Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Thursday, July 26, 2012

Ingin Dikaruniai Anak Yang Shaleh?



Boleh jadi yang satu ini sering kita lupakan, yakni apa yang sudah sejak lama diisyaratkan oleh orang-orang shaleh terdahulu; para salafush shalih,  bahwa sesungguhnya amalan orang tua sangat berpengaruh pada keshalehan anak-anaknya. 
 
Orang tua yang shaleh niscaya akan mendatangkan manfaat kepada anaknya di dunia, bahkan sampai di akhirat. Sebaliknya, orang tua yang gemar berbuat maksiat akan memberi pengaruh buruk  terhadap pendidikan akhlak anak-anaknya.
Oleh karena itu,  orang tua yang menginginkan anak-anak yang shaleh hendaknya selalu beramal shaleh dengan ikhlas, hanya mengaharapkan ridha Allah semata dengan tentunya senantiasa bersandar pada  sunnah  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selalulah berdoa! Insya Allah, harapan mendapatkan anak-anak yang shaleh akan diijabah sebagaimana  Allah mengabulkan dan memelihara orangtua dan anak-anak yang shaleh seperti dicontohkan dalam kisah berikut ini.      
Kisah Dua Anak Yatim
Diriwayatkan dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS yang penuh pelajaran berharga. Semoga kita dapat memetik pesan moral di dalamnya
.

Allah Ta’ala berfirman ,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al Kahfi : 82)
Suatu saat Nabi Musa dan Khidr –‘alaihi salam melewati suatu perkampungan. Lalu mereka meminta kepada penduduk di kampung tersebut makanan dan meminta untuk dijamu layaknya tamu. Namu penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Lalu mereka berdua menjumpai dinding yang miring (hampir roboh) di kampung tersebut. Khidr ingin memperbaikinya. Kemudian Musa berkata pada Khidr,
لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. Al Kahfi: 77).
Namun apa kata Khidr?
Khidr berkata,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi : 82)
Lihatlah! Allah Ta’ala telah menjaga harta dan simpanan anak yatim ini, karena apa? Allah berfirman (yang artinya), “sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” Ayahnya memberikan simpanan kepada anaknya ini, tentu saja bukan dari yang haram. Ayahnya telah mengumpulkan harta untuk anaknya dari yang halal, sehingga karena keshalehannya ini Allah juga senantiasa menjaga anak keturunannya.
Hendaknya Orang Tua Senantiasa Memperhatikan yang Halal dan Haram
Oleh karena itu, hiasilah diri dengan amal shaleh bukan dengan berbuat maksiat. Carilah nafkah dari yang halal bukan dari yang haram. Perbaguslah makanan, minuman, dan pakaian hingga saat kita menengadahkan tangan untuk berdo’a pada Allah, maka tangan-tangan dan hati yang memohon itu bersih. Jika amal sholeh dilakukan dengan cara ini, niscaya Allah akan senantiasa memperhatikan dan Insya Allah, akan mengabulkan doa orangtua yang mengnginginkan anak-anak yang shaleh. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma’idah : 27) 
Cobalah kita renungkan, bagaimana mungkin kita boleh berharap do’a-do'a kita akan diijabah oleh Allah jika hasil usaha, makan dan minum yang kita peroleh berasal dari perbuatan yang tidak diridhai Allah seperti misalnya menipu orang lain, korupsi, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya, atau bahkan dengan berbuat syirik?!
Sebaik-Baik Teladan adalah Salafush Shalih Terdahulu
Lihatlah saudaraku - para ayah dan bunda - perkataan orang-orang shaleh terdahulu ini. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada kita untuk selalu beramal sholeh.
Sebagian mereka berkata, “YA BUNAYYA LA’AZIDUNNA FI SHOLATI MIN AJLIKA"
[Wahai anakku, sungguh aku menambah shalatku karenamu].”
Sebagian ulama mengatakan, “Maksudnya adalah aku memperbanyak shalat dan memperbanyak do’a untukmu, wahai anakku, dalam setiap shalatku.”
Jika orang tua senantiasa mentadaburi kitabullah, membaca surah Al-Baqarah, surat Al- Falaq, surah An-Naas (Al-Maw’idzatain), atau surah dan amalan lainnya, niscaya malaikat akan turun ke rumah di mana ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan, karena dihidupkannya bacaan kitab suci Al-Qur’an, sedangkan  syaitan  akan kabur dari rumah tsb! 
Tidak diragukan lagi bahwasanya turunnya malaikat ke rumah-rumah seperti ini akan menghadirkan ketenangan dan mendatangkan rahmat bagi seisi rumah, dan sudah barang tentu akan membawa  pengaruh yang baik pula pada anak-anak, yang niscaya akan mendapat keselamatan. 
Akan tetapi bila orangtua melalaikan amalan baik ini, maka akan berakibat kebalikannya. Syaitan akan senang menghampiri dan tinggal rumah tersebut karena rumah semacam ini tidak dihidupkan dengan dzikir pada Allah. Apalagi bila rumah ini dihiasi dengan berbagai bentuk gambar makhluk bernyawa, musik yang hingar bingar berikut hal-hal yang terlarang lainnya.
Selaku orangtua, marilah kita membiasakan diri untuk introspeksi. Hiasilah hari-hari kita dengan  mentadaburi kitabullah. Hiasilah rumah kita dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Hiasilah hari-hari kita dengan puasa sunnah, shalat sunnah, shalat malam dan amalan lainnya. Jauhilah berbagai macam maksiat dan perbuatan-perbuatan terlarang yang memasuki rumah kita.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallalallahu 'alayhi wasalam bersabda;
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi .... "  
[Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad t dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari t dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim t dalam Kitabul Qadar (no. 2658)]

Artinya, kitalah yang menjadikan anak-anak kita seperti apa adanya mereka sekarang ini!

Semoga Allah senantiasa memberkahi pendengaran, penglihatan, dan bathin istri, suami, dan anak-anak kita. 
Amin, Ya Arhamar Rahimin.
***
Pogung Kidul, 5 Dzulqo’dah 1429

Rasulullah Saw memohonkan syafaat untuk seluruh umat manusia



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Aku adalah pemimpin semua orang pada hari kiamat. Tahukah kalian apa sebabnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang akhir di suatu dataran tinggi. Mereka dapat dilihat oleh orang yang melihat dan dapat mendengar orang yang memanggil. Matahari dekat sekali dari mereka. Semua orang mengalami kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak mampu memikulnya. Lantas orang-orang berkata, ‘Apakah kalian tidak tahu sampai sejauh mana yang kalian alami ini? Apakah kalian tidak memikirkan siapa yang dapat memohonkan syafaat kepada Rabb untuk kalian?’ Lantas sebagian orang berkata kepada sebagian lain, ‘Ayah kalian semua, Nabi Adam ‘alaihissalam!’.
Syafaat Nabi Adam Alaihissalam
Mereka pun mendatangi beliau, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Adam! Engkau adalah ayah semua manusia. AllahSubhanahu wa Ta’ala menciptakanmu dengan kekuasaan-Nya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam tubuhmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud, sehingga mereka pun bersujud kepadamu. Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tempat tinggal kepadamu di surga. Sudilah kiranya engkau memohonkan syafaat kepada Rabbmu untuk kami? Bukankah engkau tahu apa yang kami alami dan sampai sejauh apa menimpa kami?’ Nabi Adam ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, Dia melarangku akan suatu pohon, tetapi saya berbuat maksiat. Diriku, diriku, diriku. Pergilah ke selain aku. Pergilah kepada Nabi Nuh‘alaihissalam’.

Syafaat Nabi Nuh Alaihissalam
Lantas mereka mendatangi Nabi Nuh ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nuh! Engkaulah Rasul pertama di muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebut dirimu hamba yang banyak bersyukur. Bukankah engkau mengetahui apa yang sedang kita alami sekarang? Sudilah kiranya engkau memohonkan syafaat kepada Rabbmu untuk kami?’ Nabi Nuh ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, saya mempunyai suatu dosa mustajab yang telah saya gunakan untuk mendoakan kebinasaan pada kaumku. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam’.

Syafaat Nabi Ibrahim Alaihissalam
Kemudian mereka pun mendatangi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, lalu mereka bertanya, ‘Wahai Ibrahim! Engkau adalah Nabi Allah dan kekasih Allah di antara penduduk bumi. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kami. Bukankah engkau telah mengetahui keadaan yang sedang kami alami?’ Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sesungguhnya saya pernah berdusta sebanyak tiga kali. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Musa ‘alaihissalam’.

Syafaat Nabi Musa Alaihissalam
Selanjutnya mereka mendatangi Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Musa! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi keutamaan kepadamu dengan kerasulan dan kalam-Nya yang melebihi orang lain. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas Nabi Musa ‘alaihissalammenjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, saya pernah membunuh seorang manusia padahal saya tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Isa ‘alaihissalam’.

Syafaat Nabi Isa Alaihissalam
Setalah itu, mereka pun mendatangi Nabi Isa ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Isa! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya. Engkau dapat berbicara dengan orang-orang ketika masih dalam buaian. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas Nabi Isa‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya.’ Nabi Isa tidak menyebutkan dosa yang diperbuatnya. ‘Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam’.

Syafaat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihiwassalam
Lalu mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka berkata, ‘Wahai Muhammad! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penutup para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas aku berangkat hingga sampai di bawah Arsy. Kemudian aku bersujud kepada Rabbku. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala ajarkan padaku pujian-pujian kepada-Nya serta keindahan sanjungan terhadap-Nya yang belum pernah Dia ajarkan kepada selain diriku. Lalu dikatakan, ‘Wahai Muhammad! Angkatlah kepadamu. Ajukanlah permohonan, niscaya permohonanmu dikabulkan. Mohonlah syafaat, pastilah akan diterima syafaatmu.’ Selanjutnya aku mengangkat kepalaku, lalu aku berkata, ‘Ummatku, wahai Rabbku, umatku wahai Rabbku, ummatku wahai Rabbku!’ Lantas dikatakan, ‘Wahai Muhammad! Masukkanlah umatmu yang tidak perlu dihisab dari pintu surga ke sebelah kanan. Mereka juga sama dengan orang-orang lain di selain pintu tersebut.’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang mengauasai diriku, sesungguhnya jarak anara dua daun pintu dari beberapa daun pintu surga sama dengan jarak antara Mekah dan Hajar atau antara Mekah dan Bushra’.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1 | Kisah Muslim

Thursday, July 19, 2012

Sejarah Al-Quran


Al-Qur'an, Qur'an, atau Quran (bahasa Arab: القرآن, translit. al-Qurʾān, 'bacaan'‎; /kɔːrˈɑːn/kor-ahn), adalah sebuah kitab suci utama dalam agama Islam, yang umat Muslim percaya bahwa kitab ini diturunkan oleh Tuhan, (bahasa Arab: الله‎, yakni Allah) kepada Nabi Muhammad. Kitab ini terbagi ke dalam beberapa surah (bab) dan setiap surahnya terbagi ke dalam beberapa ayat.

Wahyu yang diturunkan selama kurun waktu 23 Tahun
Umat Muslim percaya bahwa Al-Qur'an difirmankan langsung oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari atau rata-rata selama 23 tahun, dimulai sejak tanggal 17 Ramadan, saat Nabi Muhammad berumur 40 tahun hingga wafat pada tahun 632. Umat Muslim menghormati Al-Qur'an sebagai sebuah mukjizat terbesar Nabi Muhammad, sebagai salah satu tanda dari kenabian, dan merupakan puncak dari seluruh pesan suci (wahyu) yang diturunkan oleh Allah sejak Nabi Adam dan diakhiri dengan Nabi Muhammad.[b] Kata "Quran" disebutkan sebanyak 70 kali di dalam Al-Qur'an itu sendiri. Menurut ahli sejarah beberapa sahabat Nabi Muhammad memiliki tanggung jawab menuliskan kembali wahyu Allah berdasarkan apa yang telah para sahabat hafalkan. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat segera menyusun dan menuliskan kembali hafalan wahyu mereka. Penyusunan kembali Al-Qur'an ini diprakarsai oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq atas usulan dari Umar bin Khattab dengan persetujuan para sahabat senior.

Al-Qur’an menjelaskan sendiri bahwa isi dari Al-Qur’an adalah sebuah petunjuk. Terkadang juga dapat berisi cerita mengenai kisah bersejarah, dan menekankan pentingnya moral. Al-Qur’an digunakan bersama dengan hadis untuk menentukan hukum syari'ah. Saat melaksanakan Salat, Al-Qur’an dibaca hanya dalam bahasa Arab. Beberapa pakar Barat mengapresiasi Al-Qur’an sebagai sebuah karya sastra bahasa Arab terbaik di dunia.

Seseorang yang menghafal isi Al-Qur'an disebut Al Hafidz. Beberapa umat Muslim membacakan Al-Qur’an dengan bernada, dan peraturan, yang disebut tajwid. Saat bulan suci Ramadan, biasanya umat Muslim melengkapi hafalan Dan membaca Al-Qur’an mereka setelah melaksanakan shalat tarawih. Untuk memahami makna dari al quran, umat Muslim menggunakan rujukan yang disebut tafsir.

Berikut beberapa catatan seputar sejarah Al-Quran:

Wednesday, July 18, 2012

Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan

Mengapresiasi Kembali Kedudukan 
dan Peran Ulama Perempuan


“Ambillah setengah urusan agama kalian dari Humairah“ 
(Hadis At Tirmidzi)

Pada zamannya, Aisyah ra. yang memiliki julukan Humairah dikenal sebagai perempuan yang sangat cerdas. Begitu cerdasnya, hingga Rasulullah sendiri memberikan kepercayaannya kepadanya untuk memberikan jawaban atas sebagian dari masalah umat. Sejarah mencatat ada 1.210 hadis Rasulullah diriwayatkan oleh Aisyah ra. Dan sekitar 300 diantaranya bahkan telah diriwayatkan kembali secara bersama oleh ahli hadis Al Bukhari dan Muslim.(Lihat Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Aisyah Mengkoreksi Para Sahabat, halaman 50). 

Sayangnya, beberapa abad setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang semula membaik kembali mengalami krisis. Alih-alih stabil secara sosial, posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan) Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis adanya pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap perempuan. Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam. “Perempuan kembali tidak dipercaya,” demikian tulis Mernisi dalam Women in Islam.

Martin Van Bruinessen memiliki cerita menarik (namun ironik) dari kisah ketidakpercayaan itu. Di Banjarmasin, ada sebuah kitab kuning bernama Perukunan Jamaluddin. Kitab tersebut membahas beberapa hal yang berhubungan dengan perempuan, seperti masalah haid dan tata cara bersuci bagi seorang perempuan setelah masa haid atau nifasnya selesai. Tapi uniknya, orang Banjarmasin tahu kitab ini bukan ditulis oleh Jamaluddin putra Arsyad al-Banjari melainkan oleh seorang cucu perempuan dari Syeikh Arsyad al-Banjari yang bernama Fatimah. Karena ketidaklaziman akan kemampuan seorang perempuan, masyarakat Banjarmasin sebagian besar tidak bisa menerima Fatimah sebagai penulis kitab fiqh perempuan yang telah memiliki perspektif perempuan itu. 

Kisah seperti Fatimah di atas, masih banyak kita jumpai dalam keseharian kita. Betapa sering kita saksikan bahwa ulama perempuan dengan kapasitas keilmuan dan tingkat penyampaian yang sama, tetap memiliki perbedaan pengakuan di mata ummat. Penamaan ulama laki-laki sebagai Kyai, Tuan Guru, Tengku; sementara perempuan sebatas Bu Nyai atau Ustadzah memberi konsekuensi berbeda. Seorang ulama laki-laki dapat memimpin pesantren, memangku jabatan sebagai ketua ormas keagamaan Islam atau Majelis Ulama dan memimpin tabligh akbar, istighosah maupun majelis dzikir yang dihadiri ribuan jama’ah; sementara perempuan sebatas menjadi pendamping Pak Kyai yang notabene urusan domestik pesantren ataupun paling banter memimpin majelis ta’lim tingkat kampung, dan ada juga Nyai yang memimpin Pesantren putri. Hal ini tentu saja berimplikasi pada pengakuan publik, legitimasi politik, atau yang terkadang sungkan untuk disebut implikasi sosial-ekonomi akibat peran ini. 

Situasi seperti di atas, tentunya tidak harus terus terjadi. Sebab minimnya peran maupun ketidaksiapan masyarakat untuk memberikan pengakuan (baca : ulama) perempuan dalam upaya menafsirkan teks-teks dalam Islam akan berimbas kepada makin terpuruknya posisi perempuan Islam dalam dominasi patriarkhi. Karena itu, memunculkan ulama-ulama dari kalangan perempuan adalah sebuah urgensitas yang memiliki tujuan mulia dan harus dilestarikan. Perempuan pernah memiliki peran dalam sejarah perkembangan Islam, jadi apa salahnya jika kita menagihnya kembali?

Ulama Sebagai Tonggak Agama
Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi” (Al-’ulama ’waratsah al-anbiya’). Wajar jika dalam Islam, posisi mereka dihormati. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian ahlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial. 

Istilah ulama sendiri merupakan bentuk jamak dari kata benda (fa’il) bahasa Arab ’alim’, berasal dari kata kerja ’alima’ yang berarti “mengetahui” atau “berpengetahuan tentang”. Sedangkan ’alim’ adalah seseorang yang memiliki atribut ’ilm sebagai suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan seseorang yang sangat terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Singkatnya ulama adalah para pemilik ’ilm. 

Begitu “agungnya” kedudukan ulama, sehingga tidak semua orang bercita-cita ingin menjadi ulama. Dalam pemikiran mayoritas mayarakat kita, ketika mendengar kata ulama yang ada dalam bayangan mereka adalah; orang suci, ahli agama, dan sudah pasti berjenis kelamin laki-laki. Padahal jauh saat masa Nabi, sejarah membuktikan bahwa perempuan pun ternyata bisa berkiprah menjadi seorang ulama.

Ulama Perempuan di Zaman Nabi Muhammad saw.
Perlakuan yang ditunjukkan oleh Nabi terhadap kaum perempuan pada masa awal Islam sungguh-sungguh berbeda dengan perlakuan masyarakat Arab pra Islam. Semula perempuan dianggap mahluk Tuhan yang hina, bahkan dalam strata sosial, derajat perempuan menempati urutan paling bawah. Sehingga wajar bila saat itu pendidikan kaum hawa sangat tidak diperhatikan. Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami mobilitas vertikal. Gerak perempuan dan kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang keulamaan atau keilmuan terbuka luas. Sumbangan perempuan bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih egaliter. 

Pada saat itu, perempuan memiliki peran dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, termasuk yang berkaitan dengan urusan publik. Itu terjadi disebabkan ajaran Islam dijalankan secara konsekuen. Soal pendidikan misalnya, Nabi Muhammad tidak pernah membuat garis perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Seperti yang pernah diucapkannya dalam sebuah hadis: “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim (lelaki maupun perempuan)” (Riwayat Ibn Majah, al-Baihaqi dan ibn Abd al-Barr). 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Aisyah pernah memuji semangat para perempuan Anshar dalam menuntut ilmu. “Perempuan terbaik adalah mereka dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama,” katanya. (Lihat dalam Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’I). Pendidikan membuat perempuan di masa Nabi menjadi bagian dari sebuah masyarakat yang kritis. Sebagai ilustrasi, ummul mu’minin Ummu Salamah pernah mempertanyakan posisi kaumnya dalam Alquran, “Kami telah menyatakan beriman kepada Islam, dan melakukan hal-hal sebagaimana engkau lakukan. Jadi mengapa hanya kalian lelaki saja yang disebut dalam Alquran, sementara perempuan tidak?” Maka sejak itu sebutan untuk kaum muslimin secara umum dalam Alquran berubah menjadi ‘muslimin wa ‘l-muslimat.

Aisyah ra. (wafat pada 678 M) bisa disebut sebagai representasi ulama perempuan di masa Nabi. Dia dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadis, fiqh, sejarah, tafsir, dan ilmu astronomi. Aisyah ra. yang diberi gelar Ummu al-Mu’minin (ibu orang-orang beriman) adalah seorang perempuan yang memiliki pemikiran cerdas sejak muda. Banyak ilmu dari Nabi yang diserap langsung oleh Aisyah. Tidak aneh jika kemudian dia menjadi tempat bertanya bagi banyak sahabat dan menjadi guru para tabiin.

Ulama Perempuan Pasca Nabi Muhammad saw.
Sepeninggal Nabi Muhammad saw., zaman bergeser. Marginalisasi kembali dialami kaum perempuan. Menurut Fatimah Mernisi, Umar ibn Khattab adalah salah seorang khalifah yang harus bertanggungjawab terhadap proses ini. Umar sepertinya “kurang senang” kaum perempuan bergerak ke ranah publik. “Di masanya, peraturan yang keras dan menindas berlaku terhadap kaum perempuan,” tulis Fatimah. 

Akibat kebijakan sejenis produk Umar yang - meminjam istilah Martin Van Bruinessen - lebih macho, peran ulama perempuan lambat laun tersisihkan. Jika pada zaman Nabi, rata-rata kaum perempuan didorong untuk mendapat pendidikan yang layak, tidak demikian sepeninggalnya. Akibatnya sangat jelas, jumlah perempuan yang menjadi ulama pun mengalami penurunan yang signifikan. Terutama saat bentuk kekhalifahan yang demokratis tumbang dan digantikan oleh sistem monarkhi.

Kalaupun ulama perempuan masih ada, dia tak memiliki peran yang luas seperti pada zaman Nabi. Wilayahnya hanya terbatas kepada aspek-aspek khusus yang hanya berhubungan dengan dunia mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, mereka justru tak jarang menjadi legitimator para penguasa untuk menarik kembali kaum perempuan dari wilayah publik. Kendati demikian, tak urung muncul juga satu dua ulama perempuan yang menentang mainstream saat itu. Tokoh-tokoh seperti Sukaynah binti Husein, Amrah binti Abd Al-Rahman (w.718 Masehi), Hafshah binti Sirin (w.718 Masehi), Zainab binti Al Syar’i dan Sayyida Nafisa adalah para ulama perempuan yang memiliki pandangan kritis dan sering menyalahi pandangan ulama laki-laki di zamannya. 

Dalam beberapa penelitian sejarah, para ulama perempuan bahkan sering dilaporkan menjadi guru dari ulama laki-laki yang terkenal, misalnya, Sayyidah Nafisah yang menjadi guru bagi ulama terkenal al-Shafi’i ketika mengikuti halaqoh di kota Fustat. Imam al Syafi’i dan banyak ulama lain hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk mengaji kepadanya. Dalam catatan riwayat hidup ulama laki-laki yang terkenal tidak jarang terdapat catatan tentang guru-guru perempuan mereka. “Tidak terdapat tanda-tanda bahwa mereka segan atau malu belajar kepada pakar-pakar perempuan tersebut,” tulis Tritton A.S dalam Materials on Muslim Education in the Middle Ages. 

Perempuan juga tidak hanya menjadi muffasir atau muhaddist, tetapi juga menjadi pakar dan pengawal tasawwuf. Koleksi nama perempuan-perempuan sufi terkenal diberikan antara lain oleh Javad Nurbakhsh dalam Wanita-wanita Sufi. Prototip sufi perempuan tentu saja adalah Rabi’ah al Adawiyyah (w. sekitar 180 H). Banyak sumber meriwayatkan, bahwa keilmuan dan kesufian Rabi’ah melewati kolega laki-laki. Rabi’ah al Adawiyah, seorang ulama sufi yang tersohor itu menolak perkawinan karena kecintaannya terhadap Allah swt. tidak menyisakan ruang baginya untuk berfikir tentang laki-laki. Konon, Hasan Basri yang mashyur itu jatuh cinta pada Rabi’ah karena terpana akan sikap tawadhu’ dan kesaktiannya.

Tantangan Perempuan menjadi Ulama
Eksistensi ulama perempuan — baik dalam ilmu-ilmu hadis atau tafsir maupun tasawuf – seyogyanya memang tidak diragukan lagi. Tetapi, terlepas dari hal ini, satu hal yang sudah jelas : jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ulama laki-laki, dan bahkan popularitas mereka masih kalah jauh dibandingkan dengan laki-laki. Begitupun dalam produktivitas keilmuan, sangat jarang - untuk tidak mengatakan tak ada - ditemukan karya-karya monumental dalam bidang keagamaan yang dihasilkan “ulama perempuan”. Bisa jadi karena faktor itulah, Ibn Hajj —seorang ulama dan penulis kamus biografi asal Mesir— berpendapat, bahwa ulama-ulama perempuan pada umumnya mempunyai kualitas lebih rendah dibandingkan laki-laki. 

Tidak menutup kemungkinan pandangan seperti ini juga muncul karena perempuan harus mengalami tantangan yang bersifat ganda. Perempuan juga harus dapat memperjuangkan hak-haknya seperti kisah Hajjah Sua yang cerdas dan pintar dari Pesantren Cipasung Tasikmalaya yang menolak dimadu oleh seorang kyai besar di daerah tersebut, disamping harus menyelesaikan kitab untuk menjadi “ulama”. Selain itu, ulama perempuan juga mengalami banyak tantangan di ranah domestik. Banyak ibu Nyai yang masih diam dan gamang ketika menghadapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga. “Kekhasan” ulama perempuan ini juga sangat terkait dengan dan perjuangan mereka melawan “patriarki”. Barangkali kita masih bisa mengingat Sukaynah cicit Nabi yang pernah memperkarakan suaminya yang berpoligami. 

Kesempatan bagi perempuan untuk mendalami pengetahuan keagamaan secara mendalam untuk kemudian dapat dikatakan sebagai seorang yang alim (orang yang berilmu) dihadang oleh berbagai persoalan. Misalnya budaya patriarki seringkali menganggap perempuan tidak layak mendapatkan pendidikan yang tinggi dengan alasan bahwa perempuan mesti kembali ke urusan domestik. Hal inilah yang menyebabkan perempuan hampir tidak mendapatkan prioritas dalam kesempatan pendidikan. Akibatnya perempuan dipinggirkan, perempuan tidak diberi ruang untuk mengekspresikan dirinya. Terbatasnya akses perempuan akan pendidikan, terutama pengetahuan keagamaan tidak seluas laki-laki. Penafsiran agamapun ikut melegitimasi ketidakadilan yang dialami perempuan. Hal ini terlihat dalam pandangan Al-Nawawi, ulama terkemuka asal Banten, dalam kitabnya yang terkenal, Uqud Al-Lujjain, bahwa perempuan itu tempatnya di rumah, tugas mereka yang utama adalah melahirkan anak, mengurus rumah tangga, dan melayani suami. 

Padahal dalam khasanah sejarah Islam kita mengenal beberapa ulama perempuan yang handal. Mereka adalah periwayat ribuan hadis shahih, yang senantiasa bersikap kritis dalam mencari kebenaran pada masa pewahyuan, tokoh yang cukup legendaris di dunia tasawuf. Bahkan beberapa diantara mereka juga pernah menjadi guru dari beberapa imam besar dari berbagai mazhab. Islam pun secara normatif memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, kemudian pada gilirannya nanti mereka dituntut untuk mengabdikan ilmu mereka ke masyarakat. Bukankah tidak ada yang paling mulia di sisi Allah swt, kecuali tingkat ilmu dan ketakwaannya?.

Melahirkan Kembali Ulama Perempuan
Di era abad 21 ini, secara umum dunia perempuan belum juga terbebas dari belenggu sistem patriarkhi. Hal tersebut termasuk meliputi pula beberapa negeri-negeri Islam. Situasi ini bisa jadi disebabkan minimnya jumlah ulama perempuan yang berpengaruh dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan teks-teks Alquran dan hadis dalam koridor perspektif perempuan. Kalaupun ada, mereka memiliki resiko “dimatikan” sebelum tumbuh berkembang. 

Ulama perempuan memang tidak serta merta memiliki perspektif perempuan, dan bukan berarti tidak ada ulama laki-laki yang berperspektif perempuan. Namun, dengan minimnya perempuan mendapatkan kesempatan untuk menjadi ulama, akan membuat suara perempuan akan menjadi tak terdengar bahkan hilang. Dengan mendidik ulama perempuan untuk lebih mengasah kepekaan pada hak perempuan, akan membuat suara perempuan yang selama ini banyak termarginalkan dapat terangkat ke permukaan. Dengan perempuan bersuara dan berperan, diharapkan secara perlahan ulama perempuan yang memiliki perspektif perempuan semakin diakui otoritasnya. 

Saat ini juga tengah terjadi ikhtiar di beberapa organisasi keagamaan Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk melibatkan kaum perempuan di ranah keulamaan. Majelis Tarjih Muhammadiyah misalnya, saat ini telah mengakomodir kehadiran beberapa ulama perempuan. Namun perjuangan untuk memperkuat kembali kehadiran para ulama perempuan ini bukanlah perkara yang mudah. Upaya untuk memasukkan nama-nama perempuan di jajaran Syuriah NU, misalnya juga masih memerlukan perjuangan yang panjang. 

Keprihatinan ini juga telah menjadi pemikiran Rahima untuk menyelenggarakan program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP). Kehadiran ulama perempuan perlu ditumbuhkembangkan guna memperkaya produk keagamaan dengan perspektif perempuan. Dengan mengasah ketajaman analisis sosial mereka melalui perspektif perempuan; diharapkan mereka dapat beraktualisasi lebih besar di lembaga-lembaga keulamaan untuk menyuarakan kepentingan dan memberdayakan perempuan sebagai kelompok umat yang selama ini terpinggirkan.

Penutup
Sesungguhnya penegakan nilai-nilai Islam di muka bumi ini, sejak mulanya telah membawa semangat egaliter. Bahwa semua manusia mempunyai berbagai hak untuk menjadi manusia yang bermartabat, termasuk mendapat pendidikan dan pengakuan akan keahliannya. Jadi bukan sekedar “alasan duniawi” atau inspirasi dari ranah di luar Islam atau sekedar alasan emansipasi semata. Pengakuan terhadap keulamaan perempuan dan sekaligus upaya melakukan penyemaian adalah berangkat dari nilai kesetaraan dan keadilan, sebagai nilai fundamental Islam, agama yang kita percaya sebagai pembawa rahmatan bagi alam semesta. Dan hal ini telah ditunjukakan secara prima oleh Muhammad pada masa kenabiannya. 

Untuk memperbanyak jumlah ulama perempuan dimasa depan, tidak ada pilihan lain kaum perempuan harus memperoleh dan menggunakan akses dan peluang dalam lembaga-lembaga keagamaan, terutama lembaga pendidikan seluas-luasnya. Disamping itu kaum perempuan sendiri harus meningkatkan kualitas diri dan kemampuan intelektualitasnya melalui jalur pendidikan. Ikhtiar untuk menumbuhkembangkan ulama perempuan tentu menjadi concern kita sehingga persoalan yang selama ini dihadapi oleh perempuan dapat terjawabkan. [Rahima - wikisource]

 

 

Riwayat Para Periwayat Hadits



Para Periwayat Hadits disebut Perawi, dan menjadi seorang Perawi Hadits, tidaklah mudah. Banyak syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya, menguasai dan hafal ribuan hadits, menguasai matan dan sa-nad hadits, menguasai ilmu dirayah dan hwa-yah, ilmu rijalul hadits, dan lain sebagainya.

Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhary al-Jufi atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari (194-256 H) dan Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury atau popular dengan sebutan Imam Muslim (204-261 H). Keduanya merupakan dua otoritas tertinggi dalam dunia periwayatan hadits sahih.hadits hadits yang diriwayatkan oleh keduanya memberi syarat yang sangat ketat atas matan (isi) ataupun sanad (silsilah periwayatan) hadits. Integritas orang-orang yang menwayatkan hadits (perawi hadits) juga sangat diperhatikan, seperti tidak pernah berdusta. kuat ingatannya. pernah bertemu dengan perawi sebelumnya, dan lain-lain. 

Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Imam Bukhari pernah menolak integritas seorang perawi hadits, hanya karena orang itu pernah berdusta kepada seekor kuda. Ia memanggil kuda dengan berpura-pura memberi makan, padahal di genggaman tangannya tidak ada makanan.

Demikian pula. Imam Muslim mempunyai otoritas yang sangat tinggi dalam periwayatan hadits. Muslim bin Qasim al-Qurtuby, salah satu dari teman dekat ad-Daruqutny, telah berkata di dalam kitab Tankh-nya saat mengomentari Imam Muslim, "Tidak seorang pun menyusun kitab hadits yang menyamainya. Ini mengacu pada bagusnya ia dalam halpenyusunannya, pengaturannya, dan kemudahan untuk menemukan hadits yang dicari. Ia menjadikan setiap hadits ada pada satu bab yang sesuai dengannya, menghimpun di dalamnya cara-cara penyusunan yang diinginkan, di samping memilih di dalam penyebutannya dan menyebutkan lafaz-lafaz yang berbeda-beda." 

Dengan persyaratan yang sangat ketat, terutama atas matan dan sanad, tak heran kalau hadits-hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim {muttafaq alaihi) menempati tingkatan teratas hadits sahih.Karena itulah, tampaknya pengarang kitab Al-Lulu wa al-Marjan, Muhammad Fuad Abdul Baqi. berusaha mengumpulkan hadits-hadits sahih yang diriwayatkan oleh keduanya, lalu dibukukan dalam kitab ini. 

Wa Allahu Alam.
[Kelana-ed-sya]

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers