Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Wednesday, June 30, 2010

Mengikuti As-Sunnah - Menjauhi Bid'ah



Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW
Dan Menjauhi Bid'ah



إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu dengan mempelajari dan mengamalkan serta berpegang teguh di atas syariat-Nya. Karena di dalamnya ada cahaya dan petunjuk yang demikian mencukupi untuk membimbing dan mengatur seluruh sisi kehidupan kita. Mulai dari urusan rumah tangga hingga ketatanegaraan. Sehingga selama seseorang itu mengikuti petunjuk dan aturan-Nya pasti dia akan selamat di dunia dan akhirat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS Thaha [20]: 123)

Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menyelisihinya, pasti dia akan rugi dan celaka. Meskipun orang melihatnya hidup dengan penuh kemewahan dan serba ada. Namun sesungguhnya dia tidak merasakan kelapangan dan ketenangan di dalam jiwanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam bagi orang-orang yang menyelisihi petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 124)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Seorang muslim yang hakiki tidak akan ridha untuk meninggalkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun ditawarkan kepadanya dunia seisinya. Dia akan tetap berpegang teguh di atas syariat-Nya meskipun cobaan dan ujian menimpa dirinya. Karena dia mengetahui bahwa kehidupan yang sesungguhnya bukanlah di dunia dan apa yang dimilikinya berupa kenikmatan dunia baik berupa harta, kedudukan, dan yang semisalnya, pasti akan sirna. Sehingga yang senantiasa diinginkan oleh dirinya adalah meraih kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diampuni seluruh dosanya serta mendapatkan hidayah dan curahan rahmat-Nya. Oleh karena itu, dia berusaha untuk mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan dirahmati serta diberi hidayah oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ
غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (QS Ali ‘Imran [3]: 31-32)

Maka di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa menaati Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (QS An-Nur [24]: 54)

Begitupula Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (QS Ali ‘Imran [3]: 132)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, seorang muslim akan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan meninggalkan seluruh ajaran yang menyimpang dari ajarannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak akan terburu-buru dalam meyakini dan mengamalkan suatu ajaran dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik yang berupa ucapan maupun amalan anggota badan. Akan tetapi dia akan menimbang terlebih dahulu seluruh ucapan dan amalan ibadahnya dengan amalan dan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila sesuai maka diterima, namun apabila bertentangan maka dia akan menolak, dari manapun datangnya. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mengatakan:

لَقَدْ أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ تَبَيَّنَ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Para ulama telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh baginya untuk meninggalkannya karena ucapan siapapun.”

Pembaca rahimakumullah,
Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai terjatuh pada perbuatan bid’ah, yaitu mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah kalian dari terjatuh kepada amalan-amalan ibadah baru yang diada-adakan, karena setiap amalan tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu]

Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa perbuatan mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya adalah sejelek-jelek amalan. Sebagaimana tersebut dalam haditsnya:

وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
“Dan sejelek-jelek amalan adalah amalan ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin).” [HR. Muslim]

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Para ulama telah menjelaskan di dalam kitab-kitab mereka tentang maksud dari amalan bid’ah. Di antaranya disebutkan bahwa bid’ah adalah aturan yang diada-adakan dalam beragama yang menandingi syariat dan dimaksudkan dengan mengikuti aturan tersebut untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bid’ah itu bermacam-macam jenisnya. Ada yang berupa amalan ibadah baru yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Seperti mengadakan acara perayaaan dan peringatan hari kelahiran atau hari kematian seseorang. Ataupun dengan mengubah tata cara ibadah yang telah disyariatkan. Seperti berdzikir secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam setelah selesai dari shalat berjamaah.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Seluruh jenis bid’ah dengan berbagai macamnya adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu], begitu pula dikatakan oleh Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”

Maka tidak benar kalau dikatakan ada bid’ah yang baik atau hasanah. Akan tetapi yang ada adalah sunnah yang hasanah, bukan bid’ah hasanah. Yaitu melakukan amal ibadah yang disyariatkan dan kemudian dicontoh serta diikuti oleh yang lainnya. Adapun mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal ibadah yang dibuat sendiri atau dibuat oleh gurunya, hal tersebut adalah amalan bid’ah dan tidak ada baiknya sama sekali. Karena seluruh amalan bid’ah adalah keluar dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun kadar kesesatannya dan kejelekannya berbeda-beda.

Akhirnya, marilah kita senantiasa mengikuti wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpegang teguh di atas jalannya. Begitupula wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhati-hati terhadap kerusakan yang sangat berbahaya, yaitu bid’ah serta orang-orang yang mengajaknya. Karena hal itu akan menjauhkan kita dari agama yang mulia.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah ke dua


الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ الْجَحِيْمِ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ، وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berusaha untuk selalu menjaga diri-diri kita dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bertakwa kepada-Nya. Yaitu dengan senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyelisihinya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan rasul-Nya dengan ancaman yang keras. Sebagaimana hal ini tersebut di dalam firman-Nya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 50)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Ketahuilah bahwa "bid’ah" adalah bentuk penyelisihan paling besar dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah perbuatan syirik. Hal ini karena perbuatan bid’ah akan memecah-belah kaum muslimin serta menyeret pelakunya pada kerusakan agama dan hatinya. Perbuatan bid’ah akan menjadikan hati pelakunya menjadi benci kepada As-Sunnah. Karena, hati tidak akan menerima Sunnah Rasul jika sudah ditempati oleh bid’ah. Oleh karena itu, kita dapati orang yang melakukan atau bergelut dengan bid’ah serta menghidupkannya adalah orang yang jauh dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setan akan menghiasi amalan bid’ah sehingga akan menjadi sangat mudah bagi orang yang tertipu untuk mengamalkannya meskipun harus mengeluarkan banyak biaya dan menyita sebagian besar waktunya. Dan bid’ah akan menyeret pelakunya menjadi orang yang sombong untuk menerima kebenaran. Hal itu karena setiap pelaku bid’ah akan membanggakan dirinya dan menganggap cara serta amalannya adalah yang paling baik.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa termasuk dari amalan bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban atau yang dikenal dengan istilah Nishfu Sya’ban dengan shalat malam secara berjamaah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Shalat yang dikenal dengan istilah shalat Ar-Ragha`ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan ‘Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, keduanya adalah amalan bid’ah dan mungkar. Janganlah tertipu karena disebutkannya dua jenis shalat ini dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya` ‘Ulumuddin. Dan jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang tersebut di dalam dua kitab tadi. Karena sesungguhnya semua itu batil.”

Berkata pula Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu: “Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang dha’if. Tidak boleh dijadikan sebagai pegangan. Sementara hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban semuanya adalah hadits palsu, sebagaimana telah diingatkan oleh banyak ulama.”

Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan serta mengistimewakan pertengahan bulan ini daripada hari-hari lainnya di bulan tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin tidak pernah melakukannya. Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mendukung dan membantu pelaksanaannya. Karena hal itu sama saja dengan menghancurkan agama saudaranya. Bukan berarti tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk shalat malam pada hari tersebut. Akan tetapi mengistimewakan hari dan malam tersebut dari hari-hari lainnya di bulan Sya’ban untuk shalat atau ibadah lainnya bukanlah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akhirnya marilah kita senantiasa berhati-hati dari jalan-jalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang terbaik di umat ini baik dari kalangan sahabat, tabi'in, dan yang mengikuti mereka adalah satu-satunya jalan yang benar.

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ في كُلِ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِيْنَ.


Sumber: Assyariah.com
Penulis: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.


Kabar tentang Kehidupan setelah Kematian




Setiap jiwa pasti akan menemui kematiannya. Tiada satu jiwa pun yang kekal abadi hidup di dunia yang fana ini. Bila ajal telah tiba, tak ada yang bisa menghindar dan lari darinya. Bukan berarti kehidupan kita telah berakhir sampai disini. Tetapi telah berpindah dari alam fana ke alam berikutnya, yaitu alam kubur atau alam barzakh, yang termasuk salah satu bagian dari beriman kepada yaumil akhir (hari kemudian).

Setiap ruh yang telah memasuki alam kubur akan mengalami fitnah kubur. 
Yaitu ujian berupa pertanyaan dari dua malaikat Munkar dan Nakir kepada si mayit tentang:

  • Rabbnya, 
  • Agamanya, 
  • Qiblatnya,
  • Imamnya dan 
  • Nabinya. 
Dari ujian ini akan diketahui apakah dia termasuk hamba-Nya yang jujur keimanannya sehingga berhak mendapatkan nikmat kubur, atau apakah dia termasuk yang dusta keimanannya sehingga berhak mendapakan adzab kubur.

Ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib bagi setiap mu’min untuk meyakini kebenaran akan adanya fitnah kubur, nikmat kubur dan adzab kubur.

Termasuk konsekuensi dari beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam adalah meyakini kebenaran apa yang dikhabarkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentang kejadian-kejadian di alam ghaib.

Di awal-awal ayat Al Qur’an Allah Ta’ala mengkhabarkan ciri orang-orang yang mendapatkan hidayah dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, diantaranya adalah orang yang beriman tentang perkara ghaib. Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَوالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَأُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, menunaikan shalat dan menginfaqkan sebagian yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka pula beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka (Al Qur’an) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al Baqarah [2]: 3-5)

Dalil-dalil yang menunjukan adanya fitnah kubur 
Antara lain firman Allah SWT:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي
الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan dengan al qauluts tsabit kepada orang-orang yang beriman dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (QS Ibrahim[14]: 27)

Di dalam ayat di atas menetapkan akan adanya fitnah kubur. Karena Allah Ta’ala memberikan kemulian kepada orang-orang yang benar-benar beriman dengan diteguhkannya al qaulul tsabit. Yaitu keteguhan iman si mayit di alam kubur ketika ditanya oleh dua malaikat. Sebagaimana hadits dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا أُقْعِِدَ الْمُؤْمِنُ فِي قَبْرِهِ أُتِيَ ثُمَّ شَهِدَ أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَذَالِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ
“Jika seorang mu’min telah didudukkan di dalam kuburnya kemudian didatangi (dua malaikat dan bertanya kepadanya) maka dia akan (menjawab) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat";

أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
"Itulah al qauluts tsabit sebagaimana yang tertera dalam firman Allah Ta’ala di atas.”  [H.R. Al Bukhari no. 1379 dan Muslim no. 2871]

Ayat di atas juga sebagai dalil bahwa peristiwa fitnah kubur ini merupakan bagian dari hari akhir. Karena Allah Ta’ala menyebutkan peristiwa fitnah kubur ini dengan lafadz “wafil akhirah” yaitu di hari akhir.Demikian pula dari As Sunnah, dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Abu Dawud 2/281, Ahmad 4/287 dan selain keduanya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam mengisahkan peristiwa fitnah kubur yang akan dialami oleh orang mu’min dan orang kafir.

Keadaan orang mu’min ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia akan dikokohkan jawabannya oleh Allah SWT.

"Siapakah Rabb-mu?
Dia akan bisa menjawab: "Rabb-ku adalah Allah".
"Apa agamamu?!
Dia akan bisa menjawab: "Agamaku adalah Islam".
"Siapakah yang engkau imani?"
Dia akan bisa menjawab: "Imamku adalah al-Qur'anul Karim".
"Siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu?
Dia pun bisa menjawab: "Dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam"

(Demikianlah Allah Ta’ala pasti memenuhi janji-Nya sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim: 27 di atas). Sebaliknya keadaan orang kafir ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia tidak akan bisa menjawab.

"Siapakah Rabb-mu?!
Dia akan menjawab: "Hah, hah, saya tidak tahu..
"Apa agamamu?
Dia akan menjawab: "Hah, hah, saya tidak tahu.
Lalu siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu?
Dia pun akan menjawab: "Hah.., hah.., saya tidak tahu."

Demikian pula hadits dari Ummul Mu’minin Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

فَأُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُوْنَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلُ أَوْ قَرِيْبٌ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Telah diwahyukan kepadaku sungguh akan ditimpakan fitnah kepada kalian di dalam kubur-kubur kalian seperti atau hampir mirip dengan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.” [H.R. Al Bukhari no. 87 dan Muslim no. 905].

Padahal fitnah Al-Masih Ad-Dajjal merupakan fitnah terbesar dari fitnah-fitnah yang terjadi sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat nanti.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ أَمْرٌ أكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ
“Tidak ada fitnah yang paling besar sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat dibanding dengan fitnah Dajjal.” [HR. Muslim no. 2946]
Sehingga fitnah kubur itu pun amat mengerikan seperti atau hampir mirip dengan fitnah Dajjal, kecuali bagi orang-orang yang jujur keimanannya. Oleh karena itu bila si mayit telah dikuburkan maka dianjurkan bagi kita untuk mendo’akannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اسْتَغْفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْئَلُ
“Mohonkan ampunan untuk saudaramu, dan mohonkan untuknya keteguhan (iman), karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” [Shahihul Jami’ no. 476]

Adapun nama dua malaikat tersebut adalah malaikat "Munkar" dan "Nakir", sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi no. 1071, Ibnu Hibban no. 780 dan selain keduanya dari shahabat Abu Hurairah ?. Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1391.

Dalil-Dalil Adzab Kubur Dan Nikmat Kubur
Setelah mengalami proses fitnah kubur, maka akan mengalami proses berikutnya, yaitu proses nikmat kubur dan adzab kubur. Bila dia selamat dalam fitnah kubur maka dia akan mendapatkan nikmat kubur dan sebaliknya bila ia tidak selamat dalam fitnah tersebut maka dia akan mendapatkan adzab kubur.

Para pembaca rahimakumullah,
Proses ini pun merupakan perkara ghaib yang harus diyakini kebenarannya. Karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah mengkhabarkan peristiwa ini di dalam Al Qur’anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyyah.

Di antara dalil dalam Al Qur’an yaitu firman Allah Ta’ala:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلآئِكَةُ بَاسِطُواْ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُواْ أَنفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“…, Alangkahnya dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang zhalim (kafir) berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangan mereka, sambil berkata: ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Pada hari ini (sekarang ini, sejak sakaratul maut) kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan. Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah dengan perkataan yang tidak benar dan selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS Al An’am [6]: 93)

Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam kitab tafsirnya Taisirul Karimir Rahman: “Ayat ini sebagai dalil tentang adanya adzab di alam barzakh dan kenikmatan di dalamnya. Dan adzab yang diarahkan kepada mereka dalam konteks ayat ini terjadi sejak sakaratul maut, menjelang mati dan sesudah mati.”

Dalam (Q.S. Ghafir [40] ayat ke 46) Allah Ta’ala berfirman:

النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوّاً وَعَشِيّاً وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
(Salah satu bentuk azdab di alam barzakh nanti) "Neraka akan ditampakkan di waktu pagi dan petang kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Kemudian pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”

Berkata Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i: “Ayat di atas merupakan landasan utama yang dijadikan dalil bagi aqidah Ahlus Sunnah tentang adanya adzab di alam kubur.” (Lihat Al Mishbahul Munir)

Adapun dalil dari As Sunnah, diantaranya; hadits dari Al Barra’ bin ‘Azib r.a, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur (diulangi sampai 2/3 kali).” 

Kemudian Rasululah SAW berdo’a:
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab kubur (sampai 3 kali).”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam menggambarkan keadaan orang mu’min dengan dibentangkan tikar dari al jannah, dikenakan pakaian dari al jannah dan dibukakan pintu baginya ke arah al jannah yang mendatangkan aroma harum, serta diperluas tempatnya di alam kubur seluas mata memandang. Sebaliknya keadaan orang kafir, maka dibentangkan baginya tikar dari neraka, dibukakan pintu yang mengarah ke neraka yang mendatangkan panas dan aroma busuk, serta disempitkan tempatnya di alam kubur sampai tulang belulangnya saling merangsek. [H.R. Abu Dawud 2/281 dan lainnya].

Dalam riwayat Al Imam Ahmad 6/81 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ
“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, karena sesungguhnya adzab kubur itu adalah benar adanya.”

Dalam hadits Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah melewati dua kuburan. Kemudian beliau bersabda:

أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ
“Kedua penghuni ini sungguh sedang mendapat adzab. Dan tidaklah keduanya diadzab karena melakukan dosa besar. Adapun salah satunya karena berbuat namimah (adu domba) dan yang kedua karena tidak membersihkan air kencingnya.” [H.R. Muslim no. 292]

Demikian pula do’a yang ditekankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam sebelum salam ketika shalat:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِالْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab jahannam, dari adzab kubur, dan dari fitnah selama hidup dan sesudah mati, serta dari fitnah Al Masih Ad Dajjal.” [H.R. Muslim dan selainnya, lihat Al Irwa’ no. 350]

Apakah adzab kubur dan nikmat kubur itu terus menerus? Adapun adzab kubur bagi orang kafir adalah terus menerus sampai datangnya hari kiamat.
Sedangkan bagi orang mu’min yang bermaksiat, bila Allah Ta’ala telah memutuskannya untuk mengadzabnya maka tergantung dengan dosa-dosanya. Mungkin dia diadzab terus menerus dan juga mungkin tidak terus menerus, mungkin lama dan mungkin juga tidak lama, tergantung dengan rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Mungkin pula orang mu’min yang bermaksiat tadi diputuskan tidak mendapat adzab sama sekali dengan rahmat dan maghfirah Allah SWT. Semoga kita diselamatkan oleh Allah Ta’ala dalam fitnah kubur dan dari adzab kubur.
Para pembaca rahimakumullah,
Semua peristiwa yang terjadi di alam kubur itu merupakan perkara ghaib yang tidak bisa dinilai kebenarannya dengan logika, analisa dan eksperimen. Bahkan semua peristiwa di alam kubur itu amatlah mudah bagi Allah ?. Karena Allah Ta’ala memilki nama Al Qadir Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga peristiwa di alam kubur harus dinilai dan ditimbang dengan nilai dan timbangan iman. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Sehingga bila ada manusia yang mati tenggelam dilaut yang badannya hancur dimakan ikan laut, atau manusia yang mati terbakar sampai menjadi abu sangatlah mudah bagi Allah Ta’ala untuk mengembalikannya.

Marilah kita perhatikan firman Allah Ta’ala
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لَّا تُبْصِرُونَ
“Dan kami (malaikat) lebih dekat kepadanya (nyawa) dari pada kalian. Tetapi kalian tidak bisa melihat kami.” (QS Al Waqi’ah[56]: 85)

Ketika malaikat hendak mencabut nyawa seseorang, sesungguhnya malaikat tersebut ada disebelahnya tetapi ia tidak bisa dilihat oleh mata kepalanya. Demikianlah kekuasaan dan kagungan Allah Ta’ala yang tidak tidak bisa diukur dengan logika manusia.

[Sumber: Assyalafy.org]

Ziarah Kubur dalam bingkai As-Sunnah Nawabiah





Shalawat beserta salam semoga selalu dicurahkan Allah Subhanahu wa Ta'aala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, para sahabatnya ridwaanulaahi ‘alahim ajma'in dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman dengan kebaikan.

Para Pembaca rahimakumullah,
Islam adalah agama yang paling mulia di sisi Allah , karena Islam dibangun diatas agama yang wasath (adil) diseluruh sisi ajarannya, tidak tafrith (bermudah-mudahan dalam beramal) dan tidak pula ifrath (melampaui batas dari ketentuan syari’at). Allah berfirman: 

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ
"Dan demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ” (QS Al Baqarah[2]: 143) 

Ziarah kubur termasuk ibadah yang mulia di sisi Allah bila dilandasi dengan prinsip wasath (tidak ifrath dan tidak pula tafrith). Tentunya prinsip ini tidak akan terwujud kecuali harus diatas bimbingan sunnah Rasulullah . Barangsiapa yang menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan satu-satunya, sungguh ia telah berjalan diatas hidayah Allah. 

Allah berfirman:
مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kalian mentaati (nabi Muhammad ), pasti kalian akan mendapatkan hidayah (dari Allah).” (QS An-Nuur [24]: 54) 

Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur Sebelum Diizinkannya 
Dahulu Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: 

“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” [H.R. Muslim], dalam HR. Ahmad disebutkan: “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.” 

Al Imam An Nawawi berkata: “Sebab (hikmah) dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, yaitu karena para sahabat di masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yang ketika berziarah diiringi dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kokoh pondasi-pondasi Islam dan hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka, barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)

Tidak ada keraguan lagi, bahwa amalan mereka di zaman jahiliyah yaitu berucap dengan sebatil-batilnya ucapan, seperti berdo’a, beristighotsah, dan bernadzar kepada berhala-berhala/patung-patung di sekitar Makkah ataupun di atas kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh mereka. 

TUJUAN DISYARI'ATKANNYA ZIARAH KUBUR 

Para pembaca, marilah kita perhatikan hadits-hadits dibawah ini:

1. Hadits Buraidah bin Hushaib
Rasulullah bersabda:

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” [HR. Muslim]

Dari sahabat Buraidah juga, beliau berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana berziarah kubur agar mengatakan: 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ 
لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.” [HR. Muslim 3/65] 

2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin Malik

فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً (وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: 
تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ) 
“Sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar…" . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik disebutkan: "… karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” [H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228]. 

3. Hadits ‘Aisyah ra
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara itu. Beliau SAW berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh Allah) untuk mendo’akan mereka. [HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239]

Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya: “Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Ucapkanlah:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ 
الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ 
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” [HR. Muslim hadits no. 974]

Dari hadits-hadits di atas, kita dapat mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya dari ziarah kubur: 

Memberikan manfaat bagi penziarah kubur yaitu untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat. 

Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi , seperti hadits Aisyah dan yang lainnya. 

Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah . Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162) 

CATATAN PENTING BAGI PEZIARAH KUBUR 
Pertama: Menjauhkan hujr yaitu ucapan-ucapan batil. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam: 

“… maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” [H.R. Muslim], dalam HR. Ahmad disebutkan: “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.” 

Berbicara realita sekarang, maka sering kita jumpai para penziarah kubur yang terjatuh dalam perbuatan ini. Mereka mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a kepada penghuni kubur (merasa belum puas/khusyu’) mereka sertai dengan sujud, linangan air mata (menangis), mengusap-usap dan mencium kuburannya. Tidak sampai disini, tanah kuburannya dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarganya untuk mendapatkan barakah atau sebagai 'penolak bala’. 

Adakah perbuatan yang lebih besar kebatilannya di hadapan Allah dari perbuatan ini? 
Padahal tujuan diizinkannya ziarah kubur -sebagaimana yang telah disebutkan- adalah untuk mendo’akan penghuni kubur, dan bukan berdo’a kepada penghuni kubur.

Kedua: Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” [HR. Ahmad]

Jika demikian, bagaimana besarnya kemurkaan Allah kepada orang yang menjadikan kuburan selain para nabi sebagai masjid? Makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi meramaikan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” [HR. Abu Dawud]

Ketiga: Tidak melakukan safar (perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” [HR. Al-Bukhari No. 1139 dan HR. Muslim No. 415]

Ziarah ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam dan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini, namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah. Sehingga salah kaprah anggapan orang bahwa safar ke masjid An Nabawi atau safar ke tanah Suci (Masjidil Haram) hanya dalam rangka berziarah ke kubur Nabi dan tidak dibenarkan pula safar ke tempat-tempat napak tilas para nabi dengan niat ibadah, sebagaimana penegasan hadits di atas tidak bolehnya mengadakan safar dalam rangka ibadah kecuali ke tiga masjid saja.

Al Imam Ahmad meriwayatkan tentang kejadian Abu bashrah Al Ghifari yang bertemu Abu Hurairah. Beliau bertanya kepada Abu bashrah: “Dari mana kamu datang? Abu bashrash menjawab: “Aku datang dari Bukit Thur dan aku shalat di sana.” Berkata Abu Hurairah: “Sekiranya aku menjumpaimu niscaya engkau tidak akan pergi ke sana, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.”

Adapun hadits-hadits yang beredar di masyarakat seperti:

مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”

مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”

مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”

Ketiga hadits yang beredar di tengah masyarakat tsb dhA’if (lemah) bahkan maudhlu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari, Imam Muslim, tidak pula oleh Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain keduanya, tidak pula oleh Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. [lihat Majmu’ Fatawa 27/29-30].

Keempat: Tanah kubur Nabi tidaklah lebih utama dibanding Masjid Nabawi.
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Hanyalah pernyataan ini berasal dari Al Qadhi Iyadh. Segala pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)

Kelima: Tidak mengkhususkan waktu tertentu baik hari ataupun bulan. Karena tidak ada satu nash pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan keutamaan waktu tertentu untuk ziarah.

Keenam: Tidak diperbolehkan jalan ataupun duduk diatas kubur. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ِثيَابَهُ فَتُخْلِصَ 
إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. [HR. Muslim 3/62]

لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ 
إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” [HR. Ibnu Majah dan selainnya]


(Sumber: As-Syalafy.org)

Tuesday, June 29, 2010

Kisah sepotong roti isi





Para sahabat rahimakumullah,
Apalah arti sepotong roti? 

Sepotong roti bisa bermakna banyak. Sepotong roti pengganjal perut, sepotong roti yang belum laku terjual, sepotong roti yang terbuang sia – sia, dan masih banyak lagi. Sejenak mari kita membaca kisah dibawah ini tentang sepotong roti. Ada makna mendalam dari cerita dibawah ini. Silahkan baca, simpulkan, dan renungkan:

Abu Burdah bin Musa Al-Asy’ari meriwayatkan, bahwa ketika menjelang wafatnya Abu Musa pernah berkata kepada puteranya: “Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai sepotong roti.” 

Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat tekun beribadah kepada Allah. Ibadah yang dilakukannya itu selama lebih kurang 70 tahun. tempat ibadahnya tidak pernah ditinggalkannya, kecuali pada hari – hari yang telah dia tentukan.

Akan tetapi pada suatu hari, dia digoda oleh seorang wanita sehingga diapun tergoda dalam bujuk rayunya dan bergelimang dosa selama 7 hari sebagaimana perkara yang telah dilakukan oleh pasangan suami – istri. Setelah ia sadar, maka ia lalu bertaubat, sedangkan tempat ibadahnya itu ditinggalkannya, kemudian ia melangkahkan kakinya pergi mengembara sambil disertai dengan mengerjakan sholat dan bersujud.

Akhirnya dalam pengembaraannya itu ia sampai ke sebuah pondok yang di dalamnya sudah terdapat 12 orang fakir miskin, sedangkan lelaki itu juga bermaksud untuk menumpang bermalam disana, karena sudah sangat letih dari sebuah perjalanan yang sangat jauh, sehingga akhirnya dia tertidur bersama dengan lelaki fakir miskin dalam pondok itu.

Rupanya disamping pondok tersebut hidup seorang ahli ibadah yang setiap malamnya mengirimkan beberapa potong roti kepada fakir miskin yang menginap di pondok itu dengan masing – masingnya mendapat sepotong roti.

Pada waktu yang lain, datang pula orang lain yang membagi – bagikan roti kepada setiap fakir miskin yang berada di pondok tersebut, begitu juga dengan lelaki yang sedang bertaubat kepada Allah itu juga mendapat bagian, karena disangka sebagai orang miskin. 

Rupanya salah seorang diantara orang miskin itu ada yang tidak mendapat bagian dari orang yang membagikan roti tersebut, sehingga kepada orang yang membagikan roti itu ia berkata : “Mengapa kamu tidak memberikan roti itu kepadaku.” 

Orang yang membagikan roti itu menjawab : 
“kamu dapat melihat sendiri, roti yang aku bagikan semuanya telah habis, dan aku tidak membagikan kepada mereka lebih dari satu potong roti.” 

Mendengar ungkapan dari orang yang membagikan roti tersebut, maka lelaki yang sedang bertaubat itu lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya kepada orang yang tidak mendapat bagian tadi. Sedangkan keesokan harinya, orang yang bertaubat itu meninggal dunia.

Dihadapan Allah, maka ditimbanglah amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang 70 tahun dengan dosa yang dilakukannya selama 7 malam. Ternyata hasil dari timbangan tersebut, amal ibadah yang dilakukan selama 70 tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama 7 malam. Akan tetapi ketika dosa yang dilakukannya selama 7 malam itu ditimbang dengan sepotong roti yang pernah diberikannya kepada fakir miskin yang sangat memerlukannya, ternyata amal sepotong roti tersebut dapat mengalahkan perbuatan dosanya selama 7 malam itu. 

Kepada anaknya Abu Musa berkata : “Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang memiliki sepotong roti itu!”


Semoga bermanfaat!

Baca juga Kisah yang mirip di sini

Nelayan dan seekor ikan




Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'aala yang telah menganugerahkan nikmat umur, yang merupakan nikmat yang paling mulia yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'aala.

Shalawat beserta salam semoga selalu dicurahkan Allah Subhanahu wa Ta'aala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, para sahabatnya ridwaanulaahi ‘alahim ajma'in dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman dengan kebaikan.

Ahmad ibn Miskin r.a. salahseorang tabi'in besar menceritakan kisah seekor ikan, beliau berkata: Ada seorang laki-laki yang bernama Abu Nash as Shayyad. Ia hidup bersama dengan istri dan seorang putra dalam keadaan yang sangat fakir.

Pada suatu ketika, ia berjalan tak tentu arah dalam keadaan bingung dikarenakan istri dan putranya menangis kelaparan dan ia belum mendapatkan suatu apapun untuk nafkah keluarganya.

Tak lama kemudian, lewatlah ia di hadapan sang Syaikh kaum muslimin, yaitu Syaikh Ahmad Ibn Miskin dan ia berkata: "Aku kelelahan."

Maka berkatalah Syaikh tersebut kepadanya: "Mari, Ikutilah aku ke laut!"
Maka keduanya pun pergi kelaut.

Kemudian Syaikh tersebut berkata kepadanya: "Shalatlah dua raka'at!" 
Maka iapun shalat dua raka'at seperti yang diminta oleh sang Syaikh.

Kemudian Syaikh tersebut berkata lagi:
"Ucapkanlah Bismillah, dan selanjutnya lemparkanlah jaring ini ke laut!"
Abu Nash as Shayyad mengikuti semua perintah syaikh. 

Setelah membaca Basmalah ia pun melemparkan jaringnya ke tengah laut.
Dan ketika ditarik, ternyata jaring tersebut berisi seekor ikan yang sangat besar! 

Subhanallah!

Berkatalah sang Syaikh kepada Abu Nash: "Juallah ikan tersebut, dan hasilnya belikanlah makanan untuk keluargamu."

Maka ia pun menjual ikan tersebut ke pasar dan uang hasil penjualan ikan itu kemudian dibelikannya  dua buah fathirah (roti isi), roti yang satunya berisikan daging sedangkan yang lainnya berisikan manisan. Setelah membeli roti tersebut, lalu ia pun memutuskan untuk pergi mendatangi sang syaikh guna memberinya salahsatu roti isi. Maka pergilah ia menemui sang syaikh dan memberinya sepotong roti. Sang syaikh berkata kepadanya: "Seandainya kita hanya memberi makan untuk diri sendiri, tentu ikan tersebut tidak akan keluar."

Maksudnya, Syaikh melakukan kebaikan untuk mendapatkan kebaikan yang lain. Ia tidak menunggu dan mengharapkan upah pembayaran. Karenanya sang Syaikh mengembalikan roti tersebut dan berkata kepadanya: "Ambillah, (dan berikanlah) untuk diri dan keluargamu."

Dalam perjalanan pulang, lelaki itu bertemu seorang wanita yang sedang menangis karena kelaparan, dan bersamanya adalah anaknya yang masih kecil. Keduanya melihat kepada dua buah roti yang ada ditangannya itu dengan pandangan berhajat.

Lelaki itu bekata kepada dirinya sendiri: "Keadaan wanita ini mirip seperti istri dan putraku yang kesakitan karena menahan lapar, kepada siapakah harus kuberikan dua buah roti ini?"

Demi melihat kedua mata wanita tersebut, dia tak kuasa menahan iba terutama saat melihat butiran air mata yang mengalir dari kedua mata itu. Kemudian berkatalah ia kepada wanita itu: 

"Ambillah dua buah roti ini!"
Maka bersinarlah wajah wanita tersebut dan tersenyumlah putranya karena bahagia.

Setelah memberikan kedua potong roti isi tersebut kepada wanita dan putranya tadi, kembalilah dia dalam kebingungan, bagaimana akan memberi makan istri dan putranya?

Di tengah kebingungannya yang begitu rupa, tiba-tiba dia mendengar suara seorang laki-laki yang bereru: "Siapakah yang bisa menunjukkan kepadaku orang yang bernama Abu Nash as-shayyad?"

Maka orang banyakpun menunjuk kepada Abu Nash sehingga kemudian orang yang berseru tadi berkata kepada lelaki itu: "Sesungguhnya ayahandamu telah meminjamkan harta kepadaku sejak dua puluh tahun lalu. Kemudian dia wafat sementara aku belum melunasi hutangku itu. Maka ambillah 30 ribu dirham milik ayahandamu ini, wahai anakku". 

Abu Nashr as-Shayyad pun kemudian bercerita: "Sejak hari itu aku berubah menjadi orang yang paling kaya, memiliki beberapa rumah dan perniagaan, dan mampubershadaqah ribuam dirham sekali shadaqah sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Kemudian aku bangga terhadap diriku sendiri karena banyaknya bershadaqah.

Pada suatu malam akupun bermimpi dalam tidurku bahwa mizan timbangan amal telah di tegakkan. Lalu menyerulah seorang penyeru: "Hai, Abu Nashr as-Shayyad, kemarikan timbangan kebaikan dan keburukanmu!"

"Maka aku letakkan amal kebaikan dan keburukanku. Ternyata keburukan-keburukanku lebih berat daripada kebaikanku. Maka akubertanya: "Kemana harta yang dulu aku ber-shadaqah dengannya?"

Maka harta-harta itupun diletakkan untuk ditimbang. Ternyata pada setiap seribu dirhamnya terdapat nafsu jiwa berupa kebanggaan terhadap diri sendiri (riya'). Dan itu menyebabkan seakan-akan harta tersebut seperti gulungan-gulungan kapas yang amat ringan dan tidak bernilai sama sekali. Sebaliknya, keburukanku lebih berat dari kebaikanku.

Akupun menangis dan bertanya: "Di mana keselamatan?"
Lalu aku mendengar seorang penyeru berkata: " Apakah dia masih memiliki sesuatu?"
Maka aku mendengar seorang malaikat berkata:" Ya, dia masih memiliki dua buah roti isi."

Maka diletakkanlah dua buah roti isi tersebut di daun timbangan kebaikan itu hingga sejajar dengan daun timbangan keburukan.
Akupun takut!

Kemudian aku mendengar seorang penyeru berkata: "Apakah dia masih memiliki sesuatu?"
Maka aku mendengar seorang malaikat berkata: "Ya, dia masih memiliki sesuatu ..."

Akupun bertanya, "Apa itu?"
Maka dikatakanlah kepadaku: "Air mata wanita yang engkau beri dua buah roti isi".
Maka diletakkanlah air mata tersebut seperti batu di daun timbangan kebaikan itu hingga lebih berat dari daun timbangan keburukan.
Akupun bergembira.

Lalu aku mendengar seorang penyeru berkata: "Apakah dia masih memiliki sesuatu?"
Maka aku mendengar seorang malaikat berkata: "Ya, senyum anak kecil saat ia beri dua buah roti isi." Maka daun timbangan kebaikanpun semakin berat dan semakin berat mengalahkan daun timbangan keburukan.

Lalu aku mendengan seorang penyeru berkata: "Sungguh telah selamat, sungguh telah selamat!"

Akupun lalu terbangun dari tidur seraya berkata:
"Seandainya kita memberi makan diri kita sendiri maka ikan pun tidak akan mau keluar ......."

MAKA BERBUATLAH DENGAN IKHLAS!
BERBUATLAH IKHLAS WAHAI SAUDARAKU!


[Dari Qishah, oleh Musthafa Shadiq ar-Rifa'iy, Kitab Silsilah Hikayat Hawa]'


Monday, June 28, 2010

Dahsyatnya Sakaratul Maut




Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar hamba-hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezaliman bersegera untuk meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.

Namun, berbagai peringatan dan pelajaran baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ 
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Adz-Dzariyat[51]: 55)

Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
“Tidaklah berita itu seperti orang yang melihat langsung.” [HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma] (Lihat Ash-Shahihah no. 135)


Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan, dengan sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali hamba-hamba-Nya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (QS Qaf[50]: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” [HR. Al-Bukhari]

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya:

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ. وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ. وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ. فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ. تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS Al-Waqi’ah[56]: 83-87)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan’, hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya. ‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang dia rasakan karena sakaratul maut itu. ‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka’ (para malaikat). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, kenapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” [Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ. وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ. وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ. 

وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ. إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (QS Al-Qiyamah[75]: 26-30)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, dia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi ‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” [Lihat Ash-Shahihah no. 132]. 

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
فَلَا أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ لِأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [HR. Al-Bukhari no. 4446]

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama rahimahumullah mengatakan bahwa apabila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul r, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya"?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ. أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ
“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (QS Shad[38]: 67-68)

Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:

Pertama: Agar makhluk mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan dia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, dia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal dia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut –padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya– hal itu akan memupus anggapan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi –selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad–, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut [1].

Kedua: Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ
“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”

Maka jawabannya adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143.)

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (QS As-Sajdah[32]: 11)

Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri tugas untuk mencabut arwah hamba-hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga tidak ada di dalam Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu’.” (QS As-Sajdah [32]: 11)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullahu berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ. ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللهِ مَوْلَاهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)

Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” [Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602]

Para pembaca rahimakumullah,
"Roh orang beriman iu keluar dari jasadnya sebagaimana rambut yang keluar dari adonan roti " ( Al-Hadits).

Sedangkan rasa sakit sakaratul maut bagi orang beriman adalah nikmat kelak diakhirat. Sebab dgn KESABARAN & KEIKHLASAN dalam menanggung derita sakit itu, maka dengan rahmat-Nya, dosa-dosanya hamba-Nya itu akan terhapuskan. Walahu A'lam.

Rasulullah Saw bersabda:" Maut dapat menghapus dosa-dosa orang muslim " [HR.Imam Abu Na'im,dari Anas r.a].

Dan kematian mendadak (misal kecelakaan langsung mati) adalah kenikmatan bagi orang beriman,dan hukuman bagi orang kafir. [HR.Imam Tirmidzi].

Di mana kesakitan dalam sakaratul maut membuktikan masih membekasnya dosa-dosa dalam hati, kemudian dosa-dosa itu dihapus ketika sakaratul maut diiringkan dengan rasa sakit yang bukan alang kepalang dahsyatnya.

Allah Azza wa Jalla-lah yg mentakdirkan seseorang menjadi orang-baik-baik, shalihin-shalihah, calon akhli surga, dan dengan rahmat-Nya, maka dihapus segala dosa-dosa di dalam ujian kematian anaknya, suami, istri,orang tua , dan cobaan penyakit atau dgn sulitnya mencari rezeki.

Semua ini adalah rahmat Allah SWT yang menjadikan semua musibah tersebut yang disikapi sengan sepenuh ikhlas dan kesabaran, menjadi sarana bagi penghapus dosa -dosa seseorang.
Dalam Hadits Qudsi disebutkan:
"Kalau sekiranya masih ada sisa-sisa dosa, maka AKU letakkan rasa sakit ketika sakaratul maut, sehingga ketika dia menemui-AKU (Allah), sudah dalam keadaan bersih layaknya anak yang baru dilahirkan dari rahim ibunya"

Subhanallah,
Alhamdulillah,
wala illaha ilallah,
walahu Allahu Akbar!

[Dari: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan |  asysyariah.com ]

CATATAN KAKI
[1]. Beliau mengisyaratkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ
“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” [HR. At-Tirmidzi]



Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers