Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Tuesday, September 28, 2010

Setiap yang hidup pasti akan mati



Menurut orang-orang yang bodoh, hal terburuk yang dapat terjadi pada seseorang adalah mati. Itulah yang paling menakutkan bagi mereka, yaitu mendekati kematian atau kehilangan seseorang yang mereka cintai. Bahkan, kematian adalah peristiwa yang sedapat mungkin dihindari, meskipun orang yang bodoh dapat mengetahui kebaikan dalam peristiwa tersebut. Baginya, kematian tak pernah menjadi hal yang baik.

Cara pandang masyarakat yang tidak beriman terhadap kematian adalah sama. Mereka tidak pernah dapat melihatnya dengan cara pandang yang berbeda. Kematian adalah benar-benar kebinasaan, sedangkan akhirat hanyalah semata-mata spekulasi.

Bagi orang-orang yang jauh dari kebenaran agama, kehidupan dunia ini adalah satu-satunya kehidupan. Dengan kematian, satu-satunya kesempatan telah berakhir. Inilah sebabnya, mereka menangisi hilangnya orang yang dicintainya. Parahnya, kematian orang yang dicintainya secara tiba-tiba di usia yang sangat muda, menjadi penyebab kemarahan mereka kepada Allah dan takdir.

Bagaimanapun juga, orang-orang tersebut melupakan kenyataan-kenyataan penting. 

Pertama, tak ada seorang pun di bumi ini yang mendapatkan semua yang diinginkan. Setiap kehidupan seseorang adalah milik Allah; setiap orang lahir di waktu yang telah ditakdirkan Allah sebelumnya dan sesuai kehendak Allah. Inilah sebabnya, Allah—yang kepada-Nya kembali segala sesuatu di langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya—dapat mengambil kembali jiwa siapa pun yang diinginkannya, kapan pun Dia menginginkannya.

Kedua, tak ada seorang pun yang dapat menunda ketentuan Allah. Hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur`an, 

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَاباً مُّؤَجَّلاً وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ
مِنْهَا وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
[wamaa kaana linafsin an tamuuta illaa bi-idzni allaahi kitaaban mu-ajjalan waman yurid tsawaaba alddunyaa nu/tihi minhaa waman yurid tsawaaba al-aakhirati nu/tihi minhaa wasanajzii alsysyaakiriina]
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran [3]: 145)

Tak peduli cara berhitung apa pun yang dipakai seseorang atau seaman apa pun tempat tinggalnya, ia tidak dapat menghindari kematian. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi saw., “Jika Allah memutuskan bahwa seseorang akan mati di sebuah tempat, Allah membuatnya pergi ke tempat itu.” (Tirmidzi) 

Seseorang dapat pergi dari dunia ini kapan pun. Demikian pula orang yang menghindari kematian, tak peduli betapa kerasnya ia berjuang untuk tidak kehilangan orang yang dicintainya. Bahkan, jika segala daya upaya telah dilakukan, ia tidak dapat menghindari kematian. Orang tersebut akan menghadapi kematian di mana pun ia berada, sebagaimana disebutkan dalam ayat;

أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِ اللّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَـؤُلاء الْقَوْمِ لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيث 
[aynamaa takuunuu yudrikkumu almawtu walaw kuntum fii buruujin musyayyadatin wa-in tushibhum hasanatun yaquuluu haadzihi min 'indi allaahi wa-in tushibhum sayyi-atun yaquuluu haadzihi min 'indika qul kullun min 'indi allaahi famaali haaulaa-i alqawmi laa yakaaduuna yafqahuuna hadiitsaan]
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memeroleh kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah,’ dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan, ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).’ Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah.’ Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS an-Nisaa` [4]: 78)

Karena itu, solusinya bukan berusaha untuk menghindari kematian, tetapi bagaimana menyiapkan kehidupan untuk hari akhirat.

Kematian Adalah Awal, Bukan Akhir
Manusia yang miskin iman atau mereka yang tidak punya keimanan sedikit pun tentang akhirat, memiliki pandangan yang salah tentang kematian dan kehidupan setelah itu. Inilah sebabnya, sebagaimana disebutkan di awal, mereka percaya bahwa saat mereka kehilangan seseorang (karena kematian), mereka akan kehilangan untuk selamanya. Karena itu, menurut mereka, orang itu menyatu dengan tanah untuk sebuah kesia-siaan.

Sebaliknya, sebagian di antara mereka yang yakin akan kebenaran akhirat boleh saja menangisi kematian seseorang. Akan tetapi, Allah Mahaadil. Orang yang mati akan diberikan tabungan amalannya di dunia dan berdasarkan keputusan-Nya orang tersebut dibalas dengan kebaikan. Karena alasan itulah, bagi orang-orang yang memiliki keyakinan kepada Allah dan hari akhir-dan karena itu hidup mengabdi kepada Tuhannya-kematian adalah gerbang menuju kebahagiaan abadi. Akan tetapi, dari sudut pandang orang yang bodoh, yang menafikan akhirat dan meremehkan hari pembalasan, kematian adalah gerbang kesengsaraan abadi. 

Karena itu, sulit bagi mereka untuk menilai kematian sebagai suatu kebaikan. Bagi seorang muslim, kematian adalah awal dari sebuah kebebasan penuh.

Karena kematian dianggap sebagai hal terburuk yang dapat terjadi pada siapa pun, namun sebenarnya merupakan kebaikan bagi orang-orang beriman, maka reaksi mereka terhadap kematian dibedakan dengan jelas dari akhlaq atau sikap bodohnya akan hal itu. Sikap seorang mukmin terhadap kematian digambarkan dengan jelas dalam ayat;

وَلَئِن قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ 
[wala-in qutiltum fii sabiili allaahi aw muttum lamaghfiratun mina allaahi warahmatun khayrun mimmaa yajma'uuna]
“Dan sungguh jika kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan.” (QS Ali Imran [3]: 157)

Seperti halnya kehidupan, kematian seorang mukmin juga membawa kebaikan 
Dalam pandangan Allah, tingkatan istimewa menanti seorang mukmin yang syahid saat berjuang karena-Nya, karena kesyahidan adalah sebuah kemuliaan dan berkah yang memperbanyak balasan yang akan didapatnya di akhirat. 

Kematian seorang mukmin yang menjadikan satu-satunya tujuan hidupnya adalah menggapai ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya, adalah sebuah peristiwa yang agung. Dengan memahami kabar gembira yang dicantumkan di dalam Al-Qur`an ini, seorang mukmin tidak pernah menangisi kematian mukmin lainnya yang mati karena Allah. Sebaliknya, ia melihat kebaikan dan berkah dalam kematian itu, dan mereka bergembira. Sesungguhnya, balasan terbesar adalah mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya.

Seorang mukmin yang menghabiskan waktunya untuk melayani Allah akan dibalas dengan kebaikan. Contohnya Nabi Nuh a.s. yang diberi umur panjang oleh Allah. Karena manusia mulia ini berjuang di setiap detik kehidupannya, ia mendapatkan keridhaan Allah, kasih, dan surga-Nya. Usahanya dalam menambah balasan pahala di akhirat.

Sebaliknya, kaum yang kufur cenderung terjerumus ke dalam khayalan semu. Mereka mengira umur panjang adalah anugerah. Ayat di bawah ini menjelaskan kekeliruan tersebut.

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِّأَنفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُواْ إِثْماً وَلَهْمُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
[walaa yahsabanna alladziina kafaruu annamaa numlii lahum khayrun li-anfusihim innamaa numlii lahum liyazdaaduu itsman walahum 'adzaabun muhiinun]
"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya, Kami memberi tangguh kepada mereka supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS Ali Imran: 178)
Mereka yang menjadi bagian masyarakat bodoh yang menjadikan kesenangan sementara didunia ini satu-satunya tujuan hidupnya, menganggap umur yang panjang sebagai kesempatan untuk menikmati kesenangan dunia. Karena itu, mereka melupakan Allah dan hari pembalasan. Mereka tidak dapat menangkap nilai waktu yang mereka habiskan sia-sia. Bagaimanapun juga, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, waktu yang diberikan kepada mereka sebenarnya menghancurkan diri mereka sendiri.
Seseorang yang memikirkan hal ini akan memahami sepenuhnya bagaimana kita bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan pernyataan Allah,

“Bisa jadi seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mungkin seseorang mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuknya.”


[Dari: Harun Yahya]

Monday, September 27, 2010

Hakikat Mencintai Rasulullah Saw





Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. 






MENCINTAI RASULULLAH SAW

Allah telah mengutus nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. DIA telah menjadikannya rahmat bagi seluruh alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka seorang hamba harus taat kepadanya, mencintainya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya.

Dari Anas radiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ;alaihi wasallam, bahwasanya beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan segenap umat manusia.” (Muttafaq Alaih)

Saat ini, di tengah-tengah masyarakat sedang marak berbagai aktivitas yang mengatas namakan cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam.

Kecintaan kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah perintah agama.



Tetapi untuk mengekspresikan cinta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tidak boleh kita lakukan menurut selera dan hawa nafsu kita sendiri. Sebab jika cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam itu kita ekspresikan secara serampangan tanpa mengindahkan syari’at agama, maka bukannya pahala yang kita terima, tetapi malahan menuai dosa. 



Dengan mengacu pada hadits shahih di atas, mari kita membahas poin-poin berikut ini: 

Kewajiban cinta kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, 



  • kenapa harus cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 

  • apa tanda-tanda cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 

  • bagaimana agar mencintai Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 







1. Kewajiban Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam.


Hadits shahih di atas adalah dalil tentang wajibnya mencintai Nabi shallallaahu ;'laihi wasallam dengan kualitas cinta tertinggi. Yakni kecintaan yang benar-benar melekat di hati yang mengalahkan kecintaan kita terhadap apapun dan siapapun di dunia ini. Bahkan meskipun terhadap orang-orang yang paling dekat dengan kita, seperti anak-anak dan ibu bapak kita.

Bahkan cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam itu harus pula mengalahkan kecintaan kita terhadap diri kita sendiri.

Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khathab radhiallahu anhu berkata kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Sesungguhnya engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu selain diriku sendiri.” 

Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,


“Tidak, demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, sehingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri”. 

Maka Umar radiyallaahu ‘anhu berkata kepada beliau, 


“Sekarang ini engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”

Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sekarang (telah sempurna kecintaanmu (imanmu) padaku) wahai Umar.”

Karena itu, barangsiapa yang kecintaannya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam belum sampai pada tingkat ini, maka belumlah sempurna imannya, dan ia belum bisa merasakan manisnya iman hakiki, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam;

“Ada tiga perkara yang bila seseorang memilikinya, niscaya akan merasakan manisnya iman, Yaitu, kecintaannya pada Allah dan RasulNya lebih dari cintanya kepada selain keduanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Kenapa Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 


Tidak akan mencapai derajat kecintaan kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam secara sempurna kecuali orang yang mengagungkan urusan din (agama)nya, yang keinginan utamanya adalah merealisasikan tujuan hidup, yakni beribadah kepada Allah Subhanahu waTa’ala. Dan selalu mengutamakan akhirat daripada dunia dan perhiasannya.

Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam inilah dengan izin Allah menjadi sebab bagi kita mendapatkan hidayah (petunjuk) kepada agama yang lurus. Karena cinta Rasul pula, Allah menyelamatkan kita dari Neraka, serta dengan mengikuti beliau shallallaahu 'alaihi wasallam kita akan mendapatkan keselamatan dan kemenangan di akhirat. 

Adapun cinta keluarga, isteri dan anak-anak, maka ini adalah jenis cinta duniawi. Sebab cinta itu lahir karena mereka memperoleh kasih sayang dan manfaat materi. Cinta itu akan sirna dengan sendirinya saat datangnya Hari Kiamat. Yakni hari di mana setiap orang berlari dari saudara, ibu, bapak, isteri dan anak-anaknya karena sibuk dengan urusannya sendiri. 

Dan barangsiapa lebih mengagungkan cinta dan hawa nafsunya kepada isteri, anak-anak dan harta benda duniawi, maka cintanya ini akan bisa mengalahkan kecintaannya kepada para ahli agama, utamanya Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam . 

3. Tanda-tanda Cinta Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam 


Cinta Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidaklah berupa kecenderungan sentimentil dan romantisme pada saat-saat khusus, misalnya dengan peringatan-peringatan tertentu. 


Cinta itu haruslah benar-benar murni dari lubuk hati seorang mukmin dan senantiasa terpatri di hati. Sebab dengan cinta itulah hatinya menjadi hidup, melahirkan amal shalih dan menahan dirinya dari kejahatan dan dosa. 

Adapun tanda-tanda cinta sejati kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam adalah: 





a. Mentaati beliau shallallaahu 'alaihi wasallam


dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Pecinta sejati Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam manakala mendengar beliau shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan sesuatu akan segera menunaikannya. Ia tak akan meninggalkannya, meskipun itu bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsunya.

Ia juga tidak akan mendahulukan ketaatannya kepada isteri, anak, orang tua atau adat kaumnya. Sebab kecintaannya kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam lebih dari segala-galanya.

Dan memang, pecinta sejati akan patuh kepada yang dicintainya. Adapun orang yang dengan mudahnya menyalahi dan meninggalkan perintah-perintah Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam serta menerjang berbagai kemungkaran, maka pada dasarnya dia jauh lebih mencintai dirinya sendiri.

Sehingga kita saksikan dengan mudahnya ia meninggalkan shalat lima waktu, padahal Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam sangat mengagungkan perkara shalat, hingga ia diwasiatkan pada detik-detik akhir sakaratul mautnya. Dan orang jenis ini, akan dengan ringan pula melakukan berbagai larangan agama lainnya. Na’udzubillah min dzalik.

b. Menolong dan mengagungkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam .


Dan ini telah dilakukan oleh para sahabat sesudah beliau wafat. Yakni dengan mensosialisasikan, menyebarkan dan mengagungkan sunnah-sunnahnya di tengah-tengah kehidupan umat manusia, betapapun tantangan dan resiko yang dihadapinya.

c. Tidak menerima sesuatupun perintah dan larangan kecuali melalui beliau shallallaahu 'alaihi wasallam;


Rela dengan apa yang beliau tetapkan, serta tidak merasa sempit dada dengan sesuatu pun dari sunnahnya . Adapun selain beliau, hingga para ulama dan shalihin, maka mereka adalah pengikut Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam . Tidak seorang pun dari mereka boleh diterima perintah atau larangannya kecuali berdasarkan apa yang datang dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. 

d. Mengikuti beliau shallallaahu 'alaihi wasallam dalam segala halnya. 


Dalam hal shalat, wudhu, makan, tidur dan sebagainya. Juga berakhlak dengan akhlak beliau shallallaahu ;alaihi wasallam dalam kasih sayangnya, rendah hatinya, kedermawanannya, kesabaran dan zuhudnya dsb.

e. Memperbanyak mengingat dan shalawat atas beliau shallallaahu 'alaihi wasallam.


Mengharapkan bisa mimpi melihat beliau, betapapun harga yang harus dibayar. Dalam hal shalawat Rasul shallallaahu ;alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim). 

Adapun bentuk shalawat atas Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam adalah sebagaimana yang beliau ajarkan. Salah seorang sahabat bertanya tentang bentuk shalawat tersebut, beliau menjawab,

“Ucapkanlah!”


اللهم صل على محمد وعلى آل محمد


(“Ya Allah, bershalawatlah atas Muhammad dan keluarga Muhammad”). 


(HR. al-Bukhari & Muslim). 

f. Mencintai orang-orang yang dicintai Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. 


Seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah, Ali radiyallaahu ‘anhum dan segenap orang-orang yang disebutkan hadits bahwa beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mencintai mereka. 

Kita harus mencintai orang yang dicintai beliau dan membenci orang yang dibenci beliau shallallaahu 'alaihi wasallam . Lebih dari itu, hendaknya kita mencintai segala sesuatu yang dicintai Nabi, termasuk ucapan, perbuatan dan sesuatu lainnya. 

4. Bagaimana Agar Mencintai Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam? 


a. Hendaknya kita ingat bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling baik dan paling berjasa kepada kita, bahkan hingga dari orang tua kita sendiri. Beliau lah yang mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya, yang menyampaikan agama dan kebaikan kepada kita, yang memperingatkan kita dari kemungkaran. Dan kalau bukan karena rahmat Allah Subhanahu waTa’ala yang mengutus beliau shallallaahu 'alaihi wasallam, tentu kita telah tenggelam dalam kesesatan.

b. Renungkanlah perjalanan hidup Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam, jihad dan kesabarannya serta apa yang beliau korbankan demi tegaknya agama ini, dalam menyebarkan tauhid serta memadamkan syirik, sungguh suatu upaya yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun.

c. Renungkanlah keagungan akhlak Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sifat dan sikapnya yang sempurna, rendah hati kepada kaum mukminin dan keras terhadap orang-orang munafik dan musyrikin, pemberani, dermawan dan penyayang. Cukuplah sanjungan Allah Subhanahu waTa’ala atas beliau shallallaahu 'alaihi wasallam,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (QS.Al-Qalam [68]:4)

d. Mengetahui kedudukan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam di sisi Allah Ta’ala. 


Beliau shallallaahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling mulia di antara segenap umat manusia, penutup para Nabi, yang diistimewakan pada hari Kiamat atas segenap Nabi untuk memberikan syafa’at uzhma (agung), yang memiliki maqam mahmud (kedudukan terpuji), orang yang pertama kali membuka pintu Surga serta berbagai keutamaan beliau lainnya.

HADITS NABAWI:


“Janganlah kamu mengkultuskanku sebagaimana orang-orang nashrani mengkultuskan putra maryam, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah (kepadaku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari).

إِنّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا


صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِي ماً


“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.


Hai orang-orang yang beriman, ber-Shalawatlah kamu untuk Nabi 


dan ucapkanlah Salam penghormatan kepadanya.” 


(QS Al-Ahzab [33]:5)



Friday, September 24, 2010

Memurnikan Iman

Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. 


Allah berfirman,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (QS Al-An'am [6]: 82).

Banyak orang yang menganggap dan mengaku dirinya beriman, akan tetapi di samping itu, dia juga melakukan hal-hal yang mengeruhkan keimanannya itu, atau bahkan sampai menggugurkan iman itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor; di antaranya, karena kebodohan mereka, atau mungkin karena kesombongan dan keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan pada mereka. Padahal, dalam masalah keimanan dan tauhid, tidak ada udzur (alasan) kebodohan.

Jadi, seseorang tidak bisa beralasan dengan kebodohan (ketidaktahuan)-nya ketika salah dalam masalah iman dan tauhid ini. Dan salah dalam masalah ini akan berakibat fatal.

Masalah keimanan dan tauhid ini adalah masalah yang sangat prinsip bagi seorang muslim, yang merupakan dasar dan pondasi baginya, yang menentukan kuat tidaknya bangunan yang dibangun di atas pondasi itu. Tetapi, justru kebanyakan manusia bodoh dalam hal ini, sehingga sadar atau tidak sadar mereka sering menodai keimanan mereka itu.Maka, tidaklah perlu diherankan jika ada tokoh agama, yang konon luas wawasan agamanya kemudian sembrono dalam mengambil sikap yang justru jelas-jelas bertentangan dengan agama. Seakan-akan dia adalah orang yang sama sekali tidak mengenal agama. Mengapa demikian? Hal itu di antaranya adalah karena pondasi, dasar pijakannya tidak kuat. Pondasi yang dimaksud adalah akidah.

Banyak juga orang, bahkan yang disebut ulama, yang keliru dalam memahami ayat di atas.

Mungkin karena ketidaktahuan mereka akan keterangan tentang ayat tersebut yang datang dari Rasulullah SAW, atau mungkin karena mereka terbiasa menafsirkan ayat dengan pikiran mereka sendiri tanpa didasari oleh ilmu.

Mereka menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa orang yang beriman dan tidak menodai imannya dengan kedzaliman, yaitu kedzaliman kepada orang lain dan diri mereka, maka mereka itulah yang berhak mendapat ketentraman dan petunjuk. Mereka menafsiri kedzaliman hanya sebatas itu. Sedangkan tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri, kecuali beberapa orang yang dilindungi oleh Allah.

Maka dari itu, marilah kita simak bagaimana Ibnu katsir mengomentari ayat tersebut.
Beliau mengatakan, "Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, mereka tidak menyekutukan-Nya sama sekali, dan mereka itulah orang-orang yang tenteram pada hari kiamat dan mendapat petunjuk di dunia akherat."

Diriwayatan oleh Imam Bukhari, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', kami (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakan di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukan seperti yang kamu katakan, mereka tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman, tetapi dengan kemusyrikan.

"Bukankah kamu telah memperhatikan perkataan Luqman kepada anaknya?, 

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya, mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar" (QS Luqman: 13).

Syaikhul Islam berkata, "Yang membuat mereka resah adalah, mereka mengira bahwa kedzaliman yang harus dihilangkan itu adalah kedzaliman seorang hamba kepada dirinya sendiri".

Sementara itu, tidak ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri. Maka dari itu, Nabi saw. menerangkan tentang sesuatu yang menunjukkan kepada mereka, bahwa kemusyrikan disebut kedzaliman menurut ungkapan Kitab Allah. Maka, tidak akan ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman ini. karena, orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman berhak meneriman ketentraman dan petunjuk sebagaiamana ia termasuk orang-orang pilihan.

Seperti dalam firman Allah, 

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang terdepan dalam berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (QS Faathir [35]: 32).

Ini tidak menafikan bahwa salah seorang dari mereka disiksa karena kedzalimannya terhadap diri sendiri dengan melakukan dosa jika ia tidak bertobat. Sebagaimana firman Allah ta'ala, 

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُوَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS Az-Zalzalah: 7-8).

Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak melakukan perbuatan buruk? Maka beliau menjawab, 'Wahai Abu Bakar, bukankah kamu pernah berjerih payah? Bukankah kamu pernah sedih? Bukankah kamu pernah tertimpa keresahan? Itulah yang kamu dibalas dengannya'."

Dengan demikian, beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin yang jika mati lalu ia masuk surga, terkadang kejahatannya telah dibalas di dunia dengan musibah.

Barangsiapa yang selamat dari tiga jenis kedzaliman;

  • syirik,
  • mendzalimi orang lain, dan
  • mendzalimi diri sendiri dengan perilaku dosa yang selain syirik, maka baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna.
Sedangkan barang siapa yang tidak selamat dari kedzaliman terhadap dirinya sendiri, maka baginya ketentraman dan petunjuk yang masih bersifat mutlak. Dalam artian, bahwa ia pasti masuk surga sebagaimana yang dijanjikan Allah pada ayat lain.

Allah telah memberinya petunjuk ke jalan yang lurus yang menyebabkan dia masuk surga. Namun, ia pun akan mendapatkan keamanan dan petunjuk yang kurang sempurna tergantung dari kurangnya iman yang berupa kedzaliman terhadap dirinya sendiri.

Bukanlah yang dimaksud Nabi saw. dalam sabdanya, "Akan tetapi itu adalah syirik."
Adalah bahwa orang yang tidak pernah melakukan syirik besar, baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Karena, banyak hadis dan ayat-ayat Alquran yang menerangkan bahwa orang-orang yang maklukan dosa besar (ahlul kaba'ir) akan menghadapi ketakutan.

Mereka tidak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk yang penuh, yang dengan keduanya mereka mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan bagi orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepadanya tanpa adanya siksa yang menimpa. Sebaliknya mereka mendapatkan standar minimal petunjuk menuju jalan ini dan nikmat dari Allah untuk mereka, dan mereka pun nantinya masuk surga.

Sabda Nabi, "Akan tetapi itu adalah syirik, "jika yang dikehendaki adalah syirik besar, maka maksudnya adalah orang yang tidak melakukan syirik besar akan selamat dari siksa dunia dan akherat, yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang dimaksud di sini adalah syirik kecil, maka jika seorang hamba mendzalimi dirinya sendiri, seperti bakhil dalam sebagian kewajiban karena cinta kepada dunia, maka itu adalah syirik kecil. Juga, kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai Allah sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaannya kepada Allah dan sebagainya, itu adalah syirik kecil dan sebagainya. Maka, orang seperti ini akan kehilangan petunjuk, tergantung pada kesyirikannya. Dengan pertimbangan tersebut, para ulama' salaf yang saleh mengategorikan dosa ke dalam kesyirikan ini." Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.Dari keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita apa makna yang terkandung dalam ayat di atas. Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah syirik. Meskipun sebagian kedzaliman pada diri sendiri juga bisa termasuk dalam kesyirikan ini. Jadi, orang yang beriman, yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang berhak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk.

Padahal, sangat sedikit sekali orang yang benar-benar murni imannya, bersih dan tidak ternodai dengan kotoran syirik. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar berhati-hati jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, yang apabila keimanan kita ternodai dengannya, maka ketenteraman dan petunjuk yang kita harapkan tidak akan kita dapatkan, dan justru sebaliknya, kita akan mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Na'udzubillah min dzaliq.

Allah berfirman, 
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
"Tauhid (iman) dan syirik, keduanya tidak akan mungkin pernah bersatu di hati seseorang. Karena keduanya bertentangan. Jika beriman, maka harus menghilangkan dan membuang jauh-jauh kesyirikan. Jika seseorang melakukan kesyirikan (syirik besar), secara langsung keimanan akan luntur dan batal."Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (QS Yusuf [12]: 106).

Adapun hal-hal yang termasuk perbuatan syirik sangatlah banyak. Yang semua itu intinya adalah mempersekutukan Allah, atau menjadikan tandingan untuk Allah.

Terkadang seseorang melakukan suatu perbuatan yang dia yakini bahwa perbuatan itu adalah benar karena dia melakukannya tanpa petunjuk (dalil), hanya karena persangkaan atau karena ikut-ikutan, padahal perbuatannya itu adalah termasuk kesyirikan. Maka, terhapuslah amalan yang dia lakukan itu atau semua amalnya, dan akhirnya, dia akan menanggung beban yang teramat sangat berat di hadapan Allah. Sebab, syirik adalah merupakan dosa besar yang paling besar. Dan tidak akan diampuni apabila tidak bertobat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.

Kendati demikian, idealnya kita harus berusaha sekuat tenaga dan semampu kita untuk meninggalkan segala macam dosa. Karena, para ulama' mengategorikan segala macam dosa ke dalam kedzaliman. Baik itu dzalim kepada diri sendiri, atau dzalim kepada orang lain.

Adapun kedzaliman yang paling besar adalah kedzaliman dalam masalah tauhid, yaitu kedzaliman seorang hamba kepada Allah swt. Yang disebut dengan dosa itu adalah bersumber dari dua hal; meninggalkan perintah, atau mengerjakan larangan. Dan dari semua itu, perkara yang paling besar adalah yang berkaitan dengan iman dan tauhid. Perintah yang paling utama adalah tauhid, dan larangan yang paling besar adalah syirik."Ya Allah, lindungilah kami dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu, sedangkan kami mengetahuinya. Dan ampunilah kami, terhadap suatu kesyirikan yang kami tidak mengetahuinya".

Kejujuran, sebuah renungan


Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. 


Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Berikut ini beberapa renungan seputar kejujuran, kami memandang penting untuk disampaikan agar ia menjadi jalan hidup orang-orang yang jujur dan perilaku orang-orang beriman. Betapa butuhnya kita untuk merenungkan aib diri kita, serta kekurangan kita dalam hal kejujuran ini. Sisi kejujuran yang begitu penting telah menjadi fenomena kelemahan manusia di masa ini, sehingga telah tersebar di kalangan mereka lawan dari sikap jujur (dusta). Maka saya (penulis) dengan rasa senang hati menyusun tulisan ini -atas izin Allah - agar menjadi bahan renungan untuk kita semua.

Alangkah bagusnya ungkapan yang menggambarkan tentang kejujuran, sebagaimana bait berikut:

Kejujuran adalah satu keharusan atasmu walaupun dirimu terbakar oleh panasnya janji. Carilah olehmu keridhaan al-Maula. Celakalah orang yang membuat murka Allah dan mencari ridho manusia.

Renungan Pertama 
(Tentang Definisi)

Kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatu sebagaimana dengan fakta. Di antaranya yaitu kata "rajulun shaduq (sangat jujur)", yang lebih mendalam maknanya daripada shadiq (jujur). 

Al-mushaddiq yakni orang yang membenarkan setiap ucapanmu, sedang ash-shiddiq ialah orang yang terus menerus membenar-kan ucapan orang, dan bisa juga orang yang selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan. 

Di dalam al-Qur'an disebutkan (tentang ibu Nabi Isa), "Dan ibunya adalah seorang”shiddiqah." (Al-Maidah: 75). 

Maksudnya ialah orang yang selalu berbuat jujur. (Lisanul Arab 10/193-194) 
Kejujuran merupakan simbol Islam dan neraca keimanan, pondasi agama, dan menjadi tanda kesempurnaan orang yang memiliki sifat ini. Ia menempati kedudukan yang tinggi di dalam agama dan dalam urusan dunia. Dengan kejujuran akan terpilah orang yang beriman dan orang munafik, terpilih penghuni surga dari penduduk neraka. Dengannya seorang hamba akan dapat meraih kedudukan al-Abrar (orang baik), dan dengannya akan men-dapatkan keselamatan dari api neraka. 
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disifati dengan "ash-shadiqul amin" (jujur dan terpercaya) , dan sifat ini telah diketahui oleh orang Quraisy sebelum beliau diutus menjadi rasul. 

Demikian pula Nabi Yusuf ’alaihis salam juga disifati dengannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, 

يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru),"Yusuf, hai orang yang amat dipercaya." (QS.Yusuf:46) 

Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu juga mendapatkan julukan "ash-shiddiq" ini. 

Ini semua menunjukkan hawa kejujuran merupakan salah satu perilaku kehidupan terpenting para rasul dan pengikut mereka. 

Dan kedudukan tertinggi sifat jujur adalah "ash-shiddiqiyah" Yakni tunduk terhadap rasul secara utuh (lahir batin) dan diiringi keikhlasan secara sempurna kepada Pengutus-Nya (Allah subhanahu wata’ala). 

Imam Ibnu Katsir berkata, "Jujur merupakan karakter yang sangat terpuji, oleh karena itu sebagian besar shahabat tidak pernah coba-coba melakukan kedustaan baik pada masa jahiliyah maupun setelah masuk Islam". 

Kejujuran merupakan ciri keimanan, sebagaimana pula dusta adalah ciri kemunafikan, maka barang siapa jujur dia akan beruntung. (Tafsir Ibnu Katsir 3/643) 

Renungan Kedua 
(Al-Qur'an dan Kejujuran)

Al-Qur'an menyebutkan sifat jujur dalam banyak ayat serta menganjurkan kepada kejujuran, dan bahwa ia merupakan buah dari ikhlas dan takwa. 

Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

1. Firman Allah subhanahu wata’ala, 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah:119)

Maksudnya ialah; "Jadilah kalian semua bersama dengan orang-orang yang jujur dalam ucapan mereka, dalam perbuatan dan segala keadaan mereka. Mereka adalah orang-orang yang yang ucapannya jujur, perbuatannya dan keadaannya tiada lain kecuali kejujuran semata, bebas dari kemalasan, kebosanan, selamat dari tujuan-tujuan yang buruk, dan selalu memuat keikhlasan dan niat yang baik. (Tafsir Ibnu Sa’di hal 355) 

2. Firman Allah subhanahu wata’ala,
يَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ 
"Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya." (QS. al-Ahzab:24)

Yakni mereka memperoleh semua itu dengan sebab kejujuran mereka dalam ucapan, keadaan dan interaksi mereka dengan Allah subhanahu wata’ala, serta kesesuaian mereka antara lahir dengan batinnya.( Tafsir Ibnu Sa’di hal 661) 

3. Firman Allah subhanahu wata’ala,
قَالَ اللّهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ
"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka." (QS. al-Maidah [5]:119)

Kejujuran mereka ketika di dunia akan memberikan manfaat kepada mereka di hari Kiamat. Dan tidak ada sesuatu yang bermanfaat bagi seorang hamba pada hari Kiamat serta tidak ada yang menyelamatkannya dari adzab Allah kecuali kejujuran. 

4. Firman Allah subhanahu wata’ala, 
الَّذِينَ آمَنُواْ أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِندَ رَبِّهِمْ 
"Dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (qadama shidqin) di sisi Rabb mereka." (QS.Yunus [10]:2)

Maksudnya yaitu keimanan yang benar (jujur), bahwasannya mereka kelak akan mendapatkan "qadama shidqin" yakni balasan yang tak terhingga, pahala yang amat banyak di sisi Rabb mereka dengan sebab apa yang dulu pernah mereka lakukan berupa amal shalih dan kebenaran (jujur). (Tafsir Ibnu Sa’di hal 661) 

Ibnu Abbas z berkata, "Qadama shiqin" maknanya adalah rumah kejujuran (di surga, red)," dan diriwayatkan darinya juga, "Pahala yang baik karena perbuatan mereka dahulu (di dunia) yang baik." (Al-Jami’ Liahkamil Qur’an 8/306)

5. Firman Allah subhanahu wata’ala,
وَالَّذِي جَاء بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar [39]:33)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Kejujuran saja belum cukup bagimu, bahkan merupakan keharusan untuk membenarkan (mempercayai) orang-orang yang jujur. Amat banyak manusia yang jujur namun dia menolak untuk membenarkan (mempercayai) orang lain yang jujur, entah karena sombong atau karena hasad atau selain keduanya." (Madarij as-Salikin 1/306) 

6. Allah subhanahu wata’ala menyifati Diri-Nya dengan kejujuran dan kebenaran, sebagaimana firman-Nya; 

قُلْ صَدَقَ اللّهُ فَاتَّبِعُواْ
"Katakanlah, "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah." (QS. Ali Imran[3]:95). 

Dan juga firman-Nya,
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ حَدِيثاً
"Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah."  (QS. An-Nisa' [4]:87)

7. Allah subhanahu wata’ala menyebutkan kata-kata tentang:

"qadama shidqin", "lisana shidiqin", "maq'ada shidqin" dan juga "mudkhala/mukhraja shidqin". 

Penjelasannya adalah sebagai berikut;

1. Firman Allah subhanahu wata’ala,
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُواْ أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِندَ رَبِّهِمْ
"Dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi (qadama shidqin) di sisi Rabb mereka". (QS.Yunus [10]:2)

Ibnu Abbas berkata radhiyallahu ‘anhu (sebagai-mana tersebut di atas), "Makna qadama shidqin ialah rumah kejujuran, disebabkan oleh perbuatan mereka yang telah lalu (di dunia)."

2. Firman Allah subhanahu wata’ala,
وَوَهَبْنَا لَهُم مِّن رَّحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيّاً
"Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi (lisana shidqin)."  (QS. Maryam [19]:50)

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas i]radhiyallahu ‘anhu, bahwa makna firman Allah "lisana shidqin" adalah pujian-pujian yang baik.

3. Firman Allah subhanahu wata’ala,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍفِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
"Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi (maq'adi shidqin) di sisi (Rabb) Yang Maha Berkuasa.”  (QS. Al-Qamar [54]:54-55)

Makna "maq'adi shidqin" yaitu majlis (tempat duduk) yang haq yang tidak ada kesia-siaan dan ucapan kotor di dalamnya yakni surga. (Al-Jami’liahkam Al-Qur’an 17/150)

4. Firman Allah subhanahu wata’ala, 
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ
Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar"  (QS. Al-Israa' [17]: 80) 

Artinya adalah "Jadikan permulaan (mulai) dan pengakhiran (selesai) dari segala sesuatu adalah dalam rangka ketaatan kepada-Mu, dan dalam keridhaan-Mu." Ini disebabkan karena memuat keikhlasan dan kesesuaian dengan apa yang diperintahkan. (Tafsir Ibnu Sa’di hal 465) 

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Kelima macam ini (yang tersebut di atas, red) merupakan hakikat kejujuran, yaitu kebenaran yang berkesinambungan, terhubung dengan Allah subhanahu wata’ala dan sampai kepada-Nya, yaitu segala sesuatu yang sesuai dengan perintah Allah dan dilakukan karena-Nya berupa ucapan dan perbuatan.” 

Maka balasan dari semua itu di dunia dan di akhirat adalah (taufik untuk) masuk (mulai) perbuatan dengan benar dan keluar (selesai) darinya dengan benar, yaitu dari awal hingga akhirnya adalah haq, eksist, dan dengan petunjuk Allah serta dalam rangka mencari keridhaan-Nya. (Madarij as-Salikin 2/270). Wallahu a'lam.



Sumber: Majalah “Al Jundi Al Muslim” No.121 Ramadhan 1420, oleh Syaikh Sulthan Fuad Al-Thubaisyi. bagian ke 1 dari 4 edisi.

Thursday, September 23, 2010

Berkhidmat pada Suami


Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassallam beserta keluarga, para Shahabat, para tabi'in, tabi'ut tabi'in dan para penerus perjuangan Beliau hingga akhir zaman.


Para Muslimah yang budiman,
Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?

Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu.

Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. 

Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.

Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu 'anhu, suaminya. 

Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh (= 8km).” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)

Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. 

Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya padaku: “Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?” “Sudah,” jawabku. “Dengan gadis atau janda?” tanya beliau. “Dengan janda,” jawabku. “Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau. “Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)

Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya: “Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?” “Iya,” jawabku. “Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau. “Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku. “Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)

Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.

Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu 'anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumah?”

Aisyah radhiallahu 'anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)

Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu 'anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[Dari: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah | www.asysyariah.com]

Beberapa Adab dalam ajaran Islam


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya adab-adab yang mulia. Adab-adab yang akan menjadi sebab semakin baiknya perilaku serta memperindah penampilan setiap hamba yang mengamalkannya.

Monday, September 6, 2010

Al-Quran Tentang Tahrif Kitab Taurat dan Injil


Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya ada segolongan di antara mereka yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu mengira yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: ‘Ini (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran: 78) [lihat pembahasan tafsirnya di sini]

يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ لاَ يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُوْنَ لِقَوْمٍ آخَرِيْنَ لَمْ يَأْتُوْكَ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُوْلُوْنَ إِنْ أُوْتِيْتُمْ هَذَا فَخُذُوْهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.’ Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 41)

Kitab Taurat dan Injil Telah Berubah

Allah subhanahu wata’ala tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang diberikan-Nya kepada Al-Qur-an:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur-an) dan sungguh Kamilah yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Karena penjagaan ini maka Al-Qur`an selama-lamanya tidak akan dapat dipalsukan sampai kalamullah itu diangkat kembali dari lembaran dan dada-dada manusia (dari hapalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil tidaklah selamat dari pemalsuan sehingga wajar bila kita katakan kitab-kitab yang dipegang ahlul kitab telah dipalsukan para rahib dan pendeta mereka dari aslinya. Ini berdasarkan pengabaran Allah subhanahu wata’ala sendiri melalui Al-Qur`an, dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari atsar dan juga dari bukti-bukti sejarah serta pertentangan dan keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.

Di dalam Al-Qur`an, Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa ahlul kitab telah mengubah-ubah kitab mereka yang tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu sendiri mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka tidak lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur dengan kepalsuan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang batil. Allah subhanahu wata’alaberfirman:

فَوَيْلٌ لِلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ
Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79) [1]

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata: “Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif atas Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah kitab berdasarkan penakwilan/penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut, tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat, dan kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah. Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena ingin mendapatkan dunia yang rendah.” [Jami’ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 1/422]

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
“Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.” (QS. An-Nisa: 46)

Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. [Jami‘ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 4/121]

Perubahan yang mereka lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau keduanya sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di atas al-batil, dan menentang al-haq itu. [Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 181]

Sejarah Perubahan Taurat
Dalam kitabnya Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, Ibnu Hazm rahimahullahmenyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah diubah-ubah. Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, Bani Israil dipimpin Yusya’ bin Nun selama 31 tahun dengan tetap istiqamah berpegang dengan agama. Kemudian mereka dipimpin Fainuhas ibnul ‘Azar bin Harun selama 25 tahun, juga masih istiqamah di atas agama. Setelah wafatnya Fainuhas, seluruh Bani Israil murtad dari agama mereka dan menyembah berhala secara terang-terangan. Dan sejak itu mereka dipimpin penguasa-penguasa kafir, meski terkadang diselingi kepemimpinan penguasa yang beriman. Namun tetap lebih dominan dikuasai penguasa kafir dan yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan terhadap berhala. [Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, 1/ 213-215]

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman Al-Kairanawi Al-Hindirahimahullah menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah berkenaan dengan Taurat bahwasanya Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya sebelum zaman raja Yusya’ bin Amun yang berkuasa pada tahun 638 SM. Sedangkan nuskhah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang didapatkan setelah 18 tahun ia berkuasa, tidak bisa dijadikan sandaran. Karena nuskhah itu dibuat-buat oleh Al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum nuskhah itu hilang sebelum Bukhtanashar menaklukkan negeri Palestina pada tahun 587 SM. Seandainya kita anggap nuskhah itu tidak hilang, maka ketika Bukhtanashar menguasai Palestina niscaya ia akan memusnahkan Taurat dan seluruh kitab Perjanjian Lama sehingga tidak tersisa bekasnya. Orang-orang Yahudi berdalih bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran-lembaran Taurat di Babil, namun yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan negeri Palestina.

Ketika Suraya berkuasa antara tahun 175-163 SM, ia berencana memusnahkan agama Yahudi dan mewarnai Palestina dengan ajaran Hailainiyyah (Helenisme Yunani). Ia pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40 hingga 80 juta pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di seluruh tempat ibadah Yahudi, bertaqarrub kepada sesembahannya dengan menyembelih babi dan menyalakan api di atas tempat penyembelihan orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu tentara untuk mengepung Al-Quds yang akhirnya menyerbu Al-Quds pada hari Sabtu ketika orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat. Mereka merampas Al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di dalamnya serta membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampaipun para wanita dan anak-anak. Tidak ada yang selamat pada hari itu kecuali orang yang lari ke gunung-gunung atau bersembunyi dalam gua-gua.” [Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 20-21]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Sejak Bani Israil masuk ke tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa ‘alaihissalam sampai masa pemerintahan raja mereka Syawul, sebanyak tujuh kali mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala.” Beliau rahimahullah juga berkata: “Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal bersama dengan kekufuran yang terus menerus dan menolak keimanan selama masa yang panjang (lebih dari 114 tahun-red) di sebuah negeri yang kecil. Sementara tidak ada seorang pun di muka bumi ketika itu yang berada di atas agama mereka dan mengikuti kitab mereka selain mereka sendiri.” [Al-Fishal 1/215]

Contoh Penyimpangan Taurat dan Injil
Ibnul Qayyim melanjutkan: “Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang kentara bagi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka (ahlul ilmi) yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Taurat yang Allah turunkan kepada Musa ‘alaihissalam. Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya dalam. Dan mereka yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang Allah subhanahu wata’ala turunkan kepada Al-Masih `Isa‘alaihissalam.” [Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara, hal. 101]

Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Jauh ditulis setelah diangkatnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, baik itu Injil yang konon katanya ditulis oleh Yohanes yang kemudian disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil Lukas maupun Injil Matius. Cukuplah keberadaan empat Injil ini yang masing-masing isinya terdapat pertentangan, sebagai bukti ketidakotentikan Injil tersebut. Dan Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat.

Menyekutukan Allah dengan Adam
Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Ini Adam, ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami dalam mengetahui kebaikan dan kejelekan….” Ibnu Hazm menyatakan dengan ucapan ini menunjukkan mereka meyakini ilaah atau sesembahan itu lebih dari satu dan Adam termasuk ilaah tersebut. [Al-Fishal 1/146]

Mengatakan Allah mempunyai Anak
Disebutkan pula dalam Taurat: “Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi dan lahir putri-putri Adam. Maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri Adam yang cantik-cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian dari mereka.” Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan bahwa ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar, di mana Allah dijadikan memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri Adam, yang berarti Allah dan Adam berbesanan. Maha Suci Allah dari kedustaan ini. [Al-Fishal 1/147]

Menghina Para Nabi
Selain itu di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth‘alaihissalam digauli dua putrinya secara bergantian setelah beliau yang telah renta dibuat mabuk dengan diminumi khamr. Sehingga kedua putrinya hamil dari hasil hubungan dengan ayahnya. Na’udzubillah dari tuduhan keji mereka yang membuat gemetar kulit orang-orang yang beriman yang mengetahui hak-hak para nabi. [Al-Fishal 1/161]

Terdapat banyak versi Taurat dan Injil yang saling bertentangan
Ibnul Qayyim rahimahullah mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa lembaran-lembaran yang bertuliskan Taurat saling mencocoki baik yang ada di belahan bumi timur maupun barat. Ibnul Qayyim berkata: “Ini adalah kedustaan yang nyata, karena Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani menyelisihi/ berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi, dan juga Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya. Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling bertentangan.”

Mengubah Ciri-Ciri Rasulullah dalam Taurat
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliaushallallahu ‘alaihi wasallam yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak, perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek. Mereka lalu kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa yang telah mereka tulis, sehingga orang-orang bodoh tersebut menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan sifat/ ciri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akibatnya mereka pun mendustakannya. [Ma’alimut Tanzil, 1/54-55]

Masih terdapat Ayat-Ayat Allah yang Asli dan Taurat dan Injil
Namun adanya perubahan tersebut bukan berarti bahwa semua yang terdapat dalam kitab Taurat ataukah Injil telah mengalami perubahan secara keseluruhan. Bahkan di dalam keduanya itu masih banyak terdapat ayat-ayat yang merupakan teks asli dari kitab Allah subhanahu wata’ala, yang jika seseorang Nasrani atau Yahudi mengimani ayat-ayat tersebut dengan keimanan yang sebenar-benarnya, niscaya mereka akan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa wahyu Al-Qur`an Al-Karim. Hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata:

“Demikian pula dikatakan: jika lafadz-lafadz khabar diubah sedikit, tidaklah mencegah bahwa kebanyakan lafadznya tidak terjadi perubahan. Apalagi jika di dalam Al-Kitab itu sendiri ada yang menunjukkan sesuatu yang telah diubah itu. Dan dikatakan pula bahwa apa-apa yang telah diubah dari lafadz-lafadz Taurat dan Injil, maka dalam Taurat dan Injil itu sendiri ada yang menjelaskan sesuatu yang telah berubah tersebut.”

Lalu beliau melanjutkan perkataannya:
“Sesungguhnya, perubahan yang ada hanya sedikit dan kebanyakannya tidak berubah. Dan pada yang tidak berubah terdapat lafadz-lafadz yang jelas dan sangat nampak maksudnya yang menjelaskan kesalahan yang menyelisihinya, dan memiliki penguat-penguat yang banyak yang membenarkan sebagian terhadap sebagian yang lainnya. Berbeda dengan sesuatu yang telah berubah, sesungguhnya lafadznya sedikit dan nash-nash Al-Kitab membantahnya. Sehingga (Al-Kitab) ini berkedudukan seperti kitab-kitab hadits yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana terdapat beberapa hadits yang lemah di dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, atau selainnya. Maka dalam hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada yang menjelaskan lemahnya riwayat tersebut.

Bahkan di dalam Shahih Muslim terdapat sedikit lafadz yang keliru, yang mana hadits-hadits yang shahih bersama Al-Qur`an ada yang menjelaskan kekeliruan tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu dan menjadikan penciptaan makhluk dalam tempo tujuh hari, di mana hadits ini telah dijelaskan para imam ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Bukhari dan selainnya bahwa hadits ini keliru, dan bahwa itu bukan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Al-Bukhari menjelaskan dalam Tarikh Kabir bahwa ini adalah perkataan Ka’b Al-Ahbar, sebagaimana telah dirinci pada pembahasannya. Dan Al-Qur`an juga menunjukkan kesalahan ini dan menjelaskan bahwa penciptaan terjadi selama enam hari. Dan telah terdapat dalam hadits shahih bahwa akhir penciptaan pada hari Jum’at, maka awal penciptaan terjadi pada hari Ahad.

Demikian pula yang diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat kusuf (gerhana) dengan dua atau tiga ruku’, maka sesungguhnya yang tsabit dan mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dan selainnya dari hadits ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Amr, dan yang lainnya bahwa beliau shalat pada satu rakaat dengan dua ruku’. Oleh karenanya Al-Imam Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits lain kecuali hadits ini.”

Lalu beliau berkata lagi:
“Demikian pula jika terjadi perubahan pada sebagian lafadz kitab-kitab terdahulu, maka dalam kitab itu sendiri ada yang menjelaskan kekeliruannya. Dan telah kami jelaskan bahwa kaum muslimin tidaklah mengklaim bahwa seluruh salinan (Al-Kitab) yang ada di dunia dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan setiap bahasa dari Taurat, Injil, dan Zabur telah diubah lafadz-lafadznya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui ada yang mengucapkan demikian baik dari ulama salaf, meskipun dari kalangan mutaakhirin (orang belakangan) bisa jadi ada yang mengatakannya. Sebagaimana di kalangan umat belakangan ada yang membolehkan ber-istinja (bersuci) dengan setiap salinan Taurat dan Injil yang ada di dunia. Maka ucapan ini dan yang semisalnya bukanlah ucapan pendahulu dan para imam umat ini.” [Daqa`iq At-Tafsir, 2/57-59. Lihat pula Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dinal Masih, 2/442-444]

Sikap Seorang Muslim terhadap Berita-berita Ahlul Kitab
Berita-berita yang datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak ada keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan kebenarannya kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedustaannya kemudian kita pun mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau haq dan bisa jadi dusta atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan itu adalah batil dan bila kita dustakan khawatirnya itu adalah haq. Sehingga dua keadaan ini bisa menjatuhkan kita ke dalam dosa. Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَؤُوْنَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُوْنَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ ، وَقُوْلُوْا : {آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا } الآية (البقرة : 136)
Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami….” [HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: لاَ تُصَدِّقُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْهُمْ (Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya): “Yakni apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengandung ihtimal (kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai perkaranya benar namun kalian mendustakannya atau perkaranya dusta namun kalian membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan tidak ada larangan mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat kita menyelisihinya dan tidak pula ada larangan untuk membenarkan mereka dalam perkara yang disepakati syariat kita, demikian penjelasan Al-Imam Asy-Syafi`i.” [Fathul Bari 8/214]

Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi berkata: “Kitab samawi (yang diturunkan dari langit) yang wajib kita terima adalah kitab yang ditulis dengan perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan sanad yang bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata persangkaan dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab tersebut merupakan karya orang itu, sekalipun misalnya ada satu atau beberapa kelompok mengaku-aku penyandaran tersebut. Tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada Musa, Uzra, Isy’aya`, Irmiya dan Sulaiman, tidaklah tsabit (benar) dengan satu dalil pun yang menunjukkan keshahihan penyandarannya kepada mereka, karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab tersebut. Dan juga tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab dari Perjanjian Baru yang lebih dari 70 (buah) disandarkan kepada ‘Isa, Maryam, Hawariyyun dan pengikut mereka. Kelompok-kelompok Nasrani yang ada sekarang telah sepakat tentang ketidakshahihan penyandaran kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya. Bahkan kitab-kitab itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Kemudian ada kitab yang wajib diterima menurut penganut Katholik, namun wajib ditolak menurut orang-orang Yahudi dan penganut Protestan….” [Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal.19]

Dengan demikian semakin pastilah dari fakta-fakta yang ada bahwa kitab-kitab yang dipegangi Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim, sehingga tidak wajib untuk kita terimanya. Namun kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut ditempatkan sebagai berikut:

  1. Setiap riwayat yang terdapat di dalamnya bila dibenarkan oleh Al-Qur`anul Karim maka riwayat tersebut diterima dengan yakin, kita benarkan tanpa rasa berat.
  2. Namun bila didustakan Al-Qur`an maka kita tolak dengan yakin, kita dustakan tanpa keberatan.
  3. Bila Al-Qur`an mendiamkannya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan maka kita pun mendiamkannya, yakni kita tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan.
Al-Qur`anul Karim adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya, yakni Al-Qur`an menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan mendukungnya, serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan menolaknya.

Bantahan ulama Islam atas Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta perubahan yang ada di dalamnya, tidaklah ditujukan kepada Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada Musa dan ‘Isa ‘alaihimussalam. Namun yang mereka bantah adalah kisah dan riwayat-riwayat yang dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepanjang beberapa kurun, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa itu adalah wahyu dan ilham. Sungguh Taurat yang Allah turunkan kepada Musa hanya satu dan Injil yang Allah turunkan kepada ‘Isa hanya satu pula. Lalu bagaimana bisa didapatkan sekarang ini ada tiga Taurat yang berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda?” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 35-37)

Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab. Rasulullah melarang Umar membaca Taurat. Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menuturkan:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أهل الْكُتُبِ. فَقَرَأَهُ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِي
“Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung [2], wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa‘alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.” [HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.]

Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِِنُسْخَةٍ مِنَ التَّوْرَاةِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هذِهِ نُسْخَةٌ مِنَ التَّوْرَاةِ. فَسَكَتَ، فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَغَيَّرُ. فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ ، مَا تَرى مَا بِوَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ غَضَبِ اللهِ وَغَضَبِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رَضِيْنَا بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِحُمَّدٍ نَبِيًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَالَكُم مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي، لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ، وَلَو كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لاَتَّبَعَنِيْ
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah n diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau n berubah. Melihat hal itu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilangan kamu [3], tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Umar melihat wajah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan RasulNya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”

Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari perbuatan Umar radhiyallhu ‘anhu yang memegang Taurat. Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi membutuhkan syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang beliau bawa.

Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membaca Kitab Terdahulu.

  • Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab radhiyallhu ‘anhu, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan membawa sebuah mushaf, ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?” Umar menjawab: “Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271)
  • Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كَيْفَ تَسْأَلُوْنَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ، تَقْرَؤُوْنَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوْا كِتَابَ اللهِ وَغَيَّرُوْهُ، وَكَتَبُوْا بِأَيْدِيْهِمُ الْكِتَابَ وَقَالُوْا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً، لاَ يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ، لاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ
"Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang sendiri) kemudian mereka mengatakan: “Ini (apa yang mereka tulis itu) diturunkan dari sisi Allah.” Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian." [HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi shallallahu ‘alahi wasallam: La Tas`alu Ahlal Kitab ‘an Syai`in]

Dari ucapan beliau radhiyallhu ‘anhu: لاَ وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ , seakan-akan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma hendak menyatakan: “Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu kitab kalian tidak ada tahrif (penyimpangan/perubahan) di dalamnya. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?” [Fathul Bari 13/621].

  • Abdurrazzaq Ash-Shan’ani radhiyallhu ‘anhu meriwayatkan dalam Mushannafnya (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: “Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata rahimahullah:

لاَ تَسْأَلُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ، فَإِنَّهُمْ لَنْ يَهْدُوْكُمْ وَقَدْ أَضَلُّوا أَنْفُسَهُمْ، فَتُكَذِّبُوْنَ بِحَقٍّ أَوْ تُصَدِّقُوْنَ بِبَاطِلٍ
“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan) kalian akan mendustakan yang haq atau membenarkan yang batil.” [Al-Hafizh Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam FathulBari 13/408]

Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan bertentangan dengan perintah Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya:

فَاسْأَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ
“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu.” (QS. Yunus: 94)

Maka dijawab bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam hadits hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum beriman. [Fathul Bari 13/408]

Ayat Allah pada Kitab Taurat dan Injil yang Asli menunjukkan Kebenaran Islam.
Apa yang disebutkan Syaikhul Islam ini dibuktikan kebenarannya oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. Al-Qur`an Al-Karim dalam banyak tempat banyak menjadikan isi Taurat dan Injil sebagai hujjah atas ahli kitab untuk membenarkan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Silahkan baca surah Al-Ma`idah, mulai dari ayat 46-50. Demikian pula firman Allah subhanahu wata’ala:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيْلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوْهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’.” (QS. Ali Imran: 93)

Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa seorang lelaki dari mereka dan seorang wanita yang keduanya telah berbuat zina. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambertanya kepada mereka:

“Apa yang kalian lakukan terhadap orang yang berzina di antara kalian?” Mereka menjawab: “Kami melumuri wajahnya dengan arang (ada pula yang menafsirkannya: kami menyiramnya dengan air panas. Dalam riwayat lain: Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk -red) dan memukulnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam Taurat?” Mereka menjawab: “Kami tidak mendapati sedikitpun (tentang rajam).” Abdullah bin Sallam berkata kepada mereka: “Kalian telah berdusta, datangkanlah Taurat jika kalian jujur.” Salah seorang guru mereka yang mengajari mereka meletakkan telapak tangannya di atas ayat rajam (dengan maksud menutupinya, red.). Lalu diapun mulai membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya, dan tidak membaca ayat rajam. (Abdullah bin Sallam) melepaskan tangannya dari ayat rajam dan bertanya: “(Ayat) apa ini?” Tatkala mereka melihat itu merekapun menjawab: “Itu ayat rajam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dirajam (Dalam riwayat lain bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya aku menghukuminya berdasarkan apa yang terdapat dalam Taurat.”-red). Maka keduanya pun dirajam di dekat tempat jenazah yang ada di dekat masjid. Ibnu ‘Umar berkata: “Aku melihat (yang dirajam tersebut) berusaha menghindar, melindungi dirinya dari bebatuan (yang dilemparkan kepadanya hingga ia tewas).” [HR. Al-Bukhari, 8/4556 dan Muslim no. 1699]

Bagi siapa yang melihat kitab Injil sekarang ini, masih sangat banyak ajaran-ajaran asli yang berasal dari ajaran Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, yang apabila mereka memahaminya dengan pemahaman yang jernih, niscaya akan membawa kepada keyakinan akan kebenaran Islam yang dibawa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam. 

Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam Injil, kitab Ulangan 6:4:
“Dengarlah hai orang Israil, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu satu.”

Dan dalam kitab Yesaya 45:5-6:
“Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain.”

Demikian pula dalam Yohanes 17:3:
“Inilah hidup yang kekal, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satu-Nya yang benar dan mengenal Yesus (maksudnya adalah Nabi ‘Isa‘alaihissalam -red) yang telah engkau utus.”

Di dalam kitab Injil juga terdapat larangan membuat patung, sepeti tertulis dalam kitab keluaran 20:4-5:

“Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu.”

Bahkan anjuran untuk berkhitan pun disebutkan dalam Injil mereka, seperti yang disebutkan dalam Kitab Kejadian 17:13:

“Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat,”

lalu pada ayat ke-14 disebutkan:
“Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerah kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari tengah masyarakatnya. Ia telah mengingkari perjanjian-Ku.”

Demikian pula dijelaskan bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalam hanyalah diutus secara khusus untuk Bani Israil, dan tidak lebih dari itu. Seperti yang disebutkan dalam Matius 10:5-6:

“Kedua belas murid itu diutus Yesus dan ia berpesan kepada mereka: ‘Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”

Dan dalam Matius 15:24 disebutkan:
“Jawab Yesus: ‘Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israil’.”

Seluruh perkara ini dibenarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya. Oleh karenanya, setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan Rasul penghabisan, maka beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Sehingga tidak diperkenankan lagi bagi seorangpun dari kalangan umat ini untuk menjadikan petunjuk kecuali apa yang telah dibawa Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ لاَ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku seorangpun dari umat ini, apakah dia seorang Yahudi ataukah Nasrani, lalu dia mati dan tidak mengimani apa yang dengannya aku telah diutus, melainkan dia tergolong penduduk neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Karena terbatasnya lembaran yang ada dalam rubrik ini maka kami tidak dapat memaparkan semuanya. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh, silahkan membaca kitab-kitab seperti Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal Al-Imam Ibnu Hazm, Al-Jawabus Shahih liman Baddala Dinal Masih Al-Imam Ibnu Taimiyyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara Al-Imam Ibnul Qayyim, Izh-harul Haq Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi atau Mukhtasharnya.
Manhaj yang Benar terhadap Buku-buku Ahlul Bid’ah wal Ahwa’
Melihat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah subhanahu wata’ala dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliaushallallahu ‘alaihi wasallam melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul musta’an.

Bisa jadi buku-buku yang ditulis ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan? Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak, buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?

Ketika Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah memperingatkan seseorang dari buku Al-Harits Al-Muhasibi dengan menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan buku-buku bid’ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/ pelajaran.” Apa jawaban Abu Zur’ah rahimahullah? Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” [Al-Mizan 2/165]

Memberi peringatan (tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan kesesatan, memang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan mencontoh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengingkari perbuatan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu. Tahdzir ini dimaksudkan sebagai penjagaan terhadap manhaj kaum muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku tersebut. Dan tidak termasuk perbuatan dzalim bila seorang muslim menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya. (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 128, karya Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali)

Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddinrahimahullah menyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bid’ah. Beliau mengatakan: “Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka.” [Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251]

Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.” Kemudian Ibnul Qayyimrahimahullah menyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang menyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan timbulnya perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka melihat buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat….” Ibnul Qayyim berkata lagi: “Maksud dari semua ini adalah buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah wajib untuk dimusnahkan dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagaimana tidak ada ganti rugi dari penghancuran bejana-bejana khamr.” [Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134]. Lihat juga pembahasannya tentang buku-buku sesat disini.

Wallahu’alam bish-shawab.
CATATAN KAKI
[1] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang sebelumnya ada peringatan dari melakukan penggantian, perubahan, dan penambahan dalam syariat. Maka semua orang yang mengganti, mengubah atau mengadakan perkara baru (bid’ah) dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan bagian dari agama dan dengan sesuatu yang terlarang dalam agama, maka ia masuk dalam ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut. [Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 1/9]

[2] Ibnu ‘Aun berkata: “Aku bertanya kepada Al-Hasan: ‘Apa yang dimaksud dengan مُتَهَوِّكُوْنَ ?’. Al-Hasan menjawab: ‘Orang-orang yang bingung’. Demikian disebutkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam Al-Irwa` (6/38). Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut: ‘Yakni apakah kalian bingung dalam berIslam, kalian tidak mengetahui agama kalian hingga kalian harus mengambil agama tersebut dari Yahudi dan Nasrani?” [Syarhus Sunnah 1/271]

[3] ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ yakni betapa ibumu kehilangan kamu. Orang yang mengucapkan hal ini kepada seseorang seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena jeleknya perbuatan atau ucapannya. Atau ia mengucapkan ucapan tersebut dengan maksud menyatakan: “Bila engkau berbuat/ berucap demikian, maka kematian lebih baik bagimu, agar engkau tidak menambah kejelekan lagi.” Atau bisa pula ucapan ini termasuk lafadz-lafadz yang biasa beredar di lisan orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai doa seperti ucapan mereka: تَرِبَتْ يَدَاكَ dan قَاتَلَكَ اللهُ . [An-Nihayah, hal. 123]

Sumber:


Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers