Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, June 18, 2011

Bahaya Hadits Dhaif dan Maudhu





Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak masa-masa awal adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di tengah mereka. 
Hampir tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah dari kalangan para ulama,  kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Allah, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.

Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).

Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).

Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.

Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)

Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.” 

Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”

Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan selainnya), 
Wallahu a’lam Bishawwab


[SUMBER: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51]

Friday, June 17, 2011

Metoda Penyusunan Ayat Dalam Surah-Surah Al-Quran


Susunan Al-Qur'an yang Unik 
Mengapa urutan ayat-ayat Alqur`an tidak dituliskan berdasarkan waktu diturunkannya kepada Rasulullah Muhammad saw? Seperti misalnya, mengapa bukan surah Al-Alaq sebagai surah pertama? Lantas, bagaimana proses pengelompokan ayat-ayat Alqur`an dilakukan meliputi penamaan surah-surah, sumber rujukannya, urut-urutannya; penentuan juz-juz dan tanda waqafnya? Bagaimana penentuan suatu ayat dimansukh oleh ayat lainnya? 

TANYA 
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Saya mempunyai beberapa masalah/pertanyaan yang masih bingung mencari jawabannya, yaitu:
  1. Mengapa urutan ayat-ayat Alqur`an tidak dituliskan berdasarkan waktu turunnya kepada Rasulullah Muhammad saw? Mengapa bukan surah Al-Alaq sebagai surah pertama? 
  2. Lantas, bagaimana proses pengelompokan ayat-ayat Alqur`an dilakukan meliputi penamaan surah-surah, dari mana sumbernya dan bagaimana pengurutannya; penentuan juz-juznya, dan tanda waqafnya? 
  3. Bagaimana penentuan suatu ayat dimansukh oleh ayat lainnya? 
Terima kasih atas bantuannya. 
Wassalaamu`alaikum Wr.Wb. 
Helmy F. 

JAWAB 
Assalamualaikum war. wab Sdr. Helmy yang dimuliakan Allah, 
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, jawaban kami adalah sebagai berikut: 

A. TAHAPAN TURUNNYA AYAT
Al-Qur'an diturunkan ke dunia melalui dua tahap; tahap pertama diturunkan sekaligus dari "Lauhil Mahfudz" ke "Baitul Izzah" di langit dunia sebagaimana susunan yang telah ditetapkan oleh Allah. Tahap kedua, diturunkan dari langit dunia kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur sesuai dengan sebab kejadiannya. [Manahilul Irfan, Lizzurqani, Jilid:1, hal. 44-47]. Tetapi susunan ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang ada sekarang, memang bukan menurut sejarah turunnya, melainkan atas dasar perintah Allah, sama dengan susunan Al-Qur'an yang di berada di "Lauhil Mahfudz". Imam Ahmad, meriwayatkan bahwa setiap kali turun ayat, Rasulullah s.a.w. memerintahkan para penulis wahyu, seraya bersabda "Letakkan ayat ini setelah ayat ini di surat ini " [Musnad Imam Ahmad: Jilid-1, hal. 57]. 

Banyak riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah mengimami shalat, dengan membaca Al-Qur'an sebagaimana susunan ayat yang ada. Atas dasar ini ijma' ulama menegaskan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur'an murni dari Allah tanpa campur tangan siapapun. [Manahilul Irfan, Lizzurqani, Jilid-1, hal. 247]. Begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur'an, sekalipun ada perbedaan pendapat ulama, tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa susunan surah-surah itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT, bukan ijtihad para sahabat. 

Pendapat ini didukung oleh banyak riwayat shahih seperti misalnya, keterangan bahwa Rasulullah sering membaca dalam shalatnya beberapa surah secara berurutan seperti susunan yang ada. Rasulullah, sebagaimana riwayat Imam Bukhari, setiap tahun dua kali menyerahkan hafalan Al-Qur'an -- dari awal sampai akhir -- kepada Malaikat Jibril. Penyerahan ini tentu secara berurutan sesuai dengan susunan yang ada. Ini juga diperkuat oleh ijma' para sahabat dan kesepakatan jumhurul ulama (mayoritas ulama) terhadap susunan Al-Qur'an. Dengan kata lain, Al-Qur'an yang ada sekarang adalah merupakan bukti yang menguatkan bahwa susunan surah-surahnya berdasarkan wahyu [Fadhailul Qur'an, Ibnu Katsir, 86]. 

B. PENGELOMPOKAN AYAT
Mengenai pengelompokan ayat dalam setiap surat, sesuai dengan riwayat Imam Ahmad di atas, tentu juga berdasakan wahyu. Bagitu juga nama-nama surah, semuanya sesuai dengan petunjuk wahyu. Demikian pula waqaf per-ayat, tidak bisa diketahui kecuali melalui wahyu. [Manahilul Irfan K Lizzurqani, jilid-1, hal. 340]. 

Adapun penentuan juz-juz Al-Qur'an yang tiga puluh jumlahnya, itu bukan dari Khalifah Utsman -- sebab mushhaf utsmani (Al-Qur'an yang ditulis di zaman Khalifah Utsman) tidak ditemui juz-juz tersebut -- melainkan dari para ulama dengan maksud untuk mempermudah membacanya (baca: mengkajinya). 

Sekalipun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat antara boleh dan tidak, namun kemudian dianggap boleh-boleh saja, selama tidak merusak susunan Al-Qur'an yang asli. [Manahilul Irfan, Lizzurqani, Jilid-1, hal. 409-410]. 

C. AYAT-AYAT YANG DI-NASIKH-MANSUKH
Adapun penentuan suatu ayat dimansukh oleh ayat lainnya, itu tidak melalui ijtihad, melainkan melalui tiga hal berikut: 
  1. Penegasan dari Nabi SAW atau sahabat r.a. seperti hadits: "Aku dulu pernah melarangmu melakukan ziarah ke kuburan, maka sejak ini silahkan lakukan ziarah kubur tersebut." 
  2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang satunya mansukh. 
  3. Mengetahui sejarah turunnya, maka yang diturunkan lebih dahulu itulah yang mansukh. [Mabahits Fi Ulumil Qur'an, Iimanna' Al-Qattan, hal. 234]. 
Semoga membantu.
Wassalam, Dr. Amir Faishol Fath. Ustadz PV Bidang Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an

[Dari Dewan Asatidz | Pesanten Virtual


TANYA
Sebagaimana kita ketahui bahwa surah Al-Fatihah menjadi surah pertama dalam Al-Quran. Namun, disebutkan bahwa surah yang Allah SWT pertama turunkan kepada Nabi SAW adalah surah Al-‘Alaq. Mohon penjelasan Bapak Quraish ihwal proses turunnya serta penyusunan surah-surah dalam Al-Quran. Terima kasih.

Shihabuddin, Gresik, Jawa Timur.

JAWAB
Lima ayat pertama surah Al-‘Alaq adalah wahyu pertama turun. Selanjutnya beberapa ayat dari surah Al-Muddatstsir, demikian seterusnya. Namun, penyusunan perurutan surah-surah Al-Quran tidak sesuai dengan urutan turunnya. Menurut pendapat mayoritas ulama, perurutan surah-surah Al-Quran seperti penempatan Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan seterusnya, adalah atas petunjuk Allah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.

Ada juga pendapat lain bahwa perurutan tersebut pada umumnya berdasar petunjuk Nabi, kecuali surah Bara’ah atau At Taubah (QS. 9) yang tidak memakai Basmalah pada awal surah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa perurutan surah-surah tersebut adalah hasil pemikiran atau ijtihad 'tim penulis' mushaf pada masa Khalifah Usman RA. Namun kedua pendapat terakhir memiliki kelemahan-kelemahan.

Mengenai susunan ayat-ayat Al-Quran seperti yang ada sekarang, menurut para ulama susunannya berdasar petunjuk dari Allah SWT yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW, yakni setiap kali malaikat datang membawa wahyu, dia sekaligus menyampaikan bahwa ayat yang dibacakan adalah lanjutan ayat ini atau ayat itu. Atau dia menyampaikan bahwa ayat yang dibawanya adalah awal dari satu surah (kumpulan ayat-ayat) akan turun. Itu sebabnya hubungan antar-ayat dan surah-surah Al-Quran sangat serasi. Bukankah Allah sendiri yang menyusunnya? Perurutan tersebut sangat serasi, tidak seperti yang diduga sebagian orang yang tidak sungguh-sungguh mendalaminya. Jika Anda ingin mengetahui sekilas tentang hal ini, silakan membaca buku Mukjizat Al-Quran yang telah saya [Quraish Shihab] tulis.

Sepengetahuan saya Malaikat Jibril tidak menjelaskan bahwa ini adalah awal dan akhir ayat. Dia hanya membaca dan Nabi pun cuma mendengar kemudian membacakan tanpa menjelaskan awal dan akhirnya satu ayat. Namun demikian, sebagian besar dapat diketahui awal dan akhrnya dengan memperhatikan redaksi ayat-ayat, atau setelah mengetahui tempat-tempat di mana Nabi SAW memulai dan berhenti membacakannya.

Karena tidak adanya keterangan pasti dari Nabi tentang tempat-tempat memulai dan berhenti itu, maka meski disepakati tentang kata dan kalimat Al-Quran sehingga tidak ada perbedaan menyangkut teksnya, namun jumlah ayat-ayatnya diperselisihkan. Atau boleh jadi bukan jumlah ayatnya yang diperselisihkan, akan tapi menentukan awal dan atau akhirnya ayat-ayat tsb.

Misalnya saja ayat surah Al-Fatihah. Tidak ada perbedaan tentang jumlah ayat-ayatnya yakni tujuh ayat, tetapi ulama berbeda pendapat tentang yang mana ayat pertama dan dari mana bermula ayat ketujuh. Ada yang berkata Basmalah adalah yang pertama, ada juga yang berkata “Alhamdulillah rabbil ‘alamin.”

Huruf-huruf yang terdapat pada awal surah, ada yang menilainya satu ayat berdiri sendiri, seperti ‘yaa siin’ dan ada juga yang menilai bahwa ‘wal quranil hakim’ yang merupakan lanjutan dari ‘yaa siin’ adalah bagian dari ayat pertama.

[Sumber: Quraish Shihab Menjawab, Dialog Jumat, Republika, Jumat, 7 November 2003 - 12 Ramadhan 1424 H] 

TANYA
Assalamualaikum warahmatullah wabaraktuh,
Ada suatu pertanyaan yang mengganjal dalam hati tentang kitab suci Al-Quran, saya mohon pak Ustadz bisa memberikan pencerahan:
  1. Sejak kapan ayat-ayat al-Quran dibukukan? 
  2. Metoda apakah yang dipakai dalam penyusunan ayat-ayat al-Quran sehingga memiliki urutan seperti yang kita ketahui sekarang? 
  3. Tafsir manakah yang bisa kita jadikan pegangan sesuai dengan makna al-Quran yang sebenarnya? 
Ulasan yang logis dan memiliki dalil yang sahih dari pak Ustadz sangat saya harapkan karena saat ini saya sedang menghadapi orang yang mencoba menggoyahkan keyakinan saya tentang keotentikan al-Quran yang sekarang kita pegang. Terima kasih sebelumnya.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

JAWAB
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jika buku yang anda maksud adalah cetakan modern seperti di masa sekarang, tentunya Al-Quran belum lama dicetak. Sebab mesin cetak modern baru ditemukan beberapa puluh tahun belakangan ini saja. Tapi jika yang dimaksud adalah 'buku' dalam arti lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, pelepah kurma, atau media lain yang sudah dikenal pada masa itu, maka sebenarnya Al-Quran telah ditulis sejak pertama kali turun sekitar 1.400 tahun lalu.

Metoda Penulisan Dan Pengumpulan
Rasulullah SAW mempunyai beberapa 'sekretaris pribadi' yang kerjanya melulu hanya menulis Al-Quran. Mereka adalah para penulis wahyu dari kalangan sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum. Bila suatu ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk menuliskannya seraya menunjukkan di mana tempat ayat tersebut dalam surah.

Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Seperti kata Zaid bin Tabit, "Kami menyusun Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang."

Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan (untuk verifikasi).

Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, artinya tulisan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Al-Qur’an di hadapan Nabi, di antara mereka yang disebutkan di atas.

Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas. Ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf.

Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra’ dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. 

Di samping itu terkadang pula terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzul-nya (sebab turun), tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi. Belaiu yang menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu.

Andaikata pada masa Nabi SAW Al-Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian itu tentu akan membawa perubahan bila wahyu-wahyu berikutnya turun kemudian.

Az-Zarkasyi berkata, "Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu setelah wafatnya Rasulullah."

Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, "Rasulullah SAW telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya, ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.

Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar radhiyalahu ‘anhum.

Metoda Penyusunan
Metode yang digunakan untuk menyusun Al-Quran adalah metode wahyu dari langit. Sebab setiap ada ayat yang turun, Rasulullah SAW selain mengajarkan bacaan dan pemahamannya, beliau juga menjelaskan tata letak ayat tersebut di dalam Al-Quran.

Tafsir Al-Qur'an
Semua kitab tafsir yang hingga hari masih ada, bisa dijadikan dasar penafsiran tehadap Al-Quran. Kita punya puluhan kitab tafsir peninggalan para ulama yang sudah teruji kebenaran sepanjang masa. Tentunya masing-masing kitab tafsir itu memiliki keunggulannya sendiri–sendiri. Tergantung dari sudut pandang mana seseorang ingin membidik pemahamannya terhadap A-Quran.

Wallahu a’lam bishshawab. 
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ahmad Sarwat, Lc.

[Sumber: eramuslim.com


Thursday, June 16, 2011

Ciri-ciri Ahli Bid'ah


Ciri-ciri ahli bid'ah sangat jelas dan terang, yang paling menonjol diantaranya adalah: kebencian mereka kepada para pembawa riwayat hadits, merendahkannya, dan menggelarinya dengan: penghafal catatan kaki, orang-orang dungu, orang-orang tekstual atau musyabihah (orang-orang yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk).

Mereka meyakini adanya makna bathin dari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka menafsirkan hanya dengan otak mereka yang telah dirusak oleh syaitan, hati nurani mereka teleh rusak, dan argumentasi dan pemikiran mereka sangat rancu dan berantakan. Allah berfirman:

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
"Mereka itulah orang-orang yang dilaknati oleh Allah dan ditulikan telinganya dan dibutakan penglihatan mereka." (QS Muhammad [47]:23).


Ahmad bin Sinan Al-Qaththan berkata: "Di kolong langit ini, tidak seorangpun ahli bid'ah yang tidak membenci ahli hadits, karena ketika orang itu telah berbuat bid'ah maka ia akan kehilangan kemanisan ilmu hadits dalam hatinya".

Abu Hatim Muhammad bin Idris Al-Hanzali Ar-Razi berkata: "Ciri-ciri ahli bid'ah yaitu suka mengolok-olok ahlu atsar (ahli hadits), dan termasuk ciri-ciri orang zindiq (munafiq) yaitu suka menggelari ahli atsar sebagai penghafal catatan kaki, yang mereka inginkan adalah membatalkan atsar sebagai sumber hukum. 

Termasuk ciri-ciri qadariyah (orang-orang yang mengingkari adanya takdir) adalah menggelari ahlus sunnah dengan jabariyah (orang-orang yang bergantung kepada takdir dan meninggalkan usaha). 

Diantara ciri-ciri jahmiyyah (orang-orang yang mengingkari nama-nama dan sifat Allah) adalah menggelari ahlus sunnah dengan sebutan musyabihah (orang-orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).

Diantara ciri-ciri rafidhah (syiah) adalah menggelari ahlus sunnah dengan sebutan nabithah dan nashibah (orang-orang yang membenci ahli bait). 

Abu 'Utsman berkata: "Saya melihat bahwa ahli bid'ah yang menggelari ahlus sunnah [namun dengan karunia dari Allah, tuduhan tersebut tidaklah benar dan tidak pantas disandarkan kepada ahlus sunnah] mereka (ahli bid'ah) mengikuti jalannya musrikin [semoga Allah melaknat mereka] yang menggelari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan gelar-gelar yang tidak pantas. Diantaranya ada yang menggelari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai tukang sihir, dukun, ahli sya'ir, orang gila, orang kesurupan, pembohong, tukang nyleneh dan lain sebagainya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jauh dari semua 'aib tersebut. Beliau adalah Nabi dan Rasul yang terpilih.

Allah berfirman:

انظُرْ كَيْفَ ضَرَبُوا لَكَ الْأَمْثَالَ فَضَلُّوا فَلَا يَسْتَطِيعُونَ سَبِيلاً 
"Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)." (QS Al-Furqan [25]:9). 

Demikian juga halnya dengan ahlu hadits yang diberi gelar-gelar buruk oleh ahli bid'ah padahal ahlu hadits sangat jauh dan bersih dari celaan tersebut. Ahlu hadits adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah yang bersih, sistem kehidupan yang diridhai oleh Allah ta'ala, jalan-jalan yang lurus dan hujjah yang kokoh. 

Allah telah menganugrahi ahlu hadits untuk dapat meneladani apa yang terdapat dalam kitab-Nya, wahyu-Nya dan firman-Nya, meneladani Rasul-Nya dalam setiap hadits dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk berlaku baik, dalam ucapan dan perbuatan serta mencegah mereka untuk berbuat kemungkaran. 

Allah juga menolong ahlu hadits untuk dapat berpegang teguh dengan sistem kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Allah-pun menjadikan mereka sebagai pengikut para wali yang terdekat. Allah juga melapangkan dada mereka untuk mencintai beliau, mencintai para ulama umat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seseorang akan bersama orang yang dicintainya." (HR. Bukhari, Ahmad dan lainnya)

Semoga bermanfaat!

Sunday, June 12, 2011

Fitnah Seputar Proses Kompilasi Al-Quran


Banyak Fitnah-Fitnah keji yang dilontarkan oleh kaum kafir contohnya tentang kompilasi Al-Qur’an, salah satu fitnah yang dilontarkan adalah fitnah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an pada saat ini tidak sama dengan Al-Qur’an pada jaman Rasulullah SAW. Berikut adalah fitnah beserta jawaban muslim yang disandur dari tulisannya Bang Faiz.

1. NASKAH YANG TERCECER MENURUT ABU MUSA AL-ASY'ARI

Suwaid ibn Sa`eed ia berkata bahwa `Ali ibn Mus’hir berkata kepada kami: Dawood dari Abu Harb ibn abu al-aswad bahwa ayahnya berkata bahwa Abu Musa’ Al-ash`ari berkata: Kami biasa membawakan satu surat, yang panjang dan kerasnya seperti surat Al Baraah, Saya telah lupa kecuali ayat yang saya ingat :“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat” [HR. Muslim]

Hadits inilah yang kemudian menjadi argumentasi musuh-musuh Islam yang membuktikan Al Quran yang ada sekarang tidak sama dengan Al Quran dizaman Rasulullah Saw. Hadits ini membuktikan bahwa Al-Quran yang ada sekarang tidak lengkap karena ada ayat yang tidak diakomodir didalamnya. Setelah mengemukakan Hadits ini kemudian mereka mencoba menguatkan argumentasi mereka dengan hadits lain.

Anas bin Malik berkata: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat, dan kepada Allah kembali ia bertaubat” [HR. Muslim]

Jawaban dari tuduhan ini adalah bahwa hadits yang pertama telah dikategorikan sebagai hadits dhoif dikarenakan sanadnya yang amat lemah, diantara kelemahannya adalah Suwaid ibn Sa`eed ,`Ali ibn Mus’hir, Dawood, tiga orang yang menjadi mata rantai hadits ini dianggap sangat lemah.

Kesaksian mengenai Suwaid Ibnu Sa’id:
Imam Bukhari mengatakan Dia hilang penglihatan dan kemudian biasa meriwayat sesuatu yang bukan dia dengar sendiri, dan kejujurannya dipertanyakan. Nasai mengatakan dia tidak dapat dipercaya. [Al-Zahabi, Tazkirah al-Huffaaz]

Bukhari mengatakan Suwaid amat tidak bisa dipercaya dan perkataannya aneh dan munkar, Ibnu mu’in berkata Suwaid adalah seorang pembohong, imam Ahmad berkata, perkataan Suwaid tidak dapat diterima. (ibid)

Kesaksian Mengenai Ali bin Mushir:
Uqaili berkata Ali bin Munshir tidak dapat dipercaya (Uqaili, Dhuafaa al-`uqaili)
Ibnu Hajar berkata Ali bin Munshir bisa dipercaya namun ia meriwayatkan hadits yang ganjil setelah ia kehilangan penglihatannya. [Ibn Hajar ,Tehzi’b al-tehzi’b]

Kasaksian mengenai Dawud:
Imam Ahmad mengatakan cerita Dawud amat membingungkan, dan saling kontradiktif satu dengan yang lainnya, Ibnu Hibban menambahkan cenderung  mengalami kesalahan ketika bercerita berdasarkan ingatannya. (Ibid)

Dari penjelasan mengenai kredibilitas tiga mata rantai sanad saja hadits ini mempunyai kelemahan yang amat besar belum lagi dari matan yang menyebutkan Abu Musa lupa beberapa ayat lainnya, hal ini amat membingungkan bagaimana mungkin hanya ia saja yang bersaksi bahwa riwayat mengenai anak adam ini adalah bagian dari surat didalam Al Quran?

Betul memang ada riwayat dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa Rasul pernah menyampaikan kalimat tersebut akan tetapi ia tidak pernah menyebutkan bahwa itu merupakan bagian dari Al Quran.

Anas bin Malik berkata: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat, dan kepada Allah kembali ia bertaubat [HR. Muslim]

2. SURAH AL-KHAL DAN AL-HADF

Mereka kemudian menambahkan bahwa Mushaf Abu Musa Al Asy’ari dan beberapa sahabat lainnya memiliki surat yang kemudian tidak tertulis didalam Mushaf Utsmani.Ubay bin Ka’ab memasukan dua surat tambahan yaitu, al Hafdh dan Al Khal yang tidak tertulis didalam mushaf Utsmani, surat ini juga tertulis pada teks Ibnu Abbas dan Abu Musa.

Mengenai kesaksian mengenai dua surat yang tercecer di Mushaf Abu Musa, Ibnu Abbas, dan Ubay bin Ka’ab tidak pernah mereka sebut sebagai bagian dari Al Quran, dan tidak ada riwayat yang menyebutkan mereka menganggap itu bagian dari Al Qur’an. Mengenai keberadaan Surat tersebut didalam Mushaf mereka bukan menandakan bahwa hal itu merupakan bagian dari wahyu Allah, berikut terjemahan dari kedua surat tersebut:

Surat Al Khal
Allah kami meminta pertolonganmu dan meminta pengampunanmu, dan kami memujimu dan kami bukan termasuk orang yang kafir terhadapmu. Kami berpisah dan meninggalkan orang yang melakukan dosa terhadapmu.

Surat Al-Hadf
Ya Allah Kami memujimu dan kepadamu kami berdoa dan berserah diri, dan kepadamu kami berlari dan bersegera untuk mengabdi. Kami berharap kepada pengampunanmu dan takut kepada hukumanmu. Hukumanmu akan segera sampai kepada orang-orang kafir.

Ini adalah terjemahan dari kedua surat yang berada didalam Mushaf sahabat tersebut, yang menarik adalah kedua surat tersebut sama bunyinya dengan bunyi dua doa qunut yang biasa dibaca oleh kaum muslimin yang ada didunia, bahkan rasul sendiri pernah menganjurkan membacanya diakhir sholat witir [Ahmad von Denffer, “Ulum al Qur’an”] , persoalannya apakah segala sesuatu yang tertulis bisa dikatakan bagian dari Al-Qur’an, bukankah Rasul pernah berkata janganlah kalian menulis kecuali Al Quran?

“Janganlah kalian menulis apa apa dariku, barangsiapa yang menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya, dan berbicaralah tentang diriku dan itu diperbolehkan, dan barangsiapa dengan sengaja berbohong atas diriku maka bersiap siaplah untuk tinggal diatas neraka” [HR Muslim]

Betul pesan ini memang disampaikan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi bukan berarti hal ini kemudian tersampaikan kepada semua sahabat. Ada saja sahabat yang tidak mengetahui Hadits tersebut dan melakukan kekeliruan, bahkan hal ini mempertegas tindakan Zaid bin Tsabit yang tidak mau menerima catatan yang tidak tertulis langsung dihadapan Rasulullah yang didampingi dua orang saksi. Dia berpikir tidak ada satupun jaminan yang bisa diberikan bahwa sahabat tidak salah dalam prosedural penulisan maupun hapalan suatu ayat tertentu.

Yang menarik adalah Ubay bin Ka’ab yang dikatakan mempunyai Mushaf yang lain dari Mushaf yang ada sekarang justru adalah orang yang ikut menyusun keberadaan Mushaf Utsmani.

Ata berkata : Ketika Utsman memutuskan untuk menyalin Al Quran kedalam naskah tertulis , ia mengirim mereka kepada Ubay bin Ka’ab. Ubay mendiktekan kepada Zaid yang kemudian menuliskannya, dan bersama mereka Sa’id bin Al ‘Ash, yang meneliti teks (berdasarkan Gramar Arab Quraisy). Teks ini berdasarkan bacaan Ubay dan Zayd [HR. Abu Dawud]

Utsman memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk mendiktekan, Zayd bin Tsabit untuk menulis, Sa’id bin Al Ash dan Abdurahman bin Al Harith untuk meneliti teks kedalam aturan bahasa Arab [HR. Abu Dawud]

Hadits ini adalah tamparan yang amat keras bagi orang-orang yang menuduh bahwa Ubay bin Ka’ab memiliki Mushaf yang berbeda dari Mushaf Utsmani, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan kedua surat ini kedalam Mushaf Ustmani sedang ia sendiri yang membacakannya didepan Zaid?

3. PERMASALAHAN IBNU MAS'UD

Salah satu argumen yang didengungkan kaum orientalis-misionaris adalah bahwa Abdullah bin Mas’ud menolak untuk membakar mushaf yang dimiliki olehnya dengan mengatakan :Bagaimana mungkin kalian menyuruhku membaca qiraat Zayd. Ketika Zayd masih kecil bermain dengan kawan sebayanya saya telah menghafal lebih dari tujuh puluh surah langsung dari lisan Rasulullah [Ibn Abi Da’ud, Kitab a-Masahif]

Yang menarik dari riwayat ini adalah kita sama sekali tidak melihat satupun riwayat Utsman untuk memaksa Abdullah bin Mas’ud untuk menyerahkan Mushafnya, ini sekaligus memperlihatkan kebijaksanaan Utsman yang kemudian mematahkan tuduhan bahwa Utsman bersikap Aristrokat seperti yang dikatakan Robert Morey, padahal Abu Dawud juga meriwayatkan Abdullah bin Mas’ud mengumumkan kepada pengikutnya (orang-orang yang memegang mushaf Ibnu Masud) untuk tidak menyerahkan Mushaf mereka. Bahkan yang terjadi adalah semua orang mengikuti perintah Utsman untuk membakar Salinan Mushaf miliknya.

Musab ibnu Sa’ad ibnu Waqqas berkata: “Aku melihat orang-orang berkumpul dalam jumlah yang besar ketika Utsman melakukan pembakaran Quran, dan mereka terlihat senang dengan tindakannya, dan tidak ada satupun yang berbicara menentangnya [HR. Abu Dawud]

Perkataan “Terlihat senang dengan tindakannya” menunjukkan tidak adanya pemaksaan atau ancaman atas tindakan yang menentang perintah tersebut, tidak ada satupun riwayat yang menyatakan adanya seseorang yang dihukum atas tindakan penentangan terhadap perintah Utsman.
Bahkan berulang kali Utsman menegaskan bahwa dia tidak menolak bacaan bacaan Quran yang berlangsung secara oral. Yang dia ingin satukan adalah bacaan dalam bentuk tertulis untuk menghindari perpecahan dan penyimpangan makna.

“Adapun Alquran, saya tidak akan menghalangi kalian, hanya saja saya khawatir bila terjadi perpecahan di antara kalian (sebab perbedaan bacaan Alquran) dan silakan kalian membaca (Alquran) dengan harf yang menurut kalian mudah”. [Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II, hlm. 42]

Kemudahan yang diberikan Utsman inilah yang kemudian menyebabkan kita dapat menemukan bacaan-bacaan yang bersumber dari Rasulullah Saw walaupun hanya berpegang pada riwayat ahad.

Apakah penolakan Ibnu Mas’ud merupakan penolakan dikarenakan Mushaf yang dimilikinya berbeda secara substansial dengan Mushaf utsmani. Untuk memperkuat adanya perbedaan itu orientalis-misionaris mengajukan bukti adanya penolakan Ibnu Masud dalam tiga surat yaitu Al fatihah dan al-mu `aw-widhatayn [Annas dan Al Falaq].

Fakta bahwa Ibnu Mas’ud tidak menerima ketiga surat itu sebenarnya telah ditolak oleh beberapa ulama Islam diantaranya Imam Ibnu Hazm Ulama besar dari Andalusia, ia mendustakan orang yang menisbatkan perkataan penolakan tiga surat tersebut kepada Ibnu Mas’ûd. Karena terbukti dalam qiraat Imam ‘Ashim (salah satu dari tujuh otoritas dalam transmisi qiraat yang mu’tabar) yang berasal dari Ibnu Mas’ûd terdapat bacaan al-Mu’awwidzatain dan al-Fâtihah. [Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II]

Argumen yang menguatkan pendapat Ibnu Hazm diantaranya adalah fakta bahwa tidak ada satupun riwayat yang mengklaim Ibnu Masud tidak memasukkan surat 15: 87 kedalam Mushafnya yang berbunyi:

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

“Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” (QS. 15:87)

Jika memang benar Ibnu Masud menolak Al Fatihah tentu penolakan dia akan mengalami kontradiksi dengan apa yang telah dia muat sebelumnya.Sebab siapapun setuju bahwa maksud ayat tersebut adalah surat Al-Fatihah. Jikalau memang Ibnu Masud menolak maka dimana dia taruh tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut?

Tentu saja bukti yang terkuat adalah dari murid-murid Ibnu Mas’ud sendiri, secara logika jika ada sepuluh orang murid yang belajar pada guru yang sama maka hasilnya akan sama, jika ada satu orang yang berbeda dengan kesembilan orang lainnya tentu saja satu orang ini mungkin mengalami noise dalam penerimaan informasi, sebab jika dia sendiri yang berbeda maka dapat dipastikan dia tidak menangkap pelajaran dengan benar. Logika ini yang kemudian membantah dengan sendirinya pendapat orientalis seperti Jefri yang pertama kali menyerang Mushaf Utsmani dengan membandingkannya dengan Mushaf Ibnu Mas’ud dengan alasan yang kita sudah sebutkan diatas. Ibnu Mas’ud mempunyai beberapa orang murid diantaranya `Alqamah, al-Aswad, Masruq, asSulami, Abu Wa’il, ash-Shaibani, al-Hamadani, dan Zirr, semuanya meriwayatkan AI-Qur’an yang mereka terima dari padanya berjumlah sebanyak 114 surah. Hanya salah satu murid Zirr, `Asim, satu-satunya yang memberi pernyataan konyol kendati ia mengajarkan seluruh isi kandungan Kitab Suci atas wewenang Ibn Mas’ud. [As-Suyuli, al-Itqan, 1: 221]

Terakhir sekali ternyata Jeffery orientalis pertama yang menyudutkan peristiwa ini di buku Materials tidak mengungkap sikap menyeluruh dari `Abdullah ibn Mas`ud. Padahal dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery sendiri, disebutkan bahwa Ibn Mas`ud menimbang kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada pendapat `Uthman dan para Sahabat lainnya. Ibn Mas`ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya.[Kitab al-Mabani, yang diedit oleh Jeffery pada tahun 1954 menyebutkan Ibn Mas’ud menyesali sikapnya dan menyetujui Mushaf `Uthmani. Lihat Arthur Jeffery, Kitab al-Mabani, hlm. 95. Bandingkan juga dengan Kitab al-Masahif, 1: 193-195]

4. AYAT-AYAT RAJAM

“Dan bagi laki-laki tua yang berzinah dan wanita tua yang berzinah, rajam mereka atas kesenangan yang telah mereka perbuat”, Umar bin Khattab berkata “orang-orang akan mengatakan bahwa Umar telah menambahkan sesuatu kepada kitab Allah, jika aku menulis ayat rajam” (True Guidance, p. 61- citing Al-Suyuti’s al-Itqan fii ulum al-Quran on nasikh wa mansukh; Darwaza’s al-Quran Al-Majid)Kita harus menyatakan bahwa ayat rajam merupakan pendapat Umar pribadi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya sesuai kaidah ilmiah yang telah disepakati seperti adanya teks yang mendukung adanya ayat tersebut dan teks tersebut harus ditulis dihadapan Rasulullah disaksikan oleh dua orang. [Fathul Bahri, Ibnu Hajar]

Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid: `Duduklah kamu berdua dipintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah [HR. Abu Dawud]

Itulah yang menyebabkan kesaksian Umar tertolak sebab begitu Umar ditanyakan argumennya ayat tersebut memang ada dia tidak bisa membuktikannya [Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 273]

Memang ada riwayat juga yang menyatakan Aisyah telah menyimpan teks tersebut dan hilang setelah Rasulullah saw meninggal dunia, akan tetapi hal ini juga menjadi pertanyaan sebab kenapa cuma Aisyah yang menyimpan teks tersebut dan mengapa tidak semua orang tahu akan adanya ayat tersebut. Redaksi Umar yang menyatakan bahwa “orang-orang akan mengatakan bahwa Umar telah menambahkan sesuatu pada kitab Allah” membuktikan bahwa ayat ini hanya diketahui oleh Umar, Aisyah dan juga ditambah riwayat Ibnu Abbas. Akan tetapi mengapa hanya tiga orang yang mengetahui ayat ini adalah sangat ganjil sebab rasulullah sendiri ditugaskan untuk menyebarkan seluruh ayat Quran kepada semua manusia sehingga seharusnya ayat ini diketahui banyak orang.

Adalah kebiasaan Rasulullah Saw untuk meminta penulis wahyu untuk membaca kembali ayat tersebut setelah menuliskannya, menurut Zaid bin Tsabit, jika ada kesalahan dari penulisan dia membetulkannya, setelah selesai barulah Rasulullah Saw membolehkan menyebarkan ayat tersebut. [Majmauz Zawaid, vol.I, p. 60]

Rasulullah menulisnya dan baru menyebarkannya kepada masyarakat, riwayat ini membuktikan bahwa suatu ayat seharusnya mutawatir (banyak diketahui orang) disamping ada teks yang dapat dipertanggungjawabkan. Kecurigaan bahwa ayat yang dimaksud adalah hadits qudsi, hadits yang memang diturunkan oleh Allah adalah sebuah keniscayaan sebab hadits sudah biasa diriwayatkan dalam keadaan ahad.

Mungkin ada juga yang berdalih bukankah Zaid sendiri mencari Huzaimah Al anshary dan hanya dia satu-satunya yang mempunyai akhir surat attaubah?

“Sampai saya temukan akhir dari surat At taubah pada Abu Khuzaimah Al Anshary yang tidak terdapat pada surat yang lainnya” [HR. Bukhari]

Pengecualian akhir surah al-Taubah dari kaidah tersebut, disebabkan catatannya hanya ditemukan pada Abî Khuzaimah al-Anshârî dan berdasarkan kemutawatiran hafalannya, sehingga Rasulullah mengatakan kesaksiannya setara dua orang saksi bahwa ayat tersebut ditulis di hadapan Rasulullah. [Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1990), Cet. XVIII, hlm. 76]

“Adapun perkataan Zayd: “Saya tidak menemukannya kecuali pada Abî Khuzaimah”, bukan berarti penetapan Alquran dengan khabar âhâd karena Zayd dan sahabat lain menghafal ayat tersebut dan pencariannya kepada sahabat bertujuan untuk menampakkannya bukan sebagai pengetahuan baru.” [Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), Vol. I, hlm. 296]

Jadi Zayd sendiri mengetahui ayat tersebut dan berusaha membuktikannya dengan mencari data yang digunakan untuk memperkuat argumennya, hingga catatan yang benar-benar ditulis dihadapan rasulullah ditemukan. Karena Zayd sendiri memang sudah mempunyai catatan ayat tersebut akan tetapi dia tidak punya catatan yang ditulis langsung dihadapan Rasulullah, mengenai kesaksian Abu Khuzaimah yang setara dengan dua orang saksi telah ditegaskan oleh Rasulullah sebelumnya, yang sekaligus membuktikan bahwa proses kompilasi Quran ini telah diprediksi sebelumnya oleh Rasulullah Saw.

Dari Anas berkata bahwa ketika Nabi meninggal, tidak ada yang telah mengumpulkan Quran kecuali empat para orang: Abu Al-Darda`, Mu’adz bin Jabal, Zayd bin Thabit dan Abu Zayd. [HR. Bukhari]

Sahih Bukhari Volume 6, Book 60, Number 307:
Narrated Zaid bin Thabit: When we collected the fragramentary manuscripts of the Qur’an into copies, I missed one of the Verses of Surat al-Ahzab which I used to hear Allah’s Apostle reading. Finally I did not find it with anybody except Khuzaima Al-Ansari, whose witness was considered by Allah’s Apostle equal to the witness of two men. (And that Verse was:) ‘Among the believers are men who have been true to their covenant with Allah.’

Terakhir dan bukti yang paling kuat adalah mengenai teks yang Umar yang meragukan dan aneh serta tidak sesuai dengan gaya bahasa Quran:

“Dan bagi laki-laki tua yang berzinah dan wanita tua yang berzinah, rajam mereka atas kesenangan yang telah mereka perbuat”

Lafadz al-Syaikhu wa al-Syaikhatu sangat meragukan karena berarti adalah laki-laki yang sangat tua dan wanita yang sangat tua atau berusia lanjut hal ini seperti yang ada pada ayat Quran yang lainnya,


وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّىٰ يُصْدِرَ الرِّعَاءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua (Syaikh) yang telah lanjut umurnya” (QS. 28:23)

قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَٰذَا بَعْلِي شَيْخًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ

Istrinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua (Syaikhatu) , dan ini suamiku  pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh. (QS. 11:72)


هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا ۚ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua (Syaikh), di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS. 40:67)

Dari ayat-ayat tersebut diatas tampak kata Syaikh dan Syaikhatu dipergunakan untuk menunjukkan kata laki-laki tua dan wanita tua. Artinya apa? artinya jelas bahwa jika ayat ini dimasukkan berarti hukum rajam bagi pezina hanya diberlakukan bagi laki-laki dan wanita yang sudah berusia tua, oleh karenanya tentu saja teks ini mengundang kritikan keras dari Zaid bin Tsabit yang menyatakan : “Bukankah dua pasang muda yang telah menikah juga dirajam?” [Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 273]

Tambahan dari saya, Umar sendiri telah mengakui bahwa Quran telah menyebutkan adanya ayat-ayat rajam. Jadi jika Umar meyakini bahwa ada ayat-ayat rajam yang tidak disebutkan tentulah ini bertentangan dengan pernyataan Umar sendiri:

Sahih Bukhari Volume 9, Book 92, Number 424t :
When we reached Medina, ‘Umar (in a Friday Khutba-sermon) said, “No doubt, Allah sent Muhammad with the Truth and revealed to him the Book (Quran), and among what was revealed, was the Verse of Ar-Rajm (stoning adulterers to death).” [See Hadith No.817,Vol.8)

Sahih Bukhari volume 8, Book 82, Number 816:
Narrated Ibn ‘Abbas: ‘Umar said, “I am afraid that after a long time has passed, people may say, “We do not find the Verses of the Rajam (stoning to death) in the Holy Book,” and consequently they may go astray by leaving an obligation that Allah has revealed. Lo! I confirm that the penalty of Rajam be inflicted on him who commits illegal sexual intercourse, if he is already married and the crime is proved by witnesses or pregnancy or confession.” Sufyan added, “I have memorized this narration in this way.” ‘Umar added, “Surely Allah’s Apostle carried out the penalty of Rajam, and so did we after him.”

Hadis diatas juga hanya menjelaskan kekhawatiran Umar bahwa suatu saat orang-orang akan mengatakan bahwa ayat-ayat rajam tidak diturunkan (diwahyukan) dalam Quran tapi hanya melalui hadis. Ini saja pengertian dari hadis diatas. Kenyataannya hukum rajam telah disebutkan dalam hadis.

Related Article: What about missing verse on stoning? (rajam)

5. LAPORAN DARI SUYUTHI DALAM AL-ITQAN

Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab 33 : 56 pada masa Nabi adalah LEBIH PANJANG yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal” selepas “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala al-Nabi…” Aisyah berkata,”Yaitu sebelum USMAN MENGUBAH mushaf-mushaf. ”Aisha dilaporkan menyatakan bahwa saat nabi SAW hidup, sura 33 (al-Ahzab) adalah 3 kali lebih panjang daripada yang ada dalam mushaf Usman. Sumber:
  • Al Raghib al Isfahani, Muhadarat al Udaba, vol 4 p 434
  • Suyuti, al Durre Manthur, vol 5 p 180
  • Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 1 p 226
Kutipan dari Suyuthi :
Aisyah berkata, “Surah al-Ahzab dibaca pada zaman Rasulullah SAW SEBANYAK 200 AYAT, tetapi pada masa Usman menulis mushaf surah tersebut TINGGAL 173 AYAT SAJA.”

Sanggahan
  • pertama yaitu kitab Suyuti bukanlah buku sumber, sehingga sebenarnya buku ini tidak bisa dijadikan dasar argumentasi. Kenapa demikian adalah karena didalam buku ini tidak ada sanad, dan sesuatu yang tidak mempunyai sanad tidak dapat dijadikan dasar argumentasi.
  • Kedua, sebagai bukti bahwa buku Suyuti ini mengandung kekeliruan adalah ketika menceritakan tentang berbagai macam perbedaan bacaan (lebih kurang 40 bacaan) dari berbagai macam sumber pada kitab “Al-Ittiqaan fi `uloom al-Qur’an” pada kitab sesudahnya imam suyuti yaitu “Tafsir al-Hawaalik” beliau justru mengakui bahwa tidak ada satupun riwayat tersebut yang dapat diterima !!!.
  • Ketiga, kalaupun riwayat itu diterima hal itu tidak bisa dibenarkan secara ilmiah karena sesuatu yang hanya berdasarkan pendapat satu orang tidak dapat dijadikan bukti, karena didalam Islam selain Qur’an juga ada yang dikenal sebagai hadits qudsi yang secara redaksional hampir mirip dengan Al Qur’an.
  • Keempat mengenai Aisyah sumber yang sahih seperti yang saya kutip diatas menunjukkan bahwa apa yang ditulis oleh Aisyah sangat berbeda dengan apa yang dilakukan Zaid dan sahabat yang lain karena Zaid menulis dihadapan nabi Muhammad, sedangkan Aisyah menulis setelah mendengar dari nabi, sesuatu yang tidak mustahil bahwa persepsi Aisyah itu adalah pendapat pribadi pada ayat itu dan bukan pada keberadaan/entitas ayat itu sendiri.
Akhirnya nampak jelas bagi kita segala argumentasi kaum pagan tentang Al Quran menjadi terhempas dan semakin redup dibawah terangnya cahaya Quran dan nampaklah bahwa Quran merupakan wahyu Allah yang terjaga sampai akhir zaman nanti.


إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. 15:9)



[Sumber: blog-asy-syura | Islam Menjawab Fitnah]



Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers