Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Friday, July 23, 2010

Rabiah Al-Adawiyah Al-Bashriyah





Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, "Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?" "Tidak!" jawab Rabiah dengan suara tegas.

Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, "Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?" "Pasti!" jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, "Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata "akan” atau "andaikata" sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu."

Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, "Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?"

Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat - itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. - bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. "Ya Allah!" seru Ismail, "Anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya." Lalu Ismail menggumam, "Amin." Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, "Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya."

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, "Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu."

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isya, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, "Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu."

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, "Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu."

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, "Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu."

Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: "Apakah engkau akan menikah kelak?" Rabiah mengelak, "Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah." "Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?" "Karena telah kuberikan seluruh hidupku," ujar Rabiah. "Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?" Dengan tulus Rabiah menjawab, "Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan."



Simak kisah hidupnya di sini:
 

Related Posts:

  • Husain Ibnu Mansyur Al-Hallaj HUSAIN IBN MANSYUR AL-HALLAJ  MARTIR PERTAMA DALAM SUFI? Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortod… Read More
  • Fatimah Az Zahra ra Alam Firdaus Rasulullah Shalallahu' Alaihi Wassalam pernah bersabda kepada Sayyidah Fatimah as,: "Putriku! Ayahmu dan suamimu bukanlah orang yang miskin. Allah SWT telah memberikan kepadaku semua tanah yang mengandung emas dan perak, tetapi aku memilih sesuatu yang abadi di sisi A… Read More
  • Pengalaman Belajar Syaikh Al-Baghdadi Pada suatu hari, Syaikh Junayd al-Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Dan para murid-murid pun ikut mengiringinya. Shaykh bertanya kepada murid-muridnya, "bagaimana kabar Bahlul yang gila itu?" Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari d… Read More
  • Teladan dari seorang Imam Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat. Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membu… Read More
  • Ittihad Al-Hulul dan Wahdatul Wujud - Hubungan Tuhan Dan Hamba 1. Pengertian IttihadIttihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihad (dari kata wahid) yang berarti bersatu atau kebersatuan. Paham ini dicetus oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 260 H). menurutnya ittihad secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau persatuan… Read More
  • Rabiah Al-Adawiyah Al-Bashriyah Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, "Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?" "Tidak!" jawab Rabiah dengan suara tegas.Pada ka… Read More
  • Kejujuran seorang Imam Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya, di pusat kota kufah. Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka, dengan maksud agar kalau ada yang ak… Read More
  • Hormat, Cinta, dan rendah hati Ahmad al-Badawi adalah seorang wali yang sangat terkenal di semua kalangan Sufi. Beliau menyatakan "Aku tidak membutuhkan seorang pemandu. Pemanduku adalah al-Qur',an sebagaimana yang dikatakan orang Wahhabi sekarang, dan cara hidup Rasulullah SAW. Beliau mencoba mendekati Tuhannya sebagai… Read More

0 Comments:

Post a Comment

Folder Arsip

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

  • Empat perilaku yang dilaknat Allah
  • 001. Sunnah dan Bid'ah
  • Jangan sia-siakan aktu yang diberikan oleh Allah
  • Shuhaib Ar-Rumy
  • Kitab Bulughul Maram
  • 008.2. Kitab Pernikahan
  • Menjadi Isteri Shalihah
  • Shaikh Sayyid Sabiq
  • Adakah Bid'ah Hasanah?
  • 018. Jangan mendzalmi sesama
  • 006. Sunnah dan Bid'ah
  • Apa yang kita ketahui tentag dosa?
  • Bahaya Riya
  • Intisari Rukun Iman
  • 004. Jihad di jalan Allah

Followers