Hablu Min Allah dan Hablu Min An-Nas
PENGERTIAN HABLU MIN ALLAH
Sebagai umat Islam, setiap Muslim harus menjaga dan memelihara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas. Tapi apakah sebenarnya maksud dari kedua sebutan tsb? Kedua sebutan ini adalah bagian sangat penting dalam ajaran Islam yang harus dipahami oleh setiap Muslim agar dalam merealisasikan tata-laksananya senantiasa selalu dalam keadaan berimbang.
Hablu min Allah adalah hubungan vertikal atara manusia dengan Allah, sedangkan Hablu min An-Nas adalah hubungan horizontal atara sesama manusia. Pemahaman akan kedua hal ini tidak cukup hanya sekedar untuk dimengerti saja, namun harus pula diaplikasikan dalam menjalani kehidupan sehari-hari secara sadar, ikhlas, dan bertanggunghawab.
Kendati pada hakikatnya Hablu min An-Nas dan Hablu min Allah mempunyai tujuan vertikal, yaitu memperoleh ridha Allah SWT, namun sangat peting untuk dimengerti bahwa Allah tidak akan memuliakan orang yang hanya memelihara hubungan baiknya dengan Allah saja, namun hubungannya dengan sesama manusia buruk! Allah juga tidak akan ridha kepada orang yang tidak menjaga hubungannya dengan Allah, meskipun hubungannya dengan sesama manusia sangat baik!
Ibadah seorang Muslim dipastikan tidak sempurna jika tidak memelihara keseimbangan antara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas. Cenderung akan sia-sia amal seseorang yang khusuk beribadah siang dan malam namun perilaku dan lisannya masih digunakan untuk berbuat dosa. Karena demikian pentingnya menjaga kedua hubungan vertikal dan horizontal ini, maka Allah SWT secara tegas menyebutkan konsekuensi yang kelak akan diterima oleh siapa pun yang dengan sengaja mengabaikannya.
ٱلْمَسْكَنَةُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ يَكْفُرُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقْتُلُونَ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Q.S. Ali ‘Imran: 122).
Dalam ayat ini, Hablu min Allah diartikan sebagai perjanjian antara Allah dengan setiap Muslim sebagai memeluk Islam, atau beriman kepada syari'at Islam, yang berjanji tunduk dan patuh melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Sedangkan dari perspektif sejarah, Hablu min Ab-Nas pada awalnya adalah aktualisasi perjanjian antara kaum Mukminin dengan kaum Kafir Dzimmi berupa jaminan keamanan bagi mereka melalui pembayaran Jizyah kepada penyelenggara pemerintahan Islam di mana mereka menetap dan hidup sebagai warga negara. Dengan perjanjian ini maka hak-hak dasar mereka sepenuhnya dilindungi oleh penyelenggara pemerintahan, sama baiknya dengan perlindungan kepada warga negara Muslim yang membayar zakat.
Hablu min Allah
Hablu min Allah adalah suatu bentuk etika yang mengatur perilaku dan tindakan setiap Muslim dalam menjaga hubungannya dengan Allah. Dalam hal ini, khususnya melaksanakan segala perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Umat Islam harus mengupayakan posisinya di tengah-tengah kedua bentuk hubungan ini secara seimbang. Kesalehan individu terhadap Allah harus sama baiknya dengan kesalehannya terhadap aspek-aspek sosial. Jadi, kendati boleh jadi ibadah seorang Muslim kepada Allah SWT dianggap baik, namun jika hubungannya dengan sesama makhluk sosial buruk, maka hampir dapat dipastikan ia akan menjadi “orang-orang yang bangkrut” di akhirat nanti.
PERILAKU HABLU MIN ALLAH
Contoh perilaku yang mencerminkan Hablu min Allah menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut:
Menjalankan Perintah dan menjauhi Larangan Allah SWT
Umat Islam harus bertaqwa kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sikap ini disebut bertaqwa kepada Allah.
Seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT akan selalu mendapatkan petunjuk serta hidayah dari-Nya. Sedangkan orang-orang zalim, tidak akan mendapatkan apa pun selain kerugian pada akhirnya.
Taqwa merupakan pembatas bagi umat Islam yang melindungi dirinya dari kemurkaan Allah SWT. Bagi setiap muslim yang taat melaksanakan perintah-Nya, Allah pasti akan mencurahkan berlipat-ganda ganjaran kebaikan. Sedangkan sebaliknya, jika melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, maka dipastikan pula akan mendapatkan balasannya yang setimpal. Dengan kesadaran akan taqwa, seorang hamba akan selalu merasa cukup atas setiap rezeki yang diperolehnya.
Ikhlas dalam menerima segala Ketentuan Allah SWT
Sebagai umat Islam yang bertaqwa, seorang Muslim harus ikhlas menerima ketentuan dan takdir serta pembagian rezeki dari Allah SWT. Segala yang telah ditetapkan oleh allah SWT merupakan takdir, dan takdir itu sendiri, terlepas apakah itu baik atau buruk (dalam pandangan manusia), sesungguhnya merupakan hal terbaik untuknya.
Allah berfirman,
وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
" ... boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Meninggalkan kehendak nafsunya untuk mencari keridhaan Allah SWT
Setiap manusia memiliki hawa nafsu, tetapi sebagai umat Islam yang bertaqwa, seorang Muslim harus berusaha mengendalikan dan menekan hawa nafsunya sendiri berdasarkan batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh syariat Islam. Allah SWT juga tidak menyukai orang-orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dengan cara meninggalkan sepenuhnya kesenangan dunia yang justru disediakan oleh Allah untuk setiap makhluk-Nya.
Firman Allah SWT,
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qasas: 77)
Semasa hidup, di samping terus berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan dunianya, seorang Muslim tentu perlu mencari keridhaan Allah SWT melalui ibadah, karena dengan ridha-Nya lah kebutuhan hidup akan senantiasa terasa cukup dan patut dinikmati dengan rasa syukur.
Tujuan Allah SWT menciptaka manusia adalah agar beribadah kepada-Nya . Secara sangat spesifik Dia menegaskan kewajiban ibadah ini kepada seluruh umat manusia dalam firman-Nya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyat: 56)
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah: 5).
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang bertaqwa, jaga dan peliharalah Hablu min Allah denga sebaik-baiknya.
PENGERTIAN HABLU MIN AN-NAS
Hablu min An-Nas dimaknai sebagai tindakan menjaga hubungan antar sesama manusia dengan cara senantiasa memelihara hubungan baik, menjaga tali silaturahim, mengembangkan kepedulian sosial, saling tolong menolong, tenggang rasa, dan saling menghormati.
Hablu min An-Nas adalah konsep hubungan antar sesama manusia dalam dua dimensi sekaligus, yakni dimensi religius dan sosial di mana keduanya dapat diimplementasikan secara bersamaan dalam konteks membentuk masyarakat manusia-manusia beriman. Hal ini disebut Muamalah.
Muamalah sendiri memiliki banyak cabang, di antaranya agama, pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dlsb. Namun secara umum Muamalah melingkupi dua aspek pokok, yakni aspek Adabiyah dan aspek Madaniyah.
Aspek Adabiyah adalah segala perbuatan Muamalah yang berkaitan dengan adab yang mengedepankan akhlak mulia seperti misalnya sopan, santun, jujur, simpati, empati, dan lain sebagainya.
Sedangkan aspek Madaniyah adalah segala hal yang berhubungan dengan materi atau kebendaan seperti objek-objek yang menimbulkan subhat, yakni keraguan antara halal dan haram, mudharat dan manfaat, dan lain-lain pertentangan antara yang besifat baik dan buruk.
Tentang bagaimana pentingnya perkara Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,
وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36)
Adapun yang termasuk dalam perilaku Hablu min An-Nas pada intinya adalah ketulusan sikap dan kepedulian seorang Muslim pada sesamanya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia menjalani hidup berumah tangga, bertetangga, berinteraksi dengan saudara dan anggota keluarga, bercengkrama dengan berkerabat dan sahabat, bahkan berempati terhadap orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
PERILAKU HABLU MIN AN-NAS
Contoh perilaku Hablu min An-Nas menurut ajaran Islam di antaranya adalah:
1. Saling Membantu
Seperti halnya dewasa ini, saat mana harmonisasi sosial perlahan mulai tergradasi oleh arus modernasi, interaksi sosial menjadi penting. Tanpa harus membeda-bedakan ras, kultur, agama, dan keyakian, perintah Allah SWT kepada umat Islam tidak pernah berobah, yakni agar setiap Muslim selalu berusaha untuk dapat saling membantu antar sesamanya. Membantu orang lain, atau tolong menolong adalah salahsatu tindakan nyata dari Hablu min An-Nas.
Ketika kita memberikan bantuan atau pertolongan kepada seseorang, dampak psikologisnya tidak hanya kepada orang yang kita tolong saja, tetapi juga berdampak pada diri sendiri. Dampak positif yang dapat dirasakan misalnya adalah mengurangi depresi. Kita nerasa senang ketika dapat membantu orang lain karena secara naluriah menolong seseorang akan menimbulkan perasaan bahwa hidup kita berguna bagi orang lain. Hal ini secara sadar atau tidak akan menimbulkan rasa optimisme postif dalam diri.
Dampak lain dapat pula berupa ketenangan bathin. Membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan akan menumbuhkan kesadaran bahwa sebetulnya masih banyak orang yang lebih membutuhkan daripada kita. Kesadaran seperti ini akan menimbulkan rasa bersyukur atas segala hal yang pernah kita peroleh, sekaligus memupus prasangka buruk terhadap demikian beragamnya bentuk kasih sayang Allah SWT yang setiap detk tidak henti dicurahkan untuk setiap makhluk-Nya.
2. Menyantuni anak-anak Yatim dan Yatim Piatu
Dalam ajaran Islam, menyantuni dan mengasihi anak yatim sangat mulia. Pahala yang besar akan diterima bagi siapa saja yang dengan tulus dan ihklas turut menyantuni anak yatim. Beberapa fadhilah dan keutamaan menyantuni anak yatim di antaranya adalah:
- Dimudahkan jalannya menuju surga,
- Mendapatkan pertolongan langsung dari Allah SWT,
- Mendapat gelar Abror (orang yang ta'at kepada Allah),
- Terhindar dari fitnah kubur dan fitnah akhirat,
- Berkesempatan menjadi sahabat Rasulullah di Surga
3. Ikhlas dalam segala hal
Ikhlas adalah kalimat yang sangat mudah untuk diucapkan akan tetapi dalam praktiknya tidak mudah. Ikhlas dapat diartikan sebagai kesadaran untuk melepaskan ego negatif dari dalam jiwa manusia, sehingga kemudian ia menjadi insan "lapang dada" dan tulus dalam menerima segala sesuatu yang terjadi pada dirinya tanpa beban psikologis yang pada dasarnya memang tidak perlu.
Orang-orang yang ikhlas adalah mereka yang secara sadar melakukan segala perbuatannya semata-mata karena Allah, tanpa pamrih - atau mengharap balasan dari siapa pun - kecuali mengharap ridha Allah SWT.
4. Mengasihi Orang Kurang Mampu
Sebagai sesama makhluk, setiap Muslim harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap sesama. Setiap hari yang dilalui hendaknya dijadikan momen untuk meningkatkan belas kasih terhadap orang lain, khususnya orang-orang tidak mampu. Setiap pemberian yang dilandasi hati ikhlas kepada mereka akan sangat berarti. Mereka pasti akan menerimanya dengan sukacita dan membalasnya dengan doa-doa kebaikan yang hampir pasti pula, akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Hal-hal seperti ini banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang selalu memberikan apa saja yang beliau miliki kepada kaum dhuafa, fakir, dan miskin. Manakala tidak mempunyai sesuatu untuk dibagikan sekalipun, setidak-tidaknya beliau tetap berusaha untuk memberikan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, kendati untuk itu adakalanya beliau harus meminta kepada para sahabatnya. Yang jelas, beliau tidak pernah meninggalkan seorang fakir pun tanpa bantuan.
5. Berbaik Sangka atau Husnudzon
Secara etimologi Husnudzdzon berasal dari dua kata bahasa Arab, "husn" yaitu baik, dan "az-zan" yang berarti sangka atau prasangka.
Husnudzon menjadi landasan manusia agar selalu berpikir positif atas segala peristiwa yang telah dan akan dialami. Dalam prakteknya, ada dua model pengaplikasian husnudzon ini, yaitu Husnudzon kepada Allah dan kepada Manusia. Husnudzon kepada Allah yaitu selalu berbaik sangka atas segala yang diberikan-Nya. Sedangkan hal serupa juga berlaku lepada sesama manusia.
6. Menjaga Silaturahim
Silaturahmi berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari dua kosa kata, "shilah" yaitu menyambung, dan "rahim" yakni rahim wanita. Jadi arti dari silaturahmi adalah menyambung hubungan dengan keluarga dan kerabat. Selain itu, menyambung hubungan kekerabatan, silaturahim juga memiliki arti yang berbeda ketika kalimatnya diubah menjadi silaturahmi.
Allah memerintah setiap Muslim agar hidup berdampingan dan menjalin kasih sayang dengan sesama dalam setiap kesempatan dan keadaan. Silaturahmi sendiri pada dasarnya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang sebagai makhluk sosial yang menginginkan adanya hubungan baik dengan sesamanya.
Macam-Macam Manusia menurut Al-Quran
Dalam konteks Hablu min Allah dan Hablu min An-Nas, Al-Quran menyiratkan bahwa kelak akan ada dua kelompok besar manusia yang akan bersyukur dan sangat menyesali apa yang pernah dilakukan dan apa yang tidak pernah dilakukan oleh masing-masingnya selama hidup di dunia. Mereka dalah:
- Orang yang beramal shaleh dan tidak memikul dosa sosial. Ia akan menjadi orang yang beruntung.
Firman Allah SWT,
فَاَمَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنَ مِنَ الْمُفْلِحِيْنَ
“Maka adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (QS Al Qashash: 67).
- Orang yang tidak beramal shaleh dan tidak pula memikul dosa sosial. Ia yang disebut sebagai orang merugi.
Firman Allah SWT,
وَٱلْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran." (QS. Al-Asr: 1-3)