Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, December 29, 2012

Allah Menjamin Sorga Bagi Seluruh Umat Nabi Muhammad SAW

 
Di dalam Al-Quran Al-Karim dan Hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam terdapat sekian banyak kabar gembira dan ancaman dari Allah kepada  hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Jika Allah telah berjanji, maka tidak ada keraguan bahwa Dia pasti akan menepatinya. Demikian pula jika Dia telah memberi peringatan dan ancaman kepada hamba-Nya maka Dia pasti akan membuktikan ancaman tsb jika Dia tidak berkenan mengampuni kesalahan-kesalahan hamba-Nya.

Di antara janji Allah kepada seluruh hamba-Nya tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya adalah; kabar gembira bahwa siapa pun dijamin akan masuk surga jika sungguh-sungguh beriman dan bertakwa kepada-Nya serta mengikuti dan mentaati syariat Rasul-Nya, shallallahu alaihi wasallam.

Berikut ini adalah beberapa di antara ayat-ayat Al-Quran dan hadits shahih yang menerangkan hal itu. 

1. Allah ta’ala berfirman:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 25)

2. Allah ta’ala berfirman:
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu’min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; Itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 72)

3. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka; dan Rabb mereka memelihara mereka dari azab neraka. Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan”. Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli.” (QS. Ath-Thuur: 17-20)

4. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.” (QS. Al-Kahfi: 107-108)

5. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shalih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah.” (QS. Al-Kahfi: 30-31)

6. Allah ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya dibawa ke surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya. “Dan mereka mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja kami kehendaki”. Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.” (QS. Az-Zumar: 73-74)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ : « مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku pasti masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan (tidak mau masuk surga).” [HR. Al-Bukhari no.6851, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu].

BEBERAPA PELAJARAN PENTING 
DARI FIRMAN ALLAH DAN HADITS NABI 
DALAM PERKARA INI


PELAJARAN PERTAMA
Orang-orang yang dijanjikan oleh Allah pasti masuk Surga dan bebas dari siksa api Neraka adalah siapa saja yang memiliki sifat dan perilaku sebagai berikut:
  1. Beriman kepada Allah dengan baik dan benar.
  2. Selalu giat dalam beramal shalih atau bertakwa kepada Allah kapan dan dimana pun ia berada.
  3. Selalu bersikap taat dan tunduk serta mengikuti syariat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di dalam Al-Quran Al-Karim dan Al-Hadits yang shohih.
PELAJARAN KEDUA
Amal Shalih atau perbuatan baik adalah bagian dari makna dan hakekat iman. Bahkan amal shalih adalah konsekuensi dan tanda kejujuran iman seorang hamba. Maka dari itu, dalam banyak ayat, Allah ta’ala selalu menyebutkan amal shalih berdampingan dengan iman.

PELAJARAN KETIGA
Makna iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah: Pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan. Iman dapat bertambah dan menguat dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah dan akan berkurang dan melemah dengan berbuat maksiat kepada Allah, dan mengikuti seruan-seruan setan.

Dengan demikian, seorang muslim yang berbuat maksiat atau dosa besar selain kesyirikan, kekufuran dan kemunafikan yang besar, maka tidak boleh "dikeluarkan" dari agama Islam atau divonis sebagai orang kafir dan musyrik atau murtad. Akan tetapi menurut aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa muslim yang berbuat dosa besar hanya dihukumi di dunia ini sebagai muslim fasiq, atau mukmin yang lemah dan tidak sempurna imannya. Sedangkan di akhirat ia berada di bawah kehendak Allah, atau terserah kepada Allah.

Jika Allah, insha Allah, berkehendak mengampuni dosa-dosanya, maka ia akan terbebas dari siksa api Neraka dan berhak masuk surga secara langsung. Namun jika Allah tidak mengampuninya, maka ia akan disiksa di dalam api Neraka sesuai dengan kadar dosa-dosanya, lalu setelah itu ia akan dikeluarkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan yang hakiki dan kekal abadi.

PELAJARAN KEEMPAT
Jalan yang dapat mengantarkan seorang hamba memasuki  Surga Allah hanya  satu, yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan diikuti oleh para sahabat beliau radhiyallahu anhum ajma’in. Hal ini diterangkan dalam salahsatu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

« مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ »
“Barangsiapa mentaatiku, ia pasti masuk Surga!”

Ini sesuai dengan firman Allah ta’ala yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah (surga-surga) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).

PELAJARAN KELIMA
Barangsiapa yang mengaku CINTA RASUL dan ingin masuk Surga, akan tetapi pada kenyataannya ia selalu menyelisihi dan menentang ajaran beliau dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan adab, maka pengakuan cintanya kepada Rasul itu bohong, dan ia dipastikan jatuh dalam kesesatan dan berakhir di Neraka. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Barangsiapa menentang Ar-Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalannya kaum mukminin, maka Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan (berpaling dari kebenaran), dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’ : 115).

Demikian beberapa pelajaran penting dari ayat-ayat di atas secara ringkas. Semoga dapat dipahami dan bermanfaat bagi kita semua.
Amin, Ya, Rabbal Alamin.


[Klaten, 21 April 2012 | Muhammad Wasitho Abu Fawaz]


Syafaat


Syafaat berasal dari kata asy-sayafa’ (ganda) yang merupakan lawan kata dari al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat, dan sebagainya. Ini pengertian secara bahasa.

Sedangkan secara istilah, syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak madharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang yang diberi syafaat atau menolak madharat untuknya.

Syafaat terdiri dari dua macam
Macam Pertama, syafaat yang didasarkan pada dalil yang kuat dan shahih, yaitu ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya, atau yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas; karena Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bertanya, 

“Wahai Rasulullah, siapa yang paling bahagia mendapatkan syafaatmu?” Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan, ‘Laa ilaaha illallah’ ikhlas dari dalam hatinya.

Syafaat mempunyai tiga syarat

  1. Allah meridhai orang yang memberi syafaat.
  2. Allah meridhai orang yang diberi syafaat.
  3. Allah mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
Syarat-syarat di atas secara global dijelaskan Allah dalam firman-Nya,

وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Kemudian firman Allah, “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)

Lalu firman Allah,
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً
“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha: 109)

Kemudian firman Allah,

يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati kerana takut kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 28)

Agar syafaat seseorang diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas. Sedangkan menurut penjelasan para ulama, syafaat yang diterima, dibagi menjadi dua macam:
 
Pertama, syafaat umum. Makna umum, Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syafaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, nabi-nabi lainnya, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka memberikan syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang-orang beriman yang berbuat maksiat agar mereka keluar dari neraka.

Kedua, syafaat khusus, yaitu syafaat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafaat terbesar yang terjadi pada Hari Kiamat. Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yan tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orang-orang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bisa memberikan syafaat hingga mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk kedudukan terpuji yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya,

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’: 79)

Di antara syafaat khusus yang diberikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaatnya kepada penghuni surga agar mereka segera masuk surga, karena penghuni surga ketika melewati jembatan, mereka diberhentikan di tengah jembatan yang ada di antara surga dan neraka. Hati sebagian mereka bertanya-tanya kepada sebagian lain, hinngga akhirnya mereka bersih dari dosa. Kemudian mereka baru diizinkan masuk surga. Pintu surga itu bisa terbuka karena syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Macam Kedua, syafaat batil yang tidak berguna bagi pemiliknya, yaitu anggapan orang-orang musyrik bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memerintahkan syafaat kepada Allah. Syafaat semacam ini tidak bermanfaat bagi mereka seperti yang difirmankan-Nya,

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Mudatstsir: 48)

Demikian itu karena Allah tidak rela kepada kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu dan tidak mungkin Allah memberi izin kepada para pemberi syafaat itu, untuk memberikan syafaat kepada mereka; karena tidak ada syafaat kecuali bagi orang yang diridhai Allah. Allah tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kafir dan Allah tidak senang kepada kerusakan.

Ketergantungan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan mereka dengan menyembahnya dan mengatakan, “Mereka adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah,” (QS. Yunus: 18) adalah ketergantungan batil yang tidak bermanfaat. Bahkan yang demikian itu tidak menambah mereka kecuali semakin jauh dari Allah, karena orang-orang musyrik meminta syafaat kepada berhala-berhala dengan cara yang batil, yaitu menyembahnya. Itu kebodohan mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebenarnya tidak lain hanya menjadikan mereka semakin jauh.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007 | Konsultasi Syariah Berikut beberapa catatan tentang Syafaat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW


Thursday, December 27, 2012

Mengapa hanya Rasulullah Saw yang memiliki syafaat paling besar?




Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat.” Ini adalah sebuah pernyataan yang menunjukkan kepemimpinannya kepada semua manusia sebagai bentuk kenikmatan Allah dan kemuliaan yang diberikan-Nya kepadanya, bukan bentuk kesombongan. Allah SWT berfirman: 

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)." (QS. Ad-Duha: 11)

Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam tanpa ada kesombongan, di tanganku bendera pujian tanpa ada kesombongan, Adam dan manusia di bawahnya berada di bawah benderaku tanpa ada kesombongan.”

Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin semua manusia di dunia dan akhirat. Di akhirat, semua manusia mengakui kepemimpin dan keutamaannya, baik manusia yang beriman maupun durhaka, manusia yang bahagia maupun celaka. Sementara itu, di dunia, tidak semua manusia mengakui kepemimpinannya kecuali manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Pemimpin kaum adalah orang yang paling mulia dan murah hati di antara mereka, yang memerhatikan perkara mereka, serta berusaha memberikan kebaikan urusan mereka. Pemimpin kaum adalah orang yang dituju dalam kesedihan dan berbagai bencana serta diharap kebaikannya dalam keadaan-keadaan sulit dan sempit.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menyatakan posisi kepemimpinannya agar mereka datang kepadanya dalam keadaan-keadaan yang paling menyulitkan,yaitu saat peristiwa bangkitnya kiamat dan prahara-praharanya. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan manusia dari bencana dan kesulitan saat itu kecuali pemimpin mereka. Ketika itu manusia melihat kepemimpinan Rasulullah SAW dan mengakuinya.

Imam Nawawi mengatakan dalam Syariah Shahih Muslim, “Allah memberikan ilham kepada manusia untuk meminta syafaat kepada Adam dan Rasul sesudahnya pada saat dimulainya hisab dan tidak memberikan ilham kepada mereka untuk meminta syafaat kepada Nabi SAW untuk pertama kalinya. Hal ini adalah untuk memperlihatkankeutamaan Nabi SAW. Ada kemungkinan Rasul lainnya mampu memberikan syafaat ini sebelum mereka meminta syafaat kepada Nabi Muhammad SAW. Apabila mereka memintanya dari Rasul-rasul lain selain Muhammad dan para rasul ini tidak mampu memberikan apa yang mereka minta, lalu mereka meminta syafaat dari Muhammad, dan beliau sanggup memberikan syafaat ini maka ini menunjukkan puncak pangkat, kesempurnaan kedekatan, dan kebesaran pemberian petunjuk dan ketenangan.”

An-Nawawi mengatakan, “Hadis ini juga menunjukkan keutamaan Nabi SAW di atas semua makhluk dari para rasul, anak Adam, dan malaikat. Sesungguhnya tidak ada yang mampu memberikan perkara besar ini – syafaat al-uzhma(agung) –selain beliau. Wallahu a’lam.”

Tidak seorang pun dari para rasul yang dapat memberikan syafaat besar karena saat itu dipenuhi dengan murka Allah SWT. Oleh karena itu, setiap rasul mengatakan, “Sesunggguhnya Tuhan pada hari ini murka dengan murka yang belum pernah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu setelahnya.” Maka tidak dapat mensyafaati kecuali kekasih Allah yang paling terkasihi dan paling dekat dengan-Nya, yaitu Muhammad SAW.

Agar seseorang tidak terjatuh dalam keraguan mengenai apakah para nabi salah atau berdosa padahal mereka adalah maksum, hal tersebut perlu dijelaskan di sini.

Para ulama terdahulu telah memberikan jawaban atas apa yang dinisbatkan kepada para nabi berupa perbuatan dosa, setelah Al-Qur’an dan sunah menunjukkan dengan jelas kemaksuman mereka dari penyelewengan dan perbuatan haram. Setiap ulama terdahulu telah memberikan jawaban yang di dalamnya terdapat penjelasan kesucian para nabi, kesempurnaa, kemuliaan, dan kebebasan mereka dari perbuatan-perbuatan keji dan buruk.

Jika bukan karena khawatir memperpanjang lebar , kami akan menyebutkan disini pendapat-pendapat mengenai hal itu dengan terperinci. Akan tetapi, disini kita menyebutkan satu pendapat yang masyhur di kalanan para ulama yang disebutkan dalam kitab-kitab ulama salaf dan dijelaskan dalam kitab-kitab ulama khalaf.

Dosa-dosa yang dinisbatkan kepada para nabi yang tersebut di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW sama sekali bukan seperti dosa-dosa yang dilakukan oleh selain mereka. Akan tetapi, ini adalah bagian bab kaidah yang ditetapkan dalam masyhur di kalangan semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf.

Kaidah ini berbunyi, “Kebaikan bagi al-abrar adalah keburukan bagi al-muqarrabun, mubah bagi orang awam adalah keburukan bagi orang al-abrar.” Dosa yang dinisbatkan kepada para nabi dalam suatu ayat atau hadis adalah dosa jika dikaitkan dengan posisi mereka yang tinggi dan khusus, walaupun bukan dosa jika dikaitkan dengan selain mereka, bahkan dianggap kebaikan. Wallahu a’lam.

Akhir do’a kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.


[Dari: Mahir Ash Shufiy]

Tuesday, December 25, 2012

Surah Makkiyah Dan Surah Madaniyah


LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kitab suci sekaligus sumber rujukan utama bagi umat Islam. Memahami kandungan Al-Qur’an tentu akan sangat bermanfaat sekali karena di dalam alqur’an tidak semata memuat masalah-masalah keimanan, ibadah, dan sejarah umat terdahulu. Al-Qur’an juga memperhatikan masalah sains, gender, ham, dan permasalahan lain yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. Hal tersebut menandakan bila sebenarnya manusia memang telah dipersiapkan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, dan tuhan membekali manusia dengan beberapa perangkat yang ada, maka Al-Qur’an adalah salah satu perangkat tersebut.

Menurut fakta histories, Al-Qur’an tidak langsung diturunkan dalam sekali waktu. Hal mana dengan adanya metode berangsur-angsur, ayat-ayat dari Al-Qur’an menjadi sebuah tanda dari tuhan agar Nabi Muhammad menjadi lebih kuat dalam berdakwah, bisa juga, ayat-ayat tertentu menjadi makin relevan dengan sebuah masalah yang tengah dihadapi oleh sang nabi beserta umatnya. Walau sebenarnya bisa saja Al-Qur’an diturunkan dalam sekali tempo, tetapi kenyataannya tidak seperti itu.

Ayat-ayat atau surah Al-Quran juga dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Makkiyah dan Madaniyah. Pengklasifikasian ini meski disandarkan pada tempat di mana ayat atau surah tersebut turun, tapi bila ditinjau lebih dalam lagi akan ditemukan bila sebenarnya kandungan dua surah tersebut menunjukkan hal yang tidak sama pula.

I. DEFINISI MAKIYAH DAN MADANIYAH
Ada beberapa pendapat tentang definisi surah Makkiyah dan Madaniyah ini, namun ada tiga pendapat yang masyhur yang dijadikan rujukan. 

Pertama, surat Makkiyah adalah surah yang diturunkan di Mekkah walaupun turunnya itu setelah hijrah. Sedangkan surat Madaniyah adalah surah yang dirunkan di Madinah. Hanya saja, surah yang turun di daerah sekitar Mekkah untuk selanjutnya dikategorikan sebagai surah Makkiyah, demikian juga dengan daerah-daerah sekitar madinah, maka secara langsung menjadi surah Madaniyah. Klasifikasi ini tentunya berdasar pada lokasi tempat surah tersebut diwahyukan, meski tidak semua surah bisa digeneralisir dalam dua kelompok tadi. Seperti contoh ayat berikut:

At Taubah: 4 
Ayat ini turun di Tabuk

Az Zukhruf: 45
"Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul kami yang Telah kami utus sebelum kamu: “Adakah kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah?”

Ayat ini turun di Baitul Maqdis pada malam Isra’ dan Mi’raj. Maka kemudian dari sini bisa dipahami kalau pembatasan yang menggunakan pendekatan area wahyu turun, maka ayat yang turun selain di Mekkah dan Madinah tidak masuk dalam dua klasifikasi tersebut.

Kedua, ayat Makkiyah adalah yang mengkhitobi penduduk Mekkah, sementara ayat Madaniyah mengkhitobi penduduk Madinah. Ayat-ayat yang dimulai dengan lafadz “Ya Ayyuha Al-Naasu” adalah ayat Makkiyah, sebab kebanyakan penduduk Mekkah terdiri dari kaum kafir, sehingga mereka dikhitobi dengan yang demikian. Sedangkan ayat yang dimulai dengan lafadz”Ya Ayyuha Al-ladziina Aamanu” adalah ayat Madaniyah, karena penduduk Madinah kebanyakan terdiri dari kaum beriman, walau penduduk Madinah tidak semuanya beriman. Sebagian ulama menyamakan “Ya Bani Adam” dengan “Ya Ayyuhan Naasu”.

Penggolongan yang kedua ini mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya adalah, bahwa tidak semua surah dalam Al-Qur’an dimulai dengan lafadz“Ya Ayyuha Al-Naasu” atau juga lafadz”Ya Ayyuha Al-ladziina Aamanu”, sebagaimana permulaan surah al-ahzab:

Al Ahzab: 1
Hai nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,"

Dan permulaan surah Al-Munafiquun

Al Munaafiquun ayat 1
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta."

Selanjutnya, dalam penggolongan ini sebenarnya tidak berlaku secara umum karena pada beberapa kejadian dapat ditemukan surah Madaniyah menggunakan lafadz ”Ya Ayyuhan Naasu”, contohnya pada surah An-Nisa’. Surah ini tergolong Madaniyah.

Maka, sebagian ulama berpendapat mengenai pengertian yang kedua ini bila yang dimaksud surah Makkiyah adalah kebanyakan surah yang diawali ataupun terdapat lafadz ”Yaa Ayyuha An-Nasu”, sementara surah Madaniyah adalah kebanyakan surah yang diawali atau terdapat lafadz ”Yaa Ayyuha Al Ladziina Amanu”.

Ketiga, pengertian surah Makkiyah Madaniyah dijelaskan berdasarkan hijrah rasul. Wahyu yang turun sebelum hirah maka disebutlah golongan Makkiyah, sementara yang turun selepas hijrah dinamakan Madaniyah. Landasan yang dipakai oleh para ulama dalam menjelaskan definisi ini adalah surah Al-Maidah ayat 3:

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini] orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa] Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Ayat ini merupakan wahyu yang turun di Arafah pada haji wada’.

Dan An-Nisa: 58
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat."

Ayat tadi termasuk golongan Madaniyah meski turun di dalam Ka’bah di kota Mekkah pada waktu fathul Makkah. 

Dari definisi yang memakai pembatasan waktu hijrah ini dapat dipahami bila surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan sebelum masa hijrah meskipun turunnya di luar kota Mekkah, sementara surah Madaniyah adalah surah-surah yang diturunkan setelah nabi hijrah ke Madinah meskipun surah tersebut turun di Mekkah dan di luar Madinah.

II. MANFAAT MEMAHAMI SURAH MAKIYAH DAN SURAH MADANIYAH
Manfaat mengetahui perbedaan dari dua jenis surah tersebut adalah, bisa membedakan mana yang nasikh dan mansukh. Apabila ada dua ayat atau lebih yang membicarakan obyek yang sama, tetapi kandungan hukumnya berbeda, maka bisa dipahami bila ayat Madaniyah menasikh ayat-ayat Makkiyah karena ayat Madaniyah turun terakhir. Jadi ketetapan hukumnya lebih kuat ayat-ayat Madaniyah.

Manfaat lain dari mengetahui surah Makkiyah dan Madaniyah adalah mengetahui tarikh tasyri’ dan pentahapan dalam pentasyri’an hukum secara umum. Bahwa pada mulanya Nabi membangun pondasi iman di dalam dakwahnya yang pertama, yaitu di kota Mekkah serta sebelum hijrah. Hal tersebut bertujuan supaya pondasi keagamaan nanti yang akan dibangun benar-benar kuat. Kemudian setelah hijrah, maka tugas Nabi selanjutnya tidak sekedar masalah iman, tapi juga membangun masyarakat Islam, menetapkan hukum-hukum syariat yang bisa jadi belum terjelaskan secara detail sewaktu belum hijrah.

III. CARA MENGETAHUI SURAH MAKIYAH DAN SURAH MADANIYAH
Metode untuk sampai dengan tepat terhadap pemberian identitas apakah ini surah Makkiyah atau Madaniyah, yang paling tepat dan selamat dari segala fitnah adalah dengan naqlis simai (kutipan lisan), yaitu suatu metode mengenali jenis surah yang disandarkan pada periwayatan dari salah satu sahabat periode wahyu, dan mereka menyaksikan turunnya ayat, atau dari para tabiin yang mendengar dari para sahabat sendiri.

Al Baqilani berkata, sebagaimana dikutip kembali oleh Fahd bin Abdirrahman Arrumi:

"Pengetahuan tentang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah sungguh mengacu pada hafalan para sahabat dan tabiin. Tidak berasal dari nabi sendiri, meski berupa komentar. Sebab beliau tidak diperintahkan, dan allah belum menjadikan hal tersebut suatu ilmu yang menjadi kewajiban umat. Maka kita diwajibkan mengetahui hal tersebut untuk bisa melihat sejarah nasikh mansukh, dan itu diketahui tanpa nash dari rasul."

Di antara contahnya adalah surah Al Anfal 64
"Hai nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu."

Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut diturunkan setelah Umar masuk Islam. Sehingga ayat ini diketahui sebagai ayat Makkiyah.

Metode yang kedua adalah qiyas ijtihadi, yaitu suatu upaya mengenali surah yang ada melalui karakteristik surah itu sendiri. Karena tidak semua surah diketahui tempat turunnya, atau tidak semua surah ada periwayatan dari para sahabat terkait di mana persisnya lokasi turunnya ayat tersebut. 

Pemahaman tentang kebudayaan masyarakat Mekkah dan Madinah serta penelitian sejarah yang valid sangat mendukung proses qiyas ijtihadi ini. Hal itu sangat beralasan mengingat pengetahuan akan budaya dan sejarah suatu masyarakat mampu membantu peneliti atau ulama dalam mempermudah tugasnya. Sehingga dari metode ini bisa didapat beberapa jalan untuk dapat mengenali apakah ini termasuk surah Makkiyah, di antaranya adalah:

Setiap surat yang di dalamnya terdapat lafadz kalla, maka ia termasuk Makkiyah. Hikmah dari lafadz kalla adalah, lafadz ini ditujukan pada penduduk Mekkah yang terkenal dengan sikap yang keras kepala, maka lafadz ini bermaksud untuk mengingatkan penduduk Mekkah. Kalimah kalla disebut 33 kali dalam 15 surah, semuanya dalam separo terakhir Al-Quran.

Berbeda dengan penduduk Madinah yang sifat dan tabiat mereka tidak sekeras penduduk Makkah, maka gaya bahasa yang dipakai pun menjadi lain, hal ini menunjukkan bila dalam upayanya merubah kondisi suatu kaum, agama Islam juga memperhatikan aspek budaya suatu masyarakat supaya nilai-nilai agama menjadi lebih mudah dicerna, karena tidak bertentangan dengan budaya mereka.

Setiap surah yang terdapat ayat sajadah adalah surah Makkiyah. Seperti Al-A’raf, Ar-Ra’d, An-Nahl,Al-Isra’,Maryam, Al-Hajj,Al-Furqon, An-Naml, As-Sajdah, Al-Fushshilat, An-Najm, Al-Insyiqaq, Al-Alaq.

Menurut ijma’ ulama, setiap surah yang dimulai dengan huruf hijaiyyah (tahajji) selain Al Baqarah dan Ali Imran adalah Makkiyah.

Setiap surah yang di dalamnya terdapat kisah para nabi dan rasul kecuali surah Al-Baqarah (karena Al Baqarah adalah surah Madaniyyah).

Semua surah yang menceritakan Adam dan Iblis adalah surah makkIyah, kecuali surah Al Baqarah.

Setiap surah yang dimulai dengan ungkapan Ya Ayyuha An Nasu, kecuali surah Al Hajj.

Surah yang ayatnya pendek-pendek.

Setiap surah yang dimulai dengan qosam, ada lima belas surah yang dimulai dengan qosam, yaitu Ash-Shaffat, Az-Zariat, Ath-Thur,An-Najm,Al-Mursalat, An-Naziat, Al-Buruj,Ath-Thariq,Al-Fajr, As-Syams,Al-Lail,Adh-Dhuha, At-Tin, Al-Adiyat, Al-Ashr.

Sedangkan untuk mengenali surah Madaniyah, bisa dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:

Surah yang menjelaskan faraidl dan hudud

Urwah bin az-zubair berkata: ayat-ayat yang mengandung hukuman (had) atau kewajiban (faridhoh), sesungguhnya turun di Madinah. Sedangkan Muhammad bin As-Saib Al Kalbi berkata: setiap surah yang disebut di dalamnya had-had (hudud) dan kewajiban-kewajiban(faraidh) adalah Madaniyah.

Surat yang terdapat keterangan tentang Jihad.

Setiap surah yang mengandung penuturan orang munafik, kecuali surah Al Ankabut. Sebelas ayat yang pertama dari surah Al Ankabut merupakan surah Makkiyah, tetapi setelah itu ayat Madaniyah. Makki bin Abu Thalib Al-Qaisi berkata: setiap surah yang di dalamnya disebut (mengenai) orang-orang munafik adalah Madaniyah. Yang lain menambahkan, kecuali pada surah Al-Ankabut.

Setiap surah yang terdapat lafadz Yaa Ayyuhalladziina Amanu.

Dari alqomah, dari Abdullah Ibn Mas'ud: ya ayyuhalladziina amanu diturunkan di Madinah, sedangkan yang memuat ya ayyuhannas turun di Mekkah. Ibnu Athiyah, Ibnu Al-Faras dan kawan-kawan berkata mengenai kalimah yaa ayyuhalladziina amanu adalah benar, sedangkan mengenai yaa ayyuhannas kadang-kadang juga terdapat pada surah Madaniyah.

Ada perbedaan lain yang dapat dipakai untuk membedakan kedua surah tersebut, hanya saja perbedaan ini tertuju pada makna daripada kedua surah tersebut turun.

Pertama, surah Makkiyah berusaha membangun pondasi keimanan penduduk dengan jalan menawarkan konsep ketauhidan yang lebih masuk akal daripada praktek mereka yang cenderung politheisme dan paganisme. Hingga Allah dalam surah Al-Hajj mencoba memberi kesempatan kepada kafir Mekkah untuk menunjukkan kekuasaan tuhan atau berhala-berhala yang mereka sembah untuk membuat lalat.

Surah Al-Hajj: 73
"Hai manusia, Telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah."

Taklid buta atas nenek moyang juga ingin diluruskan oleh agama Islam, tidak semua apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan ulang. Apalagi ini adalah masalah keimanan serta terkait dengan peribadatan terhadap tuhan. Dalam hal ini, Al-Quran mencoba menegur umat(tidak sebatas penduduk Mekkah) yang cenderung taklid buta terhadap nenek moyang mereka.

Al Baqarah: 170
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.

Kedua, surah-surah Makkiyah mengajak penduduk Mekkah untuk memikirkan ayat-ayat Allah. Baik yang ada dalam diri mereka sendiri atau yang tergelar dalam alam raya. Selain itu pula, penduduk Mekkah diajak untuk memikirkan bila kehidupan ini tidak terputus setelah kematian. Banyak anggapan yang diyakini oleh orang Mekkah bila setelah mati orang tidak akan bangkit kembali. Hal ini adalah sebuah fenomena wajar yang ditemukan bukan hanya dalam penduduk Mekkah.

Mereka yang mempunyai pendapat demikian biasanya terlalu mengagungkan akal pikiran serta logika mereka, sedangkan umat beragama, meski yang disembah sebatas nenek moyang atau dewa alam, tetap mempercayai bahwa setelah kematian akan ada alam lain yang harus dijalani oleh manusia.

Ketiga, surah Makkiyah menegur kebiasaan penduduk Mekkah yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti mengubur anak perempuan yang masih hidup, perang hanya untuk menyelesaikan masalah kecil, pelanggaran kehormatan, memakan harta anak yatim. Al-Quran mencoba mengadakan counter budaya dengan menawarkan satu budaya yang lebih arif, dan tidak melanggar nilai humanisme.

Keempat, surah Makkiyah terlihat pendek-pendek, hal mana karena penduduk Mekkah termasuk pintar gaya bahasanya, namun sombong, apabila rasul membaca alquran, mereka tidak mau mendengarkan dan bahkan berteriak keras-keras. 

Ini dijelakan dalam Surah Al Fushilat: 26
"Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran Ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”.

Berpanjang-panjang dalam hal demikian tentu tidak efektif dalam dakwah Islam, justru dengan gaya bahasa yang sarat makna akan membuat penduduk Mekkah berpikir.

Untuk surah Madaniyah adalah, biasanya kandungan isinya lebih berbicara pada: 

Pertama, masalah tasyri’, hukum-hukum perdata (sipil), pidana, ibadah, dan muamalah.

Contohnya adalah Surah Al-Baqarah 178, 180, 183
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih."

"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"

Kedua, surah-surah Madaniyah mencoba mengingatkan ahli kitab bahwa saat ini syariat Nabi Muhammad yang benar, untuk itu ajakan Al-Qur’an terhadap ahli kitab supaya mereka mau memeluk Islam. Selain itu, ditunjukkan pula sifat dan tabiat ahli kitab (dalam hal ini cenderung menyoroyi umat Yahudi) yang kerap kali mengingkari nikmat Allah, mengkhianati rasul mereka, dan sering kali meragukan janji Allah. 

Ahli kitab tersebut kerap pula melakukan perbuatan licik dengan menghasut umat Islam, adu domba, maka kemudian Al-Quran membeberkan segala kejahatan mereka beserta nenek moyangnya, serta bentuk-bentuk pengingkaran yang telah dilakukan oleh generasi terdahulu dari ahlul kitab ini.

Contohnya adalah, urah Al-Baqarah: 246, Ali Imran: 23-25
"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah nabi Musa, yaitu ketika mereka Berkata kepada seorang nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal Sesungguhnya kami Telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang zalim."

"Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang Telah diberi bahagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya Kitab itu menetapkan hukum diantara mereka; Kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran)."

"Hal itu adalah Karena mereka mengaku: “Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung”. mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan."

"Bagaimanakah nanti apabila mereka kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan)."

Ketiga, ayat-ayat dalam surah Madaniyah panjang-panjang karena kondisi masyarakat Madinah dalam segi kepandaian berbeda dengan masyarakat Mekkah.

Keempat, di Madinah terdapat sekelompok kaum munafik yang membahayakan keberadaan umat Islam, maka al quran membeberkan kejahatan niat mereka, bahaya kaum munafik bagi kaum muslim serta membuka tabir jahat yang selalu disembunyikan oleh kaum munafik. Kaum munafik timbul di masyarakat Islam Madinah karena mereka merasa tidak mampu menandingi kekuatan umat Islam saat itu, sehingga cara yang paling tepat adalah dengan mengadu domba umat Islam dan menjadi munafik supaya perlawanan mereka tidak diketahui. Berbeda dengan kondisi di Mekkah, karena pada saat tersebut umat muslim masih sedikit, dan lagi kaum musrikin menantang dengan terang-terangan karena merasa memegang kekuasaan.

IV. SURAH-SURAH MAKIYAH DAN MADANIYAH
Surah-surah Makkiyah yang urutannya sesuai dengan turunnya adalah sebagai berikut.

Al A’la, Al Qalam, Al Muzammil, Al Muddatstsir, Al Fatihah, Al Lahab, At Takwir, Al A’la, Al Lail, Al Fajr, Adl Dhuha, Al Insyirah, Al ‘Ashr, Al ‘Adiyat, Al Kautsar, Al Kautsar, At Takatsur, Al Ma’un, Al Kafirun, Al Fiil, Al Falaq, An Nas, Al Ikhlas, An Najm, ‘Abasa, Al Qodar, Asy Syamsu, Al Buruj, At Tin, Al Quraisy, Al Qariah, Al Qiyamah, Al Humazah, Al Mursalat, Qaf, Al Balad, Ath Thariq, Al Qamar, Shad, Al A’raf, Al Jin, Yasin, Al Furqon, Father, Maryam, Thaha, Al Waqiah, Asy Syu’ara, An Naml, Al Qashash, Al Isra’ Yunus, Hud, Yusuf, Al Hijr, Al An’am, Ash Shaffat, Luqman, Saba, Az Zumar, Ghafir, Fushshilat, As Syura, Az Zukhruf, Ad Dukhan, Al Jaatsiyah, Al Ahqaf, Adz Dzariyat, Al Ghasyiyah, Al Kahf, An Nahl, Nuh, Ibrahim, Al Anbiya, Al Mu’minun, As Sajdah, Ath Thur, Al Mulk, Al Haqqah, Al Ma’arij, An Naba, An Nazi’at, Al Infithar, Al Insyiqaq, Ar Rum, Al Ankabut, Al Muthaffifin.

Menurut Al Khudary, ada lima lagi surah yang termasuk Makkiyah, namun para ulama lain memasukkan surah tersebut ke dalam golongan Madaniyah. Lima surah tersebut adalah:

Az Zalzalah, Ar Ra’d, Ar Rahman, Al Insan, Al Bayyinah.

Sementara surah-surah Madaniyah menurut tertib turunnya adalah sebagai berikut:

Al Baqarah, Al Anfal, Ali Imron, Al Ahzab, Al Mumtahanah, An Nisa, Al Hadid, Al Qital, Ath Thalaq, Al Hasyr, An Nur, Al Haj, Al Munafiqun, Al Mujadalah, Al Hujurat, At Tahrim, At Taghabun, Ash Shaf, Al Jumu’ah, Al Fath, Al Maidah, At Taubah, An Nashr.

Semoga bermanfaat!


Referensi:

  • Abdul Adzim, Muhammad, Manahil Urfan Fi Ulum Al Qur’an 1 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002)
  • Baidan,Nasrudin,Ulumul Qu’an (Jakarta: Al Huda, 2006)
  • Bey Arifin, Ringkasan Cerita Dalam Al Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
  • Fadh bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an, pent. Amirul Hasan (Yogjakarta: Titian Ilahi, 1996)
  • Hasbi Ashidiqie, Pengantar Ilmu Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang,1994)
  • Hamid Abu Zaid Nasr, Tekstualitas Alqur’an-Kritik Terhadap Ulumul Qur’an (Yogjakarta :Lkis,2005)
  • Hakim, Baqir, Ulumul Qur’an (Jakarta: Al Huda, 2006)
  • Lewis Bernard, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said Jamzuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1994)
  • Nurkholis, Pengantar Studi Qur’an (Yogjakarta: Teras, 2008)
  • Syihab, M.Quraish, Metode Penelitian Tafsir (Ujung Pandang: IAIN Alauddin,1984)
  • Syadali, Ahmad, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
  • Zuhdi, Masfuk, Pengantar Ulumul Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu)

Wednesday, November 21, 2012

Salinan Al-Quran Tertua Tersimpan Di Museum Tashkent, Uzbekistan



Disebuah sudut gelap ibukota negara Uzbekistan yaitu Tashkent, terdapat satu peninggalan paling bersejarah bagi umat Islam, yaitu Al-Qur'an paling tua di dunia yang masih ada hingga saat ini. Al-Qur'an ini berasal dari masa pemerintahan khalifah ketiga yaitu Utsman bin Affan.

Utsman bin Affan merupakan perintis pembukuan Al-Qur'an pertama, setelah sebelumnya Al-Qur'an hanya dihafal atau ditulis di atas lembaran kayu dan tulang unta. Pembukuan Al-Qur'an pertama ini dilakukan Utsman bin Affan ketika berada di Madinah. Pembukuan Al-Qur'an ini selesai pada tahun 651 atau 19 tahun setelah meninggalnya Rasulullah SAW.

Pembukuan ini dilakukan Utsman untuk mencegah perselisihan dan perbedaan versi dari ayat Al-Qur'an, sehingga beliau memutuskan untuk membukukannya kemudian menyimpan salahsatu salinannya di Tashkent. Al-Qur'an ini di simpan di sebuah kawasan yang dikenal dengan nama Hast-Imam sebuah lokasi yang jauh dari keramaian orang banyak.

Letak lokasi penyimpanan Al-Qur'an ini berdekatan dengan makam ilmuwan dari abad ke-10, yaitu Kaffel Sashi. Penyimpanan Al-Qur'an ini berada di kawasan bangunan yang menjadi pusat aktivitas Mufti Uzbekistan atau pimpinan keagamaan tertinggi di negara ini.

Al-Qur'an tertulis pertama yang dibukukan ini sangatlah berharga, karenanya ia di simpan dalam sebuah lemari kaca yang menempel ke dinding. Sayangnya, karena sudah berusia ratusan tahun, Al-Qur'an ini sudah tidak 100% utuh lagi. Namun demikian, hanya sang Mufti yang mengetahui secara pasti seberapa persen kerusakannya (bila ada) atau seberapa persen tingkat keutuhannya. Ayat-ayat Al-Qur'an ini ditulis dalam bahasa Hejaz dan ditulis di atas kulit rusa.


Disebutkan bahwa Khalifah Utsman membuat lima salinan dari Al-Qur'an ini dan menyebarkannya ke berbagai wilayah Islam. Selain yang ada di Tashkent, salinan lainnya juga masih tersimpan di Topkapi Palace di Istanbul, Turki.

Tidak jauh dari lokasi penyimpanan Al-Qur'an, ada juga sebuah rumah yang ternyata menaungi benda bersejarah lainnya, yaitu helai rambut Rasulullah SAW. Selain Al-Qur'an tertua, helai rambut ini juga menjadi salah satu koleksi bersejarah yang dimiliki Asia Tengah dalam keterkaitan mereka dengan sejarah Islam.

Di lokasi yang sama juga terletak perpustakaan yang menyimpan kekayaan dengan koleksi bersejarahnya. ''Diperkirakan di perpustakaan itu ada sekitar 20 ribu buku dan tiga ribu naskah,'' ujar Ikram Akhmedov, asisten sang mufti.

Buku-buku itu rata-rata adalah buku tentang sejarah abad pertengahan, astronomi, dan kedokteran. Namun ada juga Al-Qur'an dan buku-buku tentang ilmu hukum. ''Namun benda tertua di perpustakaan ini adalah Alquran yang berasal dari abad ketujuh atau dari masa pemerintahan khalifah Utsmanbin Affan,'' jelasnya.

Keberadaan Al-Qur'an tertua di dunia ini mengingatkan kita betapa kawasan Asia Tengah memberikan peranan sangat penting dalam sejarah perkembangan agama Islam. Ini juga merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa harta karun umat Islam berada di negara yang dulunya merupakan pecahan negara komunis terbesar di dunia, yaitu Uni Soviet.

Sejarah sampainya Al-Qur'an dari dinasti pemerintahan Utsman bin Affan ke Tashkent ini sangatlah luar biasa. Setelah kematian Utsman bin Affan, sebagian orang menyatakan bahwa Al-Qur'an ini dibawa oleh Ali bin Abi Thalib ke Kuffah atau yang sekarang dikenal sebagai Irak.

Tujuh ratus tahun kemudian, ketika Tamerlane (penakluk kawasan Asia Tengah) datang ke daerah ini, ia menemukan Al-Qur'an ini dan membawanya ke ibu kotanya di Samarkand. Al-Qur'an ini berada di Samarkand lebih dari empat abad, hingga orang Rusia menaklukan kota ini pada tahun 1868.

Saat itu, Gubernur Rusia mengirimkan Al-Qur'an ini ke St Petersburg dimana Al-Qur'an ini kemudian disimpan di perpustakaan kerajaan. Namun setelah pecahnya revolusi Bolshevik, Lenin yang sangat bernafsu menguasai daerah umat Islam mengirimkan Al-Qur'an ini ke Ufa atau yang kemudian dikenal sebagai Bashkortostan.

Namun akhirnya, setelah berulang kali diminta oleh Muslim Tashkent, Al-Qur'an ini akhirnya kembali lagi ke Asia Tengah pada tahun 1924. Sejak saat itulah, Al-Qur'an ini ditempatkan di Tashkent dan berlangsung hingga saat ini. Sejak awal keberadaannya, Al-Qur'an ini telah menarik perhatian banyak orang termasuk petinggi umat Islam untuk mengunjunginya. Sehingga dirasakan sangat aneh karena Al-Qur'an ini masih ditempatkan di lokasi tersebut.

Barangkali ini merupakan ketakutan pemerintahan Uzbekistan yang banyak diwarisi oleh nilai-nilai dari era komunis Soviet. Hingga kini mereka masih tidak mempercayai Islam karenanya mereka juga masih memandang Islam dengan penuh kecurigaan.

Mufti yang juga mengelola serta menjaga keberadaan benda ini menyatakan bahwa Al-Qur'an ini tidak dipertontonkan dan dijaga agar tidak terlalu menarik banyak perhatian. Ini dilakukan untuk menjaganya dari hal-hal negatif yang mungkin terjadi.

TIPS: Simak catatan sejarah dan foto-foto manuskrip asli Al-Qur'an lengkap di sini.

[Sumber: situserbaunik]

Monday, September 10, 2012

Kerasulan Nabi Muhammad Saw Di Tengah-Tengah Bangsa Jahiliyah Arab


Jika anda meragukan bahwa sesungguhnya bangsa Arab telah mengenal Allah SWT jauh sebelum kelahiran nabi Muhammad SAW, maka anggapan seperti itu tidak sepenunya benar. Sebab Al-Quran sendiri yang menegaskan bahwa musyrikin Arab itu kenal betul bahwa tuhan mereka adalah Allah SWT. Dalam salah satu ayat Al-Quran digambarkan bagaimana pengakuan orang Arab jahiyah terhadap keberadaan Allah SWT.

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)." (QS Al-Ankabut: 61)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
"Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (nya)." (QS Al-Ankabut: 23)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS Luqman: 25)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri." (QS Az-Zumar: 38)

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka,” niscaya mereka menjawab, “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (QS Az-Zukhruf: 87)

Lima fiman Allah dalam Al-Quran di atas menjelaskan kepada kita bahwa bangsa Arab musyrikin jahilyah ternyata memiliki keyakinan tentang keberadaan Allah. Bahkan bukan sekedar meyakini keberadaan-Nya, mereka juga mengakui bahwa yang menciptakan langit dan bumi, memberikan rizki, menurunkan hujan, menundukkan matahari, bulan, dlsb adalah Allah.

Jika demikian, lalu apakah tugas nabi Muhammad SAW?
Tugas beliau bukan mengenalkan keberadaan Allah, sebab mereka sudah lama mengenal Allah. Tugas beliau juga bukan untuk menerangkan bahwa Allah adalah tuhan yang menciptakan langit dan bumi, sebab hal itu pun sudah mereka ketahui. Tugas utama beliau adalah memastikan bahwa mereka hanya menyembah Allah semata, satu-satunya Tuhan Yang Maha Esa tanpa membiaskan, apalagi mensekutukan Allah dengan sesembahan lain yang mereka sembah. Itu sebabnya motto dakwah beliau adalah: LAA ILAAHA ILLALLAH, yaitu tidak ada tuhan yang patut disembah dengan haq kecuali hanya Allah semata.

Konsekuensinya, sudah tentu, agama yang dibawa nabi Muhammad SAW pun mewajibkan penghancuran segala bentuk berhala, menafikan semua undang-undang, sistem, agama, ideologi dan peraturan yang bersumber dari selain Allah. Seorang tidak dikatakan muslim sebelum dia mengakui tidak ada tuhan selain Allah, dan tidak ada hukum selain hukum yang Allah turunkan.

Adapun kenalnya orang Arab jahiliyah terhadap nama Allah SWT, karena dahulu ada nabi Ibrahim dan puteranya Ismail alaihimassalam di negeri itu. Bahkan mereka masih setia datang berhaji setiap tahun keliling baitullah. Mereka memang menyebut Ka’bah dengan istilah baitullah (rumah Allah). Bedanya, cara manasik haji mereka sudah jauh menyimpang. Misalnya, mereka thawaf keliling ka’bah dengan bersiul dan bertepuk sambil telanjang tanpa busana.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal: 35)

Dalam Gua Hira
Di dalam gua Hira, Rasulullah SAW memang bukan berdoa dalam arti seperti kita sekarang ini. Sebab beliau memang belum mendapatkan penjelasan langsung dari Allah SWT tentang sosok-Nya. Juga belum ada tata aturan dalam cara beribadah dan berdoa kepada-Nya.

Sehingga yang beliau lakukan bukan berdoa, melainkan menyepi untuk melakukan tahannus. Beliau tentu tidak berkomat-kamit mengangkat tangan ke langit. Namun yang berliau lakukan adalah merenung, berpikir, melakukan evaluasi, serta berdialog dengan diri sendiri. Hingga kemudian Allah SWT berkenan berbicara kepada-Nya lewat perantaraan malaikat Jibril ‘alaihissalam.

Namun perlu diketahui bahwa beliau sebagai orang Arab pun sudah tahu bahwa Allah SWT adalah tuhannya. Bahwa Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan langit dan bumi, yang menurunkan hujan serta memberi rizki.

Kekurangan aqidah bangsa Arab jahiliyah ini bukan pada rububiyah-nya, melainkan pada uluhiyah-nya. Di mana mereka belum punya informasi apa pun tentang bagaimana bertauhid kepada Allah dan bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Mereka baru sekedar tahu bahwa tuhan itu ada, namanya Allah dan Allah itu menciptakan mereka hingga memberi rizqi.

Kualitas mereka sedikit di bawah para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang sudah mengenal Allah dan adanya kitab-kitab suci (yang diturunkan dari) langit, berisi tata cara ibadah serta syariah. Mereka juga mengenal sistem kenabian yang berujud manusia yang mendapatkan wahyu dari langit sebagai hukum yang harus dilaksanakan.

Namun kesalahan fatal para ahli kitab itu ketika mereka tidak mau mengakui bahwa Allah SWT menjadikan Muhammad SAW sebagai Nabi dan ingkar kepada Al-Quran sebagai kitab suci yang terakhir. Kesalahan ini kemudian diperparah dengan sikap ambivalen mereka terhadap agama Islam. Bahkan pada akhirnya mereka malah memerangi dan hendak membunuh Rasulullah SAW.

Maka semua keyakinan mereka sebelumnya tentang Allah, kitab suci, para nabi dan hukum-hukum syariat yang turun kepada mereka, menjadi tidak ada gunanya lagi.

Meski mereka percaya keberadaan Allah, para nabi, dan kitab suci taurat, Zabur, dan Injil, namun karena pembangkangan mereka, Al-Quran memberi para ahli kitab ini status sebagai orang kafir. Hal itu semata-mata karena mereka menolak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi, dan Al-Quran sebagai kitab suci Allah.

Namun sebagai penghargaan atas persamaan beberapa asas iman, laki-laki musim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab. Demikian juga dengan sembelihan mereka, halal dimakan oleh orang-orang Islam. Meski demikian, mereka tetap masuk neraka, karena tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya tuhan dan karena mereka tidak mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


[Dari ustadz Ahmad Sarwat, Lc.]

Thursday, July 26, 2012

Ingin Dikaruniai Anak Yang Shaleh?



Boleh jadi yang satu ini sering kita lupakan, yakni apa yang sudah sejak lama diisyaratkan oleh orang-orang shaleh terdahulu; para salafush shalih,  bahwa sesungguhnya amalan orang tua sangat berpengaruh pada keshalehan anak-anaknya. 
 
Orang tua yang shaleh niscaya akan mendatangkan manfaat kepada anaknya di dunia, bahkan sampai di akhirat. Sebaliknya, orang tua yang gemar berbuat maksiat akan memberi pengaruh buruk  terhadap pendidikan akhlak anak-anaknya.
Oleh karena itu,  orang tua yang menginginkan anak-anak yang shaleh hendaknya selalu beramal shaleh dengan ikhlas, hanya mengaharapkan ridha Allah semata dengan tentunya senantiasa bersandar pada  sunnah  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selalulah berdoa! Insya Allah, harapan mendapatkan anak-anak yang shaleh akan diijabah sebagaimana  Allah mengabulkan dan memelihara orangtua dan anak-anak yang shaleh seperti dicontohkan dalam kisah berikut ini.      
Kisah Dua Anak Yatim
Diriwayatkan dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS yang penuh pelajaran berharga. Semoga kita dapat memetik pesan moral di dalamnya
.

Allah Ta’ala berfirman ,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al Kahfi : 82)
Suatu saat Nabi Musa dan Khidr –‘alaihi salam melewati suatu perkampungan. Lalu mereka meminta kepada penduduk di kampung tersebut makanan dan meminta untuk dijamu layaknya tamu. Namu penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Lalu mereka berdua menjumpai dinding yang miring (hampir roboh) di kampung tersebut. Khidr ingin memperbaikinya. Kemudian Musa berkata pada Khidr,
لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. Al Kahfi: 77).
Namun apa kata Khidr?
Khidr berkata,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi : 82)
Lihatlah! Allah Ta’ala telah menjaga harta dan simpanan anak yatim ini, karena apa? Allah berfirman (yang artinya), “sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” Ayahnya memberikan simpanan kepada anaknya ini, tentu saja bukan dari yang haram. Ayahnya telah mengumpulkan harta untuk anaknya dari yang halal, sehingga karena keshalehannya ini Allah juga senantiasa menjaga anak keturunannya.
Hendaknya Orang Tua Senantiasa Memperhatikan yang Halal dan Haram
Oleh karena itu, hiasilah diri dengan amal shaleh bukan dengan berbuat maksiat. Carilah nafkah dari yang halal bukan dari yang haram. Perbaguslah makanan, minuman, dan pakaian hingga saat kita menengadahkan tangan untuk berdo’a pada Allah, maka tangan-tangan dan hati yang memohon itu bersih. Jika amal sholeh dilakukan dengan cara ini, niscaya Allah akan senantiasa memperhatikan dan Insya Allah, akan mengabulkan doa orangtua yang mengnginginkan anak-anak yang shaleh. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma’idah : 27) 
Cobalah kita renungkan, bagaimana mungkin kita boleh berharap do’a-do'a kita akan diijabah oleh Allah jika hasil usaha, makan dan minum yang kita peroleh berasal dari perbuatan yang tidak diridhai Allah seperti misalnya menipu orang lain, korupsi, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya, atau bahkan dengan berbuat syirik?!
Sebaik-Baik Teladan adalah Salafush Shalih Terdahulu
Lihatlah saudaraku - para ayah dan bunda - perkataan orang-orang shaleh terdahulu ini. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada kita untuk selalu beramal sholeh.
Sebagian mereka berkata, “YA BUNAYYA LA’AZIDUNNA FI SHOLATI MIN AJLIKA"
[Wahai anakku, sungguh aku menambah shalatku karenamu].”
Sebagian ulama mengatakan, “Maksudnya adalah aku memperbanyak shalat dan memperbanyak do’a untukmu, wahai anakku, dalam setiap shalatku.”
Jika orang tua senantiasa mentadaburi kitabullah, membaca surah Al-Baqarah, surat Al- Falaq, surah An-Naas (Al-Maw’idzatain), atau surah dan amalan lainnya, niscaya malaikat akan turun ke rumah di mana ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan, karena dihidupkannya bacaan kitab suci Al-Qur’an, sedangkan  syaitan  akan kabur dari rumah tsb! 
Tidak diragukan lagi bahwasanya turunnya malaikat ke rumah-rumah seperti ini akan menghadirkan ketenangan dan mendatangkan rahmat bagi seisi rumah, dan sudah barang tentu akan membawa  pengaruh yang baik pula pada anak-anak, yang niscaya akan mendapat keselamatan. 
Akan tetapi bila orangtua melalaikan amalan baik ini, maka akan berakibat kebalikannya. Syaitan akan senang menghampiri dan tinggal rumah tersebut karena rumah semacam ini tidak dihidupkan dengan dzikir pada Allah. Apalagi bila rumah ini dihiasi dengan berbagai bentuk gambar makhluk bernyawa, musik yang hingar bingar berikut hal-hal yang terlarang lainnya.
Selaku orangtua, marilah kita membiasakan diri untuk introspeksi. Hiasilah hari-hari kita dengan  mentadaburi kitabullah. Hiasilah rumah kita dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Hiasilah hari-hari kita dengan puasa sunnah, shalat sunnah, shalat malam dan amalan lainnya. Jauhilah berbagai macam maksiat dan perbuatan-perbuatan terlarang yang memasuki rumah kita.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallalallahu 'alayhi wasalam bersabda;
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi .... "  
[Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari t dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim t dalam Kitabul Qadar (no. 2658)]

Artinya, kitalah yang menjadikan anak-anak kita seperti apa adanya mereka sekarang ini!

Semoga Allah senantiasa memberkahi pendengaran, penglihatan, dan bathin istri, suami, dan anak-anak kita. 
Amin, Ya Arhamar Rahimin.
***
Pogung Kidul, 5 Dzulqo’dah 1429

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers