002. Merahmati diri sendiri
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Merahmati diri sendiri bagi MUHAMMAD adalah hal paling utama. Mereka yang walau kepayahan masih terus berpuasa dalam perjalanan (safar) digolongkan Rasulullah SAW sebagai para pembangkang. Karena mereka mengubah perbuatan ibadat menjadi penyiksaan - menzalimi diri sendiri. Karena mereka menanggalkan milik utama manusia, yaitu rahmat. Terutama rahmat pada diri sendiri, memelihara diri, melestarikan kesehatan dan kekuatannya (stamina).
Telah datang ke rumah Rasulullah SAW serombongan sahabat beliau, yang menanyakan tentang ibadat Rasulullah SAW. Setelah diceritakan akan halnya ibadat beliau, mereka pun merasa bahwa ibadat yang mereka amalkan selama ini sangat tidak berarti kalau dibandingkan dengan ibadat beliau.
Maka kata mereka: “Bagaimana kita ini dibandingkan dengan Rasulullah. Padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang.”
Lantas salah seorang diantara mereka berkata; “Saya bertekad akan senantiasa bershalat malam dan tidak tidur.” Yang lainnya pula berucap: “Saya akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka.” Sedangkan yang lainnya lagi berkata: “Saya akan menjauhkan diri dari kaum wanita dan takkan kawin samasekali.”
Dimana mereka letakkan hak azasi jiwa manusia? Dan dimana pula bagi mereka letaknya hukum wajib kasih sayang itu?
MUHAMMAD mempunyai ajaran yang menentukan dan melindungi rahmat dari semua perbuatan yang akan mengganggunya. Meskipun perbuatan itu berupa tindakan berlebih-lebihan dalam melakukan ibadat dan dalam mancari keutamaan. Demikianlah, begitu mendengar tekad para sahabat itu, lantas MUHAMMAD pun langsung berkata:
“Kaliankah yang telah mengucapkan tekad itu? Demi Allah, diantara kalian semua, akulah orang yang paling takut pada Allah. Dari kalian semua, akulah yang paling taqwa pada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka puasa. Aku bershalat dan aku tidur. Barangsiapayang enggan mengikuti jejak dan ajaranku, maka mereka itu bukan dari golonganku.”
Pada suatu hari diberitakan pada beliau bahwa ‘Abdullah ibn ‘Amer ibnul-Aash berpuasa terus menerus dan berjaga sepanjang malam. Beliau menegurnya:
“Telah sampai padaku berita bahwa engkau berpuasa terus menerus setiap hari dan berjaga setiap malam. Jangan engkau teruskan lagi perbuatanmu itu. Sesungguhnya tubuhmu itu punya hak atasmu. Matamu punya hak atasmu.Dan istrimu juga punya hak atasmu. Berpuasalah tiga hari setiap bulan, itulah saumuddahar.”
Abdullah ibn Amer menjawab: "Saya mampu melakukan lebih dari itu, ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda: ”Berpuasalah sehari dan berbuka sehari, demikianlah puasa nabi Daud a.s. Itulah puasa yang paling seimbang. Tidak ada yang lebih utama dari itu.”
Rasulullah SAW pernah bercerita tentang dirinya: “Suatu hari ketika saya bershalat, saya bermaksud akan memanjangkan shalat saya itu. Tiba-tiba saya dengar ada suara bayi sedang menangis. Maka saya persingkat shalat saya agar ibu bayi itu tidak gelisah.”Alangkah besarnya nilai rahmat itu menurut pandangan MUHAMMAD SAW. Andaikan rahmat diletakkan pada piring timbangan bersebelahan dengan piring timbangan yang berisi ibadat, ternyata piring timbangan rahmat itu lebih berat. Ya, sungguh berat, seperti yang dipaparkan dalam kisah ini:
Seorang lelaki muda dengan wajah cerah gembira bergegas menuju majelis Rasulullah SAW. Ia datang untuk menyatakan bai’at (sumpah setia) kepada Rasulullah, untuk berhijrah dan berjihad bersama beliau guna menegakkan agama Allah. “Apakah salah seorang dari orangtuamu ada yang masih hidup?” Tanya Rasulullah. Pemuda itu menjawab: “Ya, keduanya masih hidup.” Lantas Rasulullah bersabda: ”Kembalilah pada kedua orang-tuamu. Peliharalah hubungan baikmu dengan mereka.”
Sebuah kisah lagi: Seorang lelaki lain datang menghadap beliau sambil berkata: “Ya, Rasulullah! Saya datang untuk melakukan bai’at kepada Anda, berhijrah, sambil meninggalkan kedua orang tua saya yang menangis sedih.” Rasulullah menjawab: “Kembalilah pada kedua orang-tuamu. Gembirakanlah mereka sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis.”Suatu ketika, ada yang bertanya: “Ya, Rasulullah! Saya ingin sekali berjihad, tetapi saya tidak mampu.” Rasulullah menjawab: “Apa masih ada salah seorang dari orangtuamu?” “Ya”, sahut orang itu. Maka bersabdalah Rasulullah: “Jumpailah Allah SWT dengan berbakti pada orangtuamu. Apabila engkau telah melakukannya dengan sebaik-baiknya maka samalah engkau telah berhaji, ber’umrah dan berjihad.”
Senyum manis di bibir ayah yang kasih dan tawa menghias wajah ibunda yang resah - gundah gulana. Bagi MUHAMMAD, ini tidak ada nilai tukarnya. Meskipun dengan jihad yang akan memperkuat da’wah dan menyebarkan panjinya keseluruh muka bumi sekalipun. Demikianlah beliau mengembalikan kedua pemuda pemberani itu kepada orang tuanya masing-masing, yang sedang menangis karena ditinggalkan putra mereka yang hendak pergi ke medan laga.
Dan terlontarkan ucapan indah yang menggetarkan sukma kedua anak muda itu: “Kembalilah pada kedua orangtuamu, buatlah mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis.”
Bagi MUHAMMAD, rahmat atau kasih sayang pada jiwa akan sempurna dengan melakukan rahmat dan bakti pada kedua orang tua. Karena keduanya itulah sumber dan wadah jiwa. Beliau juga mengetahui banyak diantara ummatnya yang mendambakan untuk mati syahid dalam membela agamanya, dan untuk menenangkan hati mereka yang cinta kepada agamanya beliau mengiringi niat kita dengan sabdanya:
“Siapa yang memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh hendak mati syahid, maka Allah menaikkannya ke tingkatan para syuhada, sekali pun kenyataannya dia mati biasa di tempat tidur.”
Apabila aktifitas ibadat berubah coraknya jadi penyiksaan terhadap rahmat pada jiwa pribadi, maka perbuatan ibadat itu samalah dengan kedurhakaan. Terutama bila akibatnya memperkecil rahmat pada kedua orang tua.
Di dalam kitab Subulus Salaam (III/78), ash-Shan’ani mengatakan:Semoga shalawat dan salam selalu di limpahkan-Nya bagi junjungan kita Rasulullah SAW beserta ahlul baitnya, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in serta seluruh umat Islam yang taat pada risalahnya hingga di akhir zaman.”
“Lahiriahnya sama, apakah itu jihad fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah, dan baik merasa keberatan pada kedua orang tuanya atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwasanya diharamkan berjihad bagi seorang anak jika dilarang oleh kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dengan syarat keduanya harus muslim, karena berbakti kepada keduanya adalah fardhu ‘ain sementara jihad tersebut adalah fardhu kifayah.
Amiin.
[Dari buku NABI MUHAMMAD JUGA MANUSIA, Karya Khalid Muhammad Khalid]
CATATAN
Tulisan ini merupakan mukadimah dari 21 tulisan lain yang kami turunkan berdasarkan pokok bahasannya masing-masing. Untuk memudahkan anda, halaman selanjutnya dapat diikuti melalui nomor urut di bawah ini, atau melalui lampiran Kata Pengantarnya di sini.
Halaman 2 dari 21
Baca juga
0 Comments:
Post a Comment