Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, July 31, 2010

Cinta dan Mahabbatullah


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.


DEFINISI CINTA

Imam Ibnu Qayyim mengatakan, "Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri". Membatasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Kebanyakan orang hanya memberikan penjelasan dalam hal:

  • sebab-musabab,
  • konsekuensi,
  • tanda-tanda,
  • penguat-penguat dan
  • buah dari cinta serta 
  • hukum-hukumnya.
Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan,kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11) 

BEBERAPA DEFINISI CINTA

  • Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai).
  • Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya.
  • Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, seia sekata dengannya baik dengan sembunyi-sebunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang.
  • Mengembaranya hati karena mencari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.
  • Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya. 
PEMBAGIAN CINTA 

Cinta Ibadah 
Ialah kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersemangatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya. 

Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga. Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta. 

Cinta karena Allah 
Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah. 

Cinta yang sesuai dengan tabi'at (Manausiwi)
Yang termasuk ke dalam cinta jenis ini ialah: 

  • Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit. Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya atau syaikhnya, dan yang semisalnya.
  • Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya. 
Jika kecintaanya tersebut membantunya untuk mencintai dan mentaati Allah maka kecintaan tersebut termasuk ketaatan kepada Allah, demikian pula sebaliknya.Cinta-cinta yang demikian termasuk dalam kategori cinta yang manusiawi yang diperbolehkan.

KEUTAMAAN MENCINTAI ALLAH 

Merupakan Pokok dan inti tauhid 
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy, "Pokok tauhid dan inti-sarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata. Dan itu merupakan pokok dalam peng-ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menyerahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman". (Al-Qaulus Sadid,hal 110) 

Merupakan kebutuhan yang sangat besar melebihi makan, minum, nikah dan sebagainya
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: "Didalam hati manusia ada rasa cinta terhadap sesuatu yang ia sembah dan ia ibadahi, ini merupakan tonggak untuk tegak dan kokohnya hati seseorang serta baiknya jiwa mereka. Sebagaimana pula mereka juga memiliki rasa cinta terhadap apa yang ia makan, minum, menikah dan lain-lain yang dengan semua ini kehidupan menjadi baik dan lengkap.Dan kebutuhan manusia kepada penuhanan lebih besar daripada kebutuhan akan makan, karena jika manusia tidak makan maka hanya akan merusak jasmaninya, tetapi jika tidak mentuhankan sesuatu maka akan merusak jiwa/ruhnya. (Jami' Ar-Rasail Ibnu Taymiyah 2/230) 

Sebagai hiburan ketika tertimpa musibah 
Berkata Ibn Qayyim, "Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai". (Madarijus-Salikin 3/38) 

Menghalangi dari perbuatan maksiat
Berkata Ibnu Qayyim (ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah): 
"Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak me-nyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya".

Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah.Dan ada perbedaan antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya. 

Sampai pada ucapan beliau, "Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya.Dan diantara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya". (Thariqul Hijratain, hal 449-450)

Cinta kepada Allah akan menghilangkan perasaan was-was
Berkata Ibnu Qayyim, "Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbedaan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya". 

Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)

Merupakan kesempurnaan nikmat dan puncak kesenangan
Berkata Ibn Qayyim, "Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta'ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencintai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan, dan menjadi kayalah batin. Maka tidak ada yang lebih Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya. 

Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula pengham-baan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya.”(Ighatsatul-Lahfan, hal 567) 

ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH SWT

Allah Subhannahu wa Ta’ala mencintai dan dicintai. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Ma’idah: 54, yang artinya: “Maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.”

Cinta Dan Mencintai Allah

  • Mereka yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala :
  • Attawabun (orang-orang yang ber-taubat),
  • Al-Mutathahhirun (yang suka bersuci),
  • Al-Muttaqun (yang bertaqwa),
  • Al-Muhsinun (yang suka berbuat baik)
  • Shabirun (yang penyabar),
  • Al-Mutawakkilun (yang bertawakal kepada Allah)
  • Al-Muqsithun (yang berbuat adil).
  • Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.
  • Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.
  • Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.
  • Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.
  • Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.
  • Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.
BAGAIMANA MENDAPATKAN CINTA ALLAH? 

  • Membaca Al-Qur’an dengan memikirkan dan memahami maknanya.
  • Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.
  • Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik de-ngan lisan, hati maupun dengan anggota badan dalam setiap keadaan.
  • Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
  • Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.
  • Melihat kebaikan dan nikmatNya baik yang lahir maupun yang batin.
  • Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
  • Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur’an , merenung dengan hati serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.
  • Duduk dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari para ulama dan da’i, mendengar-kan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembicaraan yang baik.
  • Menjauhi/menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala. 

[Disadur dari kalimat mutanawwi’ah fi abwab mutafarriqah karya Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd oleh Abu Muhammad].

Thursday, July 29, 2010

Akibat Kufur Nikmat




Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.

Kufur Nikmat Menyebabkan Rahmat Menjadi Laknat

أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَأَوَلَمْ يَهْدِ لِلَّذِينَ يَرِثُونَ الأَرْضَ مِن بَعْدِ أَهْلِهَا
أَن لَّوْ نَشَاء أَصَبْنَاهُم بِذُنُوبِهِمْ وَنَطْبَعُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ
"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada orang yang merasa aman dari azab Allah kecuali mereka adalah orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka karena dosa-dosanya. Dan kami kunci mati hati mereka, sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?" (QS Al-A'raaf [7]: 99 - 100). 

Sebelum turun peringatan itu, Allah 'Azza wa Jalla lebih dulu berjanji akan menurunkan berkah-Nya dari langit dan dari bumi pada suatu negeri yang masyarakatnya beriman serta bertaqwa, sebagai sarana pemakmuran dan penentraman kehidupan.

Namun, sayangnya kebanyakan manusia cenderung malalaikan peringatan itu dan mengingkari nikmat Allah. Sehingga, turunlah ketetapan hukum-Nya terhadap mereka, yakni siksaan dan hinaan sehina-hinanya didunia dan akhirat, Sebagaimana firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (QS Al-A'raf [7]: 96).

Ayat pembuka di atas adalah peringatan kepada siapa saja yang lalai dalam mengemban amanah Allah untuk senantiasa menjaga kehidupan dari hal-hal yang merusak. Alam adalah nikmat sempurna Allah SWT yang dipersembahkan kepada umat mnusia. Karena itu, manusia wajib mensyukurinya dengan cara memelihara kelestariannya serta mempertahankannya sekuat mungkin dari upaya-upaya destruktif.

Alam ini penuh dengan semilyar pesona dan keistimewaan-keistimewaan yang luar biasa, karena itu hanya dipersembahkan pada manusia, sebagai mahluk ciptaan-Nya yang paling istimewa dari segi jatah pemberian rezeki dari penciptanya. 

Bukanlah Allah telah ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik ciptaan diantara ciptaan-Nya yang lain? Bukankah alam dan seluruh habitat tempat manusia berdiam telah diformat dalam keadan "siap pakai" dengan semua hukum alam yang pasti dan tetap, sebagai sarana penunjang kelangsungan hidup manusia? Dan jangan lupa, selain nikmat yang bersifat zahir itu (sarana hidup), Allah juga menyempurnakan nikmat manusia dengan memberikan mereka pedoman hidup sempurna (Islam).

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin". (QS Lukman [31]: 20). 

Sehingga, dengan sarana dan pedoman hidup sempurna yang Allah karuniakan kepada manusia, seyogyanya mereka dengan survive, hidup mulia, makmur dan tenteram.

Dengan kata lain, manusia mestinya mampu eksis sebagai khalifah-khalifah Allah di atas muka bumi dengan penuh izzah dan kewibawaan. Sebagai khalifah Allah di atas muka bumi, ada dua tugas pokok penting yang harus diemban dan ditunaikan mnusia sampai hari kiamat. 

  • memakmurkan bumi (al-'Imarah). 
  • memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak mana pun (ar-Ri'ayah). 
Memakmurkan Bumi Terkait dengan tugas ini, ada kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT kepada manusia, yakni mereka harus mengekplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka, sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap memelihara kekayaan agar tidak punah. Sehingga, generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.

Dengan begitu ada beberapa hal yang harus diperhatikan manusia dalam menggali kekayaan bumi.

Pertama, menggunakan friendly technology (teknologi ramah lingkungan). Apa pun usaha pemanfataan kekayan alam, entah pertambangan, pertanian, usaha, kehutanan, industri dan lain-lain haruslah dengan memberi satu garansi, bahwa ekosistem alam tidak menjadi rusak, tidak membuat hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan udara menjadi punah dan tercemar racun-racun yang membahayakan kehidupan.

Kedua, adanya konsep corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan). Perusahaan atau korporasi yang bertanggung jawab tak selayaknya mendirikan bangunan-bangunan industrinya dengan megah, namun tak memberi pemberdayaan baik secara material, akal, maupun spiritual bagi warga setempat.

Logikanya, masyarakat sekitar lokasi industri yang tercukupi secara materi dan tercerahkan akal spiritualnya, akan ikut bertanggung jawab memelihara ekosistem alam.

Ketiga, menjalankan usaha dengan cara-cara bersaing yang sehat. Dengan demikian, sebuah usaha yang baik tidak akan dijalankan dengan cara monopoli tanpa memberi orang lain kesempatan untuk berusaha dalam bidang yang sama.

Memelihara Bumi
Memelihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak para SDM (sumber daya manusia) sebuah perusahaan serta lingkungannya dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Karena SDM yang rusak akan sangat potensial merusak alam.

Dengan demikian, premis ini menuntut bahwa setiap jenis usaha apa pun harus memperhatikan hal-hal berikut: 

  • tidak membiarkan SDM perusahaan melakukan kebiasaan-kebiasaan merusak (menonton film-film porno, mabuk, judi, main perempuan, dan sebagainya). 
  • tidak mengizinkan lingkungan sekitar berdiri sarana-sarana kemaksiatan. 
  • tidak membiarkan berkembangnya sarana-saran yang memungkinkan tumbuhnya tradisi syirik dan kekerasan. 
  • menjatuhkan saksi yang berat bagi para perusak akidah dan akhlak. 
  • menumbuhsuburkan kegiatan-kegiatan keagamaan secara kontinyu dan baik. Adalah wajar bila Islam berkepentingan agar manusia secara kolektif berjuang keras (berjihad) agar syariat-Nya tegak di atas muka bumi. Karena, hanya Islam yang paling lengkap daan concern aturannya dalam menjaga kelangsungan hidup, dan dalam memelihara ekosistem alam. 
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ
"Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karen orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena dia membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya." (Al-Maaidah [5]: 32).

Dalam ayat lain Allah menyuruh manusia agar giat menggali karunia-Nya untuk investasi di akhirat. Ini berarti konsep pembangunan negara dan bangsa haruslah berwawasan ketuhanan (berwawasan tauhidullah).

Allah SWT melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi, karena Dia tidak menyukai kamu perusak (destroyer). Dengan spirit inilah generasi awal Islam membangun dan berperang dengan rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, Islam datang tidak membawa bencana, tetapi bahkan sebaliknya, ia membawa rahmat.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ
اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
"Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Dan janganlan kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Jangan berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS Al-Qashash [28]: 77).

Kalau kita mau merenung sejenak memikirkan tentang bencana demi bencana yang tak putus menimpa bangsa Indonesia, seharusnya kita mengintrospeksi tindakan kita dan kebijakkan-kebijakkan pembangunan negara selama ini. Jikalau turunnya hujan yang semestinya membawa rahmat tetapi malah berubah menjadi bencana, sekali lagi, hal itu patut patut kita renungkan. Jangan-jangan banyak sekali kelalaian-kelalaian, baik disengaja maupun tidak, yang kita lakukan sehingga kita tidak amanah di dalam mengelola kehidupan.

Alam kita biarkan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, boleh jadi kita termasuk yang langsung atau tidak langsung melakukan proses perusakan itu. Banjir telah menggenangkan berbagai wilayah di tanah air. Di wilayah ibu kota DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang dan beberapa kota di pulau Jawa, titik-titik daerah banjir kian meluas.

Belum lagi kerusakan lingkungan akibat Lumpur Lapindo yang telah menyebabkan kerugian besar bagi pemerintah yang telah mengelontorkan triliunan rupiah untuk menanggulanginya, kerugian masyarakat yang terkena dampak langsung dan terhambatnya arus lalu lintas.

Hari ini semburan lumpur panas Lapindo, Sidoarjo, genap berusia empat tahun. Saban hari bumi Sidoarjo memuntahkan sekitar 100 ribu meter kubik lumpur panas. Jika segala upaya penyumbatan gagal, lumpur diperkirakan bakan terus menyembur selama 31 tahun, sampai sekitar 1.155 miliar meter kubik lumpur di perut bumi Sidoarjo habis. Akibat lumpur, 12 desa di tiga kecamatan telah tenggelam. Ribuan keluarga terusir dari rumah mereka. Sedangkan ganti rugi untuk korban tak jelas kapan lunasnya. [Tempointeraktif.com]

Alangkah bijaknya bila bencana demi bencana yang menimpa berbagai wilayah di Indonesia, kita jadikan bahan instrospeksi. Yang penulis maksud dengan "kita" adalah pemerintah dan rakyat. Agar kedua komponen bangsa itu membangun kesadaran secara bersama untuk kembali kepada jalan Allah. Kembali memperhatikan peraturan-peraturan-Nya tentang pemeliharaan kehidupan, agar kita menjadi orang-orang yang amanah sekaligus menjadi bangsa yang pandai mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. 

Maka, tidak ada salahnya jika musibah banjir, lumpur Lapindo, serta berbagai musibah yang bertubi-tubi melanda negeri tercinta ini, kali ini kita jadikan momentum pertaubatan nasional. Wallahu a'lam.


Sumber: Buletin Khairu Ummah

Tawakkal dan Sabar


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.

Allah SWT berfirman:

وَمَا لَنَا أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
"Apa yang menyebabkan kita tidak bertawakkal kepada Allah, sedangkan DIA telah menunjukan jalan-jalan kita, dan hendaklah kita sabar atas segala yang menimpa kita, Dan Atas Allah lah tempat bertawakkalnya orang-orang yang bertawakkal." (Q.S. Ibrahim [14]:12).

Pada ayat yang mulia ini Allah SWT memberikan teguran keras pada manusia yang selalu mengandalkan kemampuannya yang jelas sangat terbatas, sementara Allah-lah yang menunjukkannya jalan-jalan kehidupan ini.

Sehebat apapun rencana yang telah dirancang manusia, kemungkinan gagal tentu bisa saja terjadi, hal demikian adalah wajar kerena keterbatasan yang selalu menjadi identitas kemakhluqan-nya.

Permasalahan yang terjadi, manusia justru jarang sekali menyadarinya. Keyakinan akan keberhasilan yang kemudian berbuah dengan kegagalan, membuatnya menjadi frustasi dan hilang semangat hidup.

Hal inilah yang ditegaskan dalam ayat yang mulia ini. Sebagai solusi dalam permasalahan ini, Allah Tabaraka wata'ala memberikan petunjuk pada manusia untuk selalu menyerahkan segala urusan yang telah dia usahakan (ikhtiar) hanyalah kepada-Nya, inilah makna tawakkal yang sebenarnya.


إِن يَنصُرْكُمُ اللّهُ فَلاَ غَالِبَ لَكُمْ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَن ذَا الَّذِي يَنصُرُكُم مِّن بَعْدِهِ وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكِّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal. (QS Ali Imran [3]:160)
Gambaran tawakkal yang paling rendah adalah seperti orang yang mewakilkan perkaranya kepada orang lain. Dalam keadaan ini dia akan selalu penuh harap akan suksesnya usaha orang tersebut dalam mengemban perkara yang dia percayakan. Tentu pula ia akan memenuhi segala sesuatu yang diminta oleh orang itu dalam melaksanakan misinya. Bahkan setiap kata dan saran orang itu menjadi sesuatu yang sangat disimaknya.

Kalau gambaran ini sudah bisa difahami, maka selayaknya sebagai seorang Muslim, ia menyerahkan segala urusanya hanya kepada Allah semata, Dengan segala keyakinan apapun yang terjadi setelah ketawakkalannya merupakan sesuatu yang terbaik. Hal ini akan menjadikannya semakin tenang dengan menempatkan harapannya kepada Dzat yang telah menunjukannya jalan-jalan kehidupan ini. Tawakkal ini menjadi hal sebenarnya apabila ia telah menegakkan hak-hak Allah SWT, yaitu dengan menyempurnakan ketauhidan sepenuhnya kepada Allah.

وَلِلّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan".
(QS Hud [11] :123

Gambaran tawakkal yang selanjutnya adalah seperti seorang bayi yang selalu bergantung pada ibunya. 

Tidak ada kekuatan yang bisa ia lakukan kecuali dengan bantuan ibunya sebagaimana tidak ada orang yang lebih ia kenal kecuali ibunya, ketika ia memerlukan makanan maka orang pertama yang ia harapkan menghilangkan laparnya itu adalah ibunya.
Begitu pula seorang ibu ketika cinta dan sayangnya pada anaknya membuat dia selalu khawatir akan keselamatannya. Begitulah seorang hamba yang selalu menyadari kelemahan dirinya, ketidak mampuanya untuk mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari, akan membuatnya selalu menyerahkan segala perkaranya kepada Allah, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah SWT pun akan selalu mencintai hambanya ini dan akan memberikan dia petunjuk jalan yang lurus, sebagai mana Ia akan menambahkan nikmat pada hamba-Nya itu.

Sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". (QS Al-Baqarah [2]:120)

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
".....tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus". (QS Al-Hujurat [49]:7)

Gambaran tawakkal yang kedua ini adalah gambaran tawakkal seorang hamba kerena cintanya kepada sang Khaliq.
وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ
"Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah". (QS Al-Baqarah [2]:165)

Tentunya gambaran-gambaran ini tidaklah sepenuhnya mampu memberikan petunjuk bagaimana seharusnya seorang hamba bertawakkal kepada Allah, kerena Allah lebih agung dari apa yang kita gambarkan.

Faktor yang paling penting dalam ketawakkalan seorang hamba adalah kesabaran dia dalam menghadapi segala kesusahan yang mungkin menghiasi kehidupan. Hal itu bisa terjadi dari orang lain atau bisa timbul dari dirinya sendiri. Kesabaran itulah yang akan membimbing seseorang untuk selalu menyempurnakan ketawakkalannya kepada Allah SWT.

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْراً وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
rabbinaa lammaa jaa-atnaa rabbanaa afrigh 'alaynaa shabran watawaffanaa muslimiina
"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)".


Dari: Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Sekilas tentang Surga



Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman.


KEBERADAAN SURGA

Keberadaan surga ditunjukkan dengan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari Al-Qur'an, di antaranya adalah firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىعِندَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىعِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal." (QS. An-Najm [53]:13-15) 

Disebutkan di dalam as-Shahihain (riwayat al-Bukhari dan Muslim) dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah Isra' Mi’raj, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Sidratil Muntaha dan melihat di sisinya ada Jannatul Ma'wa.

Beliau SAW bersabda,
"Kemudian Jibril membawaku pergi hingga berhenti d Sidratil Muntaha, maka Sidratil Muntaha itu diliputi warna-warni yang aku sendiri tidak mengetahui apa itu. Lalu beliau bersabda, "Kemudian aku masuk ke dalam surga dan ternyata di dalamnya bertahtakan mutiara dan debunya terbuat dari misik." [HR al-Bukhari dan Muslim]

Dan di dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila mati maka akan diperlihatkan kepadanya tempat kembalinya setiap pagi dan sore. Kalau diperlihatkan bahwa dia termasuk penghuni neraka, maka dia akan menjadi penghuni neraka. Dan Jika diperlihatkan sebagai penghuni surga, maka dia akan menjadi penghuni surga. Lalu dikatakan, "Inilah tempatmu hingga Allah membangkitkanmu pada hari Kiamat." [HR al-Bukhari dan Muslim]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa surga adalah makhluk Allah subhanahu wata’ala yang telah diciptakan, sebagaimana pula dengan neraka.

Maka orang yang menyelisihi keyakinan ini adalah termasuk ahli bid'ah, seperti mu'tazilah yang mengatakan bahwa surga belum diciptakan, tetapi baru diciptkan pada hari Kiamat kelak.

Pintu-Pintu Surga 
Allah subhanahu wata’ala berfirman;

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَراً حَتَّى إِذَا جَاؤُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ
لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ
“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya dibawa ke surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya" (QS. Az-Zumar [39]:73)

Di dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa surga memiliki pintu-pintu, sebagaimana juga neraka. Dan pintu-pintu surga apabila nanti telah terbuka, maka akan terus dibiarkan terbuka tidak sebagaimana pintu neraka, ia akan ditutup rapat sebab neraka merupakan penjara. Allah subhanahu wata’ala berfirman;

هَذَا ذِكْرٌ وَإِنَّ لِلْمُتَّقِينَ لَحُسْنَ مَآبٍجَنَّاتِ عَدْنٍ مُّفَتَّحَةً لَّهُمُ الْأَبْوَابُ 
“Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) surga 'Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka.” (QS. Shaad [38]:49-50)

Adapun neraka, maka tidaklah demikian, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, 

نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُالَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِإِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ
“(Yaitu) api (disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka.” (QS. Al-Humazah [104]:6-8)

Rahasia di balik terbukanya pintu surga bagi para penghuninya adalah karena mereka dapat mondar-mandir, datang dan pergi ke mana saja sesuka mereka.

Dan yang ke dua adalah karena malaikat masuk ke dalam surga setiap waktu dengan penuh sikap lembut dan ramah. Ini menunjukkan bahwa surga merupakan tempat aman dan kedamaian yang tidak butuh untuk dikunci (ditutup) pintunya. 

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

"Di dalam surga terdapat delapan pintu, salah satunya sebuah pintu yang disebut dengan "ar-Rayyan". Tidak memasuki pintu tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa."

Di Manakah Surga Berada? 
Allah subhanahu wata’ala berfirman;
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىعِندَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىعِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى 
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal." (QS. An-Najm [53]:13-15)

Ayat ini menunjukkan bahwa surga itu berada di atas langit, karena Sidratil Muntaha berada di atas langit. Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala;
وَفِي السَّمَاء رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ“
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz-Zariyaat [51]:22)

Imam Mujahid berkata, "Yang dimaksudkan adalah surga."

Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga berkata, " Surga itu berada di atas langit yang ke tujuh." 
Kunci Surga 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Kunci Surga adalah persaksian tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah." [HR Ahmad 5/242].

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih; "Bukankah kunci surga itu adalah kalimat la ilaha illallah?
Maka dia menjawab, " Ya, akan tetapi tiadalah suatu kunci itu kecuali dia mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan kunci yang bergigi, maka surga akan terbuka, jika tidak, maka tidak akan terbuka". 

Yang beliau maksudkan dengan "gigi" di sini adalah rukun-rukun Islam.

Jalan Menuju Surga 
Jalan menuju surga telah disepakati oleh para rasul dari awal hingga akhir hanyalah satu.
Sedangkan jalan ke neraka amatlah banyak tidak terhitung.

Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa jalan yang lurus itu hanyalah satu dan menyebutkan jalan kesesatan adalah banyak.

Allah subhanahu wata’ala berfirman;

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (QS. Al an'am [6]:153) 

Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah berkata;
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuatkan kami sebuah garis lurus lalu bersabda, "Ini adalah jalan Allah". Kemudian beliau membuat banyak garis di sebelah kanan dan kirinya lalu bersabda, "Ini adalah jalan-jalan, dan pada setiap jalan itu terdapat syetan yang menyeru ke sana." Lalu beliau membacakan ayat tersebut di atas.

Tingkatan Surga 
Surga memiliki tingkatan-tingkatan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, 

هُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ اللّهِ واللّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
”(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali Imran [3]:163) 

أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
"Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal [8]:4)

Tingkatan surga tertinggi adalah surga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu "Al Wasilah" sebagaimana dalam hadits riwayat imam Muslim dari Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

"Apabila kalian mendengar muadzin (sedang adzan) maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintalah untukku Al-Wasilah, Karena ia merupakan kedudukan di surga yang tidak layak kecuali hanya untuk seorang hamba saja dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap orang itu adalah aku. Barangsiapa yang meminta untukku al-Wasilah maka dia berhak mendapatkan syafa'atku.” [HR. Muslim].

Nama-nama Surga 
Surga biasanya disebut dengan Jannah, dan inilah nama yang umun digunakan untuk menyebut tempat ini dan segala yang terdapat di dalamnya berupa kenikmatan, kelezatan, kemewahan, dan kebahagiaan. Nama-nama lain dari Surga di antaranya adalah:

1. Darus Salam 
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

لَهُمْ دَارُ السَّلاَمِ عِندَ رَبِّهِمْ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal sholeh yang selalu mereka kerjakan.” (QS.Al-An'am [6]:127)

Surga adalah Darussalam (negri keselamatan) dari segala musibah, kecelakaan, dan segala hal yang tidak disukai, dan dia merupakan negri Allah subhanahu wata’ala, diambil dari nama Allah “as-Salam”. Allah subhanahu wata’ala pun mengucapkan salam atas mereka, 

لَهُمْ فِيهَا فَاكِهَةٌ وَلَهُم مَّا يَدَّعُونَسَلَامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ
“Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan), "Salam", sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang.” (QS. Yasiin [36]:57-58)

2. Jannatu 'adn
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala;

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالمَلاَئِكَةُ يَدْخُلُونَ
عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍسَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
"(Yaitu) surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang sholeh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra'd [13]:23-24)

3. Jannatul Khuld
Karena penduduknya kekal di dalamnya dan tidak akan berpindah ke alam (tempat) lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman;

قُلْ أَذَلِكَ خَيْرٌ أَمْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ كَانَتْ لَهُمْ جَزَاء وَمَصِيراً
”Katakanlah, "Apakah (azab) yang demikian itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang- orang yang bertaqwa?" Surga itu menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka.” (QS. Al-Furqan [25]:15)

4. Darul Muqamah
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala; 

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ
الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِن فَضْلِهِ لَا يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلَا يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ
“Dan mereka berkata:"Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu". (QS. Faathir [35]:34-35)

5. Jannatul Ma'wa
Al-Ma’wa artinya adalah tempat menetap sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat an-Najm di atas. Disebut demikian karena surga merupakan tempat menetapnya orang-orang mukmin

6. Jannatun Na'im

7. Al Muqamul Amin

Sumber: Buku “Biladul Afrah”, Sulaiman bin Shalih al-Khurasyi, Gambaran surga secara ringkas dari kitab “Hadil Arwah” Imam Ibnul Qayyim.

Imam Abu Hanifah




IMAM ABU HANIFAH

Sejarah Singkat Imam Hanafi

Imam Hanafi, atau dikenal juga sebagai Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.

Nasab dan Kelahirannya 

Bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi. 
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.

Perkembangannya

Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah, cucunya, menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.

Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.

Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.

Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, aku optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun aku akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas aku tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka aku bersamanya selama 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.

Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya: Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.

Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah

Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
  1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
  2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
  3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
  4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
  5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
  6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
  7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
  8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
  9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah

Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya:

  1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
  2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
  3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
  4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits, dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …

Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”

5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.

Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq., Coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.

Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.

Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”

Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah

Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:

a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.

b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.

Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.

Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, 

“Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. 

Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.

c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya

Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapan-Nya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.

Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.

* Dikitip dari Majalah Fatawa

Daftar Pustaka:
  1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
  2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
  3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
  4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
  5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
  6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyad

[Sumber: Fardhie]

Kejujuran seorang Imam




Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya, di pusat kota kufah. Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual.

Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka, dengan maksud agar kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya.

Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.

“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah.

Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri. “Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya.

“Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu. "Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.”

Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu.

“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa. “Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?” “Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.”
“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya.

“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum.

Di dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya.

Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak. Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali.

Imam Hanafi lalu menghampirinya. “Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.”

"Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. “Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi.

Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini, "saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi.

“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?”

“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.”
Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut.

“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.” Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih.

Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar.
Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang.

Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu. “Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk.

Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian. Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya.

“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,”kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya.

“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi.
“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” sahabatnya sangat menyesal.

Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya.

“Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya,” ucap Imam Hanafi.

Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui. Imam Hanafi amat sedih.

Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya.

“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,”
ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu.

Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain.

Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya.

Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu disudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin.

Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh. “Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya?” tanyanya.

“Tidak,  Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi.

Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers