Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Wednesday, December 28, 2011

Al-Quran, Tentang Kontroversi Masa Pembangunan Masjidil Aqsha


Tentang Masjidil Aqsa dan Masjid Pertama
Adalah kekeliruan besar ketika para pengritik Islam menyebut Al-Aqsha adalah sebuah masjid yang dikenal dengan nama Dome of the Rock atau Qubat As Sakhra Mosque. Padahal di Yerusalem terdapat dua masjid bersejarah dan tentunya ini adalah dua bangunan yang berbeda. Bahkan masjid Al Aqsha adalah masjid yang diklaim Yahudi ekstrimis dibangun di atas tanah yang dulunya adalah bekas Kuil Sulaiman yang dibangun pada masa pemerintahan Sulaiman as (Salomo, lihat 2 tawarikh 3,4,5 ). Meski tidaklah ada bukti yang mendukung klaim Yahudi ini akan tetapi hal ini jelas menunjukkan bahwa Al Aqsha bukanlah Dome of Rock itu sendiri. Di Wikipedia juga disebutkan bahwa Dome of the Rock adalah Masjid Umar dan bukan Al-Aqsa. Dari sini secara jelas sumber Encylopedia Britannica melakukan kesalahan analisis sejarah dengan menyebut bahwa Dome of Rock adalah Masjid Al Aqsha.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. (QS. Ali-Imran 3:96)

Adapun bangunan yang disebut Ka'bah ini adalah bangunan tua yang dibuat oleh para malaikat sebelum Adam turun ke bumi (yang kemudian diangkat ke langit) atau Adam yang membangun Ka'bah seperti yang dibangun para malaikat tadi. Dan ini sangat logis karena begitu Adam turun ke bumi beliau belum memiliki tempat perlindungan. Hanya seiring berjalannya waktu Ka'bah mengalami erosi dan tak terurus dan dibangun kembali oleh nabi Ibrahim dan anak sulungnya yaitu Ismail. Tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan kaitan masjidil Aqsha pada peristiwa Isra Mi'raj nabi dalam surat 17:1, dimana yang disebut masjidil Al Aqsha itu apakah sebuah masjid yang berada di Yerusalem ataukah sebuah tempat sujud (masjid) ditempat yang lain?

  • Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Isra' 17:1)

Referensi sejarah (setidaknya kita hanya mengacu dari Enyclopedia Britannica (1956) vol.13 hal.8 waktu artikel ini ditulis, yang masih perlu diperiksa lagi kebenarannya karena antara Encyclopedia Britannica dan Wikipedia tidak sama keterangannya) menunjukkan bahwa masjid Aqsha yang sekarang (yang berada di Yerusalem) dibangun antara tahun 637/638-687/688 M dan ini bersesuaian dengan isi sahih bukhari, Volume 4, Book 55, Number 585 yang menyatakan bahwa masjid kedua yang dibangun setelah masjidil Haram adalah masjid Aqsha dalam jarak waktu sekitar 40 tahun.

Sementara masjidil Haram "secara resmi dibangun" sejak ditaklukkannya/direbutnya Mekah oleh umat Islam (mulai tahun 630 M dan tidak dijelaskan sejak mulai tahun berapa sebuah bangunan masjid utuh didirikan disekeliling Ka'bah.

Kalau begitu apakah ada kesalahan atau ada pergantian oleh pihak-pihak tertentu dalam ayat 17:1?

Jawaban yang benar adalah bahwa saat Alqur’an menyebut kata masjidil Aqsha (wahyu ini diturunkan pada tahun sebelum 622 M, yaitu sebelum nabi SAW hijrah ke Medinah - atau periode Mekah) jelas menunjukkan bahwa peristiwa Isra' Mi'raj terjadi sebelum masjid Al Aqsha di Yerusalem dibangun. 

Dengan demikian kata Aqsha yang dimaksud di sini tidak menunjuk kepada masjid Aqsha di Yerusalem yang dibangun pada tahun 637/638-687/688 M.

Jika disimak dalam ayat 17:1 disebutkan bahwa perjalanan nabi adalah dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha, sementara 'diketahui' bahwa masjidil Haram dimasa itu hanya sebuah Ka'bah (dan belum seperti sebuah Masjid seperti yang tampak seperti saat ini di Mekah Al Mukaromah) karena perintah shalat baru turun tahun 621 M dan Ka'bah berada di bawah kekuasaan suku-suku Quraisy, sehingga kata "masjid" disini lebih bermakna tempat/daerah sujud (masjid berasal dari akar kata sajdah, yang artinya sujud). Tentang penggunaan kata masjid yang tidak lebih berarti tempat sujud juga dimengerti dari ayat lain dalam surah sesudah 17:1 yaitu surah 18:21 yaitu:

  • Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah.  Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah masjid (tempat sujud, pen. muslim) di atasnya." (QS. 18:16-17, 21 )

Adapun istilah masjidil aqsha sendiri secara terminologi (arabic) berarti tempat sujud yang jauh dan arti asal kata masjid itu sendiri bukan bangunan tapi tempat untuk bersujud (beribadah). Karena itu arti kata masjidil Aqsha sendiri dalam surah 17:1 tidak selalu berarti itu adalah masjid Al Aqsha di Yerusalem. Dan dalam ayat 17:1 diatas Allah juga tidak menyebut kata Ka'bah akan tetapi menggunakan kata masjidil Haram yang juga menunjukkan tempat sujud di sekitar Ka'bah. Dengan demikian sudah jelas bahwa masjidil Aqsha (yang wahyu ini diturunkan tahun sebelum 622 SM) bukan menunjuk ke masjid al Asha di Yerusalem (yang baru dibangun tahun 637/638-687/688 M).

jika demikian, tempat sujud yang mana yang dimaksud masjid Al Aqsha dalam surah 17:1 tersebut? 

Ada beberapa petunjuk seperti berikut:

1. Tempat sujud tersebut tepat berada di atas tanah masjid Al Aqsha yang baru akan dibangun secara resmi dan dalam bentuk yang permanen tahun 637/638-687/688 M dan kemungkinan Umar (jika memang benar Umar yang membangunnya??) pada masa kekhalifannya mengabadikan isi surah 18:1 tersebut dan hadis-hadis (perkataan) nabi SAW tentang 3 tempat yang paling baik untuk dikunjungi salah satunya Yerusalem, kepada nama masjidnya yaitu masjid Aqsha.

2. Masjid Al Aqsha sudah berdiri saat itu meski  bentuknya belum sempurna dan para analis sejarah kristen melakukan kekeliruan logika atau mengaburkan fakta. Sebab apa yang dimaksud oleh Alqu’ran dengan masjid "al Aqsa" sesungguhnya menunjuk ke posisi Baitul Maqdis (Bait Suci) yang terletak di Yerusalem yang pernah dikenal baik oleh umat Yahudi dan umat Nasrani saat itu dan di atas tanah bekas atau disekitar Bait Suci ini didirikanlah masjid (baik dalam bentuk bangunan atau sekedar tempat sujud) atau kemungkinan lain Bait Suci ini sendirilah yang dijadikan tempat shalat dan telah diperbaiki kembali, setelah sebelumnya mungkin dirusak oleh Chosroes II dari Persia (614 M) atau pasukan Romawi (i.e Titus) sebelumnya. Apalagi setelah dirusak, mungkin ada yang membangun kembali tempat ibadah diatas tanahnya (bekas Bait Suci). Karena itulah nabi dapat melakukan penggambaran secara tepat sewaktu ditanya oleh orang-orang Quraisy bentuk dari Bait Suci tersebut.

  • Markus 15:29-31

15:29 Orang-orang yang lewat di sana menghujat Dia, dan sambil menggelengkan kepala mereka berkata: "Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari,
15:30 turunlah dari salib itu dan selamatkan diri-Mu!"
15:31 Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli Taurat mengolok-olokkan Dia di antara mereka sendiri dan mereka berkata: "Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!

3. Tempat tersebut berada di suatu tempat tertentu yang tidak dijelaskan oleh Alqur’an.

4. Tempat sujud tersebut berada disuatu batas langit atau diatas langit tertentu di alam semesta dan tidak berada di bumi (tempat sujud yang jauh). Hal ini seperti ditunjukkan dalam Sahih Muslim, Book 001, Number 0328 diatas dimana secara visioner/virtual (karena nabi SAW lupa untuk mengingat-ingat tempat sujud tersebut), nabi ditunjukkan gambaran dimana para nabi seperti Musa, Ibrahim, dan Isa mengajak nabi SAW shalat diatasnya dan merupakan tempat yang diberkati disekelilingnya.

Dan menurut al Hadis [Sahih Muslim Book 001, Number 0309, Sahih Muslim Book 001, Number 0314, Sahih Bukhari Volume 5, Book 58, Number 227, Sahih Bukhari Volume 5, Book 58, Number 227] memang ada juga Ka'bah yang berada di langit yang digunakan oleh para malaikat untuk beribadah dengan satu menaranya yang tingginya 500 tahun yang mana menara tersebut dinamakan Baitul Ma'mur [Surah 52:4].

Wallahu'alambissawab.

Monday, November 14, 2011

Ayat-Ayat Mukhkamat Dan Mutasyaabihaat



بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)mutasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal."  (QS. Ali-Imran [3]:7)

PENJELASAN
Dalam ayat ini, disinggung soal ayat-ayat muhkamat dan mutasyabih. Ayat-ayat muhkamaat adalah ayat-ayat yang makna dan maksudnya cukup jelas seperti ayat "Qul Huwwallahu Ahad" yang artinya "Tuhan Maha Esa." Ayat ini adalah dasar al-Quran yang menjadi rujukan dan penjelas ayat-ayat lainnya.

Adapun ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang pengertiannya rumit dan banyak sekali mengandung variable pemaknaan seperti misalnya, "Yadullohu fauqa aydihim," yang artinya "tangan Allah berada di atas tangan mereka."

Bagi setiap muslim sudah sangat jelas bahwa Allah tidak memiliki tubuh dan tangan layaknya makhluk (karena apapun yang dapat dicapai dan dibayangkan oleh kemampuan panca indera manusia PASTI bukan Allah), sehingga pengertian tangan dalam ayat ini sepatutnya difahami sebagi kinayah daripada kekuasaaan.

Allah Subhanahuwata'ala telah menjelaskan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi dan realita-realita besar di alam ini untuk difahami oleh manusia secara umum dalam bingkai bahasa yang mudah menurut lafad-lafad al-Quran. Meski demikian, memahami sebagian realita seperti sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan bagi kebanyakan manusia adalah perkara yang sulit dan hanya para auliya, ulama, dan cendekiawan serta orang-orang terpilih saja yang dapat memahami lafad-lafad tersebut.

Namun dalam kenyataannya, ada saja orang-orang yang berusaha menyesatkan orang lain. Mereka meninggalkan ayat-ayat yang sudah jelas dan cenderung merujuk pada ayat-ayat semacam ini (mutasyabih) dengan tujuan memutarbalikkan kebenaran dan dengan jalan ini mereka dapat menggapai tujuannya. Mereka ingin menisbatkan pandangan dan pendapatnya atas ayat-ayat Allah dalam Al-Quran melalui tafsir bir ra'yu (menafsirkan sesukanya sendiri) lalu berkata:

"Apa yang kami katakan, juga didukung oleh Al-Quran," atau "Pendapat kami adalah pendapat Al-Quran," dan dengan jalan ini, mereka menisbatkan aqidah sesat mereka atas nama Al-Quran.

Padahal Allah Subhanahuwata'ala di bagian akhir ayat mengingatkan, hanya orang-orang yang mendalami ilmu (rasikhuna fil ilm) yaitu para Nabi dan Auliya saja yang mengetahui takwil (hakikat Al-Quran) - dan oleh karenanya, hanya mereka sajalah yang dapat menjelaskan takwil Al-Quran kepada orang lain.

Firman-firman Tuhan yang bersumber dari ilmu-Nya yang tidak terbatas memerlukan para penafsir yang lebih dari sekedar cukup menimba ilmu ketuhanan, sehingga atas ijin-Nya dapat memahami maksud-maksud Tuhan untuk kemudian menyampaikannya kepada orang lain.

PELAJARAN DARI AYAT INI
Sebagian ayat Al-Quran memiliki makna dan pengertian yang sangat tinggi. Sehingga hanya para orang-orang terpilih - yang mendapatkan hidayah untuk memahami segala maksud Tuhan - saja yang dapat memahaminya. Karenanya, apa yang tidak kita fahami janganlah sampai kita ingkari, apalagi kita selewengkan pula.

Sebagian orang menyebarluaskan aqidah-aqidah yang sesat atas nama Islam dan Al-Quran. Sudah seharusnyalah kita berhati-hati dan teliti dalam setiap pencarian hakikat ajaran Islam, dan sebaik-baik jalan adalah seperti kata pepatah; 'mengambil air dari sumbernya' yaitu dari penjelasan Nabi, anggota keluarganya, dan dari penjelasan para sahabatnya.

Kesalahan dalam memahami aqidah Islam dapat menimbulkan fitnah. Fitnah ini tidak hanya terbatas pada potensi membangkitkan pertikaian di antara sesama umat, akan tetapi dapat pula menjadi fitnah besar, yaitu penyelewengan aqidah dan hakikat agama melalui cara-cara penafsiran bir ra'yu atas ayat-ayat Al-Quran.
Oleh karena itu, Rasulullah (saw) bersabda: 
"Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih darinya, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah; maka berhati-hatilah kalian!"

Wallahualambissawab.

Tuesday, November 1, 2011

Tentang Nasikh Dan Mansukh


Al-Nasikh Wal-Mansukh adalah ilmu ushul fiqh yang tidak terlalu sering terdengar. Nasikh Mansukh salah satu obyek kajian yang sangat penting dalam ilmu-ilmu Al Quran, tidak boleh diabaikan bagi orang yang menekuni spesialisasi dalam bidang tafsir Al Quran. Begitu pula bagi pemerhati kajian-kanjian yurisprudensi islam, merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan dalam memicu perbedaan ulama tafsir dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Quran.

Memang ada pertentangan dari beberapa pemikir, tapi untuk ini sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Dr. Quraish shihab dengan baik dan cukup jelas.

Seandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82).

Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.

Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.

Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai –memiliki gejala kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.

Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.

Arti Naskh
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup:

(a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
(b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian;
(c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar;
(d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.

Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.

Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).

Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).

Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya.”

Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”

Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.

Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan Al-Maraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.

Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.

Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;

Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Menurut mereka, “ayat” yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi.

Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:

Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.

Di sisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu:

(a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan
(b) kesia-siaan dan permainan belaka.

Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.

Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.

Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.

Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.

Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila,
(a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan
(b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.

Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.

Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.

Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.

Muhammad ‘Abduh –walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.

Apa yang dikemukakan oleh ‘Abduh di atas lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata “Ruh Al-Quds” yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta’awwudz (a’udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang “pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)”. Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).

Kembali kepada ‘Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).

Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.

Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.

Pengarang buku Manahil Al-’Irfan mengemukakan bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak.

Menurutnya, Al-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak –walaupun secara teoretis– dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.

Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.

Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: “Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula.”162 Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.

Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah “apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?”

Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat –kalau hal tersebut dinamai naskh– bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.

Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat “kewajiban berwasiat” (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.

Kata-kata “sesungguhnya Allah telah memberikan” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.

Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah “pergantian” seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras).

Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.

Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, “apabila Kami mengganti suatu ayat …”, kata “kami” di sini menurut hemat saya, sebagaimana halnya secara umum kata “Kami” yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.

[Dari Panda - Menjawab Fitnah FFI]

Saturday, October 29, 2011

Sejarah Penulisan dan Perkembangan Al-Quran


PENDAHULUAN
Setelah panitia penulisan mushaf al-Qur’an yang ditunjuk dan diawasi langsung oleh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan r.a. selesai menunaikan tugasnya, beliau kemudian melakukan beberapa langkah penting sebelum kemudian mendistribusikan mushaf-mushaf itu ke beberapa wilayah Islam. Langkah-langkah penting itu adalah:

  1. Membacakan naskah final tersebut di hadapan para sahabat. Ini dimaksudkan sebagai langkah verifikasi, terutama dengan suhuf yang dipegang oleh Hafshah binti ‘Umar r.a.
  2. Membakar seluruh manuskrip al-Qur’an lain. Sebab dengan selesainya mushaf resmi tersebut, keberadaan pecahan-pecahan tulisan al-Qur’an dianggap tidak diperlukan lagi. Dan itu sama sekali tidak mengundang keberatan para sahabat. Ali bin Abi Thalib r.a. menggambarkan peristiwa itu dengan mengatakan; 
“Demi Allah, dia (‘Utsman) tidak melakukan apa yang ia lakukan terhadap mushaf-mushaf itu kecuali (ia melakukannya) di hadapan kami semua.”

Setelah melakukan dua langkah tersebut, ‘Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan,

“Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.’”

Sementara al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.

Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan ­al-Mushaf al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.

Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.

Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan al-Qur’an –yang juga berarti pewarisan al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf belaka.

Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai al-mushaf al-imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf al-Qur’an. Dalam kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali tidak berarti merubah hakikat al-Qur’an sebagai Kalamullah. Perkembangan-perkembangan itulah yang akan dikaji secara singkat dalam makalah ini. Dan semoga bermanfaat!

PERKEMBANGAN PENULISAN MUSHAF PASCA UTSMAN

Pemberian Harakat (Nuqath al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) –yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.

Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah-wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –muslim ataupun non muslim-. Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin Arab sendiri.

Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.

Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis surat kepada Abu al-Aswad al-Du’aly

“Sesungguhnya orang-orang non-Arab itu telah semakin banyak dan telah merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an dengan benar.”

Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di jalan yang biasa dilalui Abu al-Aswad, lalu berpesan: “Jika Abu al-Aswad lewat di jalan ini, bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah lahn terhadapnya!” Ketika Abu al-Aswad lewat, orang inipun membaca firman Allah yang berbunyi:

أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.” (al-Taubah: 3)

Tapi ia mengganti bacaan “wa rasuluhu” menjadi “wa rasulihi”. Bacaan itu didengarkan oleh Abu al-Aswad, dan itu membuatnya terpukul. “Maha mulia Allah! Tidak mungkin Ia berlepas diri dari Rasul-Nya!” ujarnya. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu. Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.

Murid-murid Abu al-Aswad kemudian mengembangkan beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang menulisnya dengan bentuk lingkaran utuh, dan ada pula yang menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun (yang menyerupai bentuk kantong air) dan tasydid (yang menyerupai bentuk busur) yang diletakkan di bagian atas huruf.

Dan seperti yang disimpulkan oleh al-A’zhamy, nampaknya setiap wilayah kemudian mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Sistem titik yang digunakan penduduk Mekah –misalnya- berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu pula sistem penduduk Madinah berbeda dengan yang digunakan oleh penduduk Bashrah. Dalam hal ini, Bashrah lebih berkembang, hingga kemudian penduduk Madinah mengadopsi sistem mereka. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah saw.

Satu hal lagi yang perlu disebutkan di sini, bahwa beberapa peneliti –seperti Guidi, Israil Wilfinson, dan DR. ‘Izzat Hassan- menyimpulkan bahwa tanda harakat ini sebenarnya dipinjam oleh Bahasa Arab dari Bahasa Syriak. Tetapi –mengutip al-A’zhamy- Yusuf Dawud Iqlaimis, Biskop Damaskus, menyatakan:

Ini jelas yakin tanpa diragukan bahwa pada zaman Yakub dari Raha, yang meninggal di awal abad kedelapan masehi, di sana tidak ada metode tanda diakritikal dalam bahasa Syriak, tidak dalam huruf hidup bahasa Yunani maupun sistem tanda titiknya.

Yakub (Yacob?) Raha sendiri –menurut B.Davidson - menemukan tanda bacaan pertama (untuk Bahasa Syriak) pada abad ketujuh, sedangkan Theophilus menemukan huruf hidup Bahasa Yunani pada abad ke delapan. Bila dihitung, akhir abad ketujuh masehi itu sama dengan tahun 81 H, dan akhir abad kedelapan itu sama dengan tahun 184 H. Sementara Abu al-Aswad al-Du’aly –penemu tanda diakritikal Bahasa Arab- meninggal dunia pada tahun 69 H (688 M). Ditambah lagi, -seperti yang dicontohkan oleh B.Davidson- sistem diakritikal Syriak begitu mirip tanda yang digunakan oleh al-Du’aly.

Fakta lain adalah bahwa tata bahasa Syriak dapat dikatakan menemukan identitasnya melalui upaya Hunain bin Ishaq. Hunain sendiri dilahirkan pada tahun 194 H (810 M), sementara Sibawaih, tokoh besar tata Bahasa Arab penulis al-Kitab (sebuah referensi puncak dalam Nahwu) meninggal pada tahun 180 H (796 M). Maka tidak mungkin Hunain dapat disebut memberikan pengaruh pada tata Bahasa Arab. Apalagi sejarah mencatat bahwa Hunain pernah belajar Bahasa Arab di Bashrah. Tepatnya pada Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w. 170 H), seorang tokoh ensiklopedi Bahasa Arab terkemuka. Jadi pertanyaannya: siapa yang meminjam pada siapa?

Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ب (ba), ت (ta), ث (tsa). Pada penulisan mushaf ‘Utsmani pertama, huruf-huruf ini ditulis tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah –seperti telah disebutkan- untuk mengakomodir ragam qira’at yang ada. Tapi seiring dengan meningkatnya kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non-Arab, kesalahan pembacaan jenis huruf-huruf tersebut (al-‘ujmah) pun merebak. Ini kemudian mendorong penggunaan tanda ini.

Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim[19] dan Yahya bin Ya’ma. Ini diawali ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafy, gubernur Irak waktu itu (75-95 H), untuk memberikan solusi terhadap ‘wabah’ al-‘ujmah di tengah masyarakat. Al-Hajjaj pun memilih Nahsr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar untuk misi ini, sebab keduanya adalah yang paling ahli dalam bahasa dan qira’at.  

Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam.  Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf. Penerapannya adalah sebagai berikut:

a. untuk membedakan antara د dal dan ذ dzal, ر ra’ dan ز zay, ص shad dan ض dhad, ط tha’ dan ظ zha’, serta ع ‘ain dan غ ghain, maka huruf-huruf pertama dari setiap pasangan itu diabaikan tanpa titik (al-ihmal), sedangkan huruf-huruf yang kedua diberikan satu titik di atasnya (al-i’jam).

b. untuk pasangan س sin dan ش syin, huruf pertama diabaikan tanpa titik satupun, sedangkan huruf kedua (syin) diberikan tiga titik. Ini disebabkan karena huruf ini memiliki tiga ‘gigi’, dan pemberian satu titik saja diatasnya akan menyebabkan ia sama dengan huruf nun. Pertimbangan yang sama juga menyebabkan pemberian titik berbeda pada huruf-huruf ب ba’, ت ta, ث tsa, ن nun, dan ي ya’.

c. untuk rangkaian huruf ج jim, ح ha’, dan خ kha’, huruf pertama dan ketiga diberi titik, sedangkan yang kedua diabaikan.

d. sedangkan pasangan ف fa’ dan ق qaf, seharusnya jika mengikuti aturan sebelumnya, maka yang pertama diabaikan dan yang kedua diberikan satu titik diatasnya. Hanya saja kaum muslimin di wilayah Timur Islam lebih cenderung memberi satu titik atas untuk fa’ dan dua titik atas untuk qaf. Berbeda dengan kaum muslimin yang berada di wilayah Barat Islam (Maghrib), mereka memberikan satu titik bawah untuk fa’, dan satu titik atas untuk qaf.

Nuqath al-I’jam atau tanda titik ini pada mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna yang sama dengan huruf, agar tidak sama dan dapat dibedakan dengan tanda harakat (nuqath al-i’rab) yang umumnya berwarna merah. Dan tradisi ini terus berlangsung hingga akhir kekuasaan Khilafah Umawiyah dan berdirinya Khilafah ‘Abbasiyah pada tahun 132 H. Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, dan tinta merah untuk harakat. di Andalusia, mereka menggunakan empat warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau untuk hamzah al-washl. Bahkan ada sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.

Akhirnya, naskah-naskah mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti telah dijelaskan, baik nuqath al-i’rab maupun nuqath al-i’jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad al-Farahidy (w.170 H). Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’ kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda lain.

Al-Daly mengatakan:
“Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam (tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama.” 

SEJARAH ULUMUL AL-QUR'AN

Sebagaimana kita ketahui bersama,bahwasanya Alquran alkarim adalah undang-undang dasar Allh SWT yang kekal dan abadi ia datang ke dunia ini untuk membawa umat manusia dari lembah-lembah kegelapan yang penuh dengan kebodohan dan kemusydrikan menuju kepada kondisi cahaya yang terang benderang cahaya yang diliputi dengan ketauhidan ilmu pengetahuan,kemerdekaan dan peradaban (Moh.Sayyid Thantawi,2001:9)

Sebelum kita membahas tentang perkembangan ulumul Qur`an, perlu diketahui dulu  apa itu Ulumul Qur`an? ulumul Qur`an terdiri dari dua suku kata,yaitu”ulum” dan “Quran”.

Kata” ulum” merupakan bentuk jamak dari  kata “ilmu”.Ilmu yang dimaksud disini ialah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan.Adapun Alquran,Sebagaimana didefinisikan oleh ulama Fiqh,dan ulama bahasa adalah kalam Allah yang lafaznya mengandung mukjizat,membacanya mempunyai nilai ibadah,diturunkan secara mutawatir,dan ditulis pada mushaf,mulai dari  awal surat Alfatihah (1) sampai akhir surat An-nas (114).Dengan demikian,secara bahasa ulumul Quran  adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alquran.

Adapun menurut definisi Ulumul Quran secara istilah ialah ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul( sebab-sebab turunnya Alquran),kodifikasi dan penulisan Alquran.(Rosihon Anwar, 2000:11-12)

PERKEMBANGAN ULUMUL QUR`AN

(a). Perkembangan Ulumul Qur`an pada abad I H (sebelum fase kodifikasi)
Perintis-perintis Ulumul Quran pada abad ini adalah sebagai berikut:

  1. Dari kalangan sahabat: Khulafaurrasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai  bin Ka’ab, Abu Musa Al-asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
  2. Dari kalangan tabi’in: Mujahid, ’Atha’bin Yasar, ’Ikrimah, Qatadah, Al-hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Zaid bin Aslam.
(b). Perkembangan Ulumul Qur`an abad  II H
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu agama yang dimulai sejak abad II H, para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir merupakan induk Ulumul Qur`an. diantara ulama abad II H. yang menyusun tafsir ialah:

  1. Syu’bah al-hajjaj (wafat 160 H)
  2. Sufyan bin ‘uyainah (wafat 198 H)
  3. Ibn Jarir at-thabari (wafat 310 H). yang mengarang kitab tafsir ath-thabari,yang bernama:Jaamiul Bayan Fi Tafsiril Quran.
Tafsir Ath-thabari ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dengan memakai metode muqaran (kompertif), sebab beliau adalah orang pertama yang menafsirkan ayat-ayat alquran dengan mengemukakan pendapat-pendapat para ulama,dan membandingkan pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain.beliau juga menerangkan segi I’rob dan istimbat hukumnya.(.Abdul Djalal ,1997:31)

(c). Perkembangan Ulumul Qur`an abad III H.
Pada abad III H. selain tafsir dan ilmu tafsir ,para ulama mulai menyusun beberapa ilmu alquran (Ulumul Qur`an),diantaranya:

  1. Ali bin Al Madani (wafat 234 H ),gurunya Imam Al-Bukhori ,yang menyusun ilmu Asbabun Nuzul
  2. Abu Ubaid Al Qasimi bin Salam (wafat 224 H) yang menyusun ilmu Nasikh al Mansukh, Ilmu Qiraat dan Fadha’il alquran
  3. Muhammad bin Ayyub adh-dhurraits (wafat 295 H) yang menyusun ilmu Makki wa Al-madani.
(d). Perkembangan Ulumul Quran abad IV H
Pada abad IV H.mulai disusun Ilmu Gharib Al-quran dan beberapa kitab ulumul quran dengan memakai istilah ulumul quran .diantara ulama yang menyusun ilmu-ilmu itu adalah:
  1. Abu Bakar As-sijistani (wafat 330 H).yang menyusun kitab gharib al-quran
  2. Abu Baker Muhammad bin al-qasim al-anbari (wafat 328 H)yang menyusun kitab ‘Ajaib ‘Ulumul Al-quran
(e). Perkembangan ulumul qur`an abad V H
Pada abad V H,mulai disusun ilmu I’rab al-quran dalam satu kitab.namun demikian,penulisan kitab-kitab ulumul quran masih terus dilakaukan oleh ulama masa kini,diantara ulama yang berjasa dalam perkembangan ulumul quran pada abad ini adalah:

  1. ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-hufi(wafat 430 H).selain mempelopori penyusunan I’rab Al-quran,ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi’Ulum Al-quran.
  2. Abu ‘amr ad-dani (wafat 444 H) yang menyusun kitab At-Taisir fi Qiraat As-Sab’i dan kitab Al-Muhkam fi An-Naqih.
(f). Perkembangan ulumul qur`an abad VI H
Pada abad VI H,disamping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Quran,juga terdpat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamat Al-quran,diantaranya adalah:

  1. Abu al-qasim bin Abdurrahman As-Suhaili (wafat 581 H) yang menyusun kitab Mubhamat Alquran.kitab ini menjelaskan maksud kata-kata alquran yang “tidak jelas”,apa atau siapa yang dimaksud.
  2. Ibn Aljauzi(wafat 597 H) yang menyusun kitab Funun Al-Afnan fi ‘Aja’ib  Alquran,dan kitab Al-Mujtab fi ‘Ulum Tata’allaq Bil quran.
(g). Perkembangan ulumul qur`an abad VII H
Pada abad VII H.,ilmu-ilmu alquran terus berkembang dengan mulai tersusunnya ilmu majaz alquran dan ilmu qiraat. Diantara ulama abadVII menaruh perhatian besar terhadap ilmu-ilmu ini adalah:

  1. Alamuddin As-Sakhawi (wafat 643 H).kitabnya mengenai ilmu qiraat dinamakan Hidayah Al Murtab fi Mutasyabih
  2. Ibn Abd As-Salam (wafat 660mH)menulis kitab Majaz Alquran.
(h). Perkembangan ulumul qur`an pada abad VIII H
Pada abad ini muncullah beberpa ulama yang menyusun ilmu baru tentang alquran.diantaranya:

  1. Ibn Abi Alisba menyusun kitab Ilmu Badi’I Alquran
  2. Najmudin Ath-Thufi.ia menyusun ilmu Hujaj Alquran atau Ilmu Jadal Alquran
(i). Perkembangan ulumul qur`an pada abad IX dan X H
Pada abad ini makin banyak karya para ulama tentang Ulumul Quran.dan pada masa inilah perkembangan ulumul quran mencapai kesempurnaannya,beberapa ulama yang menyusun ulumul quran ialah:

  1. Jalaluddin Al-Buqini,yang menyusun kitab Mawaqi’al-ulum min Mawaqi’an-nujum.
  2. Jalaluddin’Abdurrahman bin Kamaluddin As-Suyuthi,yang menyusun kitab At-Tahbir fi ‘Ulum At-Tafsir .Kitab ini merupakan kitab ulumul quran yang paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu alquran
(j). Perkembangan ulumul qur`an abad XIV H
Setelah memasuki abad XIV H,perhatian ulama bangkit kembali dalam penyusunan kitab-kitab yang membahas al-quran dari berbagai segi.

Ada sedikit pengembangan tema pembahasan yang dihasilkan para ulma abad ini dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya,diantaranya berupa penerjemahan al-quran ke dalam bahasa-bahasa ajam.karya ulumul quran yang lahir pada abad ini, diantaranya adalah:

  1. Syeikh Thahir Al-Jazairi,yang menyusun kitab At-Tibyan fi ‘Ulumulquran
  2. Jamaluddin Al-Qasimy,yang menyusun kitab Mahasin At-Ta’wil
  3. Ustad Muhammad al-Mubarak yang menyusun kitab Al-Manhaj Al-Khalid.(Rosihon Anwar, 2000:22-28)
SEJARAH PENULISAN ALQUR`AN

Jamia’tul quran (pengumpulan al-quran) merupakan suatu istilah yang seringkali dipakai untuk menjelaskan metode pemeliharaan Al-quran pada masa Rasulullah SAW.jamiatul quran terkadang dimaksudkan sebagai “pemeliharaan dan penjagaan alam dada(hafalan) dan terkadang dimaksudkan sebagai “penulis keseluruhannya ,huruf demi huruf,kata demi kata ,ayat demi ayat dan surat demi surat”.

Yang kedua ini medianya adalah shahifah-shahifah dan lembaran lainnya.sedang yang pertama medianya adalah hati dan dada.selanjutnya penghimpunan al-quran dalam pengertian “penulisannya” pada masa awal berlangsung tiga kali,pertama,pada masa Nabi SAW.kedua,pada masa kekhalifahan Abu Bakar.ketiga,pada masa kekhalifahan utsman.
( Muhammad Chirzin,1998:53 )

a. Pada masa Nabi SAW
Kerinduan nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan tetapi dalam bentuk tulisan.Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu yaitu,Abu Baker,Umar,Usman,’Ali,Abban bin Sa’id,Khalid bin Walid,dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.Proses penulisan Alquran pada masa Nabi sungguh sangat sederhana.mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontran kayu,pelepah kurma,tulang belulang,dan batu.

Kegiatan tulis menulis alquran pada masa nabi disamping dilakukan oleh para sekretaris nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. kegiatan ini didasarkan pada hadist Nabi, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:

لا تكتبو عني شياء ال القران ومن كتب عني سوى القران فليمحه (رواه مسلم )
Artinya :”Janganlah kamu menulis sesuatu yang bersal dariku, kecuali Quran. barang siapa telah menulis dariku selain alquran, hendaklah ia menghapusnya.” (HR.Muslim)

b. Pada masa Khulafaurrasyidin
1) Pada masa Abu Bakar Ash-Siddiq
Pada dasarnya seluruh alquran sudah ditulis pada masa nabi.hanya saja,surat dan ayatnya dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf ialah Abu Bakar Ash-siddiq
’Abdillah Al-muhasibi berkata didalam kitabnya,Fahm As-Sunnan,penulisan Al-quran bukanlah sesuatu yang baru sebab Rasulullah pernah memerintahkannya.hanya saja,saat itu tulisan Al-quran masih terpencar-pencar pada pelepah kurma,batu halus,kulit,tulang unta,dan bantalan dari kayu,Abu Bakarlah yang berinisiatif menghimpun alquran.(Rosihon Anwar,2000:40)

c. Pada masa Usman bin Affan
Khalifah bermusyawarah dengan para sahabat kemudian menugaskan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Alquran,bersama Zaid ikut bergabung pula tiga anggota keluarga Mekkah terpandang, yaitu’Abdullah bin Zubair,Sa’id bin Al’Ash dan Abd Ar-rahman bin Al-Harits. ‘Usman memutuskan agar mushaf yang beredar memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • terbukti mutawatir,tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad
  • mengabaikan ayat yang bacaannya di nasakh
  • kronologi surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda dengan mushaf Abu Bakar
  • sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Alquran ketika diturunkan
  • semua yang bukan termasuk Alquran dihilangkan,misalnya yang ditulis di kushaf sebagian sahabat dan pencatuman makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf.
KESIMPULAN
Ulumul Quran adalah ilmu yang mencakup pembahasan tentang Asbabun Nuzul(sebab-sebab turunnya Alquran), kodifikasi serta penulisan Alquran.

Perkembangan Ulumul Quran berlangsung sampai abad ke-14 H
  • Pada abad I H U;lumul Quran baru akan berkembang
  • Pada abad II H para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir sebab tafsir merupakan induk Ulumul Quran
  • Pada abad III H para ulama mulai menyusun beberapa ilmu Alquran (Ulumul Qur`an)
  • pada abad IV H mulai disusun Ilmu Gharib Alquran dan beberapan kitab Ulumul Quran
  • pada abad V H mulai disusun Ilmu I’rab Alquran dalam satu kitab
  • pada abad VI H  ulama  mulai menyusun Ilmu Mubhamat Alquran
  • pada abad VII H ilmu-ilmu Alquran terus berkembang dan tersusun Ilmu Majaz Alquran dan Qira’at
  • VII H ulama terus menyusun ilmu-ilmu baru tentang Ulumul Quran
  • pada abad IX dan X H Ulumul Quran sudah mencapai kesempurnaan
  • pada abad XIV para ulama terus menyusun kitab-kitab yang membahas Alquran dari berbagai segi dan mulai saat itulah Ulumul Quran makin berkembang
Penulisan Alquran berlangsung tiga kali

  1. Pada masa Nabi Muhammad saw
  2. Pada masa khalifah Abu Bakar As-shiddiq
  3. Pada masa khalifah Usman bin Affan.


[Sumber: Wahdah Islamiyah]


DAFTAR PUSTAKA
  • Anwar, Rosihon, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia,2000
  • Chirzin, Muhammad, Ulumul Quran, Dana Bakti Prima Yosa,1998
  • Djalal, Abdul, Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu,1997
  • Sayyid Thantawi, Muhammad, Alquran dan Lailatul Qadar, Pustaka Azam,2001


Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers