Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Gunakan tanda panah di sudut kanan bawah halaman untuk melanjutkan penelusuran artikel dalam kategori ini
Showing posts with label Kehidupan. Show all posts
Showing posts with label Kehidupan. Show all posts

Sunday, December 19, 2010

Makna Kehidupan


Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan di dunia. Mungkin kita sendiri termasuk dalam golongan mereka yang hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan hidup duniawi. Orang-orang yang lebih banyak mencari pemuasan hawa nafsu (semu), daripada berikhtiar memenuhi fitrahnya sebagai hamba yang taat, patuh, dan berserah diri kepada Rabb, Sang Pencipta.

YANG PENTING PUAS
Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana dapat menikmati kehidupan seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian yang pada saatnya menguning lalu mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan, dan hisab. Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta dengan begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri sendiri?

أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْئٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ؟
"Sesungguhnya Allah menciptakan dan memberikan kehidupan kepada kita untuk suatu tujuan. Bukan sia-sia.

Menurut Imam Syafi’i, makna sia-sia adalah kehidupan tanpa adanya perintah ataupun larangan. (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim Ibnu Katsir jilid-4 cetakan Maktabah Darus Salam 1413 H hal. 478) . Jadi, manusia hidup tidak sia-sia. Mereka memiliki aturan, hukum-hukum syariat, perintah dan larangan. Tidak bebas begitu saja melakukan apa yang mereka suka atau sebaliknya.

HIDUP DAN MATI ADALAH UJIAN
Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah jalla jalaaluh menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلَُوَكُمْ أَيُّكُمْ
"Yang menjadikan mati dan hidup agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (Lihat QS. Hud:7)

Fudhail bin Iyadh berkata: Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah. (Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali hal. 35)

Kita hidup di dunia adalah untuk diuji siapa yang paling ikhlas ibadahnya, siapa yang amalnya murni hanya untuk Allah semata, dan siapa yang menjalani kehidupannya paling sesuai dengan ajaran dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kita untuk memperhatikan dan mempelajari apa sesungguhnya makna kehidupan dan apa pula maknanya bagi kematian.

Ssesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia, yakni beribadah hanya kepada-Nya. Allah menurunkan kitab-kitabNya, Allah juga mengutus rasul-rasulNya demi tugas ini.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
"Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Dari firman di atas sudah cukup jelas rasanya bahwa penciptaan dan hidup kita tidaklah sia-sia. Lebih jauh lagi, kita juga dapat mengerti bahwa kehidupan ini sesungguhnya bersifat sementara namun jangan lupa; sarat akan makna. Kehidupan yang kelak, tentu saja, akan ditanya dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, Sang Pencipta.

KEHIDUPAN DI DUNIA HANYA SEMENTARA
Ingatlah kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti, siapa pun kita, pasti akan memasuki alam kubur hingga datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, selanjutnya kita akan dihadapkan pada hari perhitungan. Setiap kita akan menerima keputusan dari Allah SWT apakah akan bahagia di dalam surga atau akan sangat sengsara dalam neraka. Ingatlah selalu bahwa kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan abadi yang jauh-jauh hari sudah disebutkan di dalam Al Qur'an dengan istilah خالدين فيها atau dengan أبدا (selama- lamanya) atau لا ينقطع.

Sehari dalam kehidupan akhirat setara dengan seribu tahun kehidupan di dunia. Dengan demikian kita dapat memahami betapa pendek sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini. Tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat!

Berapa tahun umur manusia yang terpanjang, dan berapa tahun sudah umur yang kita jalani? Itu pun kalau kita anggap kita akan mencapai umur manusia terpanjang. Sedangkan ajal, kita tidak pernah tahu kapan akan datang menjemput. Mungkin esok atau lusa, atau bahkan mungkin beberapa detik setelah ini. Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupannya yang panjang daripada yang singkat di sunia ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan emas untuk meraih kebahagiaan hidupnya di akhirat yang abadi. Allah Subhana Wata'ala sendiri telah mengingatkan:

وَابْتَغِ فِيْمَآ ءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
"Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi." (Lihat QS Al-Qashash:77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Kita lebih mementingkan kenikatan dunia yang hanya sesaat, dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَاْلأَخرَاةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
"Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Al-A'laa: 16)

Allah hanya meminta kita - dalam kehidupan yang singkat ini - untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu! Kemudian Allah akan memberikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan akhirat.

KEMATIAN ADALAH SESUATU YANG PASTI
Alangkah bodohnya manusia yang lebih mementingkan kesenangan sesaat lalu melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakan setiap kesempatan dalam kehidupannya di dunia ini hingga kematian datang menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai firman-Nya bahwa kematian pasti akan datang, dan tak seorang pun dari kita yang mengetahui kapan waktunya. Jika saat itu tiba, tidak akan ada yang dapat memajukan atau memundurkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
 
لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ
"Tiap-tiap umat memiliki ajal; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya." (QS. al-A’raaf: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung."

Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim.

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam." (QS. Ali Imran: 102)

Ini menyiratkan bahwa sudah selayaknyalah kita selalu berusaha meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kepada Allah Sang Pencipta, hingga bila kematian tiba, diri kita lahir dan bathin benar-benar dalam keadaan Islam. Ibnu Katsir berkata: Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam. Sebab makna Islam adalah tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah, yang tentunya mengandung setinggi-tingginya makna keterikatan perendahan diri dan ketundukan kita kepada Allah SWT. Diri kita dan seluruh anggota tubuh kita adalah milik Allah. Maka sudah semestinya kita berserah diri kepada-Nya.

Ya Allah, kami hamba-Mu, milik-Mu. Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kepada-Mu. Kami patuh dan berserah diri untuk diatur, dihukum, diperintah dan dilarang oleh-Mu. Kami taat, tunduk, dan patuh karena kami adalah milik-Mu. Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:

أََللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَىعَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا سْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
"Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku. Tidak ada ilah kecuali Engkau. Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui kenikmatan dari-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku kepada-Mu. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau." [HR. Bukhari, Juz 7/150]

Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni. Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut kita sadar bahwa semua anggota tubuh kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan, dan telinga kita harus digunakan untuk apa yang dibolehkan oleh Allah. Karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.

Siapakah yang lebih jahat dari orang yang menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah? Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota tubuh tersebut. Mereka akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa saja selama hidup di dunia ini mereka kita pergunakan.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya."

KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN
Ayat-ayat dalam Al Qur'an yang menceritakan tentang kematian sangat banyak. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan kita tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan mencari kebahagiaan hidup yang hakiki di surga? Sesungguhnya manusia paling bodoh adalah yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:


مَنْ أَرَادَ وَلِيًّا فاللهُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ قُدْوَةً فَالرَّسُوْلُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ هُدًى فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِوَمَنْ أَرَادَ مَوْعِظَةً فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِوَمَنْ لاَ يَكْفِيْهِ ذَلِكَ فَالنَّارُ يَكْفِيْهِ
"Barangsiapa yang menginginkan pelindung maka Allah cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan teladan maka Rasulullah cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup maka Al-Qur'an cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya. Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya!"

Sampai detik ini, Allah masih memberi kita peluang dan kesempatan. Maka hendaknya sekarang ini juga kita memanfaatkan peluang itu dengan sebaik-baiknya guna membuktikan ketaatan kita kepada Sang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, namun Yang Siksanya Sungguh Teramat Sangat Pedih.

Waktu yang diberikan kepada kita ini bagaikan pedang. Jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita, sebagaimana dikatakan oleh para salaf.


اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ
"Waktu itu bagaikan pedang jika engkau tidak memutusnya maka dia yang akan memutusmu. Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita. "

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌُ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
"Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai daripadanya: ni’kat kesehatan dan ni’kat kesempatan."

Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada manusia. Namun sayangnya kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk taat kepada Allah hingga tiba waktunya ia hilang bersamaan dengan datangnya kematian.

Disadur bebas dari buletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II Tgl 21 Shafar 1426 H, Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed 

Monday, June 21, 2010

Perangkap Nikmat Dunia




Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang terlena dengan kenikmatan dunia. Di antara kenikmatan yang membuat banyak orang lupa akan jati diri dan tujuan hidupnya adalah nikmat kesehatan dan waktu luang. Terutama nikmat waktu, yang begitu banyak orang lalai memanfaatkannya dengan baik. Sehingga banyak sekali waktu mereka yang terbuang percuma bahkan menjerumuskan mereka ke dalam jurang bahaya.

Duduk di depan televisi seharian pun tak terasa, terhenyak sekian lama di hadapan berita-berita terbaru yang disajikan media massa sudah biasa, dan berjubel-jubel memadati stadion selama berjam-jam untuk menyaksikan pertandingan sepak bola atau konser grup band idola pun rela. Aduhai, alangkah meruginya kita tatkala waktu kehidupan yang detik demi detik terus berjalan menuju gerbang kematian ini kita lalui dengan menimbun dosa dan menyibukkan diri dengan perbuatan yang sia-sia.

Saudaraku, ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada dua buah nikmat yang kebanyakan orang terperdaya karenanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” [HR. Bukhari [6412] dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari (11/258)]

"Saudaraku, sesungguhnya dunia ini merupakan ladang akherat. Di dalam dunia ini terdapat sebuah perdagangan yang keuntungannya akan tampak jelas di akherat kelak. Orang yang memanfaatkan waktu luang dan kesehatan tubuhnya dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah maka dialah orang yang beruntung. Adapun orang yang menyalahgunakan nikmat itu untuk bermaksiat kepada Allah maka dialah orang yang tertipu." [lihat Fath al-Bari (11/259)]

Allah ta’ala berfirman,

“Demi masa. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam menetapi kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah kalian di dunia seperti layaknya orang yang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan jauh.” (HR. Bukhari [6416] dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari [11/263])

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang yang lima: Masa mudamu sebelum masa tuamu,  masa sehatmu sebelum sakitmu,  masa kayamu sebelum miskinmu,  waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu.” [HR. al-Hakim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, lihat Fath al-Bari (11/26), hadits ini disahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 486]

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah sekedar kesenangan sementara, dan sesungguhnya akherat itulah negeri tempat tinggal yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 39)

Ada seorang yang bertanya kepada Muhammad bin Wasi’, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” Maka beliau menjawab, “Bagaimanakah menurutmu mengenai seorang yang melampaui tahapan perjalanan setiap harinya menuju alam akherat?” al-Hasan berkata, “Sesungguhnya dirimu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap kali hari berlalu, maka lenyaplah sebagian dari dirimu.” [lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 482]
Sebagian orang bijak berkata, “Bagaimana bisa merasakan kegembiraan dengan dunia, orang yang perjalanan harinya menghancurkan bulannya, dan perjalanan bulan demi bulan menghancurkan tahun yang dilaluinya, serta perjalanan tahun demi tahun yang menghancurkan seluruh umurnya. Bagaimana bisa merasa gembira, orang yang umurnya menuntun dirinya menuju ajal, dan masa hidupnya menggiring dirinya menuju kematian.” [lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 483]

Friday, June 18, 2010

Dunia Adalah Kesenangan Yang Memperdaya



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” [HR. Al-Bukhari no. 6416)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al- Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya. Setelah itu, apa yang kita pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuai kita? Masihkah angan-angan kita melambung untuk meraih gemerlapnya? Masihkah kita tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga) dan ancaman (adzab dan neraka) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan.” [Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841]

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil dan terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ:
فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا:
مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ:
“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka.

Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
"Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” [HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686]

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak- banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” [HR. Al-Bukhari no. 6416]

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.” Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” [Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211]

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” [Fathul Bari, 11/282]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” [Syarhu Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105]

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” [HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi]

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟ فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى
"Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” [HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676]

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ.
“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3]?” [HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679]

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang- orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan. Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia. Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” [HR. Muslim no. 7126]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” [Al-Minhaj, 17/190]

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. [Bahjatun Nazhirin, 1/531]

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


CATATAN KAKI
[1] Mereka yang tertipu oleh dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu: فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ “Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
[3] Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ “Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20) Sumber: Jangan Terpikat oleh Dunia Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah.

Saturday, April 10, 2010

Dahsyatnya Ujian Kesenangan Dunia

 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)

الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)

Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.” Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut. Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”

Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya. Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)

GODAAN (FITNAH) WANITA

Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)

Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).” 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma).

Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.

Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.

Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih).

Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

GODAAN (FITNAH) DUNIA DAN HARTA

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu).

Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)

Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)

Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)

تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’

Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’

Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)

Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”

Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran.

Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan). Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)

اللَهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.”


Wallahu ‘alam bish-shawab.
Wassalam, 
Abu Muawiah



Sunday, September 21, 2008

Kehidupan Yang Baik




Setiap orang yang hidup, baik laki-laki maupun perempuan menginginkan kehidupan yang baik. Tiada seorang pun yang menginginkan sebaliknya. Orang yang mencari ilmu sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai tua; orang yang bekerja siang malam membanting tulang dan bermandikan keringat; Pegawai negeri/kerajaan, karyawan swasta, petani, enterpreneur dn sebagainya tidak lepas dari harapan untuk mendapatkan kehidupan yang baik.

Begitu pun negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia yang tengah giat melaksanakan pembangunan disegala bidang, pada hakikatnya tiada lain guna mendapatkan kehidupan yang baik bagi seluruh rakyatnya.


Masing-masing orang, mempunyai pandangan tersendiri terhadap hakekat kehidupan yang baik itu. Ada yang memandang bahwa kehidupan yang baik itu terletak pada harta kekayaan; ada pula yang memandang bahwa kehidupan yang baik itu terletak pada pangkat, kedudukan/status sosial, pada ilmu, keturunan dan sebagianya, sesuai dengan kecenderungan masing-masing.


Pada lazimnya, kehidupan yang baik itu ialah kehidupan yang sejahtera, aman damai, sehat jasmani, sehat rohani dan senantiasa terhindar dari bencana atau malapetaka. Demikianlah idaman kebanyakan orang.

Adapun bagi orang yang beriman, idaman itu tidak hanya sampai disitu saja, melainkan diteruskan pula dengan kebaikan di akhirat yang ingin dicapainya.

Ulama terkenal al-Asfahani, dalam kitabnya Al-Mufradatu fi Gharibil Quran, dan al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami'u li Ahkamil Quran, menjelaskan, nahwa kehidupan yang baik itu mempunyai lima unsur, yaitu:

1. Dilimpahi rizki yang halal disertai sifat Qana'ah.
2. Dihiasi ilmu pengetahuan.
3. Dihiasi budi dan amal baik.
4. Diberi hidayah iman dan taufiq.
5. Dikaruniai investasi (tabungan) untuk akhirat.

Rizki yang halal, kiranya tidak dapat disangkal, bahwa ia merupakan unsur yang utama dalam kehidupan yang baik. Kekayaan yang melimpah tetapi cara memperolehnya tidak halal, walaupun pada dhahirnya seperti senang, namun di dalam jiwanya selalu resah-gelisah, risau dan penuh kekhawatiran. Kadangkala menghilangkan selera, walaupun dihadapannya terhidang makanan yang serba lezat.

Berbeda halnya dengan orang yang hidupnya dari rizki yang halal, meskipun tidak seberapa banyak namun menimbulkan ketenangan dan merasa aman. Apalagi jika hal itu di ikuti pula dengan sifat Qana'ah (menerima dengan rela atas rizki yang ada). Sebab itu, sifat Qana'ah perlu dimiliki oleh setiap orang.

Orang yang tidak memiliki sifat Qana'ah, betapapun banyak kurnia yang diberikan Allah kepadanya, niscaya akan tetap merasa kurang dan selalu tidak puas, bahkan menjadi ingkar dan tidak mau bersyukur.

Orang yang selalu merasa kurang puas atas rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, dilukiskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya sebagai berikut: "Seperti orang yang telah memiliki dua bukit emas, tetapi ia meminta tiga bukit emas, dan bila telah memiliki tiga bukit emas, ia menginginkan empat bukit emas. Dan mereka tidak akan puas kecuali dengan tanah (dikubur, mati)".

Sebab itu berbahagialah orang-orang yang beriman dan diberi rizki yang halal serta berhati qana'ah, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk (untuk beragama) Islam. Kehidupannya cukup dan menerima".

Unsur yang kedua adalah hiasan ilmu pengetahuan. Ilmu adalah sifat dan tanda kemulian manusia atas makhluk lainnya. Kemuliaan Nabi Adam a.s atas Malaikat dan Iblis adalah karena ilmunya; dan karena ilmu, ia berhak dita'ati dan di hormati. Orang yang berhasil hidupnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan sebagainya adalah karena dibekali ilmu pengetahuan yang cemerlang. Hidup tanpa ilmu pengetahuan akan gelap sedangkan amal tanpa ilmu tidaklah merupakan amal yang sempurna. Tidak saja urusan duniawi, namun urusan ukhrawi pun harus dilakukan dengan ilmu. Sabda Rasulullah saw: "Barangsiapa yang menghendaki dunia (kekayaan), hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menghendaki akhirat, hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka hendaklah dengan ilmu". (al-Hadist).

Mengingat betapa pentingnya kedudukan ilmu pengetahuan bagi manusia dalam menempuh perjalanan hidupnya, maka gama mewajibkan kepada umatnya agar senantiasa menuntut ilmu, sebagaimana Sabda Nabi saw: "Jadilah engkau orang yang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mendengarkannya, atau orang yang mencintainya. Janganlah engkau menjadi yang kelimanya" (Al-Hadist).

Unsur yang ketiga adalah budi dan amal yang baik, seperti rendah hati, pemurah, pemaaf, suka menolong dan sifat-sifat terpuji lainnya. Apabila budi baik itu dimiliki seseorang, niscaya akan bertambah mulia orang itu. Demikian pula sebaliknya, kekayaan yang melimpah, kedudukan yang tinggi, ilmu yang luas dan sebagainya, apabila tidak disertai budi pekerti yang baik, niscaya akan menjatuhkan wibawanya. Paling tidak, mereka hanya akan menghormat ketika berhadapan saja, sedangkan dibelakang mereka menyerapah.

Sabda Nabi saw: "Shadaqah itu tidak akan mengurangi harta kekayaan sedikitpun. Allah takkan menambah bagi hambaNya yang pemaaf kecuali menambah kemuliannya.Dan seseorang yang tawadlu (rendah hati) karena Allah semata, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya". (H.R Bukhari)
Berbahagialah orang-orang yang beriman serta memiliki sifat-sifat utama. Firman Allah: "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, lelaki maupun perempuan, sedang ia beriman kepada Allah, niscaya akan diberi kehidupan yang baik ... (Q.S. 16 n-Nahl:97)

Unsur yang keempat adalah Hidayah Iman dan Taufiq. Seorang pelajar atau mahasiswa yang bertahun-thun menekuni pelajarannya, ingin menjadi sarjana dan mempunyai kedudukan, kemudian ia berhasil mencapainya, ini namanya mendapat taufiq dari Allah. Seorang pegawai atau pekerja, yang ingin memiliki rumah, kemudian ia menabung sedikit demi sedikit dan akhirnya berhasil membangun rumah, maka ini namanya mendapat taufiq, demikianlah seterusnya.

Dengan demikian, taufiq sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Banyak orang yang mempunyai keinginan dan cita-cita, tapi keinginan dan cita-citanya selalu kandas karena tidak sejalan dengan kehendak Dzat yang Maha kuasa. Andai pun cita-citanya tercapai, itu tidak dinamakan taufiq, karena tidak mendapatkan restu dari Allah SWT.

Demikianlah, Allah swt. memberi bimbingan, agar orang hidup selalu mengharapkan taufiq dari Allah swt: "Dan tiadalah taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawwakal dan hanya kepada-Nya pula aku kembali." (QS. 11 Hud:88)

Hidup tanpa taufiq dan iman, tidak akan mendatangkan ketenangan. Kehidupan tanpa dasar iman, akan selalu ragu-ragu dan selalu cemas atas sesuatu yang terjadi. Orang yang kehilangan iman, akan mudah putus asa dan sempit jalan hidupnya.

Berbahagialah orang-orang yang beriman dan senantiasa teguh memegang aqidahnya. Firman Allah swt: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rab-kami adalah Allah", kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):"Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian." (QS.41 Fushshilat:30).

Di antara tanda-tanda yang membedakan antara orang-orang yang beriman (mukminin/mukminat) dengan lainnya, ialah mempercayai adanya hidup sesudah mati. Dan yaqin bahwa kehidupan akhirat itulah kehidupan yang kekal, sebagaimana firman Allah: "....serta mereka yaqin akan adanya kehidupan akhirat." (QS.al-Baqarah : 4)

Agama Islam memberikan petunjuk bahwa kehidupan di dunia haruslah dijadikan ladang untuk menanam sebanyak mungkin amal sholeh agar dapat dijadikan bekal untuk menjangkau kehidupan akhirat yang baik, atau mencapai sorga Allah dan terhindar dari segala adzab-Nya.

Berbahagialah orang-orang yang telah mendapatkan kehidupan yang baik di dunia, serta mempunyai INVESTASI (tabungan) untuk akhirat yang kekal. Dan alangkah akan menyesalnya orang-orang yang mendapatkan kebaikan dunia, namun ia tidak mempunyai tabungan untuk akhiratnya. Sebagaimana dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya: "Sebagian diantara manusia, ada yang berdo'a: "Rabbana berilah kami kebaikan di dunia", dan tiadalah baginya kebaikan di akhirat." (Q.S.2 Al-Baqarah: 200)

Sebab itu wahai saudaraku, sepanjang kita masih kuat, masih sehat wal'afiat dan mumpung kita masih diberi waktu, marilah kita berlomba-lomba beramal sholeh untuk mengisi tabungan akhirat, marilah kita menanam kebaikan dengan penuh keikhlasan semata-mata karena mengharapkan ridhla Allah. Ketahuilah bahwa bekal akhirat itu tidak hanya: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh saja, tetapi lebih luas dari itu!

Marilah kita renungkan peringatan Allah dalam al-Qur'an: "Apakah kalian akan mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian cobaan atau ujian sebagaimana yang telah menimpa umat sebelum kalian. Mereka telah ditimpa bencana dan penderitaan yang amat besar, dan mereka digoncangkan imannya dengan hebat, sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS.2 Al-Baqarah: 214).

Kemudian firman-Nya: "Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang yang berjihad di antara kalian, dan belum nyata di antara kalian orang-orang yang sabar." (QS.3 Ali Imran:142).

Apabila kita renungkan ayat-ayat diatas, kiranya segala kebaikan yang telah kita perbuat, masih belum seberapa, sebab masih banyak lagi hal-hal yang harus diperbuat. Manusia sebagai makhluk sosial, dituntut untuk memandang kehidupan ini dari segala segi. Sudahkah kita hidup bertetangga dengan memenuhi segala hak mereka? Sebagai makhluq Allah, sudahkah kita mematuhi perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya dengan kaffah dan istiqomah? Sebagai khalifah-Nya dimuka bumi, sudahkah kita memelihara, menjaga dan memanfaatkan anugrah-Nya berupa hutan, sumberdaya alam sebagaimana mestinya? Sebagai warga negara, sudahkah kita memenuhi panggilan tanah air? Dan masih banyak hal-hal lainnya!

Demikianlah lima unsur bagi kehidupan yang baik menurut pandangan Islam. Mudah-mudahan kita semua diberi petunjuk untuk memperoleh lima unsur tersebut, dan tergolong orang yang bahagia di dunia dan akhirat.

Amin....

Akhirulkalam, marilah kita renungkan bersama firman Allah swt: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah daripada perbuatan yang munkar. Dan hanya kepada Allah-lah kembalinya segala urusan." (QS.22 al-Hajj: 41).

[Hariswan]

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers