Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, July 29, 2017

Keutamaan Majelis Dzikir


“Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam:

“Tidakkah duduk suatu kaum pada suatu mejelis (tempat duduk), dimana mereka berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi oleh rahmat dan disebutkan mereka oleh Allah Ta’ala dalam golongan orang yang di-hadlirat-Nya.” (¹)

“Tidaklah duduk suatu kaum pada suatu mejelis seraya berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, mencurahkan rahmat kepada mereka, dan Allah pun menyebut mereka di tengah-tengah para malaikat yang ada di sisi-Nya”.

“Tidakkah duduk suatu kaum pada suatu mejelis seraya berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tanpa menginginkan sesuatu selain keridhaan-Nya, melainkan diserukan kepada mereka oleh penyeru dari langit: “Berdirilah dengan ampunan bagimu! Sesungguhnya segala keburukanmu telah digantikan dengan kebaikan”.

“Tidak duduklah suatu kaum pada suatu mejelis tanpa berdzikir (menyebut nama/mengingati) kepada Allah SWT dan tidak bershalawat kepada Nabi SAW., melainkan bagi mereka yang sedemikian itu akan menjadi suatu penyesalan pada Hari Kiamat”.
(²)

“Majelis kebaikan menghapuskan bagi orang Mukmin dua juta majelis kejahatan…”
Bersabda Nabi Dawud a.s
“Wahai Tuhanku! Apabila Engkau melihat aku melewati majelis orang berzikir, menuju mejelis orang-orang yang lalai, maka patahkanlah kakiku, supaya tidak sampai kepada mereka. Karena itu adalah suatu nikmat yang Engkau anugerahkan kepadaku”.
Berkata Abũ Hurayrah r.a.:
“Penghuni langit memperhatikan rumah-rumah penduduk bumi yang disebutkan nama Allah SWT didalamnya, sebagaimana mereka memperhatikan bintang-bintang”.

Sufyân ibn ‘Uyaynah r.a. mengatakan bahwa jika suatu kaum berkumpul untuk berzikir kepada Allah SWT, pastilah setan dan dunia lari.

Setan berkata kepada dunia, “Tidakkah engkau melihat apa yang mereka perbuat?”

Lalu dunia menjawab, “Biarkanlah mereka! Karena apabila mereka telah bubar, aku akan membawa leher mereka kepadamu”.

Abũ Hurayrah r.a. meriwayatkan bahwa ia masuk ke sebuah pasar, lalu ia berkata:
“Aku lihat kalian di sini sementara pusaka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam Dibagi-bagikan di dalam masjid.”

Maka pergilah orang banyak itu ke masjid dan meninggalkan pasar, akan tetapi mereka tidak melihat harta pusaka itu. Maka mereka bertanya: “Wahai Abũ Hurayrah, kami tidak melihat harta pusaka dibagikan di dalam masjid.”Abũ Hurayrah balik bertanya: “Apa yang kalian lihat?” Mereka menjawab:“Yang kami lihat adalah suatu kaum yang sedang berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan membaca Al-Qur’an”. Abũ Hurayrah berkata:· “Itulah harta pusaka Rasulullah Saw.”

Al-A’masy meriwayatkan hadis dari Abũ Shâlih, dari Abũ Hurayrah dan Abũ Sa’îd al-Khudrî. Dari Nabi Saw., bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wassalam., bersabda:

“Allah ‘Azza wa Jalla memiliki para malaikat yang selalu memuji-Nya di bumi. Mereka mencatat amalan manusia. Apabila mereka menemukan suatu kaum sedang berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mereka saling panggil-memanggil sesama mereka; “Marilah menuju sasaran!” Para malaikat pun datang dan mengelilingi kaum yang berzikir itu. Kemudian mereka kembali ke langit.

Allah SWT bertanya; “Apa yang hamba-hamba-Ku kerjakan ketika kalian meninggalkan mereka?”
Para malaikat menjawab; “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan memuji, memuliakan, dan bertasbih menyucikan-Mu”. 
Allah SWT bertanya lagi, “Apakah mereka melihat-Ku?”
Para malaikat menjawab, “Tidak.”
Allah SWT bertanya lagi, “Bagaimanakah seandainya mereka melihat-Ku?”
Para malaikat menjawab, ”Seandainya mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih banyak bertasbih dan memuliakan-Mu”.
Allah SWT bertanya lagi, ”Dari apakah mereka memohon perlindungan?”
Para malaikat menjawab, “Dari api neraka.”·
Allah SWT bertanya lagi, “Apakah mereka melihatnya?”
Para malaikat menjawab, ”Tidak”.
Allah SWT bertanya lagi, “Bagaimanakah seandainya mereka melihat-nya??”
Para malaikat menjawab, "Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka lebih takut padanya dan lebih banyak berusaha menghindarinya”.
Allah SWT bertanya lagi, “Apa yang mereka cari?”
Para malaikat menjawab, “Surga”.
Allah SWT bertanya lagi, “Apakah mereka melihatnya?”
Para malaikat menjawab, "Tidak”.
Allah SWT bertanya lagi, “Bagaimanakah seandainya mereka melihatnya??”
Para malaikat menjawab, ”Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka lebih besar lagi keinginannya”.
Allah berfirman, ”Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka”.
Menjawab para malaikat, “Dalam kelompok mereka itu ada si Fulan, yang tiada berkehendak kepada mereka. Ia datang hanya karena ada suatu keperluan”·
Maka berfirmanalah Allah ‘Azza wa Jalla, ”Mereka itu adalah kaum, yang tidak merugi orang yang duduk bersama mereka”.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam Bersabda:
“Seutama-utamanya ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah kalimat “Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîkalah" (Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya). Barangsiapa mengucapkan “Lâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarîkalah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alâ kulli syay’in qadîr" (Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.Milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), setiap hari seratus kali, maka ia diberi pahala sama dengan pahala memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dituliskan baginya seratus kebaikan, dan dihapuskan darinya seratus kejelekan. Selain itu, baginya perlindungan dari setan pada hari itu hingga malam. Tidak ada seorang pun memperoleh sesuatu yang lebih utama dari itu selain yang mengamalkan lebih dari itu. Tiadalah seorang hamba yang berwudhu, lalu membaguskannya, kemudian mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Asyhadu alla ilâha illallâh wahdahu lâ syarîkalah wa Asyhadu annaMuhammadan ‘abduhu wa rasũluh" (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya), melainkan dibukakan baginya pintu-pintu surga. Ia masuk dari pintu mana saja yang disukainya.”

Dipetik dari tulisan:  al-Imam Al-Ghazali dalam bukunya: “IHYA’-ULUMIDDIN” (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) dan Kitab “Mukasyafah al-Qulub

Inkarus Sunnah masa lalu





Para pembaca rahimakumullah,
Topik kita kali ini adalah pembahasan tentang PARA PENENTANG SUNNAH, baik yang ada di masa lalu maupun yang masih hidup sampai hari ini. Semoga bermanfaat.

A. AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU
Dalil-dalil yang telah dikemukakan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma' sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapa pun menolak Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan hanya berpegang kepada Al-Qur’an saja. Karena satu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil As-Sunnah dengan alasan tidak cocok dengan akal atau yang lainnya. Adapun sebagian mereka yang menolak As-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohannya, maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang-terangan mengingkari hujjah-hujjah As-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada As-Sunnah, maka orang ini adalah kafir.[1]

Sesungguhnya pada masa Shahabat sendiri telah ada segelintir orang yang tidak memperhatikan nilai tasyri' As-Sunnah, seperti yang terjadi pada seseorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan ‘Imran bin Husain. (Lihat dalil-dalil ijma’ tentang wajibnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Beberapa orang yang menolak As-Sunnah pada masa Shahabat yang penulis sebutkan di atas tidaklah mewakili satu firqah atau jama’ah, akan tetapi dari kegoncangan per individu. Seiringnya perkembangan zaman mereka akan menjadi firqah atau jama’ah. Pada masa Shahabat ini ada yang perlu digarisbawahi, yaitu penolakan terhadap As-Sunnah tidak terjadi secara menyeluruh di semua negeri Islam, tetapi hanya terdapat pada beberapa orang saja. Itupun terjadinya di Iraq, karena pada waktu itu Shahabat ‘Imran bin Husain dibantah oleh penolak As-Sunnah ketika beliau berada di Iraq, sedangkan Shahabat Ayub as-Sikhtiyani berada di Bashrah. Dan untuk kemudian para penentang As-Sunnah terus berkembang di masa Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. [2]

B. AS-SUNNAH MENURUT PANDANGAN KHAWARIJ, MU'TAZILAH DAN SYI'AH
1. Pandangan Khawarij 
  • Kaum Khawarij dengan berbagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) seluruh Shahabat adalah adil. Tetapi setelah itu mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan Shahabat yang tergolong Ashhabul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka yang menerima keputusannya dan membenarkannya ataupun yang mengakui keputusan salah satu dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Shahabat sebagi rawi tsiqah lagi. 
Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawarij menerima Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[3]

2. Pandangan Mu'tazilah 
  • Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pandangan Mu'tazilah terhadap As-Sunnah, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan juga tentang pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak As-Sunnah secara keseluruhan. 
Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh Mu'tazilah yang bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”

Ulama perbandingan agama mengemukakan tentang pandangan kaum Mu’tazilah mengenai masalah ini. Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, sebagai berikut:
  1. Mereka mengingkari mu'jizat-mu'jizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
  2. Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan 
  3. Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas. 
Kemudian ia menyebutkan bahwa umumnya kaum Mu'tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Nizhamiyah) ini.

Al-Khudhari mengambil kesimpulan dari pendapat asy-Syafi'i dan begitupula Mushthafa as-Sibba'i, bahwa sekte yang menolak seluruh hadits adalah Mu'tazilah.

Menurut Dr. Musthafa al-A'zhumi bahwa Mu'tazilah mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan kaidah berfikir mereka. Jadi tidaklah menolak seluruh hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]

3. Pandangan Syi'ah 
  • Syi’ah mempunyai berbagai sekte, Syi’ah dulunya masih dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam, tatkala madzhab ini masih berpegang dengan ajaran para ulama. Perlu diketahui bahwa dahulu para ulama membedakan antara Rafidhah dan Syi’ah. Rafidhah riwayatnya tidak boleh diterima sama sekali dan tidak boleh meriwayatkan dari mereka. Adapun Syi’ah masih boleh kita menerima hadits darinya dengan syarat dia tidak menda'wahkan bid'ahnya. Sedang Syi'ah yang se-karang berkembang (Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah) adalah satu sekte yang sama dengan Rafidhah. Ajaran tauhid mereka diambil dari Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, dan 'Asy'ariyah. Ajaran mereka sangat bertentangan dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan perbedaan yang sangat menonjol, yaitu tentang Al-Qur’an, ‘aqidah, Sunnah, Malaikat, Imamah, Taqiyyah, Mut'ah, Shahabat dan Ahlul Bait. [5] 
Sebelum masuk kepada masalah As-Sunnah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Syi'ah tentang Al-Qur’an. Di mana para ulama Syi’ah mengatakan: “Telah terjadi pemalsuan terhadap Al-Qur’an yang dilakukan oleh para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Di antara ulama Syi’ah yang berpendapat demikian adalah:
  1. Al-Kulaini dalam kitab Ushulul Kafi.
  2. Al-Qummi dalam tafsirnya. 
  3. Abu al-Kasim al-Kufi dalam kitabnya al-Istighatsah. 
  4. Al-Mufid dalam kitabnya Awaa-il Maqalat 
  5. Al-Ardabily dalam kitab Haqiqatusy Syi'ah. 
  6. At-Thabrasy dalam kitabnya al-Ihtijaj. 
  7. Al-Kasyi dalam tafsirnya ash-Shafiy. 
  8. Nikmatullah al-Jazairi dalam kitabnya al-Anwar an-Nu'maniyah. 
  9. Al-Khurasani dalam kitabnya Bayan as-Sa'adah fi Maqamah al-Ibadah. 
  10. An-Nuri Ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khithaab fi Itsbat Tahriifil Kitab Rabbil Arbaab. 
Menurut ulama Syi'ah, Al-Qur’an sekarang ini ada beberapa macam nuskhah (Al-Qur’an versi Syi'ah), yaitu:
  1. Terdapat 114 surat, tapi ada 269 ayat yang menyimpang.
  2. Terdapat 112 surat, (114 surat dikurangi Mu'awidzatain). 
  3. Terdapat 115 surat, (114 surat ditambah surat Al-Wilayah). 
  4. Terdapat 117 surat, (114 surat ditambah surat al-Qunut, al-Hiqd, dan al-Khulu'). 
  5. Wahyu Zhahir dan Bathin 
  6. Mushhaf Fathimah, berisikan lebih dari tujuh belas ribu ayat. 
  7. Mushhaf Syi'ah, yang tebalnya tiga kali Al-Qur'an kaum muslimin. 
  8. Mushhaf yang dibawa oleh Imam Mahdi al-Muntazhar, dalam persembunyiaannya hampir 12 abad. 
Bila dilihat dari segi keyakinan mereka terhadap Al-Qur’an saja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kaum Syi'ah sudah keluar dari Islam.

Tentang masalah As-Sunnah, kaum Syi'ah menolak semua hadits yang ada pada kaum Sunni yang dianggap tidak melalui jalur ahlul bait (ahlul bait menurut pengertian mereka), karena itu 96% hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tolak, dan hanya 4% saja mereka terima.

Kitab-kitab hadits yang diakui para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjadi pegangan dan rujukan kaum muslimin ditolak oleh mereka, karena kaum Syi'ah mempunyai kitab hadits yang nilainya menurut mereka jauh lebih tinggi dari hadits-hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Kitab hadits mereka disusun oleh al-Kulaini, nama kitab tersebut ialah:
  1. Al-Kafi,
  2. Al-Ushul minal Kafi, dan
  3. Al-Furu' minal Kafi.
Penyimpangan lain yang bisa kita lihat dari pengertian hadits menurut pendapat mereka, ialah:
  1. Mereka tidak mementingkan sanad sama sekali.
  2. Semua yang diriwayatkan dari imam-imam ma'shum (Imam dua belas), kedudukan haditsnya sama dengan hadits yang diterima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sama dengan Al-Qur’an dari segi kekuatannya.
  3. Selama hadits tadi diriwayatkan oleh imam mereka, wajib diterima.
  4. Kaum muslimin jelas sangat jauh berbeda dengan Syi'ah dalam hal:
  • Ilmu Mushthalah Hadits,
  • Ilmu Dirayah Hadits, 
  • Ilmu Rijalil Hadits
Berkata Imam Malik tentang Rafidhah; 
“Jangan bicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan sesuatu pun dari mereka. Mereka adalah pendusta.” 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang Syi’ah Imamiah;
“Mereka adalah manusia yang paling pendusta dalam masalah naqliyah (wahyu) dan sebodoh-bodoh manusia dalam masalah akal, bahkan mereka ini golongan yang paling bodoh.” (Bersambung

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas; Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab IV As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu dan Masa Sekarang, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]

__________
Foote Note
[1]. Setelah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang yang membuat ia menjadi kafir.[2]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/21-22).[3]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/22-23).[4]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/23-25).[5]. Tentang masalah-masalah ini lebih rinci, lihat kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim (9 jilid), cet. I, th. 1406 H.Dr. Ihsan Ilahi Zhahir telah menulis beberapa kitab tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh Idaarah Turjumaanil Qur-an, Lahore-Pakistan, di antaranya:- Asy-Syi’ah wal Qur'an,- Asy-Syi’ah was Sunnah,- Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, dan selainnya


Inkarus Sunah masa kini



Lanjutan dari bahasan sebelumnya di sini.


C. AS-SUNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA KINI.

Secara historis sesudah abad kedua Hijriyah tidak pernah timbul lagi dalam sejarah individu atau jama'ah yang mengaku dirinya Islam tetapi mereka membuang As-Sunnah. Umumnya mereka yang menolak As-Sunnah adalah para pengikut sekte-sekte yang timbul pada zaman fitnah mulai tahun 37 H sampai abad kedua, kemunculannya tiada lain karena kebodohan semata. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah berupaya dengan berbagai usaha menyadarkan dengan berbagai dialog dan membantah hujjah mereka.

Sesudah berlalu dua belas abad, zaman berubah dan Daulah Islam telah lenyap, maka mulai muncul masa imperialisme, dan para penjajah mulai menyebarkan fitnah mereka yang jelek dan kotor untuk menghancurkan prinsip-prinsip Islam. Dalam situasi dan kodisi seperti ini muncullah penentang-penentang As-Sunnah di Iraq, Mesir, dan beberapa negara jajahan lainnya.

Adapun di Mesir timbul fitnah pada masa Muhammad ‘Abduh sebagaimana disebutkan oleh Abu Rayyah dalam kitabnya, yang kemudian setelah itu diikuti oleh Dr. Taufik Sidqi dengan artikelnya yang berjudul Al-Islam huwal Qur'anu Wahdah dalam al-Manar no. 7 dan 12, tahun VII di Mesir. Kemudian Ahmad Amin menulis dalam kitabnya Fajrul Islam tahun 1929 H, di dalamnya mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil, dan ia tetap berpendirian demikian hingga datang ajalnya.Begitupula halnya Isma’il Adham, ia menulis risalah tahun 1353 H, tentang sejarah As-Sunnah, katanya, “Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim tidak kuat dasarnya (tidak kuat sanadnya), bahkan diragukan dan umumnya adalah maudhu' (palsu)!”Jadi, ada orang yang menolak As-Sunnah secara keseluruhan, dan ada pula yang menolaknya sebagian saja, yakni mereka yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Dalil-dalil yang mereka pakai hampir sama dengan dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang menolak As-Sunnah pada abad ke-2 Hijriyah.

[D]. DALIL-DALIL PARA PENOLAK AS-SUNNAH
Dalil-dalil yang dijadikan dasar dan argumentasi mereka untuk menolak As-Sunnah ialah: Pertama:Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ 
"Tiada sesuatu pun yang terluput dalam Al-Qur'an ini...” [QS Al-An'aam [6]: 38] 


وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan kami turunkan Al-Qur'an kepadamu sebagai penjelasan segala hal dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. ...” [QS An-Nahl [16]: 89]


أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَماً وَهُوَ الَّذِي أَنَزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً
"Maka patutlah aku mencari hakim selain dari pada Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan Al-Qur'an kepadamu dengan terperinci?..” [QS Al-An’aam [6]: 114]

Ketiga ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Al-Qur'an mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah agama, baik hukum-hukumnya dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Dengan ketiga ayat itu menurut mereka sesungguhnya Allah telah menerangkan dan merinci segala sesuatunya hingga tidak diperlukan lagi keterangan lain, seperti halnya As-Sunnah. Karena kalau seandainya Al-Qur'an masih belum lengkap atau masih meninggalkan bagian-bagian tertentu, maka kalau demikian mengapa Allah mengatakan bahwa Al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatunya? Sekiranya masih diperlukan keterangan lain, berarti Allah telah menyalahi pemberitaan-Nya sendiri, dan hal ini sangat mustahil.Kedua: Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [QS Al-Hijr [15]: 9]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjamin akan menjaga keutuhan Al-Qur'an, sedangkan As-Sunnah tidak. Sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah, tentulah Allah akan menjaminnya.Ketiga:As-Sunnah tidak ditulis di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat, sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah pastilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menuliskannya. Demikian juga para Shahabat dan Tabi'in akan berusaha mengumpulkan dan melembagakannya. Para Shahabat hanya diperintahkan untuk menulis Al-Qur'an, tapi sebaliknya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam justru melarang mereka untuk menuliskan hadits-hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk menghapusnya bagi mereka yang sudah terlanjur menulisnya. Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjahnya adalah:

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa menulis sesuatu dariku selain Al-Qur'an hendaklah ia hapus. Dan tidak dihalangi kalian menyampaikan sesuatu dariku, dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di Neraka.” [HR. Muslim] 

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Abu Bakar telah membakar sebuah dokumen yang mencatat hadits, seraya berkata: “Aku khawatir kelak setelah mati, tersebar hadits pada orang yang kupercayai seolah-olah aku menguatkannya, padahal mungkin saja orang tersebut tidak meriwayatkannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan kepadaku.” [HR. Al-Hakim] 

Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anha bertindak serupa ketika berkunjung kepada Mu'awiyah, ia ditanya tentang suatu hadits. Zaid memberitahukannya kepada Mu’awiyah, lalu Mu’awiyah menyuruh seseorang mencatat hadits tersebut. Akan tetapi Zaid berkata:ang “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami menulis apa pun tentang hadits yang disampaikannya.” Lalu orang tersebut menghapus kembali apa yang telah ditulisnya. 

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu bermaksud untuk mencatat As-Sunnah, kemudian berputar haluan sambil berkata, “Pernah aku bermaksud menuliskan hadits, kemudian aku ingat pada satu kaum yang hidup sebelum kalian membukukan catatan yang didapatnya sehingga mereka tenggelam dalam karya tersebut dan Al-Qur'an dilupakan. Demi Allah, aku tidak mau mencampur Kitab Allah dengan apa pun juga selama-lamanya.” 

Demikian pula halnya ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, yang meminta agar siapa saja yang telah menuliskan hadits untuk menghapusnya. 

Selanjutnya Dr. Taufik Sidqy menjelaskan bahwa As-Sunnah baru dilembagakan setelah munculnya kesalahan dan kealpaan, sehingga menyusuplah penyelewengan dan perubahan yang menimbulkan keraguan dan menghilangkan kepercayaan untuk memakai hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallamKeempat:Taufik Shidqy pernah membawakan hadits yang di dalamnya mengisyaratkan bahwa As-Sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, di antaranya: 

“Akan bertebaran hadits-hadits dariku, apa-apa yang datang kepadamu dari hadits-haditsku, bacalah Kitabullah dan bandingkanlah yang cocok dengan Al-Qur'an, dan yang berbeda dari Al-Qur'an bukanlah dari diriku.” 

“Apabila disampaikan kepada kalian hadits dariku dan kalian mengetahuinya dan tidak mengingkarinya, yang aku katakan atau yang aku tidak katakan, benarkanlah dia. Karena sesungguhnya aku bersabda dengan apa-apa yang sudah dikenal dan tidak diingkari. Tetapi bila disampaikan kepada kalian hadits yang kalian ingkari dan kalian tidak mengenalnya, maka dustakanlah hadits itu karena aku tidak berkata sesuatu yang tidak dikenal atau diingkari.” 

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas; Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab IV : As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu Dan Masa Sekarang, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005] 

Keutamaan Dzikir


Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Hakekat serta keutamaan dzikir kepada Allah Subhanahu wata'ala dapat disimpulkan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:

تَكْفُرُونِ وَلاَ لِي وَاشْكُرُواْ أَذْكُرْكُمْ فَاذْكُرُونِي
“Faudzkuruunii adzkurkum wausykuruu lii walaa takfuruuni..”
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni'mat)-Ku.” (QS Al-Baqarah [2]:152).

Ingatan Allah kepada hamba-Nya adalah berupa rahmat serta ampunan-Nya.~Berfirman Allah Ta’ala:

كَثِيراً ذِكْراً اللَّهَ اذْكُرُوا
Udzkuruullaaha dzikran katsiiraan
“Berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS Al-Ahzab [33]:41)

Allah Ta’ala berfirman:

الضَّآلِّينَ لَمِنَ قَبْلِهِ مِّن كُنتُم وَإِن هَدَاكُمْ كَمَا وَاذْكُرُوهُ الْحَرَامِ الْمَشْعَرِ عِندَ اللّهَ فَاذْكُرُواْ عَرَفَاتٍ مِّنْ أَفَضْتُم فَإِذَا
“Fa-idzaa afadhtum min 'arafaatin faudzkuruuallaaha 'inda almasy'ari alharaami waudzkuruuhu kamaa hadaakum wa-in kuntum min qablihi laminaaldhdhaalliina…”

“Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam (bukit Quzah di Muzdalifah), Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”

Dan firman Allah Ta’ala;

جُنُوبِهِمْ وَعَلَىَ وَقُعُوداً قِيَاماً اللّهَ يَذْكُرُونَ الَّذِينَ
“Alladziina yadzkuruuna allaaha qiyaaman waqu'uudan wa'alaa junuubihim…”
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keaadan berbaring…”  (QS Ali-Imran [3]:19)

Dan firman-Nya pula;

جُنُوبِكُمْوَعَلَى وَقُعُوداً قِيَاماً اللّهَ فَاذْكُرُواْ الصَّلاَةَ قَضَيْتُمُ فَإِذَا
“Fa-idzaa qadhaytumu alshshalaata faudzkuruu allaaha qiyaaman waqu'uudan wa'alaa junuubikum…”
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.”  (QS An-Nisa’ [4]: 103)

Tentang ayat 103 surah an-Nisa’ diatas, Berkata Ibnu ‘Abbas Radhiallahu Anhu;
“Maksudnya: Ingatlah Allah pada malam dan siang, di darat dan di laut, dalam perjalanan dan ketika tinggal di rumah, sewaktu kaya dan dalam keadaan miskin, ketika sakit dan ketika sehat, serta secara tersembunyi dan dengan terang-terangan."

Berfirman Allah Ta’ala tentang celaan terhadap orang-orang munafiq:

قَلِيلاً إِلاَّ اللّهَ يَذْكُرُونَ وَلاَ
“Walaa yadzkuruuna allaaha illaa qaliilaan…”
“Mereka (orang-orang munafiq) tiadalah mereka menyebut Allah, kecuali sangat jarang”  (QS An-Nisa’ [4] 142)

Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.Dan Firman Allah Azza wa Jalla:

الْغَافِلِينَ مِّنَ تَكُن وَل وَالآصَالِ بِالْغُدُوِّ الْقَوْلِ مِنَ الْجَهْرِ وَدُونَ وَخِيفَةً تَضَرُّعاً نَفْسِكَ فِي كَ رَّبَّ وَاذْكُر
"Waudzkur rabbaka fii nafsika tadharru'an wakhiifatan waduuna aljahri mina alqawli bialghuduwwi waal-aasaali walaa takun mina alghaafiliina.."
“Dan sebutlan (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara keras, di waktu pagi dan petang; Dan janganlah kamu termasuk sebahagian orang-orang yang lalai”.  (QS Al-A’raf [7 ] : 205)

Firman Allah Ta’ala;

أَكْبَرُ اللَّهِ وَلَذِكْرُ
waladzikru allaahi akbaru
“Dan sesungguhnya mengingati Allah itu lebih besar (manfa’atnya/keutamaannya). (QS Al-Ankabut [29 ] : 45)

Berkata Ibnu ‘Abbas r.a.: Ayat diatas (al-‘Ankabũt:45) mempunyai dua makna: -Bahwa zikir Allah Ta’ala kepada Anda adalah lebih besar daripada zikir Anda kepada-Nya; Zikir kepada Allah SWT adalah lebih utama dari seluruh ibadah yang lain.”

Demikianlah tersebut pada ayat-ayat tadi dan pada ayat-ayat yang lain yang tidak diterangkan di sini.Adapun hadits, maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam;
“Orang yang berdzikir kepada Allah (mengingati Allah) diantara oran-orang yang lalai, adalah seperti pohon kayu hijau, ditengah-tengah pohon kayu yang kering”. ~
“Orang yang berdzikir kepada Allah (mengingati Allah) diantara oran-orang yang lalai, adalah seperti orang yang berjuang, diantara orang-orang yang lari dari medan perang”. (1)
 
Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam; “Berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Sesungguhnya AKU bersama hamba-Ku, selama ia mengingati AKU dan bergerak dua bibirnya menyebutkan nama-KU”.
 
Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam;
“Tidaklah anak Adam (manusia) mengerjakan suatu amalan yang lebih menyelamatkan- nya dari azab Allah, selain daripada berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. (2)

Lalu para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah! Tidakkah jihad fi sabili’llah yang lebih melepaskan?”

Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam; “Bukanlah jihad fi sabili’llah jihad itu, melainkan engkau menebaskan pedangmu hingga patah, lalu engkau menebaskan pedangmu hingga patah, kemudian engkau menebaskannya lagi hingga patah”.

Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam:
“Barangsiapa yang ingin tinggal di taman-taman surga, maka hendaklah ia memperbanyak dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Amalan apakah yang paling utama?”

Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam menjawab: “Bahwa engkau meninggal dunia sementara lidahmu basah karena zikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla”.Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam:

“Laluilah waktu pagi dan sore dalam keadaan lisan Anda selalu basah karena menyebut nama Allah (berdzikir kepada Allah), niscaya Anda melalui waktu pagi dan sore itu tanpa ada dosa pada diri Anda. ~ Berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu pagi dan petang, adalah lebih utama”.

Bersabda Nabi Saw.:
“Sesungguhnya berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada waktu pagi dan petang adalah lebih utama daripada menebaskan pedang di jalan Allah (fi sabili’llah), dan daripada memberikan harta karena kedermawanan”. 

Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam:
Berfirman Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi:
“Apabila hamba-Ku mengingati-Ku dalam dirinya, niscaya AKU mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam kumpulan orang banyak (majelis), niscaya AKU menyebutkan dia dalam kumpulan yang lebih baik daripada kumpulannya (majelis malaikat). Apabila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, AKU mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekat kepada-KU sehasta, niscaya AKU mendekat kepadanya sedepa. Dan apabila ia berjalan mendatangi-Ku, maka AKU datangi ia dengan berlari (bersegera memperkenankan doanya)”.
Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam:
“Tujuh kelompok orang akan dinaungi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam naungan-Nya, di hari yang tidak ada naungan, selain dari naungan Allah (Padang Masyhar). Dan, diantara yang tujuh itu, ialah orang-orang yang berdzikir kepada Allah pada tempat yang sepi. Lalu berlinanganlah air matanya karena takut kepada Allah”. (3)

Berkata Abu’Darda: “Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam:
“Maukah aku beritahukan kepadamu amalan yang lebih baik dan lebih suci di sisi Tuhanmu, yang lebih tinggi di antara derajatmu dan lebih baik bagimu daripada pemberian uang dan emas; serta lebih baik bagimu daripada menghadapi musuhmu, lalu kamu menebas lehernya dan mereka pun menebas lehermu?”Para sahabat itu menjawab: “Apakah itu, ya Rasulullah?”

Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam menjawab: “Berkekalan mengingat (berdzikir) kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. (4)

Bersabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam:Berfirman Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi:
“Barangsiapa menghabiskan waktunya (disibukkan) dengan berdzikir kepada-Ku, sehingga lupa meminta sesuatu kepada-Ku, niscaya AKU akan memberinya sesuatu yang lebih utama, daripada apa yang AKU berikan kepada orang-orang yang meminta”. (5)
Adapun dari atsar: Maka berkata Al-Fudhayl:
“Telah sampai kepada kami riwayat, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Wahai hamba-KU! Berdzikirlah kepada-Ku sesaat sesudah Shubuh, dan sesaat sesudah ‘Ashar, niscaya AKU cukupkan keperluanmu di antara dua waktu itu!”
Berkata setengah ulama:
Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Kapan pun AKU memperhatikan hati seorang hamba, lalu AKU mendapati sebagian besarnya berpegang teguh dengan mengingati Aku (berzikir), dimana Aku memegang kendali kebijakannya, menjadi teman duduknya, teman bicaranya, dan kekasihnya”.
Berkata Al-Hasan r.a.: “Dzikir itu dua:

  • Berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla diantara diri Anda serta – yang lebih bagus, lebih besar pahalanya, dan yang lebih utama dari itu,-- ialah

  • Dzikir kepada Allah SWT. Ketika menghadapi sesuatu yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla”.
Diriwayatkan “bahwa setiap nyawa keluar dari dunia itu dalam keadaan haus, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla”.Berkata Mu’az bin Jabal r.a.:

“Tiadalah sesuatu yang membawa kepada penyesalan bagi ahli sorga, kecuali saat-saat yang berlalu pada mereka, dimana mereka tiada berdzikir kepada Allah SWT”.

Wallahu Ta’ala ‘alam. ALLAH yang Mahatinggi, Yang Mahatahu!

Dipetik dari tulisan: al-Imam Al-Ghazali dalam bukunya: “IHYA’-ULUMIDDIN” (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) dan Kitab “Mukasyafah al-Qulub

______________
Catatan Kaki:
(1). Dirawikan Abu Na’im dari Ibnu Umar, dengan sanad dla’if
(2). Dirawikan Ibnu Abi Syaibah dari Mu’adz, dengan sanad hasan.
(3). Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.
(4). Dirawikan At-Thirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dan Abid-Darda’ dan shahih isnad
(5). Dirawikan Al-Bukhari dan Al-Baihaqi dari Umar bin Al-Khaththab.

Keutamaan Para Fakir


Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah, 
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:

“Orang-orang terbaik dari umatku ini adalah orang-orang fakir dan yang paling segera berbaring di surga adalah orang-orang lemah di antara mereka.” 

Dalam hadits lain, beliau bersabda:
“Aku memiliki dua perangai. Barangsiapa mencintainya, ia mencintaiku. Akan tetapi, siapa yang membencinya, berarti ia membenciku; yaitu kefakiran dan jihad.” 

“Kefakiran itu lebih indah bagi orang Mukmin daripada sabuk kulit yang bagus pada pipi kuda.” 

Ditempat lain beliau bersabda: 
“Siapa saja diantara kalian sehat badannya dan tenteram hatinya, sementara padanya ada makanan sehari-harinya, seakan-akan digiring kepadanya dunia dengan segala isinya.” [inilah sikap orang yang Qana’ah; merasa puas dengan rezeki yang ada..] 

Rasulullah SAW bersabda: 
“Ditampakkan kepadaku Surga, aku melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang fakir. Lalu ditampakkan kepadaku neraka, aku melihat kebanyakan penghuninya adalah orang-orang kaya dan perempuan.” 

Dalam hadits lain disebutkan; “aku melihat kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan. Lalu aku bertanya; “Mengapa mereka?” Lalu dijawab: ‘Mereka telah disibukkan dengan emas dan za’faran.”

“Benda berharga kaum Mukmin di dunia adalah kefakiran.” 

Sementara di dalam suatu riwayat disebutkan:
“Nabi terakhir yang masuk surga adalah Sulaymân ibn Dawũd a.s., karena kerajaannya. Sedangkan sahabatku yang terakhir masuk surga adalah ‘Abdurrahman ibn ‘Awf disebabkan kekayaannya.” 

Dalam hadits lain disebutkan; “Aku melihat Abdurrahman ibn ‘Awf masuk surga sambil merangkak.”

Para pemuka Arab dan orang-orang kaya berkata pada Rasulullah SAW,

“Jadikanlah satu hari untuk kami dan satu hari untuk mereka. Mereka datang kepada Anda dan kami tidak. Lalu kami datang kepada Anda, dan mereka tidak.” 

Yang dimaksud sebagai "mereka" adalah orang-orang miskin seperti: Bilâl, Salmân,Shuhayb, Abũ Dzar, Khubâb ibn al-Arat, ‘Ammar ibn Yâsir, Abũ Hurayrah, dan para penghuni Shuffah.

Para pemuka Arab itu mengadu kepada Rasulullah SAW karena merasa terganggu oleh bau badan mereka. Pakaian mereka itu terbuat dari kain wol sehingga kalau berkeringat, baunya menyengat, apalagi bagi orang-orang kaya. 

Sementara orang-orang kaya itu adalah; al-Aqra’ ibn Hâbis at-Tamîmî, ’Uyaynah ibn Hasan al-Fîzârî,’Abbâs ibn Mirdas as-Salmâ, dan lain-lainnya. 
 
Mendengar itu, Rasulullah SAW., menganjurkan agar mereka tidak bertemu dalam satu ruangan.
Lalu turunlah firmanAllah SWT:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kamu menghindarkan pandanganmu dari mereka (orang-orang fakir) karena mengharapkan perhiasan dunia (orang-orang kaya) ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya (orang-orang kaya) dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi [18]:28) ~ 

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" (QS Al-Kahfi [18]:29) 

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: 
“Perbanyaklah mengenali orang-orang fakir dan raihlah tangan mereka, sebab mereka mempunyai dauwlah.” 

“Ya, Rasulullah, apa dauwlah mereka?” Tanya para sahabat. 

“Pada Hari Kiamat dikatakan kepada mereka, "Lihatlah makanan, minuman. Atau pakaian kalian. Lalu ambil, dan bawalah ke surga.” 

Sementara itu, di hadapan para sahabat, beliau pernah bertanya, “Maukah aku beritahukan kepada kalian kerajaan penghuni surga?”

Tentu, ya Rasulullah.” 

“Yaitu setiap orang yang lemah, teraniaya, berdebu, lusuh, dan tidak dihiraukan orang, yang kalau bersumpah kepada Allah, niscaya Dia membenarkannya.”




[Di petik dari Kitab: “Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi” Karangan: Imam Al-Ghazali]

Monday, July 24, 2017

Kitab Minhajul Muslim

 
Pengarang kitab ini adalah Abu Bakr Jabir bin Musa bin Abdul Qadir bin Jaber, atau lebih dikenal sebagai Abu Bakr al-Jazaeri yang merupakan salah satu pengajar tetap di Masjid Nabawi.

Beliau adalah seorang Ulama dan Pendakwah besar. Lahir pada tahun 1921 di desa Lioua, dekat Tolga, yang sekarang terletak di negara bagian Provinsi Biskra di Aljazair. Beliau menjalani masa kecilnya dalam keadaan yatim. Di kampung halamannya dibesarkan dan mengenyam pendidikan dasar, dan mulai menghafal Al - Qur'an dan mempelajari ilmu lughoh dan fikih Maliki.

Abu Bakar al-Jazaeri dikenal luas karena selama 50 tahun mengajar di Masjid Nabawi dan juga merupakan Guru besar di Universitas Islam Madinah. Bukunya Minhajul Muslim adalah salah satu karyanya yang paling banyak diterima di negara-negara Arab.  Beliau meninggal di Madinah pada Rabu 15 Agustus 2018 dalam usia 97 tahun.

Buku ini diterbitkan oleh Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, Madinah (cet. VI tahun 1419 H). Dan yang biasa beredar di pasaran dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh Musthofa 'Aini, Lc, Amir Hamzah Fachrudin, dan Kholif Mutaqin. Diterbitkan oleh Darul Haq, Jakarta.

Buku ini merupakan salah satu kitab terlaris dan paling banyak di bahas di Majelis-Majelis Ilmu atau kajian-kajian rutin di berbagai tempat dan Masjid di Indonesia. Dan jika kita ingin mendapatkan penjelasan yang lebih detail kita bisa mencarinya di video berbagai Ustadz-Ustadz yang sudah masyhur dengan ilmunnya di YouTube.

Bahasan Kitab ini terbilang sangat luas. Secara umum membahas tentang bagaimana sisi kompleks hidup seorang muslim, mulai dari Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah sampai hukum pidana dan peradilan dalam Islam. Terbilang bahasan yang cukup banyak dalam kurang dari 1000 halaman. Buku ini merupakan satu dari sedikit karya tulis dalam bentuk ringkas yang menggambarkan ajaran Islam secara menyeluruh.

Setiap pernyataan dikitab ini dituangkan tidak sembarangan, melainkan selalu didasarkan kepada dalil Naqli yang Shohih tanpa dhoif dan dalil Aqli yang kuat. Dalil Naqli yaitu dalil yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan dalil Aqli yaitu dalil yang bersumber dari argumen-argumen akal.

Kitab ini terdiri dari 5 Bab Besar yakni:
  1. Bab Aqidah, terdiri dari Tujuh Belas Pasal
  2. Bab Adab, terdiri dari Empat Belas Pasal
  3. Bab Akhlak, terdiri dari Dua Pasal
  4. Bab Ibadah, terdiri dari Empat belas Pasal
  5. Bab Mu’amalah, terdiri dari Tiga Belas Pasal
Bab-bab dalam buku ini tersusun secara sistematis dan rapi sehingga mudah bagi kita untuk menemukan permasalahan sesuai sub-judul yang kita perlukan. Sangat cocok untuk orang awam yang baru tertarik membaca kitab-kitab Islam dari para Ulama.

Sistematika kitab ini idahului dengan mengungkapkan pokok permasalahan yang kemudian dilanjutkan dengan uraian dalil dari Al-Qur’an maupun Hadist Nabi Shalallahu alaihi wa salam. Kemudian jika ada mufradat atau kosakata-kosakata yang agak sulit untuk pahami maka akan dipaparkan penjelasannya secara singkat.

Di antara ciri khas kitab ini, ada di dalam bab Fikih (Ibadah dan Muamalat) ketika kita dihadapkan dengan permasalahan khilafiyah, penulis tidak bertumpuan hanya pada satu mazhab tertentu saja, tetapi beliau sangat berupaya dengan ijtihad beliau untuk mengambil pendapat yang paling mendekati kebenaran dari 4 Ulama Mazhab terkemuka yang sudah kita kenal dengan ilmunya.

Demikian sedikit uraian dari kami tentang kitab ini. Jika benar maka itu dari semua dari Allah dan jika ada kesalahan maka itu dari diri kami pribadi. Kami meminta maaf jika ada kesalahan dalam untaian paparan kami.

Mohon jika ada kekeliruan dalam penguraian kami harap segera diberitahukan kepada kami sehingga kami bisa kembali mengedit dan memperbaikinya.

Terima kasih. 
Baarakallahu fiikum - Haikal Azrul

Wednesday, June 7, 2017

Pengertian, kedudukan, dan fungsi Hadits


Al-Hadits, atau Hadits merupakan sumber hukum dan ajaran pokok Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Dari perspektif periwayatannya, antara Hadits dan Al-Qur’an jelas terdapat perbedaan. Pada Al-Qur’an seluruh periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga kemudian timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadits, sekaligus menjadi sumber perdebatan dalam koridor ilmiah, atau bahkan dalam konteks non-ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang diperoleh, melainkan sebaliknya, perpecahan yang terjadi.

Oleh karena itu timbul pertanyaan dapatkah hadist dijadikan sebagai hujjah? 
Beberapa hal terkait hal ini akan dijelaskan secara ringkas sebagaimana terangkum dalam topik-topik berikut:
  1. Pengertian Hadits,
  2. Kedudukan Hadits,
  3. Fungsi Hadits,
  4. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an
PENGERTIAN HADITS
Hadits menurut etimologi adalah sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut adalah penjelasannya:

1. Hadits Qauliyah adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perkataan ini dapat berupa tuntunan, petunjuk, penjelasan atas peristiwa atau kisah-kisah yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah, maupun akhlak Islam.

Dengan kata lain, Hadits Qauliyah yaitu sunnah Nabi SAW yang hanya berupa ucapannya saja, baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah, cegahan maupun larangan. Pernyataan Rasulullah ini umumnya merupakan respons atas suatu keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kini dan masa depan. Pernyataan ini juga kadang-kadang berbentuk dialog dengan para sahabat, jawaban atas pertanyaan yang diajukan para sahabat, ataupun bentuk-bentuk lain seperti misalnya, khutbah. Dari tingkatannya, hadits Qauliyah menempati urutan pertama yang kualitasnya lebih tinggi dari jenis hadits lainnya.

2. Hadits Fi’liyah adalah perbuatan atau perilaku Nabi Muhammad SAW  dalam memberikan contoh bagaimana tata-cara melaksanakan berbagai ibadah atau urusan lain dalam agama Islam seperti misalnya bagaimana beliau memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum Islam, dlsb. Secara sederhana, Hadits Fi’liyah dapat dipahami sebagai hadits yang berasal dari para sahabat yang menyaksikan secara langsung perbuatan Rasulullah SAW.

3. Hadits Taqririyah adalah hadits yang memuat tentang perbuatan para sahabat yang telah diikrarkan oleh Rasulullah SAW. Ikrar tersebut dapat berupa sikap diamnya Rasulullah SAW. Dalam kondisi ini, Rasulullah tidak mengatakan sesuatu, tidak menyuruh dan tidak pula melarangnya. 

Menurut jumhur ulama, sikap diam Rasulullah SAW tersebut menunjukkan bolehnya suatu perbuatan. Sebab, jika tidak boleh, tentu beliau akan melarangnya dengan tegas sebagaimana disebutkan dalam jenis hadits lain. Namun perlu dicatat bahwa diamnya Rasulullah SAW harus dicermati berdasarkan dua keadaan:

Pertama, Rasulullah SAW mengetahui bahwa perbuatan itu pernah beliau larang. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui siapa pelaku yang terus melakukan perbuatan yang pernah dilarang itu. Diamnya Nabi dalam keadaan ini tidak menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukan. 

Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haram-halalnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan; sedangkan sifat setiap Nabi adalah maksum, atau terhindar dari berbuat kesalahan.

KEDUDUKAN HADITS
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan hukum yang berdiri sendiri di luar dari apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran tidak diragukan lagi, dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya:

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasul sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah; seperti di antaranya,

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)," (QS.An-Nisa: 59)

Bahkan pada ayat lain Al-Quran disebutkan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana firman Allah, 

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (QS. An-Nisa: 80)

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah menuruti ajaran dan mengikuti teladan yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Secara eksplisit ayat di atas sekaligus menjelaskan bahwa sesungguhnya Hadits juga merupakan Wahyu. Jika Wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum absolut, maka hadits pun memiliki kekuatan hukum yang sama. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua faktor:

Pertama, dari segi kebenaran materinya, dan kedua dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad sebagaimana dijelaskan di atas.

Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qathi dalam arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

FUNGSI HADITS 
Dalam uraian tentang Al-Qur’an dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum di dalamnya  dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah tidak seluruhnya dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan penjelasan Allah,

"Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu." (QS. An-Nahl: 64)

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
  • Menguatkan dan mengaskan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpamanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
“Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“ (QS. Al-Baqarah: 110)

Perintah Allah tsb diperjelas dan dikuatkan oleh sabda Rasulullah SAW:
“Islam itu didirikan dengan lima pondasi: kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat." [HR Bukhari, no. 8].
  • Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
    1. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an,
    2. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar,
    3. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum,
    4. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an, umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda:

"Inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kalian melihat aku mengerjakan shalat." [HR. Bukhari]
  • Menetapkan suatu hukum dalam Hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian terlihat bahwa Hadits menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut Itsbat. Akan tetapi bila sungguh-sungguh diperhatikan dengan cermat sebenarnya akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an namun secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut, larangan Nabi itu sesungguhnya merupakan penjelasan terhadap larangan dalam Al-Qur’an yang mengharamkan memakan sesuatu yang kotor.

HUBUNGAN HADITS DENGAN AL-QURAN 
Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah yang tidak seluruhnya dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut:

Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
  • Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an,
  • Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
  • Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum,
  • Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an,

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa.

"sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa: 103)

Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, umpamanya hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa.

"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan." (QS. An-Nisa: 11)

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.

Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara.

“dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (QS. An-Nisa :23)

KESIMPULAN
  1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
  2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
  3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
  4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an.
  5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

[Disajikan oleh Jamaril S.Ag | Guru MTsN ]


DAFTAR PUSTAKA
  • Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997
  • Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia, 1999
  • Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002
  • Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
  • Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999

Monday, May 22, 2017

Menggapai Lailatul Qadar





Di dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan terdapat Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang dimuliakan oleh Allah dari malam-malam lainnya. Pada malam itu Allah memberikan keutamaan dan kebaikan yang teramat banyak kepada ummat Islam.

Allah SWT pun telah menjelaskan tentang malam itu di dalam firman-Nya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِإِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَأَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَرَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُرَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِن كُنتُم مُّوقِنِينَلَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ
"Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur'an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu.Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Rabb Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang yang menyakini. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.(Dialah) Rabbmu dan Rabb bapak-bapakmu yang terdahulu." (QS. ad-Dukhan [44] :1-8)

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyifati malam itu dengan "mubarakah" (yang diberkahi) karena banyaknya kebaikan, berkah dan keutamaannya. Di antara berkah itu adalah bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam Lailatul Qadr ini. Allah SWT juga menyebutkan bahwa malam itu adalah malam yang di dalamnya dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. Allah SWT memerinci di dalam Lauhul Mahfudz agar ditulis para malaikat penulis berbagai hal yang ditetapkan Allah SWT sepanjang tahun, baik berupa rizki, ajal, kebaikan, keburukan dengan penuh hikmah dengan sangat jelas dan teliti, tanpa ada kekeliruan, kebodohan dan kebatilan. Demikianlah ketetapan Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 

Allah Subhannahu wa Ta'ala juga telah berfirman:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِإِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِوَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍسَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. al-Qadr [97]:1-5)

Al Qadr artinya asy-Syarfu wat Ta'dzim (mulia dan agung) dan juga memiliki arti at-Taqdir wal Qadla' (ketetapan dan keputusan). Disebut demikian karena malam itu merupakan malam yang mulia dan agung yang pada malam tersebut Allah menetapkan berbagai perkara penuh hikmah yang terjadi sepanjang tahun. 

Berdasarkan ayat, "hatta mathla'i'l fajr¡¨ maka batas lailatul qadr adalah jika telah terbit Fajar (Shubuh) yang menandakan selesainya berbagai aktivitas ibadah malam hari. Adapun keutamaan Laitul Qadr berdasarkan surat al-Qadr ini adalah sebagai berikut:

Bahwasanya Allah menurunkan al-Qur'an pada malam tersebut, yang dengan al-Qur'an itu manusia dapat mengambil petunjuk untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 

Dalam firman Allah yang berupa pertanyaan, "Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Menunjukkan kebesaran dan keagungan malam tersebut. 

Bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan dalam hal kemuliaan dan keutamaannya. 
Pada malam itu para malaikat turun, dan tidaklah malaikat turun kecuali dengan membawa kebaikan, berkah dan rahmat. 

Malam itu penuh dengan keselamatan karena banyak orang yang diselamatkan oleh Allah dari siksa dan adzab disebabkan mereka melakukan berbagai macam ketaatan kepada Allah di malam itu. 

Bahwa pada malam itu Allah Subhannahu wa Ta'ala menurunkan satu surat yang senantiasa dibaca hingga hari kiamat. 

Ada pun keutamaan Lailatul Qadr berdasarkan hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam adalah seperti yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah zbahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Barang siapa shalat malam pada malam lailatul qadr karena iman dan mengharap pahala (ihtisab) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." 
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah percaya kepada Allah SWT dan kepada apa yang disediakan Allah berupa pahala bagi siapa saja yang menghidupkan malam itu, sedang ihtisab memiliki arti mengharapkan pahala dan balasan. Keutamaan ini akan didapatkan oleh siapa saja, baik yang mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr atau yang tidak mengetahuinya, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak mensyaratkan bahwa yang mendapatkan pahala harus orang yang tahu Lailatul Qadr ini.

LAILATUL QADR 
HANYA ADA PADA BULAN RAMADHAN

Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadhan, karena Allah SWT menurunkan al-Qur'an pada malam itu. Sedangkan Allah telah menjelaskan bahwa turunnya al-Qur'an adalah pada bulan Ramadhan. Allah berfirman:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِإِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. al-Qadr [97]:1)

Dalam firman-Nya yang lain disebutkan:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an. sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)." (QS. al-Baqarah [2]:185)
Berdasarkan ayat ini maka jelas sekali bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada bulan Ramadhan, dan ia terus ada pada ummat ini hingga hari Kiamat berdasarkan hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa'i dari Abu Dzar dia berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Lailatul Qadr, apakah dia itu di bulan Ramadhan atau lainnya? Maka Nabi SAW menjawab, "Dia ada di bulan Ramadhan." Abu Dzar zberkata, "Dia ada bersama para nabi selagi mereka masih hidup, maka apabila para nabi meninggal apakah Lailatul Qadr itu diangkat atau tetap ada hingga hari Kiamat? Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Dia tetap ada hingga hari Kiamat."
Akan tetapi besarnya keutamaan dan pahala secara khusus bagi ummat ini hanya Allah Subhannahu wa Ta'ala yang mengetahui nya, sebagaimana ummat ini juga telah dikhusukan dengan hari Jum'at dari hari-hari lainnya dengan berbagai keutamaan -walillahil hamd-

Lailatul Qadr di Sepuluh Akhir Ramadhan
Lailatul Qadr ada pada sepuluh akhir Ramadhan, berdasarkan sabda Nabi saw, "Carilah Lailatul Qadr di sepuluh malam akhir pada bulan Ramadhan." (Muttafaq ¡¥alaih)

Dan kemungkinan terjadi pada malam-malam yang ganjil lebih besar daripada malam-malam yang genap, berdasarkan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,

"Carilah lailatul qadr itu pada malam yang ganjil pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan." (HR. al-Bukhari)

Dan lebih mendekati lagi adalah pada tujuh malam terakhir berdasarkan hadits dari Ibnu Umarzbahwa beberapa orang shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bermimpi melihat Lailatul Qadr terjadi pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Aku melihat bahwa mimpi kalian adalah benar pada tujuh malam terkahir. Maka barang siapa mencarinya maka hendaknya dia mencari pada tujuh malam terakhir." (Muttafaq alaih). Dan dalam riwayat Muslim Nabi bersabda, "Carilah ia pada sepuluh malam terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lelah atau lemah maka jangan sampai terlewatkan pada tujuh malam yang tersisa."

Dan di antara tujuh malam terakhir yang paling mendekati adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Ini berdasarkan hadits Ubay bin Ka'ab dia berkata, "Demi Allah sungguh aku mengetahui mana malam yang pada malam itu kita semua diperintahkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam untuk melakukan shalat malam, yaitu malam dua puluh tujuh." (HR Muslim).

Lailatul Qadr tidak terjadi pada malam tertentu secara khusus dalam setiap tahunnya, namun berubah-ubah atau berpindah-pindah. Mungkin pada suatu tahun terjadi pada malam dua puluh tujuh dan pada tahun yang lain terjadi pada malam dua puluh lima, dan demikian seterusnya sesuai dengan kehendak Allah Subhannahu wa Ta'ala dan hikmah-Nya. Ini ditunjukkan dalam sebuah sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, "Carilah ia pada sembilan terakhir, atau tujuh terakhir, atau lima terakhir." (HR. al-Bukhari).

Disebutkan di dalam kitab Fathul Bari bahwa malam itu terjadi pada malam yang ganjil pada sepuluh hari terkahir Ramadhan, dan bahwasanya dia berpindah pindah.

Hikmah Dirahasiakannya Lailatul Qadr
Allah Subhannahu wa Ta'ala merahasiakan kapan terjadinya lailatul qadr kepada hamba-hamba-Nya tidak lain adalah sebagai rahmat bagi mereka agar mereka banyak-banyak mengerjakan amal kebaikan dalam rangka mencari malam itu. Yaitu dengan banyak melakukan shalat, dzikir, do'a dan lain-lain sehingga terus bertambah kedekatan nya kepada Allah , dan bertambah pula pahala mereka. Allah juga merahasiakan itu sebagai ujian agar diketahui siapakah yang sungguh- sungguh di dalam mencarinya dan siapa yang bermalas-malasan dan meremehkannya. Karena orang yang berkeinginan mendapatkan sesuatu maka dia pasti akan bersungguh- sungguh untuk memperolehya, tanpa mempedulikan rasa letih dalam rangka menempuh jalan untuk mencapainya.

Hanya saja di antara tanda-tanda yang sempat terlihat pada masa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam adalah bahwasanya beliau bersujud di waktu Shubuh di atas tanah yang basah oleh air, artinya bahwa pada malam itu turun hujan sehingga beliau sujud di atas tanah yang berair.

Lailatul Qadr adalah malam dibukanya seluruh pintu kebaikan, didekatkannya para kekasih Allah, didengarkannya permohonan dan dijawabnya doa. Amal kebaikan pada malam itu ditulis dengan pahala sebesar besarnya, malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Maka hendaknya kita berusaha untuk menggapainya.

Sumber: Majalis Syahr Ramadhan, hal 104-107, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Ibnu Djawari)

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers