan bagimu dua macam pegangan, yang jika kamu berpegang teguh dengan keduanya, maka kamu tidak akan sesat selamanya. Yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah” kepada kita sekalian sebagai ummatnya. Karena itu tidaklah dapat disangkal bagaimana pentingnya mengetahui dan memahami hadits di samping Al-Qur’an.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, seorang manusia paripurna utusan Allah, yang menjadi rahmat bagi sekalian alam, juga kepada keluarga (ahlul bait)nya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman.

Perihal Melihat Allah

Allah ‘Azza wa Jalla, adalah Dzat Yang Maha Ghaib, Dialah Pencipta para makhluq ghaib yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala manusia, kecuali dengan seizin-Nya, namun kita mengenal mereka sebagai Malaikat, Syaitan, dan Jin.
DIA juga yang menciptakan Alam-alam ghaib yang hingga saat ini juga tidak dapat kita lihat dengan mata kepala kita (invisible), kecuali dengan izin-Nya kepada manusia-manusia yang Khusus seperti para Nabi, suatu alam yang tidak diketahui bagaimana bentuknya, dimana letaknya dan siapa sajakah penghuninya? Itulah alam-alam ghaib yang mungkin pernah kita dengar namanya yaitu; alam-alam--Qubur, Barzah, Malakut, Zabarut, Sidhratal Muntaha, ‘Arsy, Surga maupun Neraka dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi, kita pernah membaca firman Allah Ta’ala di dalam ayat al-Qur’an tentang kejadian manusia dan jin yaitu

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”
[QS Adz-Dzariyaat [51]:56)

Dalam hal ini, meskipun sama-sama di ciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya, namun anehnya kita manusia tidak mampu melihat wujud jin atau syaitan apalagi, konon pula melihat malaikat dalam wujud yang sebenarnya, sebaliknya jin-setan dan malaikat, semuanya dapat melihat wujud asli kita sebagai manusia.
Termasuk ke-khususan jin, mereka mampu melihat manusia, namun sebaliknya manusia tidak mampu melihat mereka dalam wujud aslinya.

Allah SWT berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS Al-A'rof [7]:27)

Bekata Syaikhul Islam Rahimahullah: "Ia dinamakan jin karena ketertutupan-nya dari pandangan manusia."

Tidak seorangpun mampu melihat jin, kecuali apabila mereka telah mengubah diri mereka (menjelma) dalam beberapa bentuk dan tentunya dengan se-izin Allah SWT.
Kita percaya, bahwa setiap anak manusia pasti di temani oleh dua malaikat (Raqib & Atid) yang bertugas pencatat amal baik dan pencatat amal buruk setiap manusia, yang semuanya akan terhimpun dalam suatu kitab amalan masing-masing manusia yang akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah Azza wa Jalla di yaumil akhir kelak.

Begitu juga halnya dengan para jin. Mereka juga di temani oleh malaikat pencatat amal baik-buruknya, dan akan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah.
Sebagai manusia, kita pasti tidak mampu melihat kedua malaikat yang selalu menemani kita siang dan malam tersebut, sebaliknya, kedua malaikat itu dapat melihat wujud kita yang sebenarnya bahkan melihat apa yang sedang kita lakukan sehari-hari yang kemudian akan mereka catat dalam buku logbook kita masin-masing. Sama halnya seperti ketidakmampuan manusia untuk melihat malaikat, kita manusia juga tidak mampu melihat wujud jin yang ghaib,kecuali dengan izin Allah.

Sebaliknya, dapatkan para jin (yang mampu melihat wujud manusia) itu melihat wujud asli malaikat yang menemani dan mencatat perbuatan masing-masing mereka sepanjang siang dan malam tersebut? Jawabannya adalah Tidak! Jin tidak punya kemampuan untuk melihat malaikatnya masing-masing, yang ternyata adalah makhluq ghaib juga bagi mereka.
Begitu jugalah halnya dengan para malaikat yang ghaib, yang mampu melihat para jin (yg juga ghaib). Mereka juga terhijab dengan sesuatu yang lebih tinggi kedudukannya dari pada mereka sendiri misalnya: malaikat yang menghuni langit yang pertama, tidak bisa melihat sosok malaikat penghuni langit kedua, kecuali dengan izin Allah. Malaikat penghuni langit kedua tidak bisa melihat sosok malaikat penghuni langit ketiga.
Begitulah seterusnya hingga malaikat penghuni langit keenam tidak mampu melihat sosok malaikat penghuni langit ke tujuh.

Lantas, jika kita tanyakan "Dapatkah para malaikat melihat Allah?"
Jawabannya adalah Tidak! Kecuali dengan se-izin-Nya!
Artinya, jika untuk melihat wujud asli dari para makhluq ghaib ciptaan Allah SWT seperti di atas saja kita selaku manusia sudah tidak mampu, maka bagaimana mungkin kita dapat melihat DIA Sang Maha Quddus, Tuhan yang menciptakan mereka semua?

~ Wallahu A’lam Bis Showab.

Dari Masruq r.a, katanya: “Pada suatu waktu ketika aku sedang duduk dekat ‘Aisyah r.a., dia berkata kepadaku, “Hai Abu Aisyah (nama gelar Abu Masruq, -pen), Ada tiga ‘perkara’, barangsiapa yang mengatakan satu di antaranya, maka berarti orang itu mengatakan suatu kebohongan besar terhadap Allah,” Aku bertanya, “Apakah itu?” Jawabnya, "Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam pernah melihat Tuhan-Nya, maka dia itu sesungguhnya telah mengatakan kebohongan besar terhadap Allah". Kata Masruq, “Ketika itu aku sedang bersandar, lalu aku duduk seraya berkata: “Ya, Ummul Mukminin! Tunggu sebentar, dan jangan tergesa-gesa. Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Sesungguhnya dia telah melihatnya di tepi langit yang terang.” (QS Takwir:23), dan “Sesungguhnya dia telah melihatnya diwaktu yang lain.” (QS An-Najm:13). Jawab ‘Aisyah, ”Akulah orang yang pertama-tama dari umat ini yang menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya yang terlihat itu adalah Jibril. Aku belum pernah melihatnya dalam bentuknya yang asli selain dua kali itu. Ketika ia turun dari langit, sebagian tubuhnya tertutup antara langit dan bumi.”  
Kata ‘Aisyah selanjutnya, “Belum Anda dengarkah firman Allah yang mengatakan:

لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Penglihatan tidak sampai kepada-Nya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan. Dia itu lemah lembut dan Maha Tahu.” (QS Al-An’am [6]:103)

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْياً أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan tiada seorang pun akan dapat berkata-kata dengan Allah, melainkan dengan wahyu, atau di balik tabir (hijab), atau dikirim-Nya utusan, lalu dengan idzin-Nya diwahyukan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (QS as-Syura [42]:51).

Kata ‘Aisyah melanjutkan: "Orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam menyembunyikan sesuatu ayat dari Kitab Allah (tidak disampaikannya). Maka orang itu sesungguhnya telah berbuat kebohongan besar terhadap Allah."

Firman Allah SWT;

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ
مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai, Rasul!” Sampaikanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu! Apabila itu tidak engkau lakukan , berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya”. (QS al-Maidah [5]:67).

Orang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam tahu apa yang akan terjadi besok. Orang itu sungguh-sungguh telah berbuat kebohongan besar terhadap Allah. 

Firman Allah,

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakan: Tidak seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui apa yang tersembunyi, melainkan Allah.” (QS An-Naml [27]:65).

Dari Abu Dzar r.a., katanya: ”Aku bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam, “Adakah Anda melihat Allah?” Jawab beliau, “Dia Maha Cahaya, bagaimana aku bisa melihat-Nya?”

Dari Abu Musa r.a., katanya: ”Pada suatu ketika Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam mengajarkan kepada kami empat perkara:
  1. Allah ‘azza wa Jalla tidak pernah tidur, dan mustahil Dia tidur.
  2. Allah yang menentukan tinggi atau rendahnya nilai amal seseorang;
  3. Allah menerima amal yang diperbuat seseorang di waktu malam pada siang hari, dan menerima amal siang hari di waktu malam;
  4. Tirai-Nya ialah cahaya.

(Di dalam riwayat Abu Bakar, perawi lain, disebutkan api) Jikalau tirai itu dibuka, maka terbakarlah segala yang ada, dimana penglihatan Allah sampai kepada-Nya.”

Demikianlah sekilas tentang topik “Melihat Allah” yang dapat kami sampaikan, dan kami mohon maaf bila terdapat kekeliruan, karena sebagai manusia biasa, tentulah kami tak luput dari kesalahan, dan hanya kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang kami mohonkan ampunan-Nya.

Terima kasih atas perhatian anda sekalian.
Allhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Azza wa Jalla. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.beserta keluarga dan shahabatnya.

Para pembaca yang di muliakan Allah,
Syafa’at Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam sangatlah penting bagi kita yang belum mengetahui masalah yang ghaib, termasuk apakah kita kelak akan beruntung menjadi ahli surga atau sebaliknya akan tergolong menjadi orang yang merugi karena besarnya dosa-dosa dan belum sempat bertaubatan nashuha, sehingga kelak akan terlempar mengisi jurang-jurang neraka yang azabnya tak terperikan rasanya?

Maka, Barangsiapa yang inginkan pembelaan dari Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam, maka perbanyaklah mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau, agar kelak di yaumil akhir, kita akan memperoleh syafaat dari beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam.

إِنّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِي ماً َ
“ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.”
QS. Al-Ahzab [33]:5)

Friday, August 19, 2011

Empat perilaku yang dilaknat Allah



Abu Thufail berkata, "Suatu ketika Ali bin Abi Thalib di tanya, "Apakah Nabi SAW mengkhususkanmu dengan sesuatu yang seluruh manusia tidak diberinya?" Ali menjawab, "Rasulullah SAW tidak mengkhususkan saya dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada seluruh manusia, kecuali sesuatu yang ada pada sarung pedangku ini."

Lalu dia mengeluarkan secarik kertas yang bertuliskan:

  • Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah,
  • Allah melaknat orang yang mencuri (merubah) batas-batas tanah,
  • Allah melaknat orang yang melaknat (mencaci maki) ke dua orang tuanya,
  • Allah melaknat orang yang melindungi (membantu) orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid'ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim, yaitu memberikan penjelasan tentang hak ibadah, hak orang lain, hak nafs (jiwa), dan hak sunnah.

Jadi jika kita mau merenungi ke-empat hak-hak diatas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb serta Nabi-Nya.

1. Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah
Ini merupakan hak ibadah. Bukankah muara akhir dalam beribadah adalah untuk Allah Ta'ala sebagaimana firman-Nya:


قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
"Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS Al-An'am [6]: 162-163)

Maka, tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar (Haq) melainkan kepada Allah semata, tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nazar melainkan hanya kepada Allah Ta'ala. Dengan sikap seperti ini, seorang muslim bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya dengan benar.

2. Allah melaknat orang yang mencuri (merubah) batas-batas tanah
Maksudnya, dia melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Jika melanggar hak tanak orang lain saja, yang sudah jelas berkaitan dengan masalah dunia terancam dilaknat oleh Allah SWT dan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu, seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya?

3. Allah melaknat orang yang mencerca Ibu-Bapaknya
Ini merupakan salah satu dosa besar! Sebagaimana sahabat 'Abdullaah bin 'Amru bin 'Ash r.a, berkata bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Mencaci Ibu-Bapak, termasuk dosa besar". Para shahabat bertanya; "Adakah orang yang mencaci Ibu-Bapaknya?" Jawab Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam, "Ya, Ada! Dicacinya bapak orang lain, lantas orang itu mencaci bapaknya pula. Dicacinya ibu orang lain, lalu orang itu mencaci ibunya pula."
(Shahih Muslim I/No.70)

4. Allah melaknat orang yang terlibat dalam urusan Bid'ah
Al-Muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid'ah) dan yang merubah sunnah Nabi. Padahal seorang akan dicintai dan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT, manakala orang tersebut mengikuti sunnah Nabi yang mulia Shalallahu 'Alaihi Wassalam. Tidak ada bentuk keta'atan kepada Allah, sebelum ia mentaati dan mencintai Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam. (Tafsir Ibnu Katsir I/504)

Suatu amal akan diterima oleh Allah SWT manakala sejalan dengan ajaran Al Qur'an dan syari'at Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam.

Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama.

Wassalam.

Bahaya Miras, Judi, dan mengundi Nasib


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.



Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr, berjudi, (menyembah) berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
"Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari salat; maka berhentilah kamu (melakukannya)." (QS Al-Maa-idah [5]: 90--91).


1. BAHAYA MIRAS
Maraknya produksi dan penjualan minuman keras di negara kita sekarang ini sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini sepertinya ingin mempertegas bahwa bangsa kita sedang dalam proses menjadi sebuah bangsa yang teler.

Ditambah lagi dengan membanjirnya produk-produk luar negeri, bahkan sedikit demi sedikit mulai dijual bebas. Belum lagi masalah narkoba yang sulit ditanggulangi, juga menjadi masalah yang semakin bertambah setiap harinya. Korbannya tak hanya orang dewasa, tetapi juga pemuda, dan bahkan anak-anak. Bahayanya? O, banyak sekali.


Dapatkah Anda membayangkan apa yang akan dilakukan oleh orang yang sudah kehilangan akal dan kontrol diri? Banyak hal tak terduga yang akan dilakukannya tanpa beban sedikit pun. Mulai dari merusak rumah tangga sendiri, membunuh, merampok, menodong, dan lain sebagainya. Otomatis seseorang akan terhalang dari salat dan mengingat Allah jika berada dalam keadaan teler dan mabuk. Inilah yang memang diinginkan setan.

Keyakinan bodoh pengonsumsi miras bahwa stress bisa hilang, beban pikiran bisa terbang dengan minuman keras, kadang dijadikan suatu alasan untuk membenarkan perbuatannya. Belum lagi alasan-alasan lain yang dibuat-buat. Lebih mengherankan lagi adalah apa yang melandasi pemerintah memberi izin merek tertentu, orang tertentu atau perusahaan tertentu untuk memproduksi, mengimpor, dan menjual minuman keras. Apakah ada survei bahwa bangsa ini sedang membutuhkan minuman keras? Atau mungkin mereka sendiri yang membutuhkannya, lalu melegalkannya untuk memenuhi selera mereka? Wallahu a'lam.

2. BAHAYA JUDI
Penyakit lain adalah Judi. Mental-mental judi jika sudah merasuki jiwa seseorang niscaya akan merusak jiwa dan akalnya. Melegalisasikan perjudian dengan melakukan lokalisasi di wilayah tertentu bukanlah solusi yang tepat.

  • Kami pernah punya pengalaman melihat bagaimana pengaruh judi terhadap pelakunya. Dulu ada yang namanya Hwa-hwe -'Nalo' (Nasional Lotere) yang kemudian dirubah namanya menjadi SDSB.
  • Tetapi, ternyata para penjudi itu tidak hanya puas dengan SDSB. Banyak cara-cara judi yang tak masuk akal yang mereka lakukan. Contohnya, dua pihak yang berjudi sama-sama makan sepotong kecil tebu, setelah itu mereka lemparkan. Nah, ampas siapa yang lebih dulu dihinggapi oleh lalat, maka dialah yang menang. Ironinya, mereka rata-rata adalah orang-orang kurang mampu. Kebanyakan mereka hanya penjual sayuran atau rempah-rempah di pasar mingguan, petani kecil, tukang becak, dan sejenisnya.Sebenarnya hanya ada satu kata untuk miras dan judi, yaitu "perang".
3. RITUAL BERBAU SYIRIK
Satu hal lagi yang dilarang Allah adalah melakukan kurban untuk berhala-berhala atau selain Allah. Bentuknya tidak terbatas hanya pada menyembelih binatang, tetapi juga dengan mempersembahkan sesajen ke laut dan sejenisnya. Perbuatan ini jelas-jelas berbau syirik.

Namun, setan membungkusnya dengan berbagai hal yang berbau Islami, sehingga orang-orang yang tidak mengerti menyangka bahwa apa yang mereka lakukan adalah ajaran Islam, padahal
tidak sama sekali.

Setan tidak hanya masuk melalui pintu-pintu kejahatan untuk menyesatkan manusia, tetapi ia juga masuk melalui pintu-pintu ibadah dengan menimbulkan ritual baru yang dibungkus dengan beberapa hal berbau Islam. Tujuannya tak lain adalah menyesatkan kaum muslimin dan manusia pada umumnya. Di negeri ini ritual-ritaul pengorbanan dan persembahan sesajen masih sangat sering dilakukan di berbagai pelosok. Yang menyedihkan adalah mereka yang melakukannya notabene adalah kaum muslimin, bahkan mereka menganggap hal itu ajaran Islam. Na'udzubillah!

Juga sama halnya dengan mengundi nasib, meramal, dan sejenisnya. Ramalan bintang, shio, membaca telapak tangan, kartu tarot, dan sejenisnya merupakan variasi bentuk dari meramal dan mengundi nasib. Bentuk berbeda, tetapi hakikatnya sama.

Nasib adalah perkara gaib yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah. Para peramal itu hanyamenerka-nerka dan sebagian meneruskan bisikan setan kepadanya. Sesuatu yang bersifat spekulatif kadang-kadang memang mengena, tetapi itu tetap tidak mengubah statusnya dari hal yang spekulatif. Empat perkara yang disebutkan di atas termasuk perbuatan keji, perbuatan setan. Setan memang ingin menjerumuskan manusia ke jurang kekejian. Dua yang pertama merupakan perbuatan yang merusak zhahir kehidupan manusia, walaupun punya pengaruh pada jiwa manusia. sedangkan yang dua terakhir merupakan perbuatan yang merusak akidah manusia.

Semoga Allah senantiasa menurunkan rahmat-inayah dan kasihsayang-Nya serta melindungi kita dari hal-hal yang dilarang-Nya. Amiin.

Tuesday, August 16, 2011

Pengantar Fiqh Islam




PENGERTIAN FIQH

Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :

فَمَالِ هَٰؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa [4]:78)

dan sabda Rasulullah :
Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQH DAN AQIDAH ISLAM

Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.

Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah [5]:6)

b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُم بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml [27]:3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

PENJELASAN  
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQH ISLAM

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

1. AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh:

a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)

b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

2. AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi :

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:

“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:

“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an
Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah.

Oleh karena itu Nabi bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

3. IJMA’ PARA ULAMA
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.

Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

4. QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.

Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Wallahu A’lam .
Dinukil dari Majalah Fatawa

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers