Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, April 15, 2023

Hablu Min Allah dan Hablu Min An-Nas


PENGERTIAN HABLU MIN ALLAH

Sebagai umat Islam, setiap Muslim harus menjaga dan memelihara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas. Tapi apakah sebenarnya maksud dari kedua sebutan tsb? Kedua sebutan ini adalah bagian sangat penting dalam ajaran Islam yang harus dipahami oleh setiap Muslim agar dalam merealisasikan tata-laksananya senantiasa selalu dalam keadaan berimbang.

Hablu min Allah adalah hubungan vertikal atara manusia dengan Allah, sedangkan Hablu min An-Nas adalah hubungan horizontal atara sesama manusia. Pemahaman akan kedua hal ini tidak cukup hanya sekedar untuk dimengerti saja, namun harus pula diaplikasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari secara sadar, ikhlas, dan bertanggunghawab. 

Kendati pada hakikatnya Hablu min An-Nas dan Hablu min Allah mempunyai tujuan vertikal, yaitu memperoleh ridha Allah SWT, namun sangat peting  untuk dimengerti bahwa Allah tidak akan memuliakan orang yang hanya memelihara hubungan baiknya dengan Allah saja, namun hubungannya dengan sesama manusia buruk! Allah juga tidak akan ridha kepada orang yang tidak menjaga hubungannya dengan Allah, meskipun hubungannya dengan sesama manusia sangat baik!

Ibadah seorang Muslim dipastikan tidak sempurna jika tidak memelihara keseimbangan antara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas. Cenderung akan sia-sia amal seseorang yang khusuk beribadah siang dan malam namun perilaku dan lisannya masih digunakan untuk berbuat dosa. Karena demikian pentingnya menjaga kedua hubungan vertikal dan horizontal ini, maka Allah SWT secara tegas menyebutkan konsekuensi yang kelak akan diterima oleh siapa pun yang dengan sengaja mengabaikannya.

ٱلْمَسْكَنَةُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Q.S. Ali ‘Imran: 122).

Dalam ayat ini, Hablu min Allah diartikan sebagai perjanjian antara Allah dengan setiap Muslim sebagai memeluk Islam, atau beriman kepada syari'at Islam, yang berjanji tunduk dan patuh melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam.

Sedangkan dari perspektif sejarah, Hablu min Ab-Nas pada awalnya adalah aktualisasi perjanjian antara kaum Mukminin dengan kaum Kafir Dzimmi berupa jaminan keamanan bagi mereka melalui pembayaran Jizyah kepada penyelenggara pemerintahan Islam di mana mereka menetap dan hidup sebagai warga negara. Dengan perjanjian ini maka hak-hak dasar mereka sepenuhnya dilindungi oleh penyelenggara pemerintahan, sama baiknya dengan perlindungan kepada warga negara Muslim yang membayar zakat. 

Hablu min Allah
Hablu min Allah adalah suatu bentuk etika yang mengatur perilaku dan tindakan setiap Muslim dalam menjaga hubungannya dengan Allah. Dalam hal ini, khususnya melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Umat Islam harus mengupayakan posisinya di tengah-tengah kedua bentuk hubungan ini secara  seimbang. Kesalehan individu terhadap Allah harus sama baiknya dengan kesalehannya terhadap  aspek-aspek sosial. Jadi, kendati boleh jadi ibadah seorang Muslim kepada Allah SWT dianggap baik, namun jika hubungannya dengan sesama makhluk sosial buruk, maka hampir dapat dipastikan ia akan menjadi “orang-orang yang bangkrut” di akhirat nanti.

PERILAKU HABLU MIN ALLAH
Contoh perilaku yang mencerminkan Hablu min Allah menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut:

Menjalankan Perintah dan menjauhi Larangan Allah SWT
Umat Islam harus bertaqwa kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sikap ini disebut bertaqwa kepada Allah.

Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan selalu mendapatkan petunjuk serta hidayah dari-Nya. Sedangkan orang-orang zalim, tidak akan mendapatkan apa pun selain kerugian pada akhirnya.

Taqwa merupakan pembatas bagi umat Islam yang melindungi dirinya dari kemurkaan Allah SWT. Bagi setiap muslim yang taat melaksanakan perintah-Nya, Allah pasti akan mencurahkan berlipat-ganda ganjaran kebaikan. Sedangkan sebaliknya, jika melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, maka dipastikan pula akan mendapatkan balasannya yang setimpal. Dengan kesadaran akan taqwa, seorang hamba akan selalu merasa cukup atas setiap rezeki yang diperolehnya.

Ikhlas dalam menerima segala Ketentuan Allah SWT
Sebagai umat Islam yang bertaqwa, seorang Muslim harus ikhlas menerima ketentuan dan takdir serta pembagian rezeki dari Allah SWT. Segala yang telah ditetapkan oleh allah SWT merupakan takdir, dan takdir itu sendiri, terlepas apakah itu baik atau buruk (dalam pandangan manusia), sesungguhnya merupakan hal terbaik untuknya.

Allah berfirman,

 وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
" ... boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Meninggalkan kehendak nafsunya untuk mencari keridhaan Allah SWT
Setiap manusia memiliki hawa nafsu, tetapi sebagai umat Islam yang bertaqwa, seorang Muslim harus berusaha mengendalikan dan menekan hawa nafsunya sendiri berdasarkan batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh syariat Islam. Allah SWT juga tidak menyukai orang-orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dengan cara meninggalkan sepenuhnya kesenangan dunia yang justru disediakan oleh Allah untuk setiap makhluk-Nya.   

Firman Allah SWT,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qasas: 77)

Semasa hidup, di samping terus berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan dunianya, seorang Muslim tentu perlu mencari keridhaan Allah SWT melalui ibadah, karena dengan ridha-Nya lah kebutuhan hidup akan senantiasa terasa cukup dan patut dinikmati dengan rasa syukur.

Tujuan Allah SWT menciptaka manusia adalah agar beribadah kepada-Nya . Secara sangat spesifik Dia menegaskan kewajiban ibadah ini kepada seluruh umat manusia dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyat: 56)


وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah: 5).

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang bertaqwa, jaga dan peliharalah Hablu min Allah denga sebaik-baiknya.  

PENGERTIAN HABLU MIN AN-NAS

Hablu min An-Nas dimaknai sebagai tindakan menjaga hubungan antar sesama manusia dengan cara  senantiasa memelihara hubungan baik, menjaga tali silaturahim, mengembangkan kepedulian sosial, saling tolong menolong, tenggang rasa, dan saling menghormati.

Hablu min An-Nas adalah konsep hubungan antar sesama manusia dalam dua dimensi sekaligus, yakni dimensi religius dan sosial di mana keduanya dapat diimplementasikan secara bersamaan dalam konteks membentuk masyarakat manusia-manusia beriman. Hal ini disebut Muamalah.

Muamalah sendiri memiliki banyak cabang, di antaranya agama, pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dlsb. Namun secara umum Muamalah melingkupi dua aspek pokok, yakni aspek Adabiyah dan aspek Madaniyah. 

Aspek Adabiyah adalah segala perbuatan Muamalah yang berkaitan dengan adab yang mengedepankan akhlak mulia seperti misalnya sopan, santun, jujur, simpati, empati, dan lain sebagainya. 

Sedangkan aspek Madaniyah adalah segala hal yang berhubungan dengan materi atau kebendaan seperti objek-objek yang menimbulkan subhat, yakni keraguan antara halal dan haram, mudharat dan manfaat, dan lain-lain pertentangan antara yang besifat baik dan buruk.

Tentang bagaimana pentingnya perkara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,

وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS.  An-Nisa: 36)

Adapun yang termasuk dalam perilaku Hablu min An-Nas pada intinya adalah ketulusan sikap dan kepedulian seorang Muslim pada sesamanya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia menjalani hidup berumah tangga, bertetangga, berinteraksi dengan saudara dan anggota keluarga, bercengkrama dengan berkerabat dan sahabat, bahkan berempati terhadap orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

PERILAKU HABLU MIN AN-NAS
Contoh perilaku Hablu min An-Nas menurut ajaran Islam di antaranya adalah:

1. Saling Membantu
Seperti halnya dewasa ini, saat mana harmonisasi sosial perlahan mulai tergradasi oleh arus modernasi, interaksi sosial menjadi penting. Tanpa harus membeda-bedakan ras, kultur, agama, dan keyakian,  perintah Allah SWT kepada umat Islam tidak pernah berobah, yakni  agar setiap Muslim selalu berusaha untuk dapat saling membantu antar sesamanya. Membantu orang lain, atau tolong menolong adalah salahsatu tindakan nyata dari Hablu min An-Nas.

Ketika kita memberikan bantuan atau pertolongan kepada seseorang, dampak psikologisnya tidak hanya kepada orang yang kita tolong saja, tetapi juga berdampak pada diri sendiri. Dampak positif yang dapat dirasakan misalnya adalah mengurangi depresi. Kita nerasa senang ketika dapat membantu orang lain karena secara naluriah menolong seseorang akan menimbulkan perasaan bahwa hidup kita berguna bagi orang lain. Hal ini secara sadar atau tidak akan menimbulkan rasa optimisme postif dalam diri.

Dampak lain dapat pula berupa ketenangan bathin. Membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan akan menumbuhkan kesadaran bahwa sebetulnya masih banyak orang yang lebih membutuhkan daripada kita. Kesadaran seperti ini akan menimbulkan rasa bersyukur atas segala hal yang pernah kita peroleh, sekaligus memupus prasangka buruk terhadap demikian beragamnya bentuk kasih sayang Allah SWT yang setiap detk tidak henti dicurahkan untuk setiap makhluk-Nya.

2. Menyantuni anak-anak Yatim dan Yatim Piatu
Dalam ajaran Islam, menyantuni dan mengasihi anak yatim sangat mulia. Pahala yang besar akan diterima bagi siapa saja yang dengan tulus dan ihklas turut menyantuni anak yatim. Beberapa fadhilah dan keutamaan menyantuni anak yatim di antaranya adalah:

  • Dimudahkan jalannya menuju surga, 
  • Mendapatkan pertolongan langsung dari Allah SWT,
  • Mendapat gelar Abror (orang yang ta'at kepada Allah),
  • Terhindar dari fitnah kubur dan fitnah akhirat,
  • Berkesempatan menjadi sahabat Rasulullah di Surga
3. Ikhlas dalam segala hal
Ikhlas adalah kalimat yang sangat mudah untuk diucapkan akan tetapi dalam praktiknya tidak mudah. Ikhlas dapat diartikan sebagai kesadaran untuk melepaskan ego negatif dari dalam jiwa manusia, sehingga kemudian ia menjadi insan "lapang dada" dan tulus dalam menerima segala sesuatu yang terjadi pada dirinya tanpa beban psikologis yang pada dasarnya memang tidak perlu.

Orang-orang yang ikhlas adalah mereka yang secara sadar melakukan segala perbuatannya semata-mata karena Allah, tanpa pamrih - atau mengharap balasan dari siapa pun - kecuali mengharap ridha Allah SWT. 

4. Mengasihi Orang Kurang Mampu
Sebagai sesama makhluk, setiap Muslim harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama. Setiap hari yang dilalui hendaknya dijadikan momen untuk meningkatkan belas kasih terhadap orang lain, khususnya orang-orang tidak mampu. Setiap pemberian yang dilandasi hati ikhlas kepada mereka akan sangat berarti. Mereka pasti akan menerimanya dengan sukacita dan membalasnya dengan doa-doa kebaikan yang hampir pasti pula, akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Hal-hal seperti ini banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang selalu memberikan apa saja yang beliau miliki kepada kaum dhuafa, fakir, dan miskin. Manakala tidak mempunyai sesuatu untuk dibagikan sekalipun, setidak-tidaknya beliau tetap berusaha untuk memberikan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, kendati untuk itu adakalanya beliau harus meminta kepada para sahabatnya. Yang jelas, beliau tidak pernah meninggalkan seorang fakir pun tanpa bantuan.

5. Berbaik Sangka atau Husnudzon
Secara etimologi Husnudzdzon berasal dari dua kata bahasa Arab, "husn" yaitu baik, dan "az-zan" yang berarti sangka atau prasangka. 

Husnudzon menjadi landasan manusia agar selalu berpikir positif atas segala peristiwa yang telah dan akan dialami. Dalam prakteknya, ada dua model pengaplikasian husnudzon ini, yaitu Husnudzon kepada Allah dan kepada Manusia. Husnudzon kepada Allah yaitu selalu berbaik sangka atas segala yang diberikan-Nya. Sedangkan hal serupa juga berlaku lepada sesama manusia.

6. Menjaga Silaturahim
Silaturahmi berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari dua kosa kata, "shilah" yaitu menyambung, dan "rahim" yakni rahim wanita. Jadi arti dari silaturahmi adalah menyambung hubungan dengan keluarga dan kerabat. Selain itu, menyambung hubungan kekerabatan, silaturahim juga memiliki arti yang berbeda ketika kalimatnya diubah menjadi silaturahmi.

Allah memerintah setiap Muslim agar hidup berdampingan dan menjalin kasih sayang dengan sesama dalam setiap kesempatan dan keadaan. Silaturahmi sendiri pada dasarnya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang sebagai makhluk sosial yang menginginkan adanya hubungan baik dengan sesamanya.

Macam-Macam Manusia menurut Al-Quran 
Dalam konteks Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas, Al-Quran menyiratkan bahwa kelak akan ada dua kelompok besar manusia yang akan bersyukur dan sangat menyesali apa yang pernah dilakukan dan apa yang tidak pernah dilakukan oleh masing-masingnya selama hidup di dunia. Mereka dalah:

  • Orang yang beramal shaleh dan tidak memikul dosa sosial. Ia akan menjadi orang yang beruntung.
Firman Allah SWT,
 
فَاَمَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ مِنَ الْمُفْلِحِيْنَ
“Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (QS Al Qashash: 67).

  • Orang yang tidak beramal shaleh dan tidak pula memikul dosa sosial. Ia yang disebut sebagai orang merugi.
Firman Allah SWT,
وَٱلْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." (QS. Al-Asr: 1-3)

Thursday, April 13, 2023

Taubat, Pengertian, Hakikat, Syarat dan Keutamaannya

DEFINISI TAUBAT [1]
Secara Bahasa, at-Taubah berasal dari kata تَوَبَ yang bermakna kembali. Dia bertaubat, artinya ia kembali dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari dosa)[2]. Taubat adalah kembali kepada Allâh dengan melepaskan hati dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa lalu melaksanakan semua hak Allâh Azza wa Jalla .

Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.

HAKIKAT TAUBAT
Hakikat taubat yaitu perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi, lalu mengarahkan hati kepada Allâh Azza wa Jalla pada sisa usianya serta menahan diri dari dosa. Melakukan amal shaleh dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari taubat.

Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada Rabbnya, inabah (kembali) kepada Allâh Azza wa Jalla dan konsisten menjalankan ketaatan kepada Allâh. Jadi, sekedar meninggalkan perbuatan dosa, namun tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allâh Azza wa Jalla , maka itu belum dianggap bertaubat.

Seseorang dianggap bertaubat jika ia kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dan melepaskan diri dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa. Ia tanamkan makna taubat dalam hatinya sebelum diucapkan lisannya, senantiasa mengingat apa yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla berupa keterangan terperinci tentang surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat, dan mengingat siksa neraka yang ancamkan bagi pendosa. Dia berusaha terus melakukan itu agar rasa takut dan optimismenya kepada Allâh semakin menguat dalam hatinya. Dengan demikian, ia berdoa senantiasa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh harap dan cemas agar Allâh Azza wa Jalla berkenan menerima taubatnya, menghapuskan dosa dan kesalahannya.

SYARAT-SYARAT TAUBAT
Dalam kitab Majâlis Syahri Ramadhân[3], setelah membawakan banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa bertaubat dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t mengatakan, “Taubat yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah taubat nasuha (yang tulus) yang mencakup lima syarat:

Pertama: Hendaknya taubat itu dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya terhadap Allâh, harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak menghendaki dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.

Kedua: Menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan yang sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat seperti ini adalah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan ilmu.

Ketiga: Segera berhenti dari perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung meninggalkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.

Taubat orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak meninggal perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkanini termasuk mempermainkan Allâh Azza wa Jalla . Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya dia semakin jauh. Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan dirinya bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima.

Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan cara mengambil harta orang lain atau menentang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak sah sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Apabila diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl.

Dan apabila tidak diketahui pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya.

Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan.

Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap sah, sekalipun ia masih terus-menerus melakukan dosa yang lain. Karena perbuatan manusia itu banyak macamnya, dan imannya pun bertingkat-tingkat. Namun orang yang bertaubat dari dosa tertentu itu tidak bisa dikatakan dia telah bertaubat secara mutlak. Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari seluruh dosa-dosa.

Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya.

Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya sementara, si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubatnya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Kelima: Taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis.
Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku untuk semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi.

Yang bersifat umum adalah terbitnya matahari dari arah barat. Jika matahari telah terbit dari arah barat, maka saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi.

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” (QS. An-an’âm[6]:158)

Maksud dari “sebagian ayat-ayat Rabbmu” dalam firman Allâh di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ تُقْبَلُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا, فَإِذَا طَلَعَتْ طُبِعَ عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ وَكَفَى النَّاسَ الْعَمَلُ
Senantiasa taubat diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah barat), maka jika dia terbit akan ditutup setiap hati (dari hidayah sehingga yang ada hanya) apa yang ada didalam hatinya (saja) dan cukuplah bagi manusia amalannya (sehingga dia tidak bisa beramal kebaikan lagi).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan sanadnya hasan.
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
"Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya maka Allâh akan menerima taubatnya." [HR. Muslim]

Adapun yang bersifat khusus adalah saat kematian mendatangi seseorang. Ketika kematian mendatangi seseorang, maka taubat sudah tidak berguna lagi baginya dan tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allâh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS. An-Nisa[4]: 18)

Dalam hadits dari Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ
"Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai tenggorokan."  [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Beliau berkata hadits hasan)

Apabila taubat itu telah terpenuhi seluruh syaratnya dan diterima, maka Allâh akan menghapus dosa-dosa yang ia telah bertaubat darinya, sekalipun jumlahnya sangat banyak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (QS. Az-Zumar[39]:53)

Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang bertaubat; yang kembali dan berserah diri kepada Rabbnya.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (An-Nisa[4]: 110)

Oleh karena itu, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita– hendaklah kita bersegera mengisi (sisa) umur kita dengan taubat nasuha kepada Rabb sebelum kematian menghampiri. Jika kematian sudah menghampiri, kita tidak akan bisa menghindarinya.-Selesai perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah .

KEUTAMAAN TAUBAT[4]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat dan berjanji akan menerima taubat mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ
"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya." (QS. Asy-Syura[42]: 25)

Dia membuka pintu harapan bagi hamba-Nya untuk meraih maaf dan ampunan-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan agar mereka bersandar pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, memohon agar kesalahan-kesalahan digugurkan, aibnya ditutupi dan agar taubat mereka diterima. Tidak ada yang bisa menolak mereka dari rahmat Allâh Azza wa Jalla dan pintu antara mereka dan Allâh pun tidaklah dikunci.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Az-Zumar [39]: 53)

Barangsiapa bertaubat dan meminta ampun, Allâh Azza wa Jalla akan menerima taubatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh?" [QS. Ali-Imran[3]: 135)

Allâh Azza wa Jalla menyanjung para hamba-Nya yang bertakwa yang senantiasa beristighfar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٦﴾ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
"(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allâh), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali-Imrân[3]:16-17)

Orang yang bertaubat dari dosa, adalah orang yang mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allâh Azza wa Jalla serta rahmat-Nya. Allâh Azza wa Jalla melimpahkan barakah-Nya kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya nikmat rezeki dan kemakmuran hidup di dunia. Serta Allâh Azza wa Jalla melimpahkan kepadanya pahala agung dan nikmat abadi di akhirat kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman mengenai pahala orang-orang yang bertaubat kepada-Nya:

أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
"Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal." [QS. Ali-Imran[3]: 136)

Sesungguhnya istighfar yang diiringi dengan menanggalkan dosa, menjadi sebab suburnya negeri dan keberkahan, keturunan yang banyak serta kemuliaan dan kekokohan menjadi semakin kokoh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
"Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai."  (QS. Nuh[71]: 10-12)

Dalam iman terdapat rahmat bagi para hamba dan dalam istighfar terdapat keberkahan dalam agama dan dunia. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَزِمَ الاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً ، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجاً ، وَرَزَقهُ مِنْ حَيثُ لاَ يَحْتَسِبُ
Barangsiapa yang senatiasa beristighfar, Allâh jadikan untuknya kelonggaran dari segala keresahan; jalan keluar dari segala kesempitan, dan Allâh beri dia rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”[5]

Pintu taubat selalu terbuka lebar-lebar. Dari pintu hembusan-hembusan rahmat, kelembutan dan kenikmatan keluar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا ﴿٦٠﴾ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ عِبَادَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّهُ كَانَ وَعْدُهُ مَأْتِيًّا
" ... kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun, yaitu syurga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allâh itu pasti akan ditepati." (QS. Maryam[19]: 60-61)

Jadi, taubat itu menumbuhkan iman dan amal shalih. Dengan demikian, taubat berarti telah merealisasikan makna taubat yang positif . Itu akan menyelamatkan mereka dari kerugian dan penyesalan besar, sehingga mereka tidak mendapati siksa di lembah jahannam (al-ghayy), seperti firman Allâh:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui siksa dan kerugian (atau lembah di jahannam), (QS. Maryam[19]: 59)

Mereka akan masuk surga dan tidak akan pernah terzalimi sedikitpun juga.
Sungguh, alangkah agung berkah dari istighfar dan taubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Dengan istighfar dan taubat, rahmatditurunkan, berkah pada rezeki dilimpahkan dan kebaikan pun melimpah ruah. Dengan sebab keduanya, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan harta dan anak keturunan, mengampuni dosa, memberikan kekuatan dan kelurusan serta petunjuk.

Ya Allâh, Wahai Dzat Yang memiliki segala kebutuhan orang-orang yang memohon, dan Yang mengetahui isi hati orang-orang yang diam tak mengutarakan permohonannya; berilah kepada kami taubat yang benar dari sisi-Mu! Berilah kepada kami inâbah yang sempurna, yang tidak terkontaminasi dengan keraguan, tidak pula ditimpa kekurangan ataupun penundaan!

[Sumber: Al-Manhaj | Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

_________
Footnote
[1] At-Taubatu Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim as-sadlan, hlm. 10
[2] Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, 1/357.
[3] Majâlis Syahri Ramadhân, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 333-342
[4] At-Taubatu Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim as-sadlan, hlm. 14-16
[5] Sunan Ibni Majah 2/1254 no 3819, Abu Daud 1518, Imam Ahmad dalam Al-Musnad 1/248; dalam sanadnya terdapat al-Hakam bin Mush’ab al-Qurasyi al-Makhzumi. Kredibilitasnya diperbincangkan para Ulama, akan tetapi Syaikh Ahmad Syakir menghukuminya shahih (2234), di mana Imam al-Bukhâri menyebutkan biografi al-Hakam bin Mush’ab dalam at-Târîkh al-Kabîr, dan ia tidak menyebut adanya cacat pada rawi ini. Jadi menurutnya ia seorang tsiqah.

Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers