Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Wednesday, June 17, 2015

Ittihad Al-Hulul dan Wahdatul Wujud - Hubungan Tuhan Dan Hamba


1. Pengertian Ittihad
Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihad (dari kata wahid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Paham ini dicetus oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 260 H). menurutnya ittihad secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau persatuan. Ittihad secara terminologis berarti persatuan si hamba dengan tuhan. Ittihad merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta dan mengenal Tuhan sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Tuhan.

Ittihad dicapai dengan beberapa proses (maqamat) dengan tazkiyat al-nafs hingga melewati mahabbah dan ma’rifah kemudian mengalami fana’ dan baqa’ sebagai pintu gerbang menuju ittihad. Fana’ secara etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang. Sedangkan baqa’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.

2. Pengertian Al-Hulul
Hulul secara etimologis berasal dari kata hall-yahull-hululberarti berhenti atau diam. Paham ini dipelopori oleh seorang sufi yaitu Manshur Al Hallaj (w. 309 H). Dalam tasawuf, Abu Manshur al-Hallaj menyatakan bahwa hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Tuhan, lalu Tuhan memilih kemudian menempati dan menjelma padanya.

3. Pengertian Wujud atau Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dia-lah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud, yaitu Wahdatul Syuhud yaitu kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Tuhan.

Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya adalah tuhan dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.[1]

Syaikh Sa'id Fudah berkata: Adapun wusul menurut golongan sufi yang berpaham wahdatul-wujud adalah penzahiran bahwa wujud kita ialah 'ain wujud Tuhan. Maka, ini adalah suatu penzahiran ittihad wujud kita dengan wujud Tuhan. Adapun wusul menurut golongan sufi yang beraqidah ahlus-sunnah wal jamaah ialah beri'tiqad dengan kefakiran makhluk kepada Tuhan, dalam masa yang sama mengekalkan wujud kita berlainan dengan wujud Tuhan, namun tiada ittihad dalam ahlus-sunnah.

4. Perspektif Syaikh Ahmad Rifa’i [2] tentang Tasawuf
Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjectif dari seseorang dalam menanggapi Tuhan dengan menitik beratkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Dalam arti lain, tasawuf juga dapat diartikan sebagai usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai pada Tuhannya. [3]

Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari’at, tarekat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah ilmu telu yaitu Ushul, fiqh dan tasawuf. [4] Untuk melihat pandangan tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i akan dilihat dengan tiga masalah pokok yaitu, keseimbangan antara syari’at, tarekat dan hakikat. Pembagian tasawuf bercorak amali dan falsafi.

Syaikh Ahmad Rifa’i memandang bahwa seorang sufi selain mengamalkan tasawuf juga dituntut untuk bisa menjalankan ilmu ushuluddin dan fiqihnya. Maka dengan pengertian lain bahwa seorang yang belajar ilmu tasawuf tidak melalui tahapan ilmu ushuluddin dan fiqihnya maka dianggap tidak sah ketaatannya. [5] Dari syair di atas dituliskan, beliau mengkritik ahli tasawuf yang meninggalkan syari’at, beliau juga mengkritik ahli fiqih yang meninggalkan tarekat dan hakikat. Menurutnya, mereka orang-orang yang membelakangi Tuhan disatu pihak dan dapat menjadi kufur dilain pihak.

Junaid al-Baghdadi dan al-Ghozali memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut al-Junaidi, [6] tasawuf adalah pengabdian kepada Tuhan dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barangsiapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Tuhan maka ia adalah sufi.[7] Sejalan dengan pandangan ini, al-Ghozali mengatakan bahwa tasawuf adalah mengosongkan batin atau membersihkan diri dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih.[8]

Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i, pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari’at, tarekat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah Ushul, fiqh dan tasawuf. Dengan pendekatan aksiologinya dalam rangka mencapai kedekatan diri kepada yang haq yaitu ma’rifat dan taqarrub yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus melalui aturan sebagaimana lazim terjadi dalam dunia tarekat. Jika hendak ditelusuri berdasarkan apa yang ditulis dalam beberapa karanganya, akan terlihat ia tidak pernah menyebut dirinya baik secara langsung ataupun tidak sebagai penganut qadariyah. Hampir dalam setiap karanganya ia selalu menyatakan dirinya sebagai penganut tarekat ahlussuni.

Jika dilihat dari segi terminologisnya tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i bersifat praktis (amali) dan teoritis (nadzari) dengan menyempurkan ketiga disiplin ilmu untuk mendekatkatkan diri pada Tuhan (taqarrub) antara Ushuludin, fiqh dan tasawuf. Dalam rangka mendeskripsikan ketiga diatas, Syaikh Ahmad Rifa’i membagi disiplin ilmu menjadi dua hal. Yaitu, ilmu dhahir adalah ilmu fiqh dan ilmu bathin yaitu ushuludin dan tasawuf. [9]

Pandangan Syaikh Ahmad Rifa’i mengenai keterkaitan hubungan antara syari’at, tarekat dan hakikat secara global memiliki unsur persamaan dengan konsep tasawuf Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran berdasarkan pengalaman para sufi yang dikategorikan menjadi dua diatas, yakni amali (akhlaqi) dan na’ari (falsafi), maka corak pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i termasuk dalam kategori Amali (akhlaqi) atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf beliau berupa latihan rohani dengan jalan:
  1. Pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli),
  2. Pengosongan sifat tercela (takhalli) yang kemudian ditindak lanjuti dengan kedekatan diri kepada Tuhan (taqarrub),
  3. Pengenalan Tuhan dengan mata hati (ma’rifat).

Dengan demikian dapat dikatakan klimaks dari tujuan tasawuf dalam pandangan Syaikh Ahmad Rifa’i adalah tercapainya tiga kondisi diatas (khauf, mahabbah dan makrifat). Hal ini dapat dijelaskan dalam karyanya sebagai berikut:

a. Khauf
Secara terminologis khauf dalam dunia tasawuf bersifat variatif sejalan dengan pengalaman subjektif dari para sufi. Menurut Abu Ali ad-Daqqaq, khauf itu terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu khauf, khasyyah dan haibah. Khauf adalah syarat keimanan, khasyyah adalah syarat ilmu dan haibah adalah syarat makrifat. Dalam mengetengahkan pandangan tentang Khauf ini sebagai salah satu puncak amalan tasawuf bersama sama dengan mahabbah dan makrifat. [10]

Sebagaimana dikemukakan di atas, Syaikh Ahmad Rifa'i menyatakan dalam karanganya:

Derajat parek iku makrifat ning manah
Cukule makrifat ngedohi penyegah
Kinarepaken dipurih parek ing Allah luhur
Iku wajib wedi lan asih anut milahur
Maring Allah taat saking haram mungkur
Kuwasane netepi wajib tan mundur [11]

artinya:
Derajat dekat itu makrifat dalam hati
Munculnya makrifat menjauhi larangan
Bertujuan mendekat Allah luhur
Kepada Allah taat dari haram menghindar
Berusaha menjalankan kewajiban tidak mundur

Syair di atas memberikan penjelasan bahwa tingkatan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah makrifat dalam hati yang dapat dicapai dengan menjauhi larangan. Adapun ungkapan "iku wajib wedi lan asih anut milahur" dalam syair di atas, memberi penjelasan bahwa takut kepada Tuhan perlu disertai dengan rasa cinta yang dalam. Pemikir tasawuf Sunni sering disebut istilah Khauf wa Raja'.

Raja' adalah suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh, karena ia yakin bahwa Tuhan itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Dengan begitu, kedua kata ini memiliki pengertian berbeda satu dengan lainnya, namun memiliki hubungan karena pada umumnya para sufi tidak hanya berhenti pada rasa takut tetapi juga harapan karena adanya rasa ketergantungan kepada Tuhan. Hubungan tersebut antara lain digambarkan dengan pengalaman sufi seperti Abu Ali ar-Rudbari yang menyatakan bahwa hubungan antara khauf dan raja' laksana dua sayap burung yang saling menopang untuk terbang.[12]

Jika para sufi di atas menggunakan istilah raja' sebagai kelanjutan dari rasa takut kepada Tuhan, maka Syekh Ahmad Rifa'i menggunakan kata asih (cinta) sebagai kelanjutan dari khauf itu dan bahkan dalam syair di atas juga diberi penjelasan tingkatan berikutnya yaitu makrifat. Tingkatan ini dapat dipandang sebagai klimaks dari tujuan akhir tasawuf sehingga orang yang telah sampai kepadanya dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya.

b. Mahabbah
Dalam masalah mahabbah, syekh Ahmad Rifa'i banyak menggunakan istilas "asih" (bahasa jawa berarti cinta) sebagai gambaran untuk menyatakan tentang mahabbah. Selain itu, pandangan Rifa'i mengenai hal ini terlihat lebih banyak tertuju kepada implikasi sehari-hari dibandingkan dengan perhatian ekslusif yang biasanya terjadi pada para sufi sebagaimana pengalaman Jalaludin Rumi, Rabi'ah al-Adawiyah, Nuri dan lain-lain. [13] Perbedaan ini lebih jauh terlihat dalam tasawufnya sebagaimana terlukis dalam beberapa syairnya, antara lain:

Utawi wong asih sebenere pangeran
Iku arep bektiyo wongiku linakonan
Ing Allah anut perintahe kewajiban
Ugo ngedohi saking gede maksiat
Naliko ngenani dosa nuli tobat [14]

artinya:
Adapun orang yang mencintai Allah sebenar-benarnya Tuhan
itu kehendak berbakti orang tersebut perbuatannya
kepada Allah mengikuti perintah kewajiban
juga menjauhi dari maksiat besar
ketika melakukan dosa

Syair di atas menjelaskan bahwa indikasi orang mencintai Tuhan dengan sungguh-sungguh, terlihat pengabdiannya kepada Tuhan dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi segala perbuatan maksiat. Jika ia berdosa, maka dengan segera ia melakukan tobat.

Penekanan pada aspek pelaksanaan kewajiban dan menjauhi larangan sebagai indikasi cinta kepada Allah. Lebih jauh dalam syairnya yang lain dituliskan:

Utawi wong asih ing Allah nyatane
Iku dadi nyawane iman keuripane
Ngalamate urip netepi wajib lakune
Lan ngedohi saking haram sekuasane
Iku tanda asih ing Allah ning manah [15]

artinya:
Adapun hati cinta kepada Allah ta'ala sesungguhnya
itu menjadi nyawanya iman kehidupannya
dan menjauhi dari yang haram sekuat tenaga
itulah tanda cinta kepada Allah dalam hati
tanda hidupnya tetap melaksanakan kewajibannya

Pernyataan di atas mengkaitkan masalah cinta dengan keimanan dan merupakan unsur vital di dalamnya. Di sini ia terlihat keluar dari bingkai akidah yang pada umumnya mengaitkan persoalan iman dengan perilaku sebagai kelanjutan dari persoalan klasik seputar status pembuat dosa besar yang mana apakah tetap muslim ataupun kufur.

Keterkaitan pandangannya tentang mahabbah dengan masalah keimanan ini dinyatakan lebih lanjut dalam ungkapannya yang berbunyi:

Utawi wong asih sing Allah milahur
Iku dadi syarat sahe iman jujur
Manfaat akhirat ning swarga luhur
Ikulah arep urip imane tinutur [16]

artinya:
Adapun orang yang cinta kepada Allah dengan benar
itu menjadi sahnya iman jujur
Manfaat akhirat di surga luhur
itulah akan hidup imannya tersebut

c. Ma’rifah
Makrifat Adalah mengenali dzat dan sifat Tuhan secara benar. Mengenal Tuhan merupakan pengetahuan yang paling sulit sebab tidak ada yang serupa denganNya. Namun demikian, Tuhan mewajibkan semua makhluk-manusia, jin, malaikat dan seluruh makhluk untuk mengenali zat, nama dan sifat-sifatNya.

Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan di atas bahwa makrifat merupakan puncak ajaran tasawuf dari Syaikh Ahmad Rifa’i setelah melalui tiga tahapan yaitu, pengisian sifat terpuji, pengosongan sifat tercela dan munculnya kondisi mental berupa takut (khauf dan mahabbah). Sebagaimana termaktub dalam syairnya:

Allah dzat wajib wujud nyata kamalat
Dipandeng kelawan nur kehimmat
Kang sinelehaken ning telenge ati kebatinan
Dadi hasil waspada ati tingalan
Ing barang penggawe saking Allah kenyataan
Qudrat iradat ilmu hayat kesifatan
Ikulah wong wes tumeko ing Allah makrifat
Ningali ing kenugrahane Allah laku taat [17]

artinya:
Allah zat wajib al-wujud benar sempurna
Dipandang melalui nur pemberian yang dicita-citakan
yang diletakkan dalam relung hati kebatinan
menjadikan hati memiliki kewaspadaan dalam penglihatan
pada sesuatu ciptaan Allah kenyataan
Qudrat iradat ilmu hayat disifati
itulah orang sudah sampai pada Allah makrifat
melihat pada kemurahan Allah berbuat taat

Syair diatas memperlihatkan bahwa untuk sampai pada tingkatan makrifat maka diperlukan penglihatan terhadapNya dengan menggunakan nur diletakan dalam relung hati (telenge ati) yang merupakan pemberian Allah. Dengan demikian kondisi makrifat merupakan pemberian Allah kepada orang orang tertentu sebagaimana diungkapkan oleh Nicholson,

"Direct knowledge of God based on revelation and apocalyptic vision. It is not the result of any mental procces but depends entirely on the will and favour of God, who bestow it as a gift from himself upon those whom he has created with the capacity of receiving it." [18]

Artinya, makrifat adalah pengetahuan langsung dari tuhan berdasarkan wahyu dan pengkihatan yang langsung diberi ikan tuhan. Ia tdk berasal dari proses mental tetapi merupakan anugrah kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk menerimanya.

Dilihat dari asal usul makrifat yang tidak dapat dikontrol (pemberian langsung dari Tuhan), maka secara tidak langsung Rifa'i mengakui adanya konsep yang tidak pernah ia sebutkan secara eksplisit. Sekalipun ajaran makrifat ini sering dianggap mengandung unsur-unsur mistis dan disamakan dengan paham theosofi Hellenisme [19](Gnostik) sebagaimana dijelaskan oleh Nicholson. [20] Namun dalam pandangan RIfa'i, makrifat memiliki kekhususan dan tidak mengandung unsur mistik. Ungkapan Rifa'i yang berbunyi "ikulah wong wus tumeko ing Allah makrifat ningali ing kanugrahane Allah laku taat" memperlihatkan bahwa dalam kondisi orang telah mencapai makrifat ia mampu melihat kekuasaan Tuhan dan memperlihatkan ketaatannya kepada-Nya.

5. Keyakinan Ittihad, Al-Hulul dan Wahdatul Wujud
Dalam tinjauan al-Hafiz al-Suyuti, keyakinan hulul, ittihad dan wahdatul wujud mengikut sejarah awal mulanya yang berasal dari pada kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan Nabi Isa. Dalam pendapat lainnya, Tuhan menyatu dengan Nabi Isa sekaligus dengan ibunya, Maryam. Hulul dan Wahdatul Wujud ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Kemudian apabila ada beberapa orang ynag mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satu daripada keduanya, jelas ia seorang sufi palsu. Para ulama, baik ulama Salaf dan Khalaf dan kaum sufi sejati hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. [21]

Imam al-Hafiz Jalaluddin al-Sayuthi menilai seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdatul wujud jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani kerana dalam keyakinan Nasrani Tuhan hanya menyatu dengan Nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus, [22] tetapi keyakinan hulul dan wahdatul wujud adalah Tuhan menyatu dengan manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari pada alam ini.

Demikian juga dalam penilaian Imam al-Ghazali jauh lebih dahulu sebelum al-Sayuthi. Beliau sudah membahas secara terperinci tentang kesesatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lahut (Tuhan) menyatu dengan al-Masut (makhluk), yang kemudian di ambil oleh paham hulul dan ittihad adalah kesesatan dan kekufuran. [23] Antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan paham hulul dan ittihad ialah al-Mumqidh Min al-Dalal dan al-Maqasad al-Asma Fi Syarh Asma' Allah al-Husna. Dalam dua buah buku ini beliau telah menyerang habis-habisan paham-paham kaum sufi palsu. Termasuk juga dalam karya terulungnya, Ihya' Ulumuddin.

Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyad juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihad berasal daripada kaum Nasrani yang berpendapat bahwa ittihad terjadi hanya pada Nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulul dan ittihad ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagian dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh Nabi Isa ialah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa Zat Tuhan yang menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh Nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain itu ada pendapat-pendapat mereka yang lain. Semua pendapat mereka tersebut secara kasarnya memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulul dan ittihad), dan semua paham-paham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama islam sebagai kesesatan. [24]

Imam Fakh al-Razi dalam kitab al-Mahsal Fi Usuluddin, menulis seperti yang berikut:
"Sang Pencipta (Allah) tidak menyatu dengan yang lain, kerana apabila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain, maka bereti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika kedua-duanya tidak ada atau menjadi hilang (ma'dum) maka kedua-duanya tidak bersatu. Demikian juga apabila salah satunya tidak ada (ma'dum) dan satu yang lainnya ada (maujud), maka kedua-duanya tidak bersatu, kerana yang ma'dum tidak mungkin bersatu dengan yang maujud"

Qadi Ayyad ibn Musa dalam kitab Ash-shifa bi ta'rif huquq al-Mustafamenyatakan seluruh orang islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan akidah hulul dan kekufuran yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan seperti ini, dalam tinjauan Qadi Iyad tidak lain hanyalah dari pada orang sufi palsu, kaum Batiniyah, Qaramitah dan kaum Nasrani. [25] Dalam kitab tersebut Qadi Iyad menulis:

"Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan Allah ialah benda, maka dia tidak mengenal Allah (kafir) seperti orang Yahudi. Demikian juga telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahawa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya (hulul), atau bahawa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti kaum Nasrani"

Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hisni mengatakan kekufuran seorang yang berkeyakinan hulul dan wahdatul wujud lebih buruk dari pada kekufuran orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan Isa dan Maryam sebagai Tuhan Anak dan Tuhan Ibu, yang oleh mereka disebut dengan doktrin triniti. Sementara pengikut akidah hulul dan wahdah al-wujud meyakini Allah menyatu dengan zat-zat makhluk-Nya. Artinya dibandingkan dengan yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulul dan wahdatul wujud memiliki lebih banyak tuhan, bukan hanya satu atau dua saja, kerana mereka menganggap bahwa setiap komponen dari pada alam ini merupakan bagian dari pada Zat Allah. Imam al-Hisni menyatakan siapa pun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi akidah hulul dan akidah wahdatul wujud maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang islam dari kesesatan dua akidah tersebut. [26]

Sebuah wasiat yang disampaikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa'i, kepada para muridnya adalah:
"Majelis kita ini suatu masa akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak bahwa siapapun yang membuat bida’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang bahru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan wahdatul wujud, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, melucu dengan kalimat-kalimat yang tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syariat, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci kaum muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syariat, menolong orang yang zalim, menghinakan orang yang dizalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berperilaku dan berkata-kata seperti orang bodoh maka saya terbebas (tiada hubungan) dari orang seperti itu di dunia dan akhirat. [27]

Qadi Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan seorang yang berpendapat hulul dan ittihad, ia bukan seorang mukmin yang beriman dengan syariat Allah. Seorang yang berkeyakinan hulul ini tidak akan memberikan manfaat kepada dirinya sekalipun ia berkobar-kobar membicarakan akidah tanzih. Seorang yang mengaku Ahli tanzih tetapi ia meyakini akidah hulul atau ittihad adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan al-Mawardi, bukan suatu yang logis apabila ia mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada jasad manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini dengan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau meleburnya antara dua zat; Zat Allah dengan zat makhluk-Nya. Kerana apabila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya. [28]


[Sumber: Artikel Pilihan Rahmat Sadchalis]

CATATAN KAKI
[1]  Ensiklopedia
[2]  Tokoh sufi besar pendiri tarekat Rifa’iyah, sebuah ordo sufi yang memiliki banyak pengikut, terutama di daratan Afrika Utara.
[3]  Abd. Hakim Hasan. "Attasawuf Asy’ir fil Arabi." Cairo : Maktabah Anglo Masyriah, 1954, hal. 19
[4]  Dr. Abdul Jamil. "Perlawanan Kiyai Desa." Yogkarta : LKIS, 2001, hal. 114
[5]  Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001
[6]  A.J. Arbery. "Muslim saint and Mystics." Routledge and kegan Paul, 1966, hal.199
[7]  Ibrahim Basyuni. "Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy." Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969, hal.22
[8]  Al-Ghozali. "Ihya ‘ulumudin." Juz I. Libanon : bairut, 2004, hal.123
[9]  Syaikh Ahmad Rifa’i. "Asnal Maqasid." korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001, hal. 201
[10]  Dr. Abdul Djamil. "Perlawanan kiai desa." Yogkarta : LKIS, 2001, hal. 162
[11]  Syaikh Ahmad Rifa’i. "Ri’ayatal Himmah." juz I, korasan 24. Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2000, hal. 91
[12]   al-Qusyairi. "Ar-Risalah." ... hal 318-319
[13]  Nicholson yang secara khusus membicarakan mengenai mahabbah (divine love) dengan mengetengahkan pernyataan beberapa sufi yang menggambarkan watak eksklusif dari pengalama rohani mereka. Lihat juga Harun Nasution dalam "Filsafat dan mistisisme dalam islam" hal.73-74, yang melukiskan pengalaman Rabi'ah al-Adawiyah yang berkaitan dengan paham mahabbah ini.
[14]   Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." juz VI, korasan 69. Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001, hal. 301
[15]   ibid.,
[16]   Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." juz VI, korasan 71.
[17]   Syeh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." juz VI, korasan 69. Lihat juga juz V dan "Asn al-Miqsad." juz II
[18]   Nicholson. "The Mystic of Islam." London: Keqan Paul Ltd., 1966, hal. 71
[19]   muatan ajaran mengenai bagaimana umat manusia dapat terlepas dari kematian. Ajaran ini sering kali merupakan rahasia. Dengan menerima ajaran dan menjalankan ritual-ritual tertentu, orang yang percaya dapat mengharapkan keabadian jiwa dan kehidupan yang kekal. Suatu wawasan menyangkut hakikat sejati alam semesta dapat menjadi sama pentingnya dengan upacara agama untuk mendapatkan keselamatan.
[20]   ibid., "The Mystic of Islam."
[21]   al-Sayuthi. "Al-Hawi li Al-Fatawa." Juz II. hal 139. Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori Hulul dan Ittihad lihat di Al-Syahrastani. "al-Milal wa al-Nihal." Beirut, Lebanon : Dar al-Fikr, 1997, hal. 178-183
[22]   Yang mereka sebut dengan “Doktrin Triniti”
[23]   ibid., "Al-Hawi li Al-Fatawa."
[24]   ibid., ditambah kutipan dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyad.
[25]   Qadi Ayyad ibn Musa. "Ash-shifa bi ta'rif huquq al-Mustafa." juz II. hal. 236
[26]   Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hisni. "Kifayatul Akhyar." juz I. hal. 198
[27]   al-Habasyi. "al-Maqamat al-Sunniyah." hal. 435-436
[28]   al-Sayuthi, Jalal al-Din. "Al-Hawi li Al-Fatawa." juz II. hal. 132


DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Ghozali. "Ihya ‘ulumudin." Juz I. Libanon : bairut, 2004
  • al-Habasyi. "al-Maqamat al-Sunniyah."
  • al-Sayuthi, Jalal al-Din. "Al-Hawi li Al-Fatawa." Makkah : Nizar Musthafa al-Baz, 1987
  • al-Qusyairi. "Ar-Risalah."
  • Al-Syahrastani. "al-Milal wa al-Nihal." Beirut, Lebanon : Dar al-Fikr, 1997
  • Arbery, A.J. "Muslim saint and Mystics." Routledge and kegan Paul, 1966
  • Basyuni, Ibrahim. "Nasy’ah Tasawwuf al-Islamy." Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969
  • Fakhr al-Dien al-Razi. "Al-Mahsul fi 'ilm al-Ushul."
  • Hasan, Abd.Hakim. "Attasawuf Asy’ir fil Arabi." Cairo : Maktabah Anglo Masyriah, 1954
  • Imam Al-Haramain Al-Juwaini. "al-Irsyad ila Qawathi' al-Adillah fi Ushul al-I'tiqad"
  • Imam Taqiyuddin Abu Bakr al-Hisni. "Kifayatul Akhyar."
  • Jahja, Dr.Zurkani. "Teologi Al Ghozali." Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
  • Jamil, Dr.Abdul. "Perlawanan Kiyai Desa." Yogkarta : LKIS, 2001
  • Junaedi, Luqman. "Memburu katak pohon." PT Mizan Publika, 2005
  • Qadi Ayyad ibn Musa. "Ash-shifa bi ta'rif huquq al-Mustafa."
  • Syaikh Ahmad Rifa’I. "Abyan al-Hawaaij." Korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001
  • Syaikh Ahmad Rifa’i. "Asnal Maqasid." korasan 21, Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001
  • Syaikh Ahmad Rifa’i. "Ri’ayatal Himmah." juz I, korasan 24. Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2000
  • Syaikh Ahmad Rifa’i. "Syarkhul Iman." Juz I. Pekalongan : PP. Rifa’iyah, 2006

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers