Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Wednesday, April 17, 2019

Tentang Al-A’yan Ats-Tsabitah

FirmanAllah,

"Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” [Hadits Qudsi]

Dalam artikel terdahulu telah dibahas alam Jabarut, suatu alam tertinggi di antara seluruh alam yang ada. Ia sudah masuk ke dalam tingkatan alam gaib mutlak. Di atas alam ini sudah tidak ada lagi alam, adanya hanya martabat atau maqam yang tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti apa pun selain Allah (ma siwa Allah).

Martabat di atas alam Jabarut biasanya disebut dengan entitas yang tidak berubah (al-A’yan ats-Tsabitah/immutable entities). Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk dalam level pembahasan yang tinggi dan tidak banyak ditemukan di dalam buku-buku tasawuf populer.

Konsep terperinci tentang al-A’yan ats-Tsabitah hanya bisa ditemukan di dalam karya-karya Ibnu Arabi, seperti di dalam Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah (empat jilid). Selain pembahasannya amat rumit boleh jadi juga tidak menarik, karena sepintas tidak memberikan manfaat secara instan kepada pencari Tuhan di level pragmatis.

Namun, justru materi-materi seperti itu amat dibutuhkan bagi mereka yang menginginkan kedalaman hakikat dan makrifat. Untuk mengenal Tuhan lebih mendalam memang tidak mudah. Menurut Jalaluddin Rumi, bukan Tuhan pelit untuk memperkenalkan dirinya, melainkan ”apa arti sebuah gelas untuk menampung samudra”.

Kapasitas memori akal kita terbatas diumpamakan seperti gelas untuk memuat ilmu Tuhan yang diumpamakan samudra. Dalam Alquran dikatakan, "Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109).

Al-A’yan ats-Tsabitah secara harfiah berarti entitas-entitas yang tetap (immutable entities). Al-A’yan bentuk jamak dari 'ain berarti entitas dan ats-Tsabitah berarti tetap, tidak berubah-ubah. Disebut entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.

Berbeda dengan level alam yang sudah merupakan keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan. Keberadaan potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa disamakan dengan konsep Platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia nyata.

Dalam dunia ide Plato hanya merupakan dunia abstrak yang berada di dalam wilayah ontologis dan masih bersifat potensial.

Sedangkan wujud merupakan manifestasi dari dunia ide, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan dunia ontologi ide, setidaknya antara keduanya memiliki hubungan simetri.

Wujud potensial dan wujud aktual dalam konsep Al-A’yan ats-Tsabitah tidak mesti harus sama bahkan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali. Meskipun Al-A’yan ats-Tsabitah tidak lagi masuk kategori "alam", tetapi belum masuk ke dalam pembahasan puncak.

Masih ada pembahasan lebih tinggi lagi yang disebut level Ahadiyyah dan Wahidiyyah, yang akan dibahas dalam artikel mendatang. Bahkan, ada segi dari level al-A’yan ini masih dalam kategori maqam Al-Khalq atau level alam, yang disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung. Disebut Al-A’yan al-Kharijiyyah karena berada di lingkaran luar dari Al-A’yan ats-Tsabitah.

Al-A’yan ats-Tsabitah sudah masuk di level Wahidiyyah atau apa yang disebut dengan Pengetahuan Tuhan. Al-A’yan ats-Tsabitah masuk ke dalam level pertama dan utama (the principle level) dan tidak akan pernah berada di dalam level kedua (the relative level). Keberadaan Al-A’yan ini merupakan hasil dari proses tajalli pertama (al-tajalli al-awwal) yang biasa juga disebut dengan emanasi awal (al-faidh al-aqdas).

Proses emanasi berikutnya, yaitu al-faidh al-muqaddas, melahirkan Al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Al-A’yan al-Kharijiyyah inilah yang masuk ke dalam the relative level.

Dengan kata lain, yang masuk di level aktual atau relatif hanya manifestasi (madzahir)-nya saja, bukan hakikatnya karena hakikat Al-A’yan al-Karijiyyah tidak lain adalah al-A’yan ats-Tsabitah, yang tetap berada di level utama.

Dari sinilah nanti muncul konsep al-Mumtani’at dan konsep al-Mumkinat. Potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang tidak mungkin termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumtani’at. Sebaliknya, potensi wujud (Al-A’yan ats-Tsabitah) yang mungkin atau sudah termanifestasi menjadi wujud aktual (Al-A’yan al-Kharijiyyah) disebut al-Mumkinat.

Dalam level atau konsep al-Mumtani’at tidak mungkin dijumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya.

Misalnya antara al-Dhahir dan al-Bathin; al-Awwal dan al-Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.

Sebagai entitas yang berada di level Wahidiyyat, Al-A’yan ats-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidak terciptakan (uncreatable). Semua ciptaan (maj’ul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah wujud yang sudah aktual (kharijiyyah), karena itu segala yang diciptakan (maj’ul) tidak bisa disebut dengan Al-A’yan ats-Tsabitah.

Konsep Al-A’yan ats-Tsabitah mempunyai beberapa tingkatan. Bermula dari ta’ayyun pertama (al-Ta’ayyun al-Awwal) ialah level Wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri Al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.

Di level inilah dikenal konsep Al-A’yan ats-Tsabitah yang sebenarnya berbicara banyak tentang form Ilmu Tuhan (Ilmiyyah Al-Haq) yang biasa juga disebut dengan Al-Shuwwar al-‘Aqliyyah dan form tentang nama-nama Tuhan (Al-Asma’ Al-Haq). Dengan menguasai konsep Al-A’yan ats-Tsabitah diharapkan memudahkan kita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal sebagai makhluk termulia (ahsan taqwim).

Pengenalan diri secara komprehensif dengan sendirinya memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan, "Man 'arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah memahami Tuhannya)."

Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi, yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu juga memahami Tuhannya. Jadi, bukan bersifat sequent, memahami diri dulu baru memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami diri-Nya.

[Prof Dr Nasaruddin Umar]

Mengenal Alam Malakut


Allah berfirman,

"Wahai hamba-Ku, jika engkau ingin masuk ke wilayah kesakralan-Ku (Haramil Qudsiyah), jangan engkau tergoda oleh alam mulk, alam malakut, dan alam jabarut, karena alam mulk adalah setan bagi orang alim, alam malakut setan bagi orang arif, dan alam jabarut setan bagi orang yang akan masuk ke alam qudsiyah.” [Hadits Qudsi].

Alam Syahadah memiliki tingkatan-tingkatannya: Alam Mulk, Alam Mitsal atau hayal, dan alam Barzakh, yang keseluruhannya ternyata akrab dengan manusia. Sementara, Alam Malakut, yang lebih dikenal dengan alamnya para malaikat dan jin, merupakan suatu alam yang tingkat kedekatannya dengan alam puncak lebih utama daripada alam-alam sebelumnya.

Namun, alam malakut masih lebih rendah daripada alam di atasnya, seperti Alam Jabarut dan Alam Al-A’yan Al-Tsabitah, yang akan dibahas dalam artikel mendatang. Mulai alam mitsal sampai alam-alam di atasnya tidak ditangkap ditangkap oleh pancaindra dasar atau fisik manusia karena sudah masuk wilayah Alam Ghaib. Manusia dengan pancaindra fisiknya hanya mampu mengobservasi secara fisik Alam Syahadah, seperti alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan sebagian dari dirinya sendiri.

Al-Quran mengisyaratkan unsur kejadian manusia ada tiga, yaitu unsur badan atau jasad (jasad), unsur nyawa (nafs), dan unsur roh (ruh ). Dalam Al-Quran, nyawa dan roh berbeda. Nyawa dimiliki tumbuh-tumbuhan dan hewan, tetapi unsur roh tidak dimiliki oleh keduanya, bahkan oleh seluruh makhluk Tuhan lainnya. Unsur roh inilah yang membuat para malaikat dan seluruh makhluk lainnya sujud kepada manusia (Adam).

Roh yang merupakan unsur ketiga manusia ini menjadi potensi amat dahsyat baginya untuk mengakses alam puncak sekalipun. Unsur ketiga inilah yang disebut sebagai khalqan akhar (ciptaan khusus)  di dalam Al-Quran.

Firman Allah,

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَةٍ مِّنۡ طِيۡنٍ​ ۚ‏
ثُمَّ جَعَلۡنٰهُ نُطۡفَةً فِىۡ قَرَارٍ مَّكِيۡنٍ
ثُمَّ خَلَقۡنَا النُّطۡفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَةَ مُضۡغَةً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ 
لَحۡمًا ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰهُ خَلۡقًا اٰخَرَ​ ؕ فَتَبٰـرَكَ اللّٰهُ اَحۡسَنُ الۡخٰلِقِيۡنَ ؕ‏
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS al-Mu’min [23]: 12-14).

Kata ansya’nahu khalqan akhar dalam ayat di atas, menurut para mufasir, maksudnya adalah unsur rohani setelah unsur jasad dan nyawa (nafs). Hal ini sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas yang menafsirkan kata ansya’nahu dengan "ja’ala insya’ al-ruh fih", atau penciptaan roh ke dalam diri Adam. Unsur ketiga ini kemudian disebut Unsur Ruhani, atau Lahut atau Malakut, yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya.

Unsur ketiga ini merupakan proses terakhir dan sekaligus penyempurnaan substansi manusia sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat, seperti dalam surah al-Hijr: 28-29. Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai, para makhluk lain, termasuk para malaikat dan jin, bersujud kepada Adam dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) untuknya. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi (QS al-An‘am [6]: 165) di samping sebagai hamba (QS al-Zariyat [51]: 56).

Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di sisi Tuhan. Sekalipun manusia adalah ciptaan terbaik (ahsan taqwim/QS al-Tin [95]: 4), ia tidak mustahil akan turun ke derajat paling rendah (asfala safilin QS at-Tin [95]: 5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (QS al-A‘raf [7]: 179).

Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia mampu menyinergikan secara seimbang potensi berbagai kecerdasan yang dimilikinya. Seperti orang sering menyebutnya dengan kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan unsur nafsani (EQ), dan kecerdasan unsur rohani (SQ). Tidak semua aspek manusia itu dapat dipahami secara ilmiah dan terukur oleh kekuatan pancaindra manusia. Karena memang unsur-unsur manusia memiliki tabir berlapis-lapis.

Dari lapis mineral tubuh kasar sampai kepada roh (unsur lahut malakut) yang "di-install" Allah SWT sebagaimana ditegaskan lagi di dalam Al-Quran; 

"Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh-Ku kepadanya, tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya. Lalu, para malaikat itu bersujud semuanya,” (QS Shad [38]: 72-73).

Para penghuni alam malakut terdiri atas para jin dan malaikat, termasuk iblis. Alam ini tidak bisa diakses dengan pancaindra atau kekuatan-kekuatan fisik manusia. Alam ini hanya bisa diakses manusia jika mereka mampu menggunakan potensi lahut dan malakut yang dimilikinya. Hubungan interaktif antara para penghuni alam dimungkinkan, mengingat berbagai alam itu sama-sama ciptaan Allah SWT.

Manusia sebagai makhluk utama memiliki kemampuan untuk itu karena kedahsyatan unsur ketiga tadi. Jika kita merujuk kepada pendapat Syekh Abdul Qadir Jailani yang membagi roh itu dalam empat tingkatan, makin mudah kita memahami kemungkinan itu. Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya, Sirr al-Asrar, roh itu memiliki empat tingkatan.

Tingkatan itu adalah roh jasad yang berinteraksi dengan Alam Mulk; roh ruhani yang berinteraksi dengan Alam Malakut; roh Sulthani yang berinteraksi dengan Alam Jabarut; dan roh Al-Quds yang berinteraksi dengan Alam Lahut. Namun, perlu diingatkan di sini bahwa kita sebagai hamba tidak boleh terkecoh oleh bayangan keindahan alam-alam di atas manusia.

Jangan sampai kita lengah sehingga seolah-olah pencarian kita bukan lagi tertuju kepada ridha Allah semata, melainkan sudah terkecoh oleh unsur-unsur kekeramatan. Makin tinggi tingkat pencarian seseorang, makin tinggi pula unsur pengecohnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi di atas. Kerjakanlah semuanya semata-mata karena Allah SWT.

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers