Islam, Rahmat Bagi Alam Semesta

Saturday, April 15, 2023

Hablu Min Allah dan Hablu Min An-Nas


PENGERTIAN HABLU MIN ALLAH

Sebagai umat Islam, setiap Muslim harus menjaga dan memelihara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas. Tapi apakah sebenarnya maksud dari kedua sebutan tsb? Kedua sebutan ini adalah bagian sangat penting dalam ajaran Islam yang harus dipahami oleh setiap Muslim agar dalam merealisasikan tata-laksananya senantiasa selalu dalam keadaan berimbang.

Hablu min Allah adalah hubungan vertikal atara manusia dengan Allah, sedangkan Hablu min An-Nas adalah hubungan horizontal atara sesama manusia. Pemahaman akan kedua hal ini tidak cukup hanya sekedar untuk dimengerti saja, namun harus pula diaplikasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari secara sadar, ikhlas, dan bertanggunghawab. 

Kendati pada hakikatnya Hablu min An-Nas dan Hablu min Allah mempunyai tujuan vertikal, yaitu memperoleh ridha Allah SWT, namun sangat peting  untuk dimengerti bahwa Allah tidak akan memuliakan orang yang hanya memelihara hubungan baiknya dengan Allah saja, namun hubungannya dengan sesama manusia buruk! Allah juga tidak akan ridha kepada orang yang tidak menjaga hubungannya dengan Allah, meskipun hubungannya dengan sesama manusia sangat baik!

Ibadah seorang Muslim dipastikan tidak sempurna jika tidak memelihara keseimbangan antara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas. Cenderung akan sia-sia amal seseorang yang khusuk beribadah siang dan malam namun perilaku dan lisannya masih digunakan untuk berbuat dosa. Karena demikian pentingnya menjaga kedua hubungan vertikal dan horizontal ini, maka Allah SWT secara tegas menyebutkan konsekuensi yang kelak akan diterima oleh siapa pun yang dengan sengaja mengabaikannya.

ٱلْمَسْكَنَةُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Q.S. Ali ‘Imran: 122).

Dalam ayat ini, Hablu min Allah diartikan sebagai perjanjian antara Allah dengan setiap Muslim sebagai memeluk Islam, atau beriman kepada syari'at Islam, yang berjanji tunduk dan patuh melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam.

Sedangkan dari perspektif sejarah, Hablu min Ab-Nas pada awalnya adalah aktualisasi perjanjian antara kaum Mukminin dengan kaum Kafir Dzimmi berupa jaminan keamanan bagi mereka melalui pembayaran Jizyah kepada penyelenggara pemerintahan Islam di mana mereka menetap dan hidup sebagai warga negara. Dengan perjanjian ini maka hak-hak dasar mereka sepenuhnya dilindungi oleh penyelenggara pemerintahan, sama baiknya dengan perlindungan kepada warga negara Muslim yang membayar zakat. 

Hablu min Allah
Hablu min Allah adalah suatu bentuk etika yang mengatur perilaku dan tindakan setiap Muslim dalam menjaga hubungannya dengan Allah. Dalam hal ini, khususnya melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Umat Islam harus mengupayakan posisinya di tengah-tengah kedua bentuk hubungan ini secara  seimbang. Kesalehan individu terhadap Allah harus sama baiknya dengan kesalehannya terhadap  aspek-aspek sosial. Jadi, kendati boleh jadi ibadah seorang Muslim kepada Allah SWT dianggap baik, namun jika hubungannya dengan sesama makhluk sosial buruk, maka hampir dapat dipastikan ia akan menjadi “orang-orang yang bangkrut” di akhirat nanti.

PERILAKU HABLU MIN ALLAH
Contoh perilaku yang mencerminkan Hablu min Allah menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut:

Menjalankan Perintah dan menjauhi Larangan Allah SWT
Umat Islam harus bertaqwa kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sikap ini disebut bertaqwa kepada Allah.

Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan selalu mendapatkan petunjuk serta hidayah dari-Nya. Sedangkan orang-orang zalim, tidak akan mendapatkan apa pun selain kerugian pada akhirnya.

Taqwa merupakan pembatas bagi umat Islam yang melindungi dirinya dari kemurkaan Allah SWT. Bagi setiap muslim yang taat melaksanakan perintah-Nya, Allah pasti akan mencurahkan berlipat-ganda ganjaran kebaikan. Sedangkan sebaliknya, jika melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, maka dipastikan pula akan mendapatkan balasannya yang setimpal. Dengan kesadaran akan taqwa, seorang hamba akan selalu merasa cukup atas setiap rezeki yang diperolehnya.

Ikhlas dalam menerima segala Ketentuan Allah SWT
Sebagai umat Islam yang bertaqwa, seorang Muslim harus ikhlas menerima ketentuan dan takdir serta pembagian rezeki dari Allah SWT. Segala yang telah ditetapkan oleh allah SWT merupakan takdir, dan takdir itu sendiri, terlepas apakah itu baik atau buruk (dalam pandangan manusia), sesungguhnya merupakan hal terbaik untuknya.

Allah berfirman,

 وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
" ... boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Meninggalkan kehendak nafsunya untuk mencari keridhaan Allah SWT
Setiap manusia memiliki hawa nafsu, tetapi sebagai umat Islam yang bertaqwa, seorang Muslim harus berusaha mengendalikan dan menekan hawa nafsunya sendiri berdasarkan batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh syariat Islam. Allah SWT juga tidak menyukai orang-orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dengan cara meninggalkan sepenuhnya kesenangan dunia yang justru disediakan oleh Allah untuk setiap makhluk-Nya.   

Firman Allah SWT,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qasas: 77)

Semasa hidup, di samping terus berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan dunianya, seorang Muslim tentu perlu mencari keridhaan Allah SWT melalui ibadah, karena dengan ridha-Nya lah kebutuhan hidup akan senantiasa terasa cukup dan patut dinikmati dengan rasa syukur.

Tujuan Allah SWT menciptaka manusia adalah agar beribadah kepada-Nya . Secara sangat spesifik Dia menegaskan kewajiban ibadah ini kepada seluruh umat manusia dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyat: 56)


وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah: 5).

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang bertaqwa, jaga dan peliharalah Hablu min Allah denga sebaik-baiknya.  

PENGERTIAN HABLU MIN AN-NAS

Hablu min An-Nas dimaknai sebagai tindakan menjaga hubungan antar sesama manusia dengan cara  senantiasa memelihara hubungan baik, menjaga tali silaturahim, mengembangkan kepedulian sosial, saling tolong menolong, tenggang rasa, dan saling menghormati.

Hablu min An-Nas adalah konsep hubungan antar sesama manusia dalam dua dimensi sekaligus, yakni dimensi religius dan sosial di mana keduanya dapat diimplementasikan secara bersamaan dalam konteks membentuk masyarakat manusia-manusia beriman. Hal ini disebut Muamalah.

Muamalah sendiri memiliki banyak cabang, di antaranya agama, pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dlsb. Namun secara umum Muamalah melingkupi dua aspek pokok, yakni aspek Adabiyah dan aspek Madaniyah. 

Aspek Adabiyah adalah segala perbuatan Muamalah yang berkaitan dengan adab yang mengedepankan akhlak mulia seperti misalnya sopan, santun, jujur, simpati, empati, dan lain sebagainya. 

Sedangkan aspek Madaniyah adalah segala hal yang berhubungan dengan materi atau kebendaan seperti objek-objek yang menimbulkan subhat, yakni keraguan antara halal dan haram, mudharat dan manfaat, dan lain-lain pertentangan antara yang besifat baik dan buruk.

Tentang bagaimana pentingnya perkara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,

وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS.  An-Nisa: 36)

Adapun yang termasuk dalam perilaku Hablu min An-Nas pada intinya adalah ketulusan sikap dan kepedulian seorang Muslim pada sesamanya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia menjalani hidup berumah tangga, bertetangga, berinteraksi dengan saudara dan anggota keluarga, bercengkrama dengan berkerabat dan sahabat, bahkan berempati terhadap orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

PERILAKU HABLU MIN AN-NAS
Contoh perilaku Hablu min An-Nas menurut ajaran Islam di antaranya adalah:

1. Saling Membantu
Seperti halnya dewasa ini, saat mana harmonisasi sosial perlahan mulai tergradasi oleh arus modernasi, interaksi sosial menjadi penting. Tanpa harus membeda-bedakan ras, kultur, agama, dan keyakian,  perintah Allah SWT kepada umat Islam tidak pernah berobah, yakni  agar setiap Muslim selalu berusaha untuk dapat saling membantu antar sesamanya. Membantu orang lain, atau tolong menolong adalah salahsatu tindakan nyata dari Hablu min An-Nas.

Ketika kita memberikan bantuan atau pertolongan kepada seseorang, dampak psikologisnya tidak hanya kepada orang yang kita tolong saja, tetapi juga berdampak pada diri sendiri. Dampak positif yang dapat dirasakan misalnya adalah mengurangi depresi. Kita nerasa senang ketika dapat membantu orang lain karena secara naluriah menolong seseorang akan menimbulkan perasaan bahwa hidup kita berguna bagi orang lain. Hal ini secara sadar atau tidak akan menimbulkan rasa optimisme postif dalam diri.

Dampak lain dapat pula berupa ketenangan bathin. Membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan akan menumbuhkan kesadaran bahwa sebetulnya masih banyak orang yang lebih membutuhkan daripada kita. Kesadaran seperti ini akan menimbulkan rasa bersyukur atas segala hal yang pernah kita peroleh, sekaligus memupus prasangka buruk terhadap demikian beragamnya bentuk kasih sayang Allah SWT yang setiap detk tidak henti dicurahkan untuk setiap makhluk-Nya.

2. Menyantuni anak-anak Yatim dan Yatim Piatu
Dalam ajaran Islam, menyantuni dan mengasihi anak yatim sangat mulia. Pahala yang besar akan diterima bagi siapa saja yang dengan tulus dan ihklas turut menyantuni anak yatim. Beberapa fadhilah dan keutamaan menyantuni anak yatim di antaranya adalah:

  • Dimudahkan jalannya menuju surga, 
  • Mendapatkan pertolongan langsung dari Allah SWT,
  • Mendapat gelar Abror (orang yang ta'at kepada Allah),
  • Terhindar dari fitnah kubur dan fitnah akhirat,
  • Berkesempatan menjadi sahabat Rasulullah di Surga
3. Ikhlas dalam segala hal
Ikhlas adalah kalimat yang sangat mudah untuk diucapkan akan tetapi dalam praktiknya tidak mudah. Ikhlas dapat diartikan sebagai kesadaran untuk melepaskan ego negatif dari dalam jiwa manusia, sehingga kemudian ia menjadi insan "lapang dada" dan tulus dalam menerima segala sesuatu yang terjadi pada dirinya tanpa beban psikologis yang pada dasarnya memang tidak perlu.

Orang-orang yang ikhlas adalah mereka yang secara sadar melakukan segala perbuatannya semata-mata karena Allah, tanpa pamrih - atau mengharap balasan dari siapa pun - kecuali mengharap ridha Allah SWT. 

4. Mengasihi Orang Kurang Mampu
Sebagai sesama makhluk, setiap Muslim harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama. Setiap hari yang dilalui hendaknya dijadikan momen untuk meningkatkan belas kasih terhadap orang lain, khususnya orang-orang tidak mampu. Setiap pemberian yang dilandasi hati ikhlas kepada mereka akan sangat berarti. Mereka pasti akan menerimanya dengan sukacita dan membalasnya dengan doa-doa kebaikan yang hampir pasti pula, akan dikabulkan oleh Allah SWT.

Hal-hal seperti ini banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang selalu memberikan apa saja yang beliau miliki kepada kaum dhuafa, fakir, dan miskin. Manakala tidak mempunyai sesuatu untuk dibagikan sekalipun, setidak-tidaknya beliau tetap berusaha untuk memberikan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, kendati untuk itu adakalanya beliau harus meminta kepada para sahabatnya. Yang jelas, beliau tidak pernah meninggalkan seorang fakir pun tanpa bantuan.

5. Berbaik Sangka atau Husnudzon
Secara etimologi Husnudzdzon berasal dari dua kata bahasa Arab, "husn" yaitu baik, dan "az-zan" yang berarti sangka atau prasangka. 

Husnudzon menjadi landasan manusia agar selalu berpikir positif atas segala peristiwa yang telah dan akan dialami. Dalam prakteknya, ada dua model pengaplikasian husnudzon ini, yaitu Husnudzon kepada Allah dan kepada Manusia. Husnudzon kepada Allah yaitu selalu berbaik sangka atas segala yang diberikan-Nya. Sedangkan hal serupa juga berlaku lepada sesama manusia.

6. Menjaga Silaturahim
Silaturahmi berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari dua kosa kata, "shilah" yaitu menyambung, dan "rahim" yakni rahim wanita. Jadi arti dari silaturahmi adalah menyambung hubungan dengan keluarga dan kerabat. Selain itu, menyambung hubungan kekerabatan, silaturahim juga memiliki arti yang berbeda ketika kalimatnya diubah menjadi silaturahmi.

Allah memerintah setiap Muslim agar hidup berdampingan dan menjalin kasih sayang dengan sesama dalam setiap kesempatan dan keadaan. Silaturahmi sendiri pada dasarnya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang sebagai makhluk sosial yang menginginkan adanya hubungan baik dengan sesamanya.

Macam-Macam Manusia menurut Al-Quran 
Dalam konteks Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas, Al-Quran menyiratkan bahwa kelak akan ada dua kelompok besar manusia yang akan bersyukur dan sangat menyesali apa yang pernah dilakukan dan apa yang tidak pernah dilakukan oleh masing-masingnya selama hidup di dunia. Mereka dalah:

  • Orang yang beramal shaleh dan tidak memikul dosa sosial. Ia akan menjadi orang yang beruntung.
Firman Allah SWT,
 
فَاَمَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ مِنَ الْمُفْلِحِيْنَ
“Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (QS Al Qashash: 67).

  • Orang yang tidak beramal shaleh dan tidak pula memikul dosa sosial. Ia yang disebut sebagai orang merugi.
Firman Allah SWT,
وَٱلْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." (QS. Al-Asr: 1-3)

Thursday, April 13, 2023

Taubat, Pengertian, Hakikat, Syarat dan Keutamaannya

DEFINISI TAUBAT [1]
Secara Bahasa, at-Taubah berasal dari kata تَوَبَ yang bermakna kembali. Dia bertaubat, artinya ia kembali dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari dosa)[2]. Taubat adalah kembali kepada Allâh dengan melepaskan hati dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa lalu melaksanakan semua hak Allâh Azza wa Jalla .

Secara Syar’i, taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.

HAKIKAT TAUBAT
Hakikat taubat yaitu perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi, lalu mengarahkan hati kepada Allâh Azza wa Jalla pada sisa usianya serta menahan diri dari dosa. Melakukan amal shaleh dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari taubat.

Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada Rabbnya, inabah (kembali) kepada Allâh Azza wa Jalla dan konsisten menjalankan ketaatan kepada Allâh. Jadi, sekedar meninggalkan perbuatan dosa, namun tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allâh Azza wa Jalla , maka itu belum dianggap bertaubat.

Seseorang dianggap bertaubat jika ia kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dan melepaskan diri dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa. Ia tanamkan makna taubat dalam hatinya sebelum diucapkan lisannya, senantiasa mengingat apa yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla berupa keterangan terperinci tentang surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang taat, dan mengingat siksa neraka yang ancamkan bagi pendosa. Dia berusaha terus melakukan itu agar rasa takut dan optimismenya kepada Allâh semakin menguat dalam hatinya. Dengan demikian, ia berdoa senantiasa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan penuh harap dan cemas agar Allâh Azza wa Jalla berkenan menerima taubatnya, menghapuskan dosa dan kesalahannya.

SYARAT-SYARAT TAUBAT
Dalam kitab Majâlis Syahri Ramadhân[3], setelah membawakan banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa bertaubat dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t mengatakan, “Taubat yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah taubat nasuha (yang tulus) yang mencakup lima syarat:

Pertama: Hendaknya taubat itu dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya terhadap Allâh, harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak menghendaki dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.

Kedua: Menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan yang sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat seperti ini adalah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan ilmu.

Ketiga: Segera berhenti dari perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung meninggalkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.

Taubat orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak meninggal perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkanini termasuk mempermainkan Allâh Azza wa Jalla . Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya dia semakin jauh. Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan dirinya bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima.

Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan cara mengambil harta orang lain atau menentang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak sah sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Apabila diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl.

Dan apabila tidak diketahui pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya.

Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan.

Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap sah, sekalipun ia masih terus-menerus melakukan dosa yang lain. Karena perbuatan manusia itu banyak macamnya, dan imannya pun bertingkat-tingkat. Namun orang yang bertaubat dari dosa tertentu itu tidak bisa dikatakan dia telah bertaubat secara mutlak. Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari seluruh dosa-dosa.

Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya.

Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya sementara, si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubatnya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Kelima: Taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis.
Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku untuk semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi.

Yang bersifat umum adalah terbitnya matahari dari arah barat. Jika matahari telah terbit dari arah barat, maka saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi.

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” (QS. An-an’âm[6]:158)

Maksud dari “sebagian ayat-ayat Rabbmu” dalam firman Allâh di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ تُقْبَلُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا, فَإِذَا طَلَعَتْ طُبِعَ عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ وَكَفَى النَّاسَ الْعَمَلُ
Senantiasa taubat diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah barat), maka jika dia terbit akan ditutup setiap hati (dari hidayah sehingga yang ada hanya) apa yang ada didalam hatinya (saja) dan cukuplah bagi manusia amalannya (sehingga dia tidak bisa beramal kebaikan lagi).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan sanadnya hasan.
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
"Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya maka Allâh akan menerima taubatnya." [HR. Muslim]

Adapun yang bersifat khusus adalah saat kematian mendatangi seseorang. Ketika kematian mendatangi seseorang, maka taubat sudah tidak berguna lagi baginya dan tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allâh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS. An-Nisa[4]: 18)

Dalam hadits dari Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ
"Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai tenggorokan."  [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Beliau berkata hadits hasan)

Apabila taubat itu telah terpenuhi seluruh syaratnya dan diterima, maka Allâh akan menghapus dosa-dosa yang ia telah bertaubat darinya, sekalipun jumlahnya sangat banyak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (QS. Az-Zumar[39]:53)

Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang bertaubat; yang kembali dan berserah diri kepada Rabbnya.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (An-Nisa[4]: 110)

Oleh karena itu, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita– hendaklah kita bersegera mengisi (sisa) umur kita dengan taubat nasuha kepada Rabb sebelum kematian menghampiri. Jika kematian sudah menghampiri, kita tidak akan bisa menghindarinya.-Selesai perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah .

KEUTAMAAN TAUBAT[4]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat dan berjanji akan menerima taubat mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ
"Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya." (QS. Asy-Syura[42]: 25)

Dia membuka pintu harapan bagi hamba-Nya untuk meraih maaf dan ampunan-Nya. Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan agar mereka bersandar pada kemurahan dan kedermawanan-Nya, memohon agar kesalahan-kesalahan digugurkan, aibnya ditutupi dan agar taubat mereka diterima. Tidak ada yang bisa menolak mereka dari rahmat Allâh Azza wa Jalla dan pintu antara mereka dan Allâh pun tidaklah dikunci.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Az-Zumar [39]: 53)

Barangsiapa bertaubat dan meminta ampun, Allâh Azza wa Jalla akan menerima taubatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh?" [QS. Ali-Imran[3]: 135)

Allâh Azza wa Jalla menyanjung para hamba-Nya yang bertakwa yang senantiasa beristighfar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٦﴾ الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
"(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allâh), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali-Imrân[3]:16-17)

Orang yang bertaubat dari dosa, adalah orang yang mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allâh Azza wa Jalla serta rahmat-Nya. Allâh Azza wa Jalla melimpahkan barakah-Nya kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya nikmat rezeki dan kemakmuran hidup di dunia. Serta Allâh Azza wa Jalla melimpahkan kepadanya pahala agung dan nikmat abadi di akhirat kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman mengenai pahala orang-orang yang bertaubat kepada-Nya:

أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
"Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal." [QS. Ali-Imran[3]: 136)

Sesungguhnya istighfar yang diiringi dengan menanggalkan dosa, menjadi sebab suburnya negeri dan keberkahan, keturunan yang banyak serta kemuliaan dan kekokohan menjadi semakin kokoh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
"Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai."  (QS. Nuh[71]: 10-12)

Dalam iman terdapat rahmat bagi para hamba dan dalam istighfar terdapat keberkahan dalam agama dan dunia. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَزِمَ الاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً ، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجاً ، وَرَزَقهُ مِنْ حَيثُ لاَ يَحْتَسِبُ
Barangsiapa yang senatiasa beristighfar, Allâh jadikan untuknya kelonggaran dari segala keresahan; jalan keluar dari segala kesempitan, dan Allâh beri dia rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”[5]

Pintu taubat selalu terbuka lebar-lebar. Dari pintu hembusan-hembusan rahmat, kelembutan dan kenikmatan keluar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا ﴿٦٠﴾ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ عِبَادَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّهُ كَانَ وَعْدُهُ مَأْتِيًّا
" ... kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun, yaitu syurga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allâh itu pasti akan ditepati." (QS. Maryam[19]: 60-61)

Jadi, taubat itu menumbuhkan iman dan amal shalih. Dengan demikian, taubat berarti telah merealisasikan makna taubat yang positif . Itu akan menyelamatkan mereka dari kerugian dan penyesalan besar, sehingga mereka tidak mendapati siksa di lembah jahannam (al-ghayy), seperti firman Allâh:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui siksa dan kerugian (atau lembah di jahannam), (QS. Maryam[19]: 59)

Mereka akan masuk surga dan tidak akan pernah terzalimi sedikitpun juga.
Sungguh, alangkah agung berkah dari istighfar dan taubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Dengan istighfar dan taubat, rahmatditurunkan, berkah pada rezeki dilimpahkan dan kebaikan pun melimpah ruah. Dengan sebab keduanya, Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan harta dan anak keturunan, mengampuni dosa, memberikan kekuatan dan kelurusan serta petunjuk.

Ya Allâh, Wahai Dzat Yang memiliki segala kebutuhan orang-orang yang memohon, dan Yang mengetahui isi hati orang-orang yang diam tak mengutarakan permohonannya; berilah kepada kami taubat yang benar dari sisi-Mu! Berilah kepada kami inâbah yang sempurna, yang tidak terkontaminasi dengan keraguan, tidak pula ditimpa kekurangan ataupun penundaan!

[Sumber: Al-Manhaj | Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

_________
Footnote
[1] At-Taubatu Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim as-sadlan, hlm. 10
[2] Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, 1/357.
[3] Majâlis Syahri Ramadhân, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 333-342
[4] At-Taubatu Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim as-sadlan, hlm. 14-16
[5] Sunan Ibni Majah 2/1254 no 3819, Abu Daud 1518, Imam Ahmad dalam Al-Musnad 1/248; dalam sanadnya terdapat al-Hakam bin Mush’ab al-Qurasyi al-Makhzumi. Kredibilitasnya diperbincangkan para Ulama, akan tetapi Syaikh Ahmad Syakir menghukuminya shahih (2234), di mana Imam al-Bukhâri menyebutkan biografi al-Hakam bin Mush’ab dalam at-Târîkh al-Kabîr, dan ia tidak menyebut adanya cacat pada rawi ini. Jadi menurutnya ia seorang tsiqah.

Thursday, February 2, 2023

Makna dan 41 Fadhilah Shalawat

Apa arti dan pengertian shalawat nabi? Apa saja keutamaan dan manfaat shalawat kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Tulisan ringkas berikut ini akan menjelaskannya kepada para pembaca yang budiman. Diambil dari penjelasan Ustadz Qamaruddin SF dalam pembukaan buku Karunia Bershalawat, yakni terjemahan kitab Afdhal ash-Shalawaat ‘ala Sayyid as-Saadaat karya Syekh Yusuf ibn Ismail an-Nabhani.

Makna Shalawat
Dalam bahasa Arab, sholah (jamak: sholawaat) bermakna menyebut yang baik, ucapan yang mengandung kebajikan, doa dan curahan rahmat.

Menurut Ibnu Abbas ra, yusholluun (bersholawat) artinya yubarrikun (memberi keberkahan). Beliau menjelaskan arti kata tersebut seperti yang dipergunakan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 56, di mana Allah dan para malaikatnya bershalawat (yusholluuna) kepada nabi Muhammad SAW.

Para ahli tafsir kebanyakan menjelaskan makna shalawat di dalam surat Al-Ahzab ayat 56 tersebut sebagai berikut:

  1. Shalawat Allah SWT kepada nabi berarti limpahan rahmat, keberkahan dan anugerah Allah SWT.
  2. Shalawat malaikat bermakna permohonan agar derajat nabi Muhammad SAW ditinggikan serta maghfirah (ampunan) dilimpahkan kepada beliau.
  3. Shalawat orang-orang beriman adalah permohonan agar Allah SWT memberikan rahmat dan kesejahteraan kepada nabi Muhammad SAW dan keluarga beliau.
Perbedaan Rahmat dan Shalawat
Di dalam surat Al-Baqarah ayat 157, Allah SWT menyebut shalawat dan rahmat secara terpisah. Apakah ada perbedaan makna antara keduanya?

Menurut Imam Hakim At-Tirmidzi di dalam kitab Ilm-Al-Awliya’, rahmat bisa berupa suatu karunia tertentu dari Allah SWT kepada hambanya. Jika hamba tersebut berdosa, maka Allah SWT bisa mencabutnya dari hamba tersebut.

Sedangkan jika Allah SWT memberikan shalawat kepada seorang hamba, maka hamba tersebut berhak atasnya dalam setiap gerak dan keadaan sejak ia mendapatkannya hingga tiba di pintu surga. Jadi, shalawat bermakna lebih besar dan lebih agung daripada rahmat.

Fungsi Shalawat kepada Nabi
Imam Fakhrurrazi menjelaskan sebagai berikut,

“Shalawat atas nabi SAW itu bukan karena beliau membutuhkannya, bahkan shalawat para malaikat pun tidak beliau butuhkan setelah Allah SWT bershalawat kepadanya. Namun semua itu demi menunjukkan kebesaran dan keagungan Nabi SAW, sebagaimana Allah SWT mewajibkan kita berzikir menyebut nama-Nya, padahal pasti Allah SWT tidak membutuhkan semua itu.“

Imam Al-Hafizh As-Sakhawi menjelaskan bahwa shalawat Allah dan para malaikat-Nya kepada nabi SAW di dalam surat Al-Ahzab ayat 56 menggunakan sighat mudarri’ (bentuk kini dan akan datang yang bermakna berkesinambungan dan terus menerus), yakni menggunakan kata “yusholluna“. Sehingga Allah SWT dan para malaikat-nya selalu dan selamanya bershalawat kepada nabi Muhammad SAW.

Masya Allah!

Balasan atas Shalawat Nabi
Di dalam sebuah hadis rasulullah SAW bersabda,

“Siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali, mengangkatnya sepuluh derajat, menulis sepuluh kebaikan untuknya dan menghapus sepuluh kejelekan darinya.” [HR An-Nasa’i]

Abdullah bin Mas’ud ra mengatakan bahwa rasulullah SAW juga bersabda,

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di muka bumi untuk menyampaikan padaku nama orang dari umatku yang mengirim salam untukku.” [HR Ahmad, An-Nasa’i, Al-Darimi dan Al-Hakim]

Ibnu Athaillah pernah menjelaskan,
“Seandainya sepanjang hidup engkau melakukan amal ketaatan, lalu Allah memberimu satu shalawat saja, tentu shalawat itu lebih berat daripada semua amal ketaatanmu selama hidup. Sebab, engkau bershalawat dengan kapasitas/kemampuanmu, sementara Allah bershalawat sesuai dengan sifat ketuhanan-Nya. Ini baru satu shalawat. Lalu bagaimana jika Allah bershalawat untukmu sepuluh kali atas setiap satu shalawatmu atas rasul?“

Allahu Akbar!

Keutamaan Shalawat kepada Nabi SAW
Menurut Ahmad ibn ‘Ujaibah di dalam kitab Haqaaiq al-Anwar, sedikitnya ada 41 keutamaan shalawat, yaitu:

  1. Mentaati perintah Allah untuk bershalawat
  2. Meneladani Allah dalam bershalawat
  3. Meneladani malaikat dalam bershalawat
  4. Memperoleh sepuluh shalawat dari Allah untuk satu kali shalawat kepada nabi SAW
  5. Meninggikan sepuluh derajat
  6. Mendapatkan sepuluh kebaikan
  7. Menghapus sepuluh keburukan
  8. Memudahkan terkabulnya doa
  9. Menjadi jaminan syafaat nabi
  10. Menjadi faktor diampunkannya dosa dan ditutupinya aib
  11. Menjadi sebab tercukupinya kepentingan hamba
  12. Menjadi perekat kedekatan dengan nabi
  13. Mengantarkan kepada maqam kejujuran
  14. Membantu pemenuhan kebutuhan
  15. Menjadi sebab curahan rahmat Allah dan permohonan doa para malaikat.
  16. Menyucikan pembelanya
  17. Pemberi kabar gembira tentang surga sebelum meninggal dunia
  18. Menyelamatkan dari masa-masa berat di akhirat
  19. Mendapatkan balasan shalawat dan salam dari nabi SAW
  20. Memperkuat ingatan atau membuat ingat apa yang dilupakan dari pembacanya
  21. Mewangikan majelis atau memperindah pertemuan dan menghindarkan kita dari menyesal karena merugi di hari kiamat
  22. Menghilangkan kefakiran
  23. Menghilangkan sifat kikir
  24. Menimbulkan kecintaan orang dan mengantarkan kepada perjumpaan dengan rasul dalam mimpi
  25. Menjadi teman perjalanan menuju surga
  26. Menyelamatkan dari derita kekurangan dari sepinya shalawat dalam suatu majelis
  27. Penyempurna pembicaraan setelah pujian kepada Allah SWT
  28. Menjadi penyebab suksesnya hamba meniti shirath
  29. Membebaskan hamba dari mengentengkan shalawat nabi SAW
  30. Menjadi sebab turunnya pujian yang baik dari Allah di antara langit dan bumi
  31. Meraih kasih sayang Allah
  32. Menjadi sumber keberkahan hidup
  33. Mengukuhkan keimanan melalui kian dekatnya dengan nabi
  34. Meraih cinta rasulullah SAW dan menjadi kekasihnya
  35. Menjadi sumber hidayah dan hidupnya hati
  36. Memperbaiki perangai pembacanya
  37. Memperkokoh pijakan hidup dan memperkuat sikap optimis
  38. Menunaikan shalawat sebagai hak nabi dan mensyukuri kehadirannya sebagai nikmat terbesar bagi kita
  39. Mengandung zikir kepada Allah, mensyukuri dan mengenal nikmat-Nya
  40. Shalawat nabi sebagai doa dari kita dan dan diperintah Allah. Jadi bershalawat meningkatkan kualitas penghambaan kita
  41. Terbentuknya pribadi luhur nabi dalam diri. Inilah keuntungan terbesar dan termulia
Semoga Allah SWT berkenan menjadikan kita semua orang-orang yang senantiasa bershalawat kepada nabi SAW, baik sedikit maupun banyak.
Amin.
Sumber: Syekh Yusuf ibn Ismail an-Nabhani. Karunia Bershalawat. Penerbit Zaman & Qamaruddin SF. Jakarta, 2011.

Saturday, January 28, 2023

Dajjal, pembawa mala petaka menjelang kiamat




Dajjal merupakan sosok menyeramkan yang akan datang ke Bumi menjelang hari kiamat terjadi. Siapa sebenarnya sosok Dajjal ini? Dan bagaimana asal usul Dajjal?

Mengutip buku Fitnah Dajjal dan Ya'juj & Ma'juj: Mengungkap Misteri Kemunculan Dajjal dan Ya'juj Ma'juj oleh Lilik Agus Saputro, para salafus shalih berpendapat bahwa Dajjal adalah seorang anak Adam. Ia bukanlah seseorang dari golongan jin atau setan. Beberapa ulama kontemporer pun meyakini bahwa Dajjal adalah manusia biasa yang mengalami mati.

Selain itu, keluarga Dajjal termasuk ayah, ibu, kakek, dan nenek moyangnya merupakan penyembah berhala. Mereka adalah keturunan Yahudza yang sudah menikah selama 30 tahun namun tidak juga dikaruniai seorang anak.

Mengutip buku Armageddon Peperangan Akhir Zaman Menurut Al-Quran, Hadits, Taurat, dan Injil oleh Wisnu Sasongko, disebutkan bahwa sebelum adanya dukhan di medan al Malhamah, Dajjal adalah seorang manusia normal. Ia merupakan seseorang yang kharismatik sehingga orang-orang kafir dan munafik banyak yang terpesona kepadanya.

Penampakkan Dajjal tidak langsung seperti penampilannya nanti menjelang kiamat. Jika sejak lahir Dajjal sudah bermata satu dan pada dahinya tertulis kafir, maka tidak ada manusia yang mau dipimpin orang seperti itu.

Sebutan "Dajjal" merupakan gelar saja sedangkan nama aslinya tidak demikian. Mengutip buku Fitnah dan Petaka Akhir Zaman oleh Abu Fatiah al Adnani, bahwasannya penisbatan nama Dajjal ini digunakan oleh Rasulullah SAW. Beliau menggunakan sebutan tersebut untuk para pendusta agama.

Dijelaskan juga dalam buku Raja Namrud: Diktator Pertama di Muka Bumi karya Manshur Abdul Hakim bahwa Dajjal sudah hidup di zaman awal dan kuno sejarah manusia. Dajjal sudah ada sejak lama dan termasuk ke dalam hak-hak yang dinantikan dan tentangnya sudah diperingatkan oleh Rasulullah SAW jauh-jauh hari.

Rasulullah SAW bersabda:

"Aku peringatkan kalian tentangnya. Tidak ada seorang Nabi melainkan dia memperingatkan kaumnya tentang Dajjal. Nabi Nuh benar-benar telah memperingatkan kaumnya tentang Dajjal." [HR. Bukhari dan Muslim]

Setelah ada dukhan yang menyerang umat manusia, maka saat itulah Dajjal muncul menyebarkan fitnah dan mengumpulkan pengikutnya.

Ciri-Ciri Dajjal
Nawwas bin Sam'an telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW memaparkan ciri-ciri Dajjal kepada para sahabat-sahabatnya. Beliau bersabda:

"Dajjal adalah seorang pemuda yang berambut keriting, matanya buta satu (picak, kehilangan satu). Menurut saya, dia seperti Uzza bin Qathu. Barangsiapa dari kamu yang melihatnya, maka bacakanlah untuknya pembuka surah al Kahfi. Dia keluar dari celah (kota) antara Syam dan Irak. Kemudian dia membuat kebinasaan di sebelah kanan dan sebelah kiri (di setiap tempat). Wahai hamba Allah, tetapkanlah (kuatkanlah dirimu)." [HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah]

Kemampuan Dajjal Menjelang Hari Kiamat
Dalam buku Fitnah Dajjal & Ya'juj dan Ma'juj : Mengungkap Misteri Kemunculan Dajjal dan Ya'juj Ma'juj oleh Lilik Agus Saputro disebutkan bahwa kemampuan Dajjal menjelang hari kiamat sangatlah dahsyat. Ia dapat mendatangkan air saat api menyebar di mana-mana, mendatangkan api di saat kondisi kedinginan, menghidupkan orang yang sudah meninggal, dan lainnya.

Namun semua itu hanyalah fitnah semata yang ditunjukkan pada para pengikutnya. Hal tersebut sesuai dengan namanya yang memiliki kata dasar yang termasuk bentuk mubalaghah atau melebihkan yang maknanya yakni banyaknya kebohongan yang ada pada dirinya.

Disebutkan juga bahwa pada suatu hari pada musim kemarau panjang, Dajjal akan bertanya kepada manusia di sekitarnya, "Apa kamu menginginkan api atau air?" Jika menjawab air, berarti Dajjal akan memberikan api, dan jika menjawab api maka Dajjal akan memberikan air.

Sedangkan jika ada yang tetap memilih api dan ia berpegang teguh di jalan Allah SWT, maka seseorang itu akan dibunuh Dajjal. Seperti itulah gambaran kekejaman dari sosok Dajjal yang akan datang menjelang kiamat nanti. [C.Yulianti/DH]

Saturday, November 20, 2021

Makna ‘Rahmat’ dalam Rahmatan lil ‘Alamin

Sedari awal Islam mengajarkan kepada pemeluknya perihal pentingnya menjalin hubungan yang ramah dalam bingkai toleransi antarumat beragama. Hal ini tidak lain selain sebagai bukti bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw merupakan ajaran rahmat bagi alam semesta.

Untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi, yang harus dipahami pertama kali adalah kesadaran bahwa perbedaan dalam agama merupakan hal niscaya yang memang tidak bisa dihindari, bahkan Al-Qur’an juga mengafirmasi perihal kebebasan tersebut.

Allah swt berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS Al-Kafirun [109]: 6).

Ayat ini menjadi bukti bahwa fakta adanya agama lain tidak bisa dibantah. Memang, umat Islam mesti meyakini bahwa hanya ajaran agamanya yang paling benar. Namun, dalam konteks relasi bermasyarakat, klaim itu tidak boleh sampai mengganggu, apalagi menegasikan, penganut agama-agama lain untuk hidup dengan aman.

Selain itu, ayat ini juga menjadi sebuah pesan tentang kebebasan beragama, bahwa Islam tidak mengajarkan pemaksaan. Keragaman agama adalah sebuah fakta yang niscaya, dan Islam mendorong umatnya untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lainnya, tanpa saling menjelekkan. Rasulullah juga menerapkan nilai-nilai toleransi ini, dan jejak yang paling kentara adalah saat dirumuskannya Piagam Madinah.

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa sikap toleransi antarumat beragama seharusnya menjadi kesadaran bagi semua umat manusia. Sebab, dengan toleransi, kerukunan bisa terjalin, kedamaian bisa tercipta di mana-mana, hingga bisa meminimalisasi perilaku kontraproduktif terhadap kerukunan antaragama. Selain itu, persatuan antarmanusia juga akan tercipta tanpa memandang latar belakang agama mereka masing-masing [Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasy Syariah wal Manhaj, (Damaskus, Bairut, Darul Fikr, cetakan kedua: 2000), juz I, h. 298].

Selain penafsiran di atas, ada ayat lain yang justru menjadi dalil paling pokok perihal spirit diutusnya Rasulullah saw, yaitu:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Pada ayat di atas, Allah hendak menegaskan kembali bahwa di antara tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menanamkan kasih sayang kepada semua umat manusia, bahkan kepada seluruh alam, tanpa memandang latar belakangnya. Selain itu, yang dimaksud rahmat pada ayat di atas adalah tidak menjadikan ilmu pengetahuan tentang agama Islam sebagai media propaganda dan pemecah belah umat. Sebab, persatuan merupakan salah satu sendi-sendi Islam dan kekuatan paling solid sebagai agama yang menjunjung nilai-nilai persatuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Jabir bin Musa bin Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab tafsirnya, bahwa tidak sepatutnya ilmu pengetahuan dijadikan sebuah legitimasi propaganda dan perpecahan,

فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الْعِلْمُ وَالْمَعْرِفَةُ بِشَرَائِعِ اللهِ سَبَبًا فِيْ الفُرْقَةِ وَالْخِلَافِ
“Maka tidak sepatutnya, ilmu dan pengetahuan perihal syariat-syariat Allah, dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan.” [Al-Jazairi, Aisarut Tafasir li Kalamil Kabir, (Maktabah Ulum wal Hikmah, cetekan empat: 2003), juz 1, halaman 357].

Untuk menciptakan persatuan antar umat beragama, tidak ada cara paling tepat selain berlaku toleran, ramah, dan penuh kasih sayang kepada mereka. Oleh karenanya, toleransi menempati posisi sangat penting dalam ajaran Islam itu sendiri. Syekh Sulaiman al-Jamal dalam salah satu kitabnya juga memberikan penjelasan perihal kata rahmat pada frase rahmatan lil 'alamin dalam ayat di atas. Beliau mengatakan,

اَلْمُرَادُ بِالرَّحْمَةِ الرَحِيْمُ. وَهُوَ كاَنَ رَحِيْمًا بِالْكَافِرِيْنَ. أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ لَمَّا شَجُّوْهُ وَكَسَرُوْا رَبَاعِيَتَهُ حَتَّى خَرَّ مُغْشِيًّا عَلَيْهِ. قَالَ بَعْدَ اِفَاقَتِهِ اللهم اهْدِ قَوْمِى فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Yang dimaksud dengan rahmat adalah ar-rahim (bersifat penyayang). Nabi Muhammad saw adalah orang yang bersifat penyayang kepada orang kafir. Tidakkah Anda lihat, ketika orang kafir melukai Nabi dan mematahkan beberapa giginya, hingga ia terjatuh dan pingsan, kemudian ketika sadar ia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah! Berilah hidayah untuk kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’,” [Sulaiman al-Jamal, al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiah, (Lebanon, Bairut, Darul Kutub Ilmiah) juz V, h. 176].

Pada keadaan yang sangat genting, bahkan nyawa hampir terancam, justru Rasulullah menampakkan kasih sayangnya yang sangat tinggi. Beliau tetap ramah kepada mereka yang bukan hanya menolak risalah beliau, melainkan juga hendak membunuh Nabi. Jika dalam keadaan seperti itu saja Rasulullah bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, maka sudah menjadi kewajiban dalam keadaan damai, seperti di Indonesia, toleransi menjadi sikap yang harus dipedomani semua umat beragama. Oleh karenanya, dalam konteks masyarakat yang majemuk, setiap pemeluk agama harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas kehidupan dan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Dengan menyadari hal tersebut, kita semua berinteraksi dengan baik kepada siapa saja selama itu mendorong terwujudnya kehidupan yang adil dan damai. 



[Sumber: Sunnatullah | NU Syariah]


Saturday, November 21, 2020

Imam Al Ghazali, 5 Langkah menjadi Awam yang baik sekaligus Sufi yang baik


Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan pendek yang menjadi pokok-pokok dalam tasawuf. Ia menyebutkan Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas sebagai ajaran pokok dalam tasawuf.

Dua pilar utama tasawuf ini disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad untuk mengenalkan dunia tasawuf dan sufi kepada anak-anak. Dua ajaran pokok dalam tasawuf ini disampaikan dengan bahasa singkat dan sederhana agar mudah dimengerti kalangan anak-anak.

Meski demikian, bobot penjelasan singkat ini cukup bermanfaat juga bagi orang dewasa. Pasalnya penjelasan singkat dan sederhana ini tidak mengurangi substansi tasawuf. Penjelasan sederhana itu berbunyi sebagai berikut:

ثم اعلم أن التصوف له خصلتان الاستقامة مع الله تعالى والسكون عن الخلق٬ فمن استقام مع الله عز وجل وأحسن خلقه بالناس وعاملهم بالحلم فهو صوفي
“Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Dengan demikian siapa saja yang istiqamah bersama Allah SWT, berakhlak baik terhadap orang lain, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi,” [Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad (Singapura-Jeddah-Indonesia, Al-Haramain: 2005), halaman 15].

Bagi Imam Al-Ghazali, upaya menemukan inti dari tasawuf tidak sulit. Pasalnya, ia memahami benar apa yang dia bicarakan berpanjang-panjang selama ini dalam semua karyanya, terutama Ihya Ulumiddin.

Istiqamah bersama Allah baik secara lahir dan batin menuntut kebulatan hati dan kesatuan perbuatan yang sesuai garis agama Islam. Sedangkan interaksi secara baik dengan empati terhadap makhluk-Nya merupakan sisi lain tasawuf yang sulit dipisahkan dari yang pertama, yaitu istiqamah.

Tasawuf bukan semata persoalan lahiriah yaitu soal jubah, serban, biji tasbih, rida hijau yang diselempangkan di bahu, berjenggot, bertongkat, menunjukkan lafal tauhid, memotong celana hingga di atas mata kaki, mengubah ejaan menjadi lebih islami dalam media sosial, atau soal kekuatan ghaib akrobatik dengan pelbagai kecenderungan khariqul adat.

Tasawuf, bagi Imam Al-Ghazali, juga bukan fenomena hijrah lalu dipahami secara sempit sebagai tindakan meninggalkan aktivitas yang dianggap tidak islami atau uzlah menjauhi manusia dan pelbagai aktivitas yang dipersangkakan haram.

Imam Al-Ghazali menggariskan bahwa orang yang menjaga perilakunya untuk senantiasa taat kepada Allah lahir dan batin, serta bermasyarakat dengan kepedulian terhadap sesama dan alam sekitar secarta lahir batin adalah seorang Sufi.

Dengan pengertian sederhana ini, setiap orang dapat menjadi atau menyandang status sufi tanpa harus mengubah penampilan dan meninggalkan aktivitas keseharian yang telah dijalani selama ini selagi tidak melanggar syariat.

Tentang kebaikan masyarakat, kebaikan umat Islam.
Dalam “Iljamul awam al-ilmi al-kalam” Imam Ghazali mengajak kita untuk membiasakan bercermin diri. Introspeksi diri sampai kita sadar betapa awamnya kita. Yang dimaksud awam adalah menyadari bahwa hal tersebut bukan bidangnya. Alias, seseorang mengakui tidak memahami tentang sesuatu. Bisa jadi seseorang ahli di teknik dan awam di bidang kesehatan, ahli pertanian namun awam di bidang pendidikan.

Pemikiran ini merupakan anti-tesis dari pemikiran barat yang selalu menuntut menjadi profesional. Namun Imam Ghazali mengajak untuk menjadi awam yang baik. Menjadi orang awam yang tidak sadar akan keawamannya akan memperkeruh permasalah di masyarakat.
Kini, banyak sekali orang, terutama di dunia maya, berbicara mengenai politik, ekonomi hingga tafsir Al-Qur’an seolah-olah dirinya seorang ahli dalam bidang tersebut. Ini yang sudah sejak sedari dahulu kala menjadi peringatan imam Ghazali lewat tulisan-tulisannya.
Imam al-Ghazali menjelaskan 5 langkah menjadi awam yang baik yaitu:

1. Taqdis (Menyucikan diri)
Seorang Muslim dalam agama pasrahkan segala sesuatu pada Allah saja.

2. Al-’iman wa tasdiq (beriman dan percaya)
Seorang Muslim percaya dan membenarkan, sebagaimana ketika kita sakit dan pergi ke dokter maka kita harus manut dengan anjuran dan resep dokter tanpa perlu berdebat dan mencari dalil jika ingin sembuh dari penyakitnya.

3. Al-i’tiraf bi al-Ajri (mengakui kelemahan)
Seorang Muslim sadari kelemahan diri bahwa ternyata saya tidak ahli dalam masalah ini, jujurlah terhadap diri bahwa bukan ahlinya dalam bidang tersebut.

4. Al-sukut ‘an su’al (tidak mempertanyakan)
Seorang Muslim jangan cerewet terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui, bertanya boleh namun secukupnya.

5. Al-imsak ‘an tsarruf fi al-alfad (menahan diri untuk ‘menggarap’ nash yang tidak dipahami).

Dari lima pokok pentingnya ini, kita dapat belajar bagaimana mengendalikan diri kita, sebelum mengkritik misal “pemimpin sekarang tidak ada yang tak baik,”.

Kita seharusnya dapat mengambil pelajaran di dalam shalat berjamaah. Betapa repot dan beratnya menjadi imam. Bila ada salah satu makmum yang tidak suka dengan imam satu, itu sudah menggugurkan hakikat shalat.

[Catatan dari Ngopi Bareng]

Monday, August 31, 2020

Eskatologi Islam

Eskatologi Islam

Eskatologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan setelah mati dialam akhirat dan al-Qiyāmah "Pengadilan Terakhir". Eskatologi sangat berhubungan dengan salah satu aqidah Islam, yaitu meyakini adanya hari akhir, kematian, kebangkitan (Yawm al-Qiyāmah), mahsyar, pengadilan akhir, surga, neraka, dan keputusan seluruh nasib umat manusia dan lainnya.

Umat muslim meyakini bahwa kehancuran dunia terjadi di mana orang-orang beriman sudah tidak ada lagi dimuka bumi, yang tersisa hanya orang-orang jahat yang kembali dalam kondisi zaman jahiliyah. Kemudian terjadinya hari kiamat tersebut dikatakan akan terjadi pada hari Jum'at. Kiamat dikatakan tidak akan terjadi hingga tidak ada lagi manusia yang menyebut nama Allah.

Seperti agama Abrahamik lainnya, Islam mengajarkan tentang kebangkitan para makhluk yang telah mati, sebagai salah satu rencana penyelesaian dari semua penciptaan Tuhan dan kekekalan dari roh-roh para makhluk. Bagi orang yang beriman akan dihadiahkan oleh Allah sebuah surga sementara bagi orang yang tidak beriman maka akan dihukum di masukan kedalam neraka.

Fase kehidupan manusia dan jin

Dalam fase kehidupan, manusia dan jin telah dan akan melewati beberapa alam kehidupan, kemudian di dalam alam terakhir-lah yang dianggap sebagai kehidupan alam yang abadi (kekal). Menurut syariat Islam, alam tersebut di antaranya adalah:
  • Alam ruh, alam di mana sebelum jasad manusia dan jin diciptakan.
  • Alam rahim, alam kandungan ibu tempat menyempurnakan jasad manusia dan penentuan kadar nasib kita didunia seperti hidup, rezeki, kapan dan di mana kita meninggal.
  • Alam dunia, alam tempat ujian bagi manusia, siapakah di antara mereka yang paling baik amalannya.
  • Alam kubur, alam tempat menyimpan amal manusia, di alam ini Allah menyediakan dua keadaan, nikmat atau azab kubur.
  • Alam akhirat, alam tempat pembalasan amal-amal seluruh makhluk-Nya, di alam ini Allah menentukan keputusan dua tempat untuk manusia, apakah ia akan menghuni surga atau menghuni neraka.

Rahasia Allah

Tentang datangnya hari Kiamat, menurut syariat Islam maka tidak ada seorang pun yang mengetahui, baik malaikat, nabi, maupun rasul, masalah ini adalah perkara yang ghaib dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Muhammad yang shahih. Allah berfirman:

Juga dalam firman-Nya:

Muhammad pernah ditanya oleh Malaikat Jibril yang datang dalam wujud seorang Arab Badui, kemudian Jibril bertanya tentang kapan akan terjadinya hari kiamat, Jibril bertanya: "Kabarkanlah kepadaku, kapan terjadi Kiamat?" Kemudian Muhammad menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya."

Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah memberitahukan kepada Rasul-Nya tentang tanda-tanda Kiamat tersebut. Kemudian Muhammad menyampaikan kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat. Para ulama membaginya menjadi dua:
  • Tanda-tanda kecil
  • Tanda-tanda besar.
Muhammad telah bersabda,” Hari kiamat itu mempunyai tanda, bermulanya dengan tidak laris jualan di pasar, sedikit saja hujan dan begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan. Ghibah menjadi-jadi di merata-rata, memakan riba, banyaknya anak-anak hasil perzinahan, orang kaya diagung-agungkan, orang-orang fasik akan bersuara lantang di masjid, para ahli mungkar lebih banyak menonjol dari ahli haq”.

Beberapa hadist lain juga menjelaskan tentang datangnya hari kiamat ini, hari kiamat tidak akan terjadi sebelum bangsa Arab dipimpin oleh seseorang dari keluarga Muhammad dan memiliki nama yang sama.

Dikatakan pula dalam banyak hadits-hadits, menunjukkan bahwa peradaban besar yang telah menciptakan kekuatan dan senjata dahsyat akan hilang. Dugaan kuat adalah habisnya sumber daya alam dan mereka akan saling bertempur dan hancur. Kemudian manusia akan kembali seperti semula, berperang diatas kuda dengan menggunakan pedang, tombak, tameng, zirah dan sejenisnya.

Tanda-tanda Hari Penghakiman

Pertanda kecil

Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama dan kejadiannya biasa, seperti dicabutnya ilmu, dominannya kebodohan, minum khamr, berlomba-lomba dalam membangun, dan lain-lain. Terkadang sebagiannya muncul menyertai tanda kiamat besar atau bahkan sesudahnya.

Pertanda hari kiamat telah di sampaikan oleh Nabi Muhammad sekitar 1400 tahun yang lalu, dibawah adalah pertanda hari penghakiman yang dikutip dari Harun Yahya dan lainnya, berdasarkan hadits shahih.
  • Diutus dan wafatnya Nabi Muhammad.
  • Terbelahnya bulan pada masa penyebaran Islam.
  • Api dari tanah Hijaz yang menerangi punuk-punuk unta.
  • Terhapusnya jizyah dan pajak.
  • Munculnya Khawarij.
  • Penggembala menjadi kaya.
  • Dicabutnya nikmat waktu, maka waktu berputar serasa lebih cepat.
  • Banyaknya kaum wanita dan sedikitnya kaum pria.
  • Baitul Maqdis dikuasai umat Islam.
  • Perang antara Yahudi dan Islam.
  • Jazirah Arab kembali penuh dengan kebun-kebun & sungai-sungai.
  • Sungai Efrat mengeluarkan bukit emas.
  • Banyak terjadi al Harj yaitu pembunuhan massal.
  • Penghancuran kota-kota besar oleh tangan manusia (akibat perang) dan peristiwa alamiah.
  • Kehancuran nilai moral
  • Perzinahan dilakukan secara terbuka dan bebas,
  • Pengingkaran terhadap agama
  • Agama sebagai simbol atau tameng untuk kepentingan pribadi,
  • Umat Islam berlomba membangun memperindah masjid dan membangga-banggakannya, padahal nabi tidak pernah memerintahkan untuk bermegah-megah dalam membangun masjid,
  • Umat Islam banyak membaca Al Qur'an tetapi tidak mengamalkannya dengan benar dan menentang hadist dan sunnah,
  • Kemusyrikan merajalela dikalangan umat Islam dan mempercayai ramalan rasi bintang,
  • Mengingkari qadar (takdir atau ketetapan Allah).
  • Kehancuran tatanan masyarakat/ dominannya fitnah.
    • Disia-siakannya amanat/ segala urusan ditangani oleh yang bukan ahlinya,
    • Menyebarnya riba dan harta haram,
    • Kecurangan/ banyak penguasa dan polisi kezhaliman,
    • Ketergantungan pada obat bius dan minuman keras.
    • Penyanyi wanita dan alat-alat musik menjadi populer dan musik dianggap hal biasa oleh umat Islam
    • Orang berlomba-lomba membangun gedung-gedung pencakar langit,

Pertanda besar

Tanda kiamat besar adalah perkara yang sangat besar yang muncul di mana kiamat sudah sangat dekat sekali, kemunculannya tidak biasa terjadi dan mayoritas tanda-tandanya belum muncul, seperti muncul Dajjal, Nabi Isa, Ya’juj dan Ma’juj, terbit matahari dari Barat, dan lain-lain.

Hudzaifah bin Arsyad al-Ghifari berkata, sewaktu kami sedang berbincang, tiba-tiba datang Nabi Muhammad kepada kami lalu bertanya, “Apakah yang kamu semua sedang bincangkan?” Lalu kami menjawab, “Kami sedang membincangkan tentang hari Kiamat.” Muhammad bersabda: “Sesungguhnya kiamat itu tidak akan terjadi sebelum kamu melihat sepuluh tanda.

Kesepuluh tanda besar yang telah diucapkan oleh Muhammad adalah sebagai berikut:
Kemudian tanda-tanda yang lainnya adalah sebagai berikut:

Perbedaan antara pertanda kiamat kecil dan besar

Perbedaan antara tanda-tanda kiamat kecil dan kiamat besar adalah sebagai berikut:
  • Tanda-tanda kiamat kecil secara umum datang lebih dahulu dari tanda-tanda kiamat besar.
  • Tanda-tanda kiamat kecil sebagiannya sudah terjadi, sebagiannya sedang terjadi dan sebagiannya akan terjadi. Sedangkan tanda-tanda kiamat besar belum terjadi.
  • Tanda kiamat kecil bersifat biasa dan tanda kiamat besar bersifat luar biasa.
  • Tanda kiamat kecil berupa peringatan agar manusia sadar dan bertaubat. Sedangkan kiamat besar jika sudah datang, maka tertutup pintu taubat.
  • Tanda-tanda kiamat besar jika muncul satu tanda, maka akan diikuti tanda-tanda yang lainnya, dan yang pertama muncul adalah terbitnya matahari dari Barat.

Peniupan sangkakala

Ketika saatnya tiba yaitu pada hari kiamat, atas perintah Allah maka sangkakala akan ditiup oleh Israfil dalam tiga kala, yaitu tiupan:
Nafkhatul Faza' (Mengagetkan, menakutkan, menghancurkan),
Tiupan dahsyat yang pertama akan menggemparkan seluruh makhluk hidup. Allah memerintahkan Israfil memperpanjang tiupan itu tanpa berhenti. Maka gunung-gunung akan bergerak seperti
awan, lalu luluh-lantak. Bumi berguncang hebat, penghuninya bagaikan anai-anai yang beterbangan, planet akan saling bertabrakan. Semua ciptaan-Nya di alam semesta hancur lebur.
Nafkhatus Sha'iq (Mematikan),
Jibril, Mikail, Israfil dan Hamalatul 'Arsy dimatikan oleh Allah. Malaikat terakhir yang dimatikan oleh Allah ialah 'Izrail sang Malaikat Maut. Sejak itu tak ada lagi yang hidup, kecuali Allah yang Maha Ahad, Maha Mengalahkan, Maha Sendiri, Tempat bergantung semua makhluk, Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dialah yang Maha Awal dan Maha Akhir.
Nafkhatul Ba'ats/Qiyam (Menghidupkan kembali atau membangkitkan)
Miliaran manusia sejak Adam hingga manusia yang hidup terakhir kali saat alam semesta dihancurkan, mereka menunggu giliran diadili satu per satu di mahsyar, tak ada naungan dan perlindungan selain dari diri-Nya pada hari itu. Menurut ajaran Islam lama waktu menunggu itu 50.000 tahun akhirat.
Jarak antara tiupan pertama dan selanjutnya dikatakan sejarak empat puluh (tidak dijelaskan lebih rinci berupa sejumlah hari, bulan atau tahun).

Alam Baqa

Setelah kesemua alam semesta hancur dan makhluk mati, kemudian Allah menghidupkan kembali para umatnya untuk dikumpulkan dan diadili. Kesemua proses penciptaan sampai dengan penghancuran telah selesai, yang telah di tulis kesemuanya dalam Lauh Mahfuzh.

Yawm al-Qiyāmah
Yawm al-Mahsyar

Titian Jahannam

Kembali ke Eskatologi Islam


Folder Arsip

Loading...

Rekam Arsip

Rekomendasi Arsip

Followers